Chapter 16

Selamat datang di chapter 16

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka gentiyingin)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you enjoy and like this storh as well

❤❤❤

_____________________________________________

Bagaimana bisa hal sederhana dalam balutan kata-kata formal seperti ini bisa berdampak sangat dasyat pada diri seseorang?

—William Molchior
_____________________________________________

Pukul delapan pagi, Scarlett sudah duduk di meja kerjanya di Bake Me Up sambil bertopang dagu menghadap jendela yang terbuka lebar. Sinar mentari yang mengangkat keremangan ruangan menerpa wajahnya. Kehangatannya menjalar, menembus dadanya yang dipenuhi kembang api meledak-ledak.

Scarlett menyadari pipinya naik sedari tadi. Pun, jantungnya yang berdebar kencang manakala benaknnya terus menampikan kepingan adegan apa yang telah ia lakukan dengan William di ruang tamunya.

“Sepertinya aku sudah gila karena melakukannya,” gumam Scarlett sambil menggeleng dan menepuk-nepuk kepalanya pelan.

Ia menggigit bibir bawahnya dengan jari mengetuk-ngetuk meja. Menghitung sebanyak kurang lebih sepuluh kali sebelum memutuskan mengeruk tas jinjingnya untuk mengambil ponsel dan menelepon Mia.

Penuh debaran, pada dering kelima, Scarlett melonggarkan tenggorokannya dengan deham sekali untuk mempersiapkan diri berbicara dengan sahabatnya.

“Hei, halo, Mia. Selamat pagi,” sapa Scarlett, terdengar ceria dan sikap itu sedang tidak dibuat-buat.

Suara Mia yang jernih mengalun, “Hei Scarl, selamat pagi. Bagaimana kabarmu dan Jenna?”

Scarlett kembali menggigit bibir bawahnya sembari menahan pipinya agar tidak naik terus-menerus. “Aku dan Jenna baik.” Kupikir sangat baik, tambah Scarlett dalam hati. “Bagaimana kabarmu, Dominic, Aldrich, dan calon bayimu?”

“We’re doing great. Morning sickness-ku tidak separah kehamilan pertama. Dan kau harus tahu Aldrich sudah bisa memanggilku dengan benar. Aku sedikit iri karena dia lebih dulu bisa memanggil Dom. Ugh ... lihat wajahnya, tidak ada sedikitpun genku yang kuwariskan di sana. Semoga sifatnya tidak seperti Dom dan grandpa-nya yang berharga diri tinggi itu,”  bisik Mia pada kalimat terakhir dan membuat Scarlett terawa karenanya.

Scarlett memang terbiasa mendengar kecrewetan Mia, tetapi untuk hal-hal tertentu—yang berbau sensitif—seperti membahas soal keluarga, ia selalu berusaha untuk menghindar. Karena tidak ingin munafik, Scarlett juga menginginkan keluarga bahagia seperti Mia.

Mia memiliki keluarga lengkap ; ayah dan ibu yang menyayanginya, suami yang mencintainya, serta keluarga suaminya yang sangat perhatian. Yang semua itu tidak dimiliki Scaelett. Anehnya, rasa iri itu kini sirna.

“Aku senang mendengar kalian baik,” kata Scarlett.

Kemudian ia mendengar Mia berbicara dengan putra sulungnya. “Sebentar, Aldrich. Jangan makan yang ini. Ini cookies Mom. Kau punya cookies sendiri. Nah ... iya, yang ini.”

“Apa aku mengganggu, Mia? Kelihatannya kau sedang sibuk.”

“Hanya kesibukan rutin. Menyuapi Aldrich makan dan memamah biak.”

Tawa Scarlett tak bisa ia tahan-tahan lagi. “Kau membuat dirimu sendiri terdengar seperti sapi—memamah biak.”

Mia juga tertawa. “Well, kupikir seperti itu. Aku terus makan camilan dan berat badanku naik drastis. Sepertimya aku harus jadi vegetarian untuk menurunkan berat badanku.”

“Tidak perlu, Mia. Kau hanya perlu memanjakan perutmu dengan makanan sehat, protein hewani dan nabati. Jangan pikirkan berat badanmu.”

Baiklah ... baiklah ... Omong-omong, ada apa? Mula-mula kau menelepon sepagi ini di hari Senin?”

Tiba-tiba rasa gugup menjalari diri Scarlett. Ia berdeham sekali lagi. “Ekhm ... aku hanya ingin menanyakan alamat kantor William di Manhattan.”

“William?” ulang Mia. Terdengar tidak percaya. Jangankan Mia, Scarlett juga tidak percaya dengan dirinya sendiri kalau ia melakukan hal ini.

Maksudmu, adik Dom?” lanjut Mia.

Sekali lagi Scarlett menggigit bibir bawahnya. “Ya, kukira adik Dom hanya William.”

“Kenapa kau menanyakan alamat Will? Apa dia melakukan sesuatu yang jahat padamu? Karena beberapa waktu lalu dia ke Phoenix. Mulanya kupikir dia hanya merindukan ibunya, tapi kau tahu apa yang terjadi Scarl? Dia bertanya padaku tentangmu. Tidak hanya sekali. Tapi dua kali. Dan yang terakhir tidak baik.

“Aku lupa memberitahumu waktu itu. Aku hanya ingin kau berhati-hati. Bukannya aku ingin menjelek-jelekkan Will. Jangan salah, aku sangat menyukai Will sebagai adik iparku. Dia pria yang sangat menyenangkan. Tapi tentu terlepas dari sifat playboy-nya. Aku tidak peduli dia melakukannya pada wanita lain. Asal bukan kau.

“Dan aku mengatakannya seperti itu pada Will,” papar Mia, panjang kali lebar sama dengan luas dan cepat seperti biasa. Seolah Scarlett tidak diberi kesempatan untuk mencera seluruh perkataan Mia, selain bagaimana sifat William.

Scarlett tahu jenis pria seperti apa William. Namun, bukankah selama beberapa waktu ini pria itu seolah menghapus penilaian buruknya?

Dan, tidak tahu sudah berapa kali sepanjang pagi ini ia menelepon Mia, Scarlett menggigit bibir bawahnya karena bingung mencari alasan. “Dia memesan kue, tapi lupa memberikan alamatnya.”

“Scarl, aku mengenalmu. Ceritakan saja padaku yang sebenarnya. Apa terjadi sesuatu di antara kalian?” selidik Mia.

Scarlett tidak langsung menjawab. Ini sungguh di luar pikirannya—atau ia memang tidak benar-benar memikirkan respons yang akan Mia berikan. Karena ia hanya berpikir ingin menelepon Mia dan mendapatkan alamat kantor William di Manhattan dengan cepat. Alih-alih menelepon pria itu langsung.

Namun, Scarlett ingin diam-diam membuat kue dan memberikannya pada William. Maka, tidak seharusmya ia menelepon pria itu secara langsung dan mengetahui niatnya dengan tepat.

“Scarl, maaf kalau aku berlebihan. Aku hanya mengkhawatirkanmu.” Suara Mia kembali menerpa gendang telinga Scarlett.

Scarlett pun menarik napas panjang dan mengembuskannya. “Em ... kemarin dia mengajakku dan Jenna ke Disneyland. Jenna sangat senang, jadi—”

“Will mengajakmu dan Jenna ke Disneyland?” potong Mia, sekali lagi tidak percaya dengan apa yang baru saja Scarlett ceritakan.

“Eh ... Ya. Begitulah.”

“Oh Tuhan! Scarl ... bahkan Will tidak datang di anniversary-ku dan Dom saat dirayakan di sana! Kurasa dia benar-benar menginginkanmu.”

Scarlett memutuskan untuk mengabaikan kalimat Mia yang terakhir. “Em ... jadi ... aku ingin berterima kasih pada William dengan membuatkannya kue. Apa aku terlalu berlebihan?” tanyanya. Nada dalam suaranya syarat akan kehati-hatian.

Namun, sebelum memberi pendapat soal itu, Mia bertanya, “Boleh aku tanya sesuatu, Scarl?”

Jujur saja, permintaan yang diajukan Mia menggugupkan Scarlett. “Apa, Mia?”

“Aku tidak akan bertanya perasaan Jenna kalau diajak ke Disneyland. Sebagai anak kecil, pasti dan tentu dia akan merasa senang. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu selama kau pergi ke sana.”

“Perasaanku?” ulang Scarlett, sungguh tidak mengira telepon yang seharusmya singkat ini malah merembet ke mana-mana. Walau sebenarnya suara Mia yang cerewet memang kadang dirindukannya.

“Ya, Scarl. Perasaanmu. Bagaimana perasaanmu saat dia mengajakmu ke sana?”

Scarlett menjawabnya secara diplomatis, agar percakapan ini bisa diperpendek. “Melihat Jenna senang, tentu saja aku senang. Yang paling penting, putriku senang, Mia.”

Tidak mendapat jawaban yang diinginkan, Mia menjelaskan maksudnya lebih detail. Barangkali sahabatnya ini belum terlalu paham. “Bukan ... bukan tentang Jenna, Scarl. Terlepas dari Jenna yang senang. Bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Apa kau merasa dijebak Will atau semacamnya? Merasa terpaksa melakukannya?”

Pertanyaan Mia sungguh mendalam bagi Scarlett. Ia memandang ke luar jendela dan berpikir sebentar. William memang memiliki tipu daya bagai iblis yang menjelma menjadi malaikat baik hati. Dan Scarlett merasa dirinya sudah sedikit terseret bujuk rayu itu. Namun, ia akhirnya memutuskan jujur pada Mia tentang perasaannya. Sekali lagi agar percakapan ini cepat selesai.

“Kupikir awalnya aku terpaksa melakukannya karena Jenna. Tapi ... setelah di sana, aku merasa senang. Baru pertama kali ini sejak ... kau tahu ....”

“Ya, aku paham. Lalu?”

Syukurlah Mia tidak melanjutkan kata-kata yang tidak ingin diucapkan Scarlett. “I have trust issue and so you are. Jadi, aku sulit memercayai seseorang, tapi kemarin aku benar-benar tidak merasa terbebani. Dan sedikit memutuskan membiarkan diriku percaya pada apa yang William lakukan. And I’m happy the way I can’t be expected.”

Setelah penjelasan itu, terdapat jeda di antara keduanya. “Kau jatuh cinta pada Will, Scarl.”

Jantung Scarlett pun terasa melompat dari dadanya “Analisismu tidak berdasar, Mia.” Ini akan jadi sesi wawancara yang panjang, pikir Scarlett, tetapi tidak mampu menyembunyikan senyumnya.

Mia menyangkal, “Sangat berdasar Scarl. Justru sangat berdasar. Itu relevan dengan apa yang kau ceritakan barusan. Kau hanya sampai pada tahap penyangkalan. Aku mengenalmu, kau tahu. Dan aku sangat bahagia kalau kau merasa bahagia. Aku pun sebenarnya tidak berhak melarangmu jatuh cinta pada siapa pun. Tapi, tidak ada salahnya untuk berhati-hati, bukan?”

Scarlett menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan yang entah sudah berapa kali dilakukannya dalam beberapa menit terakhir ini. “Tentu, Mia. Aku mengerti kekhawatiranmu. Terima kasih. Jadi, di mana alamat kantornya?”

“Well ... well ... akan kutanyakan Mom. Sementara itu buatlah kue yang enak. Beri taburan cinta yang banyak sehingga Will tidak bisa berpaling darimu,” goda Mia.

Dan pipi Scarlett kembali naik. “Kau meracau, Mia.”

“Aku serius, Scarl. Kuharap kau bisa membuatnya tidak berpaling.”

“Em, haruskah aku mengamininya?”

“Harus. Kau harus!” seru Mia.

“Baiklah, kalau begitu akan kutunggu alamatnya ya. Terima kasih, Mia.”

Sudah hampir memasuki jam makan siang. Tidak bisa lebih lama lagi menahan kuap akibat kantuk, William Molchior baru saja memutuskan akan menelepon office boy untuk meminta secangkir kopi ketika telepon di mejanya tiba-tiba berdering. Dan satu-satunya dugaan William panggilan itu berasal dari sekretaris barunya yang mengaguminya.

Dahulu, mungkin William akan memanfaatkan perasaan wanita yang menyukainya untuk menghangatkan ranjang secara sementara. Termasuk sekretarisnya ini. Kini tidak. Tidak ada lagi perasaan seperti itu dan itu terjadi semenjak ia menginginkan Scarlett.

“Ada apa, Janet?” tanya William langsung mengarah pada inti pembicaraan. Wanita ini tidak butuh basa-basinya.

Jenet menjawab, “Saya menerima laporan dari resepsionis kalau paket kue pesanan Anda sudah tiba, Sir. Sebentar lagi office boy akan membawanya ke sini dan saya akan mengatarnya ke ruangan Anda.”

William jelas bingung. “Aku tidak memesan kue,” akunya.

Gantian Janet yang bingung. “Benarkah? Kalau begitu saya akan mengecek kurir yang mengirimnya. Mungkin saja Bake Me Up salah alamat.”

Tunggu sebentar. Apa tadi kata Janet? Bake Me Up?

Kantuk William langsung hilang. “Oh, Bake Me Up,” pungkasnya seolah baru mengingat sesuatu. “Ya, Janet. Aku lupa kalau memesannya kemarin. Tolong bawa kemari.”

Jenet jelas terdengar riang. “Baik, Sir.”

Selepas menaruh gagang telepon pada tempatnya, William berencana menelepon Scarlett. Sayang seribu sayang, kue itu tiba lebih dulu. Ditandai dengan ketukan pintu ruangannya. Walau curiga Janet meneleponnya sewaktu kue itu sudah di tangan wanita itu, William memilih mengabaikan hal tersebut dan mempersilakan Janet masuk.

Wanita berambut pirang dengan balutan kemeja putih ketat yang dua kancing teratasnya sengaja dibuka berjalan masuk. Rok pensil abu-abu setinggi bawah pantat yang lebih cocok digunakan menjual diri daripada bekerja dan sepatu bertumit tinggi lancip membuat jalannya pelan bak model. Seharusnya penampilan sekretaris yang mencetak jelas lekukan-lekukan tubuh seksinya menggetarkan gairah Willian. Nyatanya, untuk pertama kalinya William berpikir kotak putih polkadot merah berlogo Bake Me Up yang dibawa wanita itu jauh lebih menarik minatnya.

Janet sengaja mencondongkan tubuh hingga mempertontonkan setengah dadanya ketika meletakkan kotak kue di meja William. Ini dia kuenya, Sir.”

Senyum miring William terakit begitu saja karena untuk pertama kalinya berpikir ingin mengganti Janet dengan sekretaris pria normal.

Thanks, Janet. Kau boleh pergi makan siang,” kata William.

Walau urung, Janet segera membawa kaki-kakinya melangkah keluar setelah mengucapkan, “Sama-sama, Sir. Selamat menikmati kuenya.”

Dengan mata berbinar-binar, William mengambil sepucuk memo yang tersemat di antara pita merah lalu membacanya.

Selamat menikmati kue yang akan diluncurkan minggu depan

—Bake Me Up

Senyum cerah mengiringi gelengan William. Ia heran bagaimana bisa hal sederhana dalam balutan kata-kata formal seperti ini bisa berdampak sangat dasyat pada diri seseorang? Dan orang itu adalah dirinya.

Jantung William mengentak cepat dan senyumnya tidak ingin surut sedikitpun. Ia memiliki kecenderungan ingin segera menarik pita merah dan membuka kotak kue tersebut melebihi hasrat membuka kado natal pertamanya dari Santa Caluse. Lalu memakan kue-kuenya sendirian. Ia juga berpikir akan pamer pada Dominic, Mia, Loven, Bellen, sahabat-sahabatnya bermain ski, atau mungkin semua orang yang hidup di bumi.

William membuka kotak kue dan menemukan red velvet whoopie pie di dalamnya. Ia mengambil sebutir lalu menggigitnya.

“Em ... sudah kuduga ini bukan whoopie pie rasa red velvet biasa. Kau memang kreatif, Darl, mengganti krim putihnya menjadi marshmallow,” gumamnya seakan berbicara pada Scarlett sambil menyuapi mulutnya sampai penuh.

William baru akan menghubungi pemilik Bake Me Up kala pintu ruangannya terbuka dan seorang wanita masuk sambil memekik, “William ....”

Mau tak mau, suka tak suka karena acara makan whoopie pie-nya terganggu, William mengangkat pandangan dan menemukan Bellen Loye dengan senyum semringahnya menuju meja kerjanya lalu mendaratkan pelukan erat.

“Wow ... wow ... sabar nona muda, aku sedang makan camilan,” kata William sembari menjauhkan kotak Bake Me Up.

“Ups, sorry ... I’m too happy, Will,” balas Bellen yang sudah menjauhkan dirinya dari William.

“Apa yang kau lakukan di sini, Bellen? Ini kantor, bukan taman bermain.”

Bellen sempat cemberut. Namun, begitulah William kalau memperlakukannya. Selalu menganggapnya anak kecil. Sayangnya, ia tidak peduli. Perasaannya sedang senang sekarang. “Ayo makan siang, Will,” ajaknya sembari menarik lengan pria itu. Kemudian pandangannya tak sengaja jatuh pada mulut William yang mengunyah dan sekotak kue di meja. “Whoopie pie Bake Me Up?”

William segera menutup kotak itu dengan maksud agar Bellen tidak mengambil kue-kue berharga miliknya.Well, kalau begitu apa yang membuatmu senang seperti ini?” Ia berusaha mengalihkan perhatian Bellen.

“Oh, aku akan menceritakannya sambil makan siang.”

William pura-pura mengerutkan kening sambil berpikir.

“Tentu saja aku akan mentraktirmu, Will. Jadi ayo.”

William menyerah dan membiarkan Bellen menggamit lengannya. “Baiklah ... traktir aku sesuatu yang enak dan ceritakan apa yang membuatmu bahagia.”

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, atau benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto Scarlett Delillah

Kelen tim siapa gaes?

William Molchior

Atau

Regis Mondru

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Kamis, 24 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top