Chapter 13
Selamat datang di chapter 13
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai juga jika ada typo yang suka menjajah sana sini
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Berkali-kali dihantam dilema itu
—Regis Mondru
______________________________________________
Dua puluh menit kemudian, William dan Bellen sudah berada di basement The Black Casino and Pub. Sejenis kelab malam milik Jayden Wilder yang pernah menjadi partner bisnis Cozyvart Company sewaktu Dominic membutuhkan ‘bantuan’ pembebasan lahan untuk pembukaan lini di Texas dua tahun lalu.
Bangunan kelab malam itu sendiri berlantai empat dan tiap lantai memiliki fungsinya masing-masing. Lantai pertama adalah casino yang merupakan lahan judi dengan berbagai jenis permainan dan juga penjaga-penjaga wanita cantik nan seksi, serta beberapa pegawai pria yang membantu mereka sekaligus menjaga lantai itu supaya tidak terjadi keributan.
Banyak pebisnis yang mampir ke sini untuk membuang uang mereka, tetapi banyak juga para pegawai kantor atau orang-orang dengan berbagai jenis pekerjaan yang mencoba peruntungan. Kadang-kadang apabila ada seseorang yang tak kerima atas kekalahannya, orang itu biasanya kerap kali mencari gara-gara dan rusuh.
Lantai dua juga arena permaianan. Bedanya, lebih mengarah pada permaianan yang sifatnya bersenang-senang tanpa judi, seperti meja-meja biliar yang memenuhi sudut dan permaianan lain yang bisa dilakukan di dalam ruangan.
Lalu lantai tiga adalah lorong-lorong yang menjadi pembatas ruang karaoke yang saling berhadapan. Berikut lantai tertinggi merupakan bar dengan lantai dansa yang disorot lampu disko yang kini sudah ditapaki oleh William dan Bellen.
Dalam keremangan dan lautan manusia, mereka mencari kursi bar yang kosong di meja depan bartender. Sewaktu menemukannya, mereka segera mendudukinya dan memesan minuman masing-masing ; Bellen menginginkan tequila sunrise sedangkan William hanya memesan segelas bir. Malam ini pria itu tidak boleh mabuk sebab sudah dapat dipastikan, Bellen akan mabuk dan ia harus mengantarnya pulang.
Setelah bartender meletakkan gelas minuman mereka di meja bar, Bellen baru memulai sesi curahan hatinya. “Kau tahu sendiri kan, aku sudah bertunangan,” ucapnya, bersuara lumayan keras, berusaha mengalahkan musik sajian pengeras suara kelab ini yang lebih mendominasi.
William menyesap birnya seteguk lalu meletakkan gelas di hadapannya dan fokus sepenuhnya pada Bellen. “Ya, aku menduga kau bertengkar dengannya. Apa gara-gara dia tidak datang di pesta pembukaan firma interior desainmu?” tebak pria itu.
Dalam sorot mata sembab yang masih tertuju pada gelas tequila, Bellen tersenyum kecut. “Sebenarnya, aku tidak tahu itu disebut pertengkaran atau tidak, Will,” balas wanita perambut pirang sebahu itu dengan suara yang sudah berubah parau, hampir menumpahkan air matanya lagi. Namun, ia berusaha keras untuk tidak melakukannya sebab sadar ini merupakan tempat umum. Meski suasanya bebas dan orang-orang tidak akan peduli apabila ia menangis, tetapi, tetap saja ini tempat umum.
William belum menanggapi, masih menunggu kelanjutan cerita Bellen.
“Aku memang sempat berdebat dengannya waktu dia bilang tidak jadi datang. Setelahnya aku hanya bisa pasrah. Mengalah begitu saja karena tidak mau memulai pertengkaran yang lebih parah. Kami bertunangan dan akan menikah, aku tidak mau hubunganku hancur. Tapi, sejak saat itu sampai sekarang, dia malah tidak memberiku kabar sama sekali. Aku pikir jangan-jangan dia marah karena aku terlalu menuntutnya? Tapi, bukankah aku yang seharusnya marah karena dia tidak datang di pesta pentingku?” Bellen menyesap tequila yang terasa membakar tenggorokannya lalu menambahkan, “Aku harus bagaimana, Will?”
Embusan napas William berbaur di udara kelab yang dipenuhi asap rokok bercampur parfum pengunjung. Lalu sekali lagi menyesap birnya. “Seharusnya kau tanya itu langsung padanya. Aku juga tidak tahu apa yang dia pikirkan.”
Bellen menatap William. Dengan tangan digebrak-gebrakkan pelan, ia menjawab, “Aku sudah mencoba meneleponnya berkali-kali, tapi tidak diangkat.”
“Apa kau sudah mencoba pergi menemuinya?”
“Belum.”
“Ya, di situlah letak kebodohanmu,” ketus William sambil menowel kepala Bellen sebelum menenggak birnya kembali. “Bellen ..., kau tahu sendiri bagaimana aku kalau berhubungan dengan wanita. Aku playboy dan pria yang paham bagaimana sifat kebanyakan pria. Jadi, maaf kalau aku akan memberi penilaian yang sangat kejam soal tunanganmu. Kurasa, dia tidak serius ingin menikah denganmu. Dan coba kau datangi saja dia tanpa sepengetahuannya. Siapa tahu ada wanita yang dia sembunyikan.”
Pagi ini, Bellen Loye merasa kepalanya jauh lebih enteng setelah meminum teh herbal pereda mabuk yang dibelikan William semalam. Oleh karena itu, ia berencana mewujudkan ide yang diberikan mantan kekasihnya.
Menginjak pedal gas mobilnya menuju penthouse Regis Mondru, pikiran Bellen secara praktis bercabang ke mana-mana. Berpikir Regis yang sibuk dengan latihan, atau menurut William yang playboy dan hafal betul mengenai sifat pria, bisa jadi tunangannya itu berselingkuh. Kini, ia harus membuktikan keakuratan beberapa asumsi tersebut. Ia harus memberi kejutan kedatangannya pagi sekali pada Regis di hari Minggu. Sebab menurut pengakuan Regis, hari itu saja yang libur latihan dan menurut kebiasaan pria itu, Regis akan bangun lebih siang untuk istirahat lebih lama.
Bellen sudah tiba di depan pintu penthouses Regis setelah menaiki elevator pribadi. Sambil menekan sandi yang telah ia hafal di luar kepala, pikiran Bellen kembali berkelana. Awas saja kalau sampai ia mendapati pria itu bersama wanita lain. Ia bersumpah tidak akan segan-segan mengebiri Regis dan menendang pria itu jauh-jauh dari hidupnya. Namun, oa juga berdoa semoga itu hanyalah kekhawatirannya semata.
Bunyi kunci yang diputar dan derit pintu menjadi pertanda Bellen telah masuk. Penthouse Regis terasa sepi. Hanya detak jam dinding berbentuk kemudi monster truck yang menjadi pengusir sunyi.
Usai menutup pintu kembali, Bellen memejam sambil membuang napas berat. Dengan jantung berdebar-debar—antara takut dan penasaran—ia mulai menyusuri ruang tamu yang penuh hiasan monster truck serta lemari kaca yang memajang tropi-tropi Regis. Lanjut menapaki tangga yang dindingnya memajang foto transformasi Regis dari bayi hingga dewasa bersama keluarga pria itu, menuju lantai dua tempat kamar Regis berada.
Kelegaan segera menyelinap di pembuluh nadi Bellen ketika mendapati Regis masih bergelung dalam selimut sendirian. Walau keremangan memenuhi kamar sebab tirai jendela tidak disibak, ia masih mampu menerjemahkan apa yang dilihatnya.
Bellen menderap pelan dan duduk di tepi ranjang lalu mengguncang pelan lengan pria itu. Regis pun mengernyit dan mengerjap beberapa kali. Setelah yakin siapa yang ia lihat, pria dengan balutan kaos hitam lengan pendek itu membelalak sebab kaget.
“Hunny, kau mengagetkanku. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Regis dengan suara serak khas orang bangun tidur dan berusaha duduk.
Demi apa pun, air mata Bellen sudah berkumpul di pelupuk dan siap tumpah kapan saja. Kenapa tunangannya harus bertanya seperti itu? Memangnya pria itu tidak tahu bahwa Bellen sangat tersiksa dan curiga dengan sikap Regis yang terlampau cuek? Seolah tidak peduli apa yang akan dilakukannya?
Ya Tuhan, mereka sudah bertunangan. Namun, bukannya berkembang, Bellen merasa hubungan mereka malah mengalami kemunduran.
“Menurutmu apa yang aku lakukan di sini?” Bellen berbalik tanya. Kedua tangannya sudah terlipat di dada.
Dikarenakan baru saja bangun, otak Regis rupanya masih lambat untuk diajak berpikir atau pun menduga-duga. Sebenarnya, ia juga sedikit tidak suka dengan kedatangan Bellen yang secara tiba-tiba di Minggu pagi ini. Ia takut rencananya pergi ke Bake Me Up batal.
Regis memandang ke sembarang arah untuk mencari jawaban, tetapi tidak menemukannya. Jadi, kepalanya yang berambut sedikit acak-acakan itu pun menggeleng.
“Kau .... Kenapa kau melakukan ini padaku?” tuntut Bellen. “Kau tidak memberiku kabar selama berhari-hari. Dan sekarang di saat aku datang, kau tidak bisa menebak apa yang kulakukan di sini?”
Bellen mulai menangis sehingga membuat Regis merasa bersalah sekaligus kesal. “Hunny, jangan cengeng. Sudah aku bilang, aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Musim panas sudah hampir tiba, aku harus ekstra latihan untuk pertandingan nanti. Coach Matthew juga sangat ketat melatihku. Kau seharusnya mengerti. Ayolah, jangan kekanakan seperti ini.”
Bellen tersentak dengan omongan Regis dan semakin sesenggukan. “Sesibuk itukah sampai tidak bisa menghubungiku? Apa kau tidak ada waktu istirahat sama sekali? Kau pasti bisa ‘kan memegang ponsel di saat makan, atau sewaktu istirahat latihan, atau sewaktu akan tidur dan mengabariku?
“Aku tidak menuntutmu selalu menghubungiku, Hun. Aku hanya ingin tahu kabarmu setiap hari. Bukan setiap detik. Kita sudah bertunangan. Bagaimana bisa kau mengatakan aku cengeng dan kekanakan karena hal ini? Kau tahu kan kalau komunikasi itu penting. Kenapa kau malah mengabaikanku. Kupikir kau—” Bellen berhenti, tidak jadi melanjutkan kata-kata William semalam sebab takut menjadi nyata.
“Kau pikir aku apa?” Rupanya, pria itu menuntut penjelasan Bellen.
“Kupikir kau ... s-selingkuh,” jawab Bellen terbata-bata. Tangannya yang semula terlipat di dada kini ia remas-remas karena cemas.
Perkataan itu jelas menyinggung Regis. Ia pun berdecak dan mengarahkan pandangannya ke tirai. Selingkuh merupakan hal yang tidak akan pernah Regis lakukan. Ia sudah pernah bertindak bodoh saat tidak sengaja selingkuh dengan Shelby, lalu hubungannya dengan Scarlett menjadi berantakan. Dan di saat ia sudah memilih Bellen untuk menjadi tunangannya—bahkan berencana meminta maaf pada Scarlett supanya kehidupan pernikahan mereka kelak tenang—kenapa ia harus selingkuh? Kenapa Bellen tidak juga mengerti?
Kalau sudah begini, benarkah mereka sudah siap menjalni kehidupan pernikahan? Regis berkali-kali dihantam dilema itu. Namun, meski belum siap, bukankah mereka memang sudah semestinya mempersiapkannya?
Demi apa pun, ia baru bangun tidur tetapi kenapa Bellen tidak bisa membaca siatuasi dengan tidak memprovokasinya dengan sesuatu yang sensitif seperti ini? Darah Regis terasa mulai mendidih. Berhubung tidak ingin meluapkan emosinya pada Bellen, ia mengusap wajah kasar dan meminta dengan suara rendah pada wanita itu. “Tenang, aku tidak akan melakukan hal seperti itu. Jadi, bisakah kau pulang saja sekarang?”
Napas Bellen memberat seketika dan jumlah produksi air matanya meningkat. “K-kau mengusirku, Hun?”
“Maafkan aku tidak bermaksud begitu.”
Tangan Bellen meraih bantal lalu melemparkannya pada Regis dan Regis tidak berusaha menghundar. “Kenapa kau seperti ini padaku? Aku mengkhawatirkanmu, makanya datang ke sini untuk memperbaiki hubungan kita dan cara komunikasi kita. Tapi kau ..., kenapa kau malah seperti ini?” teriak Bellen dengan suara parau kemudian tergugu.
Wanita itu menggeleng lantas berdiri dan berniat pulang. Percuma, semua yang dilakukannya percuma. Mungkin William benar Regis tidak serius ingin menikah dengannya. Namun, ketika langkahnya baru mencapai pintu, Regis menarik tangannya lalu membalikkan badannya dan memegangi kedua lengannya.
“Hunny, maafkan aku. Aku sungguh tidak bermaksud mengusirmu. Kau tiba-tiba datang, lalu membangunkanku, mengajakku berdebat dan menuduhku selingkuh. Menurutmu bagaimana perasaanku? Aku menyuruhmu pulang supaya kita bisa berpikir jernih.”
“A-apa kau berniat memutuskan hubungan kita?” tanya Bellen takut-takut.
“Astaga ...,” gerutu Regis, sudah melepas tangannya di kedua habu Bellen lalu membuang wajah ke samping dan menggeleng.
Bellen sontak memeluk Regis erat-erat dan mengaku. “Maaf, aku tidak akan lagi bertanya seperti itu lagi. Hapus saja perkataanku,” ungkapnya takut, “sebenarnya aku merindukanmu dan hanya ingin bersamamu. Bisakah kita berkencan hari ini?”
Pikiran Regis sekarang bertambah kalut tetapi juga tidak tega dengan Bellen lalu akhirnya menyetujuinya. “Baiklah ayo kita kencan. Mumpung aku libur.”
Minggu pagi yang senggang merupakan waktu yang tepat untuk mencuci. Biasanya, untuk menghemat energi tubuh, Scarlett pergi ke binatu untuk mencuci serta menyetrikakan baju mereka. Dan seperti yang selalu ia lakukan, ia memutuskan untuk membawa semua cucian kotor ke binatu terdekat. Bedanya, kali ini ia menginginkan pergi ke binatu koin untuk mencucinya sendiri bersama Jenna. Jadwal yang ia rasai cukup sebelum mereka pergi ke Disney Land nanti siang.
Selesai saralan, Jenna bermain boneka di depan TV. Kesempatan itu Scarlett gunakan untuk mengangkat cucian yang penuh nan menumpuk ke mobil.
Pertama-tama, ia membuka pintu dapur yang mengarah ke tempat mobilnya terparkir lalu membuka pintu bagasi kendaraan itu.
Rumah yang ditinggali Scarlett dan Jenna sendiri berada di lingkungan perumahan. Bentuk-bentuk rumahnya yang sejajar dan saling berhadapan serupa, berwarna putih kombinasi abu-abu terang tanpa pagar. Dulu ia dan Jenna tinggal di apartemen, lalu menyadari bila putrinya membutuhkan lingkungan yang sehat ; pohon-pohon yang mengelilingi sisi kanan mau pun kiri jalan perumahan, rumput-rumput hijau di halaman, tetangga yang ramah dan yang paling penting aman nan nyaman.
Sewaktu membopong keranjang cucian ke bagasi mobil yang menghadap pintu dapur, Scarlett dikejutkan oleh kedatangan mobil BMW hitam yang kini telah terparkir di depan rumahnya. Sambil meletakkan keranjang itu dan menutup pintu, ia segera melihat sang pemilik mobil yang mengenakan kacamata hitam turun.
Kedua alis Scarlett saling beradu. Sedang apa William Molchior kemari pagi sekali? Seingatnya, ketika tadi malam yang larut ia memberitahu alamat rumahnya lewat pesan, ia juga sudah memastikan lagi supaya pria itu datang setelah makan siang. Namun, rupanya William kelihatan memiliki waktu akhir pekan yang sangat senggang sehingga bisa datang sepagi ini. Atau jangan-jangan, pria itu lapar dan ingin meminta sarapan seperti kemarin? Scarlett rasa itu tidak mungkin. William kan, punya koki pribadi yang bisa membuatkan makanan untuk pria itu setiap saat.
Kacamata hitam yang bertengger di hidung mbangir William saat ini sudah dilepasnya. Ia mengukir senyum lalu menyapa Scarlett yang membalut tubuhnya menggunakan kaos merah muda serta celana pendek putih sepaha dan bersandal. Tidak hanya itu, Scarlett juga berkacak pinggang.
“Selamat pagi,” sapa William. Kedua lengan pria itu terentang. “Ekhm,” dehamnya, “ekhm.” Ia mengode Sarlett, seperti meminta izin untuk memeluk wanita itu. Namun, yang diberi kode jelas pura-pura tidak tahu.
“Kenapa ke sini pagi sekali? Bukankah aku sudah bilang setelah makan siang?”
William mencibir dan menggerakkan tangannya yang terangkat lalu meregangkannya mirip pemanasan ketika akan memulai olahraga. “Menurutmu, kenapa aku ke sini pagi sekali?”
“Untuk minta sarapan?” tanya Scarlett polos. Menimbulkan tawa lebar William.
“Kalau begitu, berikan aku sarapan.”
“Oh—”
“Sudah ... sudah .... Tidak perlu menolakku. Aku sudah hafal karena kau sudah terlalu sering melakukannya,” potong William cepat. Secepat kakinya melangkah masuk rumah Scarlett tanpa dipersilakan sang pemilik.
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang sudah vote, komen, ngasih support atau benerin typo
Kelen luar biasa
Well, bonus foto :
Bellen Loye
Dan
Regis Mondru
See you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
16 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top