Chapter 14
Akhirnya setelah berabad-abad ....
Selamat datang di chapter 14
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai apabila ada typo
Thanks
Happy readyng everyone
Hope you like and enjoy this story as well
❤❤❤
______________________________________________
Sudah berapa lama dan aku masih nyaris memikirkannya?
—Scarlett Delillah
______________________________________________
“Here they are. Penekuk, frosting vanila, dan ....” Setelah mengabsen sambil meletakkan dua tumpuk penekuk panas yang asapnya masih mengepul plus frosting vanila, Scarlett menimbang-nimbang semangkok butiran-butiran blueberry di tangan kanannya dan semangkok potongan-potongan strawberry di tangan kirinya di depan wajah William. Lalu melirik sebotol sirop maple kecil di meja.
Sengaja membiarkan pria itu berpikir untuk memilih salah satu di antara ketiga topping tersebut tanpa perlu menyampaikannya lewat verbal.
“How about morning kiss as topping?” usul pria beriris hijau berlagak lugu yang sedari tadi tidak pernah mengalihkan pandangannya dari Scarlett.
Berkat omongannya, William tidak heran wanita itu mencibir. “Will ....”
Namun, dengan semangat William menyahut, “Yes, Darl?”
Level cibiran Scarlett pun bertambah. “Jangan panggil aku Darl. Jenna bisa mengira kita ada hubungan spesial.”
William pura-pura cemberut. “Memangnya tidak? Kukira kita punya.”
“Jangan terlalu percaya diri. Kita hanya kenalan. Dan suatu kebetulan kau pernah menolongku. Tentu, aku sangat berterima kasih atas itu.”
Bibir di bawah kumis yang setara dengan cambang William melekuk riang. “Tidak masalah. Boleh saja kita tidak ada hubungan spesial saat ini. Lama-lama pasti punya. Dari kenalan, lalu bisa berubaha menjadi—”
“Terserah kau saja,” potong Scarlett cepat supaya William berhenti berceloteh tentang hal aneh-aneh. Napas kasar yang tertembus dan terdengar agak nyaring mengiringi kedua bola matanya berputar ke atas.
Sebaiknya Scarlett mengabaikan godaan-godaan William untuk fokus pada kegiatannya ; menaburkan potongan-potongan strawberry dan butiran blueberry di atas frosting vanila, baru menyiramnya dengan sirop maple. “Selamat makan, Will. Aku harap kau minkmati sarapan buatanku walau seadanya.”
“Thanks, Darl. Pasti ..., aku pasti akan menikmati penekuk buatanmu. Ini menu spesial yang langka. Pendongkrak hubungan kita dari kenalan menuju hubungan special. Mana mungkin seadanya?” pungkas pria itu sambil menggosok-gosok tangannya. Air liurnya bahkan nyaris menetes ketika menatap makanan tersebut.
Melihat gelengan pelan diiringi sejumput senyum yang ditawarkan wanita itu lalu membalik badannya untuk meletakkan teflon di mesin pencuci piring, William mulai mengambil potongan penekuk, berikut menyuapkannya ke mulut.
Hm ... memang benar-benar nikmat. Sesuai dugaan William. Namun, heran kenapa menu sarapan sederhana ini bisa jadi selezat ini. Mungkin berlebihan kalau ia berpikir ini jauh lebih baik dari bermangkok-mangkok sereal yang sudah mengisi perutnya selama tinggal di New York. Scarlett pantas mendapat apresiasi.
“Ini lezat sekali. You’re the best chef in my life, Darl.” Selain pujian, William juga menambahkan acungan kedua jempol tangannya tinggi-tinggi.
“Banyak yang lebih jago dariku. Chef pribadimu misalnya. Atau Mia. But, thanks.” Sembari menunggu mesin pencuci piring bekerja, tubuh Scarlett diputar dan disandarkan tepi pantri depan meja makan. Dengan kedua tangan melipat di dada, kedua iris cokelat gelapnya tertuju pada Jenna yang tertawa karena acara kartun anak-anak di TV.
“Aku hanya pernah makan masakan Mia sekali.”
“Oh ya?”
“Iya. Seandainya kau tahu bagaimana kakakku sangat berusaha keras menjauhkanku dari Mia. Ya ... kau tahulah ... Mr. Posesif. Jadi, mana sempat aku mencicipi masakannya lagi?”
Scarlett mengangguk paham.
“Tapi kau tenang saja. Aku tidak keberatan sama sekali kalau harus mencicipi masakanmu setiap kali makan, Darl.”
Scarlett pura-pura tidak tahu dengan maksud William. “Aku heran denganmu. Kenapa selalu ingin makan makanan gratis dariku?”
“Kau menggemaskan sekali, Darl. Boleh aku menggigit pipimu?”
“Ck, simpan bualanmu. Dan habiskan saja sarapanmu, Will!” omel Scarlett.
Oh ada apa ini? Kenapa tiba-tiba jantung Scarlett jumpalitan hanya karena mendengar kalimat bualan dari William yang kini tersenyum sambil mengunyah? Tatapan hijau pria itu bahkan lebih diutamakan tertuju padanya ketimbang makanannya. Sampai-sampai kadang pria itu gagal menusuk butiran-butiran blueberry.
“Wajahmu merah, Darl.”
Scarlett buru-buru melihat mesin pencuci piring. “Aku yakin itu hanya perasaanmu saja, Will.” Lalu dengan kesal mengutuk alat elektronik itu. Ada apa dengan mesin ini? Kenapa lama sekali?
“Sayang sekali. Padahal aku ingin sependapat tentang hal perasaan. The record set, our feelings.”
Gelengan pelan menyertai katupan bibir rapat-rapat Scarlett. Astaga, berlama-lama di dekat William pasti akan membuatnya gila. Beruntungnya, mesin pencuci piring ini sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga dengan semangat yang tinggi, ia bisa segera memindah-mindahkan peralatan yang digunakannya untuk memasak tadi ke kabinet-kabinet. Namun, gelombang kejut datang menghampirinya sewaktu tahu-tahu William sudah berdiri di sebelahnya.
Scarlett agak terhenyak. “Apa yang kau lakukan, Will?”
“Mau mencuci bekas peralatan makan dan minumku,” aku pria itu. Bagaimanapun, ia sudah menumpang sarapan. Tidak enak rasanya apabila tidak membantu Scarlett mencuci piring, gelas, garpu dan pisaunya. Berhubung masing-masing hanya sebuah, lebih praktis dicuci di sink.
Scarlett terbengong selama beberapa detik dengan kedipan-kedipan cepat. “Tidak perlu. Letakkan saja di sink, Will. Kau itu tamu, tidak seharusnya mencuci piring.”
“Tapi aku ingin membantumu.”
“Terima kasih, tapi sungguh, tidak perlu. Menemani Jenna akan lebih membantuku saat ini.”
William merentangkan tangannya pasrah. “Baiklah. Aku akan jadi baby sitter Jenna.” Ia baru memindah bobot tubuh beberapa langkah, tetapi berbalik lagi menuju Scarlett. “Oh ya, ada yang kelupaan,” katanya lalu tanpa tedeng aling-aling mendarkan satu kecupan di pipi Scarlett sembari berucap, “Thanks, Darl.”
Seharusnya Scarlett minimal berteriak atau melempar spons yang ada dalam genggamnya, tetapi bingung kenapa tidak bisa melakukan hal sederhana tersebut.
“Apa Mom sedang sakit?” tanya Jenna dengan suara cemprengnya. Wajah balita itu terlihat khawatir begitu mendapati ibunya baru muncul dari dapur setelah mencuci peralatan makan William. “Apa kita akan membatalkan rencana kita ke Disneyland karena Mom sakit?” ibuhnya.
“Tidak, Pumkin. Mom baik-baik saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?” Scarlett menjawab sekaligus berbalik tanya lantaran heran.
“Wajah Mom merah. Biasanya wajahku juga merah kalau sedang sakit,” balas Jenna murung. Seketika membuat Scarlett gelagapan.
Berulang kali wanita itu membuka mulut hendak mencari-cari alasan, tetapi tidak ketemu. “Well, em ... ini karena—”
“Mommy kepanasan, Princess. Tapi bukan berarti sakit. Sebentar lagi musim panas. Udaranya mulai gerah. Bukankah begitu, Mom?” sahut William.
Secara praktis Scarlett menoleh pria itu yang duduk di karpet. Tadinya, ia ingin protes karena atas perbuatannya tadi, Scarlett jadi rikuh sehingga menyebabkan wajahnya memerah. Sekaligus berterima kasih karena telah membantunya menjawab pertanyaan Jenna. Namun, urung, sebab gagal fokus pada jepitan rambut berbentuk bintang warna ungu yang bertengger cantik di rambut bagian depan William. Jujur saja, pria itu tampak konyol.
“Kau cantik dengan jepitan itu, Will,” ledek Scarlett dengan tawa yang mengudara, sampai-sampai harus menutupi mulutnya menggunakan tangan. Takut putrinya tersinggung.
Jenna yang merasa lega kemudian berinisiatif menuju William. “Aku yang memakaikannya.”
“Oh, great, Pumkin. Kau berbakat. Ngomong-ngomong sepertinya kau lupa memakaikan William cat kuku.”
Bola mata William sontak mendelik horor. “Oh ... tidak, tidak, tidak. Aku sudah cantik dengan jepitan ini. Terika kasih,” tolaknya sambil meringis dan mundur-mundur.
Scarlett berseru, “Kejar William, Pumkin ... ayo kita pakaikan dia cat kuku yang cantik!”
William praktis berdiri lalu berlari mengitari ruang keluarga. Kaki-kaki panjangnya pun berusaha segesit mungkin menghindari mainan-mainan Jenna yang tergeletak dan tersebar sembarangan. Sementara ibu dan anak tersebut mengejarnya sambil tertawa riang.
“Ayolah, Will, berhenti! Jenna akan memakaikan cat kuku paling cantik dan manis padamu. Dia berbakat!” seru Scarlett. Rasa-rasanya baru kali ini ia bisa membuang beban-beban yang dipikulnya selama ini dengan tertawa selepas. Mau tak mau, ia harus mengakuinya semua berkat William.
“Beri aku satu ciuman dan kuku-kuku malangku bebas Jenna cat!” balas William tak kalah berteriak.
Lari-lari kecil Scarlett melambat sampai berhenti. Ia menunduk untuk memegangi lututnya dan mengatur napasnya yang ngos-ngosan. “Kau mengambil kesempatan dalam kesempitan,” jawabnya tak lagi tertawa sekencang tadi.
Sementara Jenna terus mengejar William yang kini bersembunyi di rumah-rumahan balita itu. Pria itu melongokkan kepala di jendelanya. Sama halnya dengan Scarlett dan Jenna, William pun mengatur napas yang ngos-ngosan. Di saat bersamaan Jenna sudah tiba dan berdiri di depannya.
“Kau tidak bisa menangkapku, Princess. Aku ada di istanamu.”
“Kau harus keluar dan mengulurkan tanganmu, William ... aku akan mengecat kuku-kukumu,” rajuk Jenna.
“Katakan pada Mommy aku akan melakukannya kalau Mommy mau memberiku ciuman.”
“Will! Jangan menghasut Jenna!” teriak Scarlett seraya memindah berat tubuhnya ke mereka.
“Satu ciuman, Darl. Dan Jenna bebas mengecat kuku-kuku malangku,” kata Willian setelah Scarlett resmi berada di antara mereka.
“Mommy ... bisakah kau memberi William ciuman agar aku bisa mengecat kuku-kukunya?” tanya Jenna polos. Dengan mata bulat yang tersusun dari sepasang iris kelabu terang.
Sungguh, Scarlett tak sanggup bila mendapat tatapan seperti itu dari putrinya. Terlebih sepasang mata itu mengingatkannya pada—
“Mommy, beri William satu ciuman ....” Rengekan dan tangannya yang ditarik Jenna membawa Scarlett kembali berpijak di bumi dan buru-buru menghapus pikirannya yang akan menuju ke pria itu.
Astaga, sudah berapa lama dan aku masih nyaris memikirkannya?
“Baiklah,” ucap Scarlett, pada akhirnya mengalah. Lantas berjongkok di depan jendela rumah-rumahan Jenna. “Di pipi,” lanjutnya rikuh sekaligus berdebar ketika mengatakannya pada William.
“Tidak, aku bilang ciuman, bukan kecupan,” protes pria itu.
“Will ... ada Jenna ....” Tentu saja Scarlett harus memberi pengertian pada William.
“Baiklah ... kau boleh memberiku kecupan di pipiku,” kata William pasrah dan cemberut. Bedanya kalau tadi ia pura-pura, sekarang nyata adanya. Namun, ia berpikir setidaknya mendapat kecupan dari Scarlett ketimbang tidak sama sekali.
Kala melihat William akan keluar dari rumah-rumahan Jenna, Scarlett segera mencegahnya. “Eit ... tidak perlu keluar. Cukup di sana dan majukan kepalamu lebih keluar lagi.”
“Well, sangat romantis,” gerutu pria itu, tetapi melaksanakan perintah Scarlett.
Dan Scarlett pun merasa jantungnya hendak lepas lalu menggelinding ke lantai ketika mendaratkan kecupannya di pipi pria itu.
“Kenapa kau tidak memakai mesin cuci di rumahmu?” tanya William yang mengekori Scarlett dan Jenna menuju pintu masuk 102 West Laundromat.
Wanita itu sebenarnya tidak enak hati melihat William membawakan keranjang cuciannya. Apalagi dengan kuku-kuku yang dicat ungu, merah muda, dan kuning. Belum lagi pipinya masih saja terasa panas gara-gara memberi kecupan pada pipi pria itu. Namun, ia harus bertingkah sewajarnya.
Oh! Ayolah, itu hanya kecupan di pipi.
“Tidak berfungsi seperti yang kuharapkan alias rusak. Mungkin karena selama ini aku jarang memakainya dan lebih sering menaruh pakaian kotor kami ke binatu,” jawab Scarlett sembari menggendong Jenna yang membawa boneka Unicorn kumal dan lusuh. Jelas berniat dicuci. Lalu ia membukakan pintu supaya William bisa masuk.
“Thanks,” gumam pria itu. Lagi-lagi mengekori Scarlett dan Jenna ke bagian resepsionis untuk membeli koin-koin dan deterjen. “Biar aku yang membayar,” cegahnya ketika melihat Scarlett menurunkan Jenna kemudian mengambil dompet untuk membayarnya.
Dan tentu saja wanita itu menolak. “Tidak perlu, Will. Kau sudah cukup membantuku hari ini. Lagi pulau kau pasti kesulitan karena keranjang itu dan mungkin tidak ingin penjaga kasir melihat kuku-kuku feminin berantakanmu,” bisik Scarlett sambil tertawa kecil.
William sontak berwajah malas. Oke baiklah. Ia mengalah kali ini.
Setelah mendapatkan koin-koin dan detergen, mereka menuju berderet-deret mesin cuci. Lagi-lagi, William bertanya, “Aku tidak mengerti. Kenapa kau tidak menelepon layanan binatu saja untuk mengambil baju-bajumu?”
“You know, aku sedikit sibuk minggu ini. Dan akhir pekan ini aku sudah janji akan menebusnya dengan menghabiskan waktu bersama Jenna. Jadi, aku ingin mengajaknya ke sini. Sekalian mengenalkannya pada hal-hal di sekitar lingkungan kami.”
Mereka menemukan sebuah mesin cuci yang belum dipakai orang lain. Keranjang cucian itu lantas diletakkan William di depannya. Dan Scarlett kini mulai memilah-milah pakaian mereka untuk dimasukkan mesin.
“Pertama kita harus memilah-milah pakaian putih, hitam, dan berwarna serta pakaian dalam di tempat terpisah,” terang Scarlett kepada Jenna dan putrinya bersama William menyimak dengan baik.
“Bagaimana dengan Unicorn-ku, Mom?” tanya Jenna polos.
“Kita akan memasukkannya bersama pakaian berwarna, Pumkin.”
William memperhatikan Scarlett membimbing Jenna memasukkan baju dan bonekanya ke mesin cuci, lanjut menuangkan deterjen serta meletakkan koin-koin pada tempatnya.
Tiba-tiba William berkata, “Boleh aku mencobanya?”
“Apa?” tanya Scarlett tak percaya sekaligus merasa konyol. Namun, ia menunggu penjelasan pria yang bertampang polos itu.
“Jujur saja, aku belum pernah pergi ke tempat seperti ini dan melakukan kegiatan semacam ini.”
“Oh, tentu saja. Aku sempat lupa siapa dirimu. Anak manja,” ledek Scarlett lantas mengulurkan beberapa koin kepada William. “Ini, masukkan bersama Jenna ya?”
“Yes, Mam.”
Setelah mencontohkan cara mencuci pakaian, Scarlett berkata, “Dan beres. Kita tinggal menunggu mesin ini selesai bekerja, lalu memasukkannya ke dalam pengering. Untuk urusan setrika, akan kuserahkan ke binatu. Sepertinya waktu kita mepet untuk bersiap-siap ke Disneyland.”
“Dominic ... apa kau pernah mencuci bajumu di binatu koin sendiri?” tanya William dengan hati gembira. Ingin memamerkan kegiatan baru yang dipelajarinya sembari menunggu Scarlett dan Jenna bersiap pergi ke Disneyland di teras rumah wanita itu.
Di ujung sambungan telepon, kakaknya mengernyit, jengkel. “Kau hanya meneleponku untuk menanyakan itu?”
“Ahahaha ... aku bisa melakukannya, Dom!” Sekali lagi William membanggakan diri, tidak menggubris balasan Dominic.
“Kau membuang waktuku. Aku akan menutupnya.”
“Katakan pada Mom dan Mia kalau aku baru saja mencuci baju di binatu koin!”
Sambungan telepon ditutup Dominic tanpa ditanggapi. Oh, tidak apa-apa. Sekarang, William akan pamer pada Loven Loye.
Sahabatnya pun berkata, “Apa aku harus mengadakan pesta kembang api untuk merayakan kesuksesanmu mencuci baju di binatu koin?” ledek Loven dengan nada datar.
“Hahaha ... kau harus mengucapkan selamat kepadaku dengan memasangnya di timeline jalan,” canda William.
“Baiklah.”
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang masih nungguin Scarlett update, yang udah mampir, yang udah vote, komen atau benerin typo
Akan saya usahakan update teratur
Well, kelen tim siapa gaess?
Regis Mondru
Atau William Molchior?
Bonus foto Scarlett dan Jenna Delillah
(Anggep aja matanya Jenna kayak Regis ya)
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Kamis, 10 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top