Chapter 15

Selamat datang di chapter 15

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka menyebar ke mana-mana)

Thanks

Happy readig everyone

Hope you like and enjoy this story ass well

❤❤❤

______________________________________________

Tatap aku, Scarlett
Dan jangan pikirkan apa pun selain aku

—William Molchior
______________________________________________

Matahari siang yang terik mengiringi perjalanan William, Scarlett dan Jenna menuju bandara John F. Kennedy. Sesuai dengan rencana yang sudah disusun kemarin, mereka akan terbang ke Los Angeles, California.

Sambil memainkan boneka Barbie di carseat, Jenna mulai merasa bosan dan mata abu-abu terangnya berpindah melihat ke luar jendela mobil. Sewaktu melewati gedung-gedung di New York, mata bulat balita itu pun melebar. Ia terpukau dan menunjuk-nujuk timeline di salah satu gedungnya.

“Mommy ... Mommy .... Ada William di sana, Mommy.”

Scarlett melihat ke belakang tempat di mana Jenna duduk di jok tengah, lalu mengikuti arah petunjuk jari gembul itu. “Oh, astaga!” serunya, terkejut dengan apa yang dilihatnya. Lalu mengudarakan tawa geli.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya William penasaran. Ia tidak bisa tidak fokus pada jalan karena sedang menyetir.

Dengan senang hati, Scarlett yang belum bisa menghentikan kikikannya pun mengeja,“Selamat atas kesuksesan sahabatku William Molchior untuk pertama kalinya melakukan binatu koin. Dari sahabatmu tercinta, Loven Loye.”

“What?” dengkus William sekali lagi dan Scarlett merekam timeline tersebut menggunakan ponselnya sebab takut terburu tidak bisa dilihat William.

“Do you believe it, Will? Kau menceritakan pada temanmu tentang binatu koin yang kita lakukan tadi dan memintanya mengucapkan selamat dengan timeline?” tuduh Scarlett. Masih dengan tawanya.

“Honestly I have no idea. I just had a joke and ..., well ... yeah ... I don’t know.”

BMW hitam milik William akhirnya berhenti di lampu merah yang padat. William pun menggunakan kesempatan itu untuk melihat apa yang mereka obrolkan di ponsel Scarlett. Ia lalu memelotot tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.

Dasar Loven! Rupanya dia benar-benar melakukan omongan candaanku, hardik William dalam hati, tetapi tidak mampu menyembunyikan cengiran lebar di bibirnya ketika masih mendengar Scarlett tertawa.

“Pasti menyenangkan sekali bagimu, bukan?”

“Sorry,” kata wanita itu sembari menerima ponselnya yang diulurkan William.

“Well, sekarang kau punya bahan ledekan baru, bukan?” cibir pria itu.

“Tidak juga. Aku hanya suka cara kalian berteman.”

Dalam waktu kurang lebih hampir setengah jam, mereka telah tiba di bandara lalu melakukan penerbangan. Berhubung ini pertama kalinya bagi Jenna, balita itu pun rewel. Beruntungnya William sudah berinisiatif menggunakan jet pribadi keluarga Molchior sehingga tidak akan ada penumpang lain yang terganggu dengan itu.

Sejujurnya William pun bingung dengan apa yang harus diperbuat. Ia sudah berusaha semampunya untuk menjadi badut lucu untuk Jenna, tetapi tidak berhasil. Ia juga sudah memberi ice cream yang dipesannya pada pramugari, tetapi balita itu masih mengeluh telinganya berdengung padahal pramugari sudah membantu Jenna untuk memakaikan protokol keselamatan balita.

Akhirnya, Scarlett menggendong putrinya sambil menimang-nimbangnya. “Pumkin, kita akan segera sampai di Disneyland. Sabar sebentar ya? Nanti, kau bisa bermain sepuasnya,” bujuknya.

Dan Jenna berhasil ditidurkan sambil minum susu dari dot di gendongan Scarlett.

“Maaf, aku tidak bisa melakukan apa pun,” kata William menyesal. Ia tidak tega sekaligus takjub dengan cara Scarlett menenangkan putrinya.

“Tidak apa-apa, Will. Kau sudah berusaha semampumu. Terima kasih.”

“Aku hanya tidak mengerti. Kenapa kau lebih memilih berangkat siang hari daripada pagi?” tanya William. Jarinya menyibak rambut keriting Jenna yang menutupi wajahnya dalam gendongan Scarlett.

“Jenna suka suana Disneyland atau seperti pasar malam. Dia tidak akan berhenti bermain kalau tempat itu tidak ditutup. Jadi, aku lebih memilih berangkat siang agar kita tidak terlalu lama di sana,” terang Scarlett, berdasarkan pengalamannya mengurus Jenna.

William pun mengernyit. “Tapi kita akan sampai fajar di New York. Dan kita harus pergi bekerja di hari Senin. Aku pribadi tidak masalah, bagaimana dengan kau, Darl?”

Bibir Scarlett terkatup rapat-rapat sejenak untuk mencermati kalimat William. Tampaknya ia harus terbiasa dengan panggilan itu karena pria tersebut jelas bertahan dengan pendapatnya dalam menyebut panggilan seperti itu.

“Tampaknya kau harus punya anak dulu baru mengerti kenapa aku melakukan ini demi Jenna,” jawab Scarlett diplomatis.

William agak mual mendengarnya. Ingin menjadi kekasih seseorang saja baru terpikir olehnya. Lalu Scarlett menjawab dengan gagasan itu? Terlihat menakutkan.

Tidak masalah bagi William bermain dengan anak kecil seumuran Jenna. Namun, ia benar-benar belum membayangkan akan memilikinya sendiri.

“Well, mungkin,” jawab William setelah berpikir sejenak. “Ngomong-ngomong, apa kau tidak lelah? Kau sudah menggendongnya sejak tadi.”

“Sejujurnya iya. Tapi aku takut dia bangun,” aku Scarlett.

“Kau bisa memakai kamar jet pribadi ini dan aku tidak akan mengganggu kalian.”

“Kedengarannya saran yang bagus, terima kasih, Will.”

Jingga mewarnai langit menyambut mereka di bandara Los Angeles. Sudah ada mobil yang menjemput  dan mengantarkan mereka ke Disneyland. Scarlett tidak bisa berkata-kata lagi dengan kemudahan yang diberikan William. Diam-diam ia ingin berterima kasih dengan membuatkan kue andalannya untuk pria itu. Namun, dengan semua ini, apakah cukup?

“Yeeeeeyyy ... aku ingin naik kuda!” seru Jenna sambil menunjuk-nujuk komedi putar di sebelah kanan.

“Mari kita ke sana, Princess!” jawab William tak kalah seru, lalu mendorong stroller Jenna menuju ke sana.

Mereka menaiki komedi putar dengan riang. Kemudian membeli bando kuping Mickey dan Mini Mouse di salah satu toko oleh-oleh.

“William juga harus memakai bandonya,” titah Jenna sambil menunjuk kepala William.

Pria itu menatap Scarlett yang melebarkan matanya dengan wajah penuh harap. Lalu, apa lagi yang bisa ia perbuat? “Tentu saja kalau Mommy memberiku ciuman. Kalau tidak, aku tidak akan mau,” cetus William pura-pura merajuk.

Dan Scarlett menyesal karena menampilkan wajah penuh harap tadi. “Astaga ..., Pumkin .... Mom tidak bisa terus-menerus memberi William ciuman.”

“Kenapa tidak?” tanya Jenna dengan kepolosannya yang membuat Scarlett gemas.

“Ya, kenapa tidak?” sambar William, menyetujui Jenna.

“Diamlah, Will.” Scarlett fokus pada Jenna lagi. “Karena ... William teman Mom. Tidak bisa terus-terusan dicium,” terang Scarlett, jelas mengecewakan Jenna dan William.

“Tapi aku ingin William memakai bando Mickey Mouse sama dengan kita. Apakah tidak bisa?” rajuk Jenna dengan wajah hendak menangis.

Scarlett menatap William yang menirukan wajah Jenna. “Kau harus bertanggung jawab, Will,” desis wanita itu.

“Eh, memangnya apa yang telah kulakukan?” William berbalik tanya sambil pura-pura melihat langit-langit toko.

Mommy ....”

Mendengar rengekan Jenna, Scarlett menyerah. “Baiklah ..., Pumkin.” Kemudian beralih ke William. “Kemarikan pipimu, Will.”

“Tapi aku menginginkannya di sini.” William menunjuk bibir yang entah kenapa Scarlett pikir sensual. “Aku sudah bosan mendapatkan ciuman di pipi darimu, Darl.”

“Oh lihatlah, keluarga kecil yang bahagia .... Kalian manis sekali,” celoteh salah satu pengunjung berumur hampir setengah abad yang berjalan dengan keluarnya. Yang sejujurnya mengejutkan Scarlett dan William.

“Kemarilah, Will,” kata Scarlett dengan nada pelan. Berbeda dari nada ceria dan tegasnya tadi.

William jadi merasa bersalah. Bagaimana tidak? Dari celotehan itu, ia tahu kondisi Scarlett yang sesungguhnya ; hamil dan mengurus Jenna sendirian sampai memiliki trauma tersendiri.

Ia lantas mendekati Scarlett, berikutnya menunduk sambil berkata, “Ciumlah sesukamu, di mana saja tidak masalah. Dan aku akan memakai bandonya.”

Dengan cepat dan dengan jantung berdebar, Scarlett mencium pipi William kembali dan pria itu pun mengambil bando Mickey Mouse dari rak.

“Sebentar, ini agak miring.”

Untuk sesaat, tubuh William terasa membeku dengan detak jantung yang kian meningkat ketika Scarlett tepat berdiri di depannya, mendongak, selanjutnya membenarkan letak bando Mickey Mouse-nya.

Keinginan menarik tubuh Scarlett untuk menciumnya menguasai diri William. Ia membayangkan rasa bibir itu dan semua yang ada dalam diri Scarlett. Sayangnya, ia tidak bisa melakukannya sekarang atau Scarlett akan lari tunggang langgang kalau berada di dekatnya.

Untuk kemajuan hubungan mereka saat ini, William sudah merasa bersyukur. Setelah dipikir-pikir lagi, entah kenapa ia bisa bersabar dengan sesuatu seperti ini. Scarlett jelas membangkitkan insting berburu dengan penolak-penolakan wanita itu sehingga membuatnya jauh lebih menarik. Daripada wanita yang dengan senang hati membuka kakinya lebar-lebar tanpa William minta. Dan yang lebih mengejutkan lagi, sejak pindah ke New York, ia belum bertemu wanita mana pun untuk beradu keringat secara dewasa karena sibuk mengejar Scarlett.

“Nah, sekarang kau Mickey Mouse.”

William merasa terlempar kembali ke kenyataan begitu mendengar Scarlett. “Terima kasih,” katanya kepada Scarlett.

Jenna pun senang karena berpikir William sudah menjadi bagian darinya.

Setelah mengelilingi dan menaiki cukup banyak permainan khusus bagi balita serta menyaksikan parade karakter Walt Disney, mereka lantas makan malam di restoran Blue Bayaou. William memesan meja di tepi sungai sehingga mendapatkan pemandangan terbaik. Pun, mereka masih dimanjakan oleh pertunjukkan Pirates of Caribbean. Barulah berencana pulang.

“Apa kau senang, Pumkin?” tanya Scarlett yang melihat Jenna menguap di gendongannya. Sementara William menawarkan diri membantu mendorong stroller dan ransel feminin berisi perlengkapan Jenna yang tadinya dibawa Scarlett.

Sambil mengucek matanya, Jenna menjawab, “Ya. Aku sangat senang kita ke sini. Sangat senang.”

“Kalau begitu kau harus berterima kasih pada William.”

Jenna meneleng ke William, Scarlett mengikutinya agar Jenna bisa  memeluk pria itu dalam gendongannya. “Terima kasih, William.”

“Sama-sama, Princess.”

Sudah fajar ketika jet pribadi milik keluarga Molchior tiba di bandara John F. Kennedy. William membangunkan Scarlett yang tidur di kamar bersama Jenna. Lalu mengantarnya pulang.

“Terima kasih banyak, Will. Tadi malam sangat menyenangkan,” kata Scarlett setelah menidurkan Jenna di kamar.

Bersama wanita itu, William berjalan bersisian menuju pintu keluar rumah Scarlett. “Aku senang kalau kalian senang,” jawabnya.

“Well, sebenarnya aku bisa membantumu membersihkan kukumu yang dicat Jenna,” tawar Scarlett sebelum mereka mencapai pintu.

William benar-benar merasa lega. “Oh, syukurlah. Jujur saja, aku sangat membutuhkan bantuanmu soal itu.”

“Kalau begitu, duduklah di ruang tamu. Aku akan mengambil aseton.”

William duduk di ruang tamu sambil mengamati sekitarnya. Ruangan itu tidaklah luas, tetapi penataannya yang pas menjadikannya tampak lenggang. Ia bisa melihat figura-firuga foto Jenna di mana-mana, ada pula boneka beruang balita itu yang tadi hampir diduduki William.

“Ini dia,” kata Scarlett yang sudah duduk di sebelahnya, lalu mulai menuangkan aseton ke kapas. “Kemarikan jari-jarimu.”

William mengulurkan tangannya persis seperti yang diminta Scarlett.

“Tanganmu besar, kukunya juga besar. Pantas saja Jenna puas mengecatnya.”

William tidak menjawab karena sibuk memandangi Scarlett dari jarak sedekat ini. Ia mengagumi bagaimana telatennya wanita itu menghapus kuku-kukunya yang belepotan cat, juga bagaimana terkadang dengan wajah serius, Scarlett menyematkan anak rambutnya ke belakang telinga.

Keinginan mencium Scarlett pun kembali merasuki William. Ia menelan ludah dengan susah payah dan terus memperhatikan bibir wanita itu, seraya menebak-nebak bagaimana rasanya kalau ia menjelah. Napas William berubah pendek-pendek, dan aliran darahnya menderas menuju pusat gairahnya.

William tidak peduli lagi soal kukukunya dan mungkin Scarlett akan lari tunggal langgar karena otaknya menuntunnya berkata implusif. Kebutuhannya dalam menuntaskan rasa penasarannya lebih penting sekarang. “Can I kiss you?”

Secara otomatis, Scarlett menghentikan gerakannya untuk menatap William. Dan ia mendapati pria itu seperti diliputi banyak hal. Sepasang iris hijaunya menggelap oleh luapan gairah, keningnya berkerut seolah merasa tertekan, dan bibir William—demi Neptunus! Scarlett tidak tahu kenapa bibir itu seperti menunggu mencumbunya.

“Scarlett?”

Scarlett kembali menatap mata William. “Ya?”

“Can I kiss you?”

“Tidak,” kata Scarlett lirih. Terdengar setengah-setengah dalam menolaknya.

“Kenapa tidak?”

“Kukira kau sudah tahu alasannya.”

Scarlett melihat William tampak berpikir, “Apa karena aku temanmu? Dan teman tidak seharusnya berciuman?”

“Benar,” kata Scarlett. Lagi-lagi tidak terlihat yakin karena selain itu tentu ada alasan lain, yang dulu sudah Scarlett sempat ceritakan pada William. Dan ia tidak ingin mengingatkan pria itu lagi karena merasa dirinya sendiri sudah cukup lelah memikirkannya.

“Bagaimana kalau kita menghapus gagasan itu?” William mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Scarlett secara perlahan dan hati-hati. Sehingga membuat wanita itu gugup.

“Ga-gasan mana yang kau maksud?” tanya Scarlett gelagapan. Sangat aneh bila ia tidak mundur atau menampar wajah William selagi pria itu semakin mendekat dan mendekat.

“Bukankah yang mana saja tidak masalah?”

“But I have trust issue,” bisik Scarlett. Hanhat napas William mulai membakar tubuhnya.

“Kau bisa memulainya dengan mempercayaiku,” bujuk William. Ia melepaskan tangannya dari Scarlett untuk dipindahkan ke sisi rahang wanita itu.

Kini, kulit Scarlett praktis meremang oleh sentuhan lembut pria itu. Besar dan hangatnya tangan William membuat Scarlett merasa nyaman sekaligus berbaya, tetapi sepertinya juga melindungi.

“Bagaimana?” tanya William karena tak kunjung mendapat jawaban dari Scarlett.

“Aku ... aku tidak tahu.”

“Kalau begitu, tidak perlu berpikir. Kau hanya perlu menerima apa yang akan kuberikan. Seperti ciuman ini, misalnya.”

Scarlett merasakan tubuhnya disetel sendiri untuk diam setelah mendengar mantra dari William. Ia membiarkan bibir pria itu menyapu bibirnya yang bergetar. Bagian yang paling parah adalah jantungnya. Berdegup cepat sampai-sampai napasnya ikut andil membuatnya ngos-ngosan. Dan Scarlett merasa hampa ketika William menarik diri.

“Tatap aku, Scarlett. Dan jangan pikirkan apa pun selain aku.”

Sekali lagi mantra William yang dilafalkan dalam bisikan sangat ampuh untuk menghenikan pikiran Scarlett tentang banyak hal. Ia tidak lagi memikirkan apa pun. Hanya memejam untuk berkonsentrasi pada William yang kembali menciumnya secara lembut, lalu menggigit bibir bawahnya untuk meminta izin menjelahan. Dan Scarlett mempersilakan William. Sebelum akhirnya ia merasa tubuhnya seperti lilin yang terbakar, meleleh oleh rasa luar biasa yang diberikan Willim.

Kendatipun seluruh panca indra William sangat menginginkan Scarlett, tetapi ia tidak bisa bertindak gegabah dengan meminta lebih dari sekadar ciuman. Ia tidak ingin Scarlett merasa terancam oleh keberadannya, atau apa yang kini dilakukannya.

Selain itu William juga bertanya-tanya. Kenapa mencium Scarlett bisa berdampak besar terhadapnya? Kepalanya terasa seringan bulu padahal hanya tidur selama tiga jam di dalam jet pribadi karena kursinya tak nyaman—yang seharusnya bisa membuat kepala setiap orang berat untuk disangga bila tidak memiliki tidur berkualitas.

William mengajak indra pengecap Scarlett menari. Mulanya wanita itu malu-malu, tetapi karena kegigihannya, Scarlett mulai berani membalas ciuman itu. Lalu, apa lagi yang bisa dilakukan William selain berterima masih?

“Terima kasih, Scarlett. Terima kasih.”

______________________________________________

Thanks for reading this story

Thanks juga yang udah vote, komen, mau pun benerin typo

Kelen luar biasa

Bonus foto Scarlett Delillah

Ekspresi William Molchior abis ciuman ama Scarlett

Regis Mondru (masih gue liatin lo lo pada)

Well, see you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Kamis, 17 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top