Chapter 20

Selamat datang di chapter 20

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai apabila ada typo

Thanks

Happy reading everybody

Hopefully you like and enjoy this story as well

❤️❤️❤️

____________________________________________________

Kau tidak bisa terus-terusan hidup di masa lalu dengan orang-orang yang selalu kau inginkan memaklumi atau kauminta mengerti atas traumamu

—William Molchior
____________________________________________________

“Boss, tenanglah. Percayakan saja ini pada William,” mohon Hillary kepada Scarlett yang melihat bossnya menunduk dan masih sibuk menyeka ingus.

Topik tentang Jenna menjadikan Scarlett jauh lebih sentimental daripada pertengkarannya dengan Regis. Jenna selalu menjadi nomor satu bagi Scarlett. Ia mengingat setiap perjuangannya setelah diusir dari rumah dalam keadaan hamil. Lebih tepatnya, hamil dan sendirian. Ia pernah berniat bunuh diri dengan berencana meminum sebotol obat tidur yang telah dibelinya di apotek. Namun, ketika semua pil itu sudah dalam genggamannya dan siap dimasukkan ke mulut, untuk pertama kalinya di awal trimester kedua, bayinya menendang-nendang.

Scarlett sontak menangis di depan wastafel setelah genggamannya merenggang sehingga mengakibatkan pil-pil itu jatuh berhamburan di bawah kakinya yang gemetar. Tubuhnya perlahan merosot sampai punggung rapuhnya menempel di kloset dalam kamar mandi apartemen sempit dan agak kumuh yang disewanya waktu itu. Kemudian, sambil mengelus perut buncitnya yang kontras dengan tubuh kurusnya, Scarlett berjanji akan berjuang untuk bayi itu. Untuk Jenna. Apa pun akan ia lakukan.

Scarlett pun mengangkat wajah untuk melihat Hillary. “Bagaimana aku bisa merasa lebih baik kalau anakku tidak mau kusentuh gara-gara aku sendiri?”

Scarlett hampir histeris lagi, tetapi cukup tahu diri untuk tidak membuatnya menjadi buah bibir pelanggan-pelanggannya lagi. Sebelum Hillary membuka mulut, terdengarlah suara Jenna berteriak-teriak memanggil Scarlett dengan ceria. “Mommy ... Mommy ....”

Scarlett sontak berdiri, melewati Hillary begitu saja dan membuka pintu ruangannya. Ia melongok ke selasar dan melihat Jenna berlari menuju dirinya sambil membawa es krim kerucut rasa cokelat. Musim panas yang menghasilkan hawa gerah melelehkan es krim itu sebagian sehingga ketika dibawa berlari, lelehannya menetes-netes ke lantai. Beruntungnya Jenna tidak terpeleset.

“Mommy ... Aku membawakan Mommy es krim. Jangan sedih lagi, Mommy.”

Bukannya berhenti menangis, Scarlett berjongkok, menerima es krim yang diulurkan Jenna lalu menarik tubuh anaknya ke dalam pelukannya dan semakin kencang menangis. “Terima kasih, Pumkin.”

William pun tersenyum melihat Scarlett dan Jenna. Setidaknya usahanya berhasil.

“Bagaimana caramu melakukannya?” tanya Scarlett. Tangannya mengusap-usap rambut keriwil Jenna yang tidur pulas.

Tadi setelah adegan dramatis itu, Hillary menyarankan Scarlett untuk pulang dan menenangkan diri serta mengambil cuti beberapa hari. William menyetujui ide cerdas Hillary dan mengantarkan Scarlett serta Jenna pulang. Sebelumnya, mereka pergi makan siang dulu di restoran yang searah ke rumah Scarlett. Setelah itu, Jenna pun tertidur.

William yang duduk di sebelah boks bayi Jenna pun berbalik tanya, “Melakukan apa maksudmu?”

“Membujuk Jenna menemuiku dan membawakan es krim. Dia bahkan sudah tidak marah lagi.”

“Es krim itu ide Jenna sendiri. Aku hanya bercerita sesuatu dan memberikannya pengertian. Tidak kusangka dia cepat paham maksudku,” papar William jujur.

“Kadang aku merasa dia agak sedikit lebih dewasa dibandingkan dengan anak seusianya. Dan memahami hal-hal yang seharusnya tidak dia pahami secepat itu.”

“Itu artinya Jenna hebat, sehebat kau.”

Selain tersipu atas pujian William, Scarlett juga merasa rupanya sangat menyenangkan dapat membahas perkembangan Jenna dengan seseorang. Terlebih orang itu adalah William. Hatinya semakin nyaman.

Setelah memastikan pendingin udara tetap sejuk, Scarlett mengajak William keluar kamar menuju dapur. Berencana membuatkan pria itu sesuatu sebagai ucapan terima kasih—yang entah sudah ke berapa kali—sebelum William pulang.

“Omong-omong, apa yang akan kau lakukan?” tanya William penasaran walau sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Scarlett.

“Duduklah. Aku akan membuat makan malam kita.”

“Di jam lima sore? Too early, I guess.” Meski demikian, William tetap menuruti Scarlette duduk di depan dapur dan mengamati wanita itu mengenakan celemek.

“Tidak apa-apa. Atau, kau mau menonton sesuatu? Netflix misalnya? Siapa tahu kau akan bosan menunggu,” tawar Scarlett.

William justru tersenyum jail. “Well ... well ..., bagaimana bisa Netflix lebih menarik daripada kau?”

Jantung Scarlett berdetak lebih cepat dan pipinya memanas. Kenapa ia harus tersipu malu lagi?

Scarlett lantas berusaha bersikap normal dengan mengedikkan baru ringan. “Apa kau keberatan dengan fajitas domba?

Kedengarannya lezat. Aku tidak masalah dengan itu.”

“Great,” balas Scarlett sambil mencuci tangan kemudian mulai mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas serta peralatan memasak dari kabinet.

Sebenarnya Scarlett gugup karena William begitu intens memperhatikannya. Namun, mau bagaimana lagi? Pria itu tidak bisa diusir ke ruang TV. Sampai-sampai ia lupa mengucir rambut kala sudah memegang daging domba.

“Butuh bantuan?” tanya William. “Kelihatannya kau kesulitan dengan rambutmu.”

Dengan wajah tak enak, Scarlett mengangguk. “Kucirnya ada di kamar. Kalau kau tidak keberatan.”

Namun, bukannya pergi ke kamar untuk mengambil kuncir, pria itu malah menjulang di belakang Scarlett. “Aku lebih suka memeganginya.”

“William ...,” desah Scarlett lantaran merasa jantungnya nyaris copot saat merasakan tangan pria itu berusaha meraih seluruh rambut tebalnya secara lembut dan hati-hati kemudian diarahkan ke sisi kiri. Tangan William masih bertahan di punggung Scarlett, yang seharusnya dirasakannya konyol. Namun, pada kenyataannya, bulu kuduk Scarlett meremang dibuatnya kala merasakan embusan napas William di tengkuknya.

“Ada apa, Darl? Kau kelihatan gugup,” goda William dengan nada serak yang dilafalkan dalam bentuk bisik-bisik. Sangat sulit mengendalikan keinginan menyusuri leher mulus wanita itu dengan hidung dan bibirnya, serta menghidu keharuman buah aprikot yang manis.

Scarlett praktis resah dan meneguk ludah lambat-lambat. Pekerjaan tangannya pun berhenti. Ia berusaha mengusir pria itu secara verbal yang tak begitu lihai. “William, aku tidak bisa memasak kalau harus kau tempeli seperti ini. Dan sebaiknya rambutku dikucir. Jadi, bisa tolong ambilkan kucirnya di kamar?”

“Oh ya?”

“Kau akan capek, Will.”

“Kita lihat saja.”

Sekali lagi William tidak mengindahkan perkataan Scarlett dan seolah tidak peduli. Pria itu malah semakin menempelkan tubuhnya. Salah satu tangannya bertumpu pada pantri, sedangkan tangan yang lain masih memegangi rambut Scarlett. Menginvasi seluruh ruang gerak Scarlett agar tidak bisa berpindah tempat atau menghindar.

“Apa sudah ada yang memberitahumu kalau kau sangat cantik?”

“William ....”

“Kau tahu, Darl. Aku ingin mendengarmu menyebut namaku untuk sesuatu yang lain. Aku ingin membuatmu berteriak dengan cara yang tak bisa kau bayangkan.”

Alarm dalam kepala Scarlett berdering nyaring. Berkebalikan dengan otaknya yang tidak bisa berpikir jernih untuk menyingkirkan kepala William yang tiba-tiba diletakkan di pundaknya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Scarlett. Entah kenapa ia juga mengikuti pria itu berbisik.

“Bisakah kau meletakkan daging itu dan melepas sarung tanganmu sebentar? Hanya sebentar. Aku janji.”

Seharusnya Scarlett tidak menuruti perkataan William, kecuali ia sudah gila karena memang tubuhnya mengambil alih pikirannya untuk melaksanakan permintaan itu. Lalu dengan cepat, sambil melepaskan rambut Scarlett, William memutar tubuh Scarlett supaya menghadapnya. Dan tanpa basa-basi lagi, tangan William beralih meraih dagu wanita itu, mendongakkannya kemudian menautkan bibirnya secara perlahan.

Scarlett menegang. Sedetik berikutnya, tangannya bergerak sendiri merangkak ke rahang William. Merasakan permukaan kulitnya bergesekan dengan cambang pria itu. Menunjang gelayar mendebarkan. Ditambah aroma maskulin pria teriris hijau itu, rasanya kaki-kaki Scarlett seolah meleleh seperti es krim cokelat yang diberikan Jenna tadi. Untungnya, sebelah tangan William mendekapnya erat sehingga Scarlett tak roboh.

Ciuman itu seharusnya menjadi sesuatu yang sederhana dan singkat. Namun, William terlanjur diliputi kabut gairah sehingga lebih merapatkan tubuh Scarlett sampai-sampai tak ada jarak yang memisahkan mereka. Ia menggigit pelan bibir bawah Scarlett. Meminta izin menjelajah dan Scarlett mengabulkannya. Indra pengecap William mengajak Scarlett menari. Mulanya berirama lembut. Semakin lama semakin kuat dan liar. Isapan lembut, tetapi bertenaga yang dilakukan pria itu membuat Scarlett mendesah. Suara gerungannya teredam mulut William yang ahli menjelajah.

Semangat William lebih membara dari sebelumnya akibat belaian desahan merdu Scarlett di telinganya. Tangannya yang semula berada di pinggul Scarlett bergeser ke pantat wanita itu. Ia menekan bagian menonjol tersebut yang seharusnya membuat si pemilik menamparnya karena kurang ajar. Kabar baiknya, Scarlett malah meloloskan desahan lain, yang artinya terpicu olehnya. Lalu gerungan-gerungan lain segera menyusul ketika telapak tangan William bergerak lebih liar.

Tidak ada yang pernah membuat Scarlett seolah terbakar seperti ini. Ia bertanya-tanya apakah karena William yang begitu ahli? Ataukah ia sudah meletakkan kepercayaannya penuh pada pria itu? Lalu memasrahkan diri? Benarkah ia bisa memasrahkan diri?

Scarlett mendongak dan mencoba berkonsentrasi pada William yang menyibak rambutnya kemudian memindah ciuman ke lehernya. Ia merasakan lidah panas pria itu di permukaan kulitnya yang mendamba.

“William ...,” desah Scarlett tanpa sadar saat merasakan William menggigit kecil dan mengisap kuat lehernya sehingga menghasilkan maha karya kepemilikan. Membuat Scarlett merinding.

Ketika salah satu tangan pria itu berpindah ke dadanya, alarm tanda bahaya dalam kepala Scarlett kembali meraung kencang dan mengguncang-guncang kesadarannya. Ingatan pada malam musim panas di apartemen Regis merasuki Scarlett dengan cepat.

“Be-berhenti,” cegah Scarlett yang mulai gemetaran. Ia berusaha mendorong dada William. Sedangkan pria itu malah mengeram karena terusik. Sekali lagi Scarlett berusaha menjauhkan pria itu dari dirinya. “Kumohon. Berhenti, Will! Berhenti!”

William kaget luar biasa atas perubahan sikap Scarlett. Dengan perasaan campur aduk—antara bingung, marah, dan diliputi gairah yang membara—William berhenti. “Apa-apaan, Darl?”

“Bisakah kau pulang saja?”

“Apa?” tanya William tak percaya. Benar-benar tak percaya. Matanya memelototi Scarlett yang membenarkan tali bahu pakaian yang William diturunkan tadi. Kemudian Scarlett menyilangkan tangan—sikap difensif untuk mengamankan diri. “Kenapa?” tuntutnya.

“M-maaf.”

“Tapi bukankah kau ... aku ... kita tadi—” Nah, sekarang William juga tidak tahu kenapa malah gelagapan.

“Bisakah kau pulang saja? Please ...,” mohon Scarlett.

William benar-benar tak habis pikir dengan Scarlett. “Kau bahkan mendesah untukku, Scarl! Jadi ada apa sebenarnya? Apa masalahnya?” dengkusnya dengan memberi penekanan di setiap kata-katanya. Benar-benar frustrasi.

“Pulanglah ..., Will.”

William menatap nyalang Scarlett selama beberapa saat. Seolah meminta penjelasan lewat bahasa isyarat itu. Sayang sekali Scarlett tidak mengerti akan dirinya.

“Yang benar saja, Scarl?” usik William.

Scarlett yang terengah mengangguk. William menggeleng-geleng tak percaya. Kemudian terpaksa berjalan ke pintu utama rumah Scarlett dengan kesal. Sebelum menutup pintu itu, ia berkata, “Kau tahu, kau tidak bisa terus-terusan hidup di masa lalu dengan orang-orang yang selalu kau inginkan memaklumi atau kauminta mengerti atas traumamu!”

Pintu ditutup sedikit kencang sehingga debuman itu seolah menghantam Scarlett. Apakah itu salah Scarlett? Apakah ia terlalu egois dengan menyuruh William berhenti di tengah-tengah gairah pria itu? Dan, mungkin gairahnya sendiri yang mulai menyala?

Jujur saja, perkataan pria itu telah sukses menusuk jantungnya sampai sakit. Butuh waktu berapa lama lagi ia akan merasa bebas dari jeratan masa lalu dan menjalani semuanya tanpa beban? William sudah memperlakukannya dengan penuh kesabaran selama ini. Mengingat kata Mia, William merupakan penjelajah wanita ; tidak menyukai sesuatu yang berbau rumit. Namun, pria itu bersabar untuknya.

Sekali lagi Scarlett bertanya dalam hati. Apakah ia benar-benar keterlaluan terhadap William?

Sepertinya memang demikian.

William nyaris tidak bisa tidur hingga tengah malam. Selain tubuhnya sakit semua—gara-gara gairahnya yang terpaksa dipadamkan saat sedang berada di puncak—juga memikirkan Scarlett. Bagaimana cara wanita itu menatapnya dengan tubuh gemetaran yang tidak bisa disembunyikan. Oh, William bahkan sempat menilai wanita itu akan menangis di antara wajah kacau dengan berhelai-helai anak rambut yang berantakan akibat ulahnya. Dan bisa-bisanya pada saat itu otak William menilai wanita itu sangat seksi.

William merasakan perasaan bersalah menggerogotinya saat seseorang mengusiknya.

“Mendadak sekali kau meneleponku. Ung saja aku belum tidur.”

William menegakkan tubuh dan pandangannya beralih ke Loven yang berjalan ke arahnya. Nyaris lupa kalau beberapa waktu lalu ia menelepon sahabatnya itu untuk menyusulnya ke The Black Casino and Pub.

“Sudah berapa banyak yang kau minum? Ingat, kau tidak tahan minum, Will,” usik Loven lagi sambil mengambil duduk di sebelah William dan menepuk pundak pria itu.

“Tolong, Loven. Jangan menceramahiku seperti ibuku. Aku ingin kau datang untuk menemaniku. Bukan untuk memberi kotbah,” cerca William yang sudah menenggak segelas blue moon. Membuat Loven nyengir.

Setelah memesan bir serupa milik William, Loven menjawab, “Kalau begitu ada apa?”

Kemudian, William menceritakan apa yang dialaminya sehingga membuat Loven terheran-heran lantaran tak percaya. Sedektik ia menganga, pada detik yang lain ia tertawa kencang sampai menepuk-nepuk meja bar yang tinggi. “Hahaha ... tidak kusangka-sangka, Will.”

“Sialan. Kutukan sekretarisku dulu menjadi kenyataan.” William mengeram sebelum menenggak isi gelasnya. Teringat wanita pirang yang menyumpahinya di Phoenix dulu, sebelum Dominic masuk dan mendapati mereka berciuman pasca melakukan pergulatan panas.

“Dasar berengsek! Hahaha .... Itulah akibatnya kalau kau suka memainkan wanita! Beruntungnya adikku sudah putus darimu. Hahahaha .... Tapi di sisi lain, aku kasihan padamu dan tidak percaya kau bisa jatuh cinta juga.” Loven berhenti tertawa karena terbatuk-batuk. Kemudian menenggak birnya lagi lalu mengamati sekitar. “Simpan rasa frustrasimu yang konyol itu. Lihat sekeliling kita. Kau bisa pilih wanita mana saja yang sedari tadi melihatmu. Mereka siap memburumu, Will.”

“Sialam kau, Loven!” desis William.

“Kalau hasratmu tidak terpenuhi, tinggal cari penggantinya. Cukup sederhana. Entah kenapa kau jadi sangat bodoh dan rumit, Will. Efek jatuh cinta memang mengerikan.”

“Itu masalahnya. Aku tidak bisa menyentuh wanita lain! Asal kau tahu itu! Aku seorang pria yang jatuh cinta. Asal kau ingat itu!”

Hampir saja Loven menyrmburkan minumannya. “Kalau begitu. Kau harus bermain solo!”

William tersentak. “Bermain solo? Aku harus bermain solo? Seorang William Molchior bermain solo? Kau sudah gila rupanya!” Perangai jijik William tampilkan terang-terangan. Dan menambah jumlah kegelian dalam diri Loven.

Memang begitulah kalau William sudah mengobrol berdua dengan Loven. Mereka memang sering kali saling mengejek dengan kata-kata kasar. Namun, begitulah sejatinya komunikasi antar sahabat ala mereka.

Obrolan-obrolan mengalir cukup lama sampai gelas pertama William habis. Yang pada akhirnya membuat William memesan minuman beralkohol lain berkadar lebih tinggi sehingga membuatnya hampir teler. Beruntungnya Loven pengertian dan tidak membiarkan William. Jadi, Loven harus puas dengan blue moon gelas keduanya untuk mengawasi sahabatnya itu.

Tak lama kemudian, setelah William menaruh kepalanya di meja bar karena terasa begitu berat, tanda alkohol sudah sangat naik, ponsel yang ia letakkan di dekat wajahnya berdering nyaring. Loven mengintip si penelepon sekilas. Lalu mengguncang lengan William. “Will, bangun. Chardonnay meneleponmu!” sembur Loven.

“Siapa?” tanya William dengan malas. Bicaranya sudah tidak jelas.

“Chardonnay.”

“Oh, Chardonnay,” tanggap William sambil lalu. Sedetik kemudian, menyadari siapa yang dimaksud dan sedang meneleponnya, ia memelotot. “Apa? Chardonnay?”

Secepat kilat menyambar-nyambar, Loven melihat William segera mengangkat telepon itu dan mendengarnya bicara, “Halo ... apa ...? Boleh, datang saja ke penthouse-ku.” Setelah menutup telepon, pria itu menghadap Loven. “Antarkan aku pulang.”

Loven nyengir. “Eh ... sudah dapat yang spesial rupanya.”

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote dan komen atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto Scarlett Delillah

William Molchior

Regis Mondru

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Selasa, 19 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top