Chapter 12
Selamat datang di chapter 12
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai juga jika ada typo yang suka menjajah sana sini
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
Seandainya bisa hidup dalam romansa novel
—Scarlett Delillah
______________________________________________
“Hm ... this is so tasty ....” Di sela-sela senyuman dan mata setengah terpejam, William bergumam sambil mengangguk-angguk samar. Tak jemu-jemu memuji roti lapis Prancis buatan Scarlett. Oh, tentu ia tidak boleh melewatkan kesempatan langka ini.
Setelah menelan utuh harga dirinya untuk meminta makanan akibat lapar, akhirnya pria itu berhasil mendapatkannya. Dan tentunya cara ini tepat untuk mendekati Scarlett. Suasananya pun mendukung ; siraman cahaya mahari pagi yang memenuhi Central Park, suara kicauan burung, sulur-sulur ranting daun-daun maple cokelat menari karena angin semilir yang sejuk, dan ramainya orang bercakap-cakap tetapi dalam volume yang tidak mengganggu.
Jenna yang makan bersama William dan mengamati pria itu ikut tersenyun riang. “Sudah kukatakan, masakan Mommy yang terbaik.”
“Aku setuju denganmu, Pumpkin. Let’s high five.” William menelan roti lapisnya dan mengangkat tangan sebelah serta memajukannya mendekati Jenna. Gadis gembul itu pun meletakkan garpu merah muda di kotak penekuk yang tinggal sedikit lalu menyambut tos William.
“Padahal aku yakin makanan yang kau makan selalu lebih enak dari ini. Ini hanya roti lapis.” Scarlett yang sedari tadi mengamati putrinya dan William baru memberi komentar. Ia juga sudah menghabiskan sebuah roti lapis dan beralih ke botol jus sayur.
William kembali menggigit roti lapis yang tinggal setengah. Sambil mengunyah, ia bertanya, “Bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Atas dasar apa?”
Senyum tipis membingkai wajah Scarlett. “Mudah saja, keluargamu kan kaya. Aku malah menduga kau punya koki pribadi.”
Koki pribadi? Itu konyol. Scarlett bahkan tidak tahu bahwa selama ini pola makan William tidak teratur. Sepindahnya pria itu ke Manhattan dan terlampau sibuk, ia jadi tidak memperhatikan pola makannya. Sarapan pun ala kadarnya. Hanya menyediakan sereal di penthouse mirip balita supaya tidak telat masuk kantor. Dan ketika makan siang pun, apabila tidak ada pertemuan dengan client, William malah biasanya memesan makanan cepat saji melalui sekretarisnya yang baru dan juga ikut pindah ke Manhattan.
Well, kadang kala William mengutuk Dominic soal kesibukan ini. Jabatan baru yang diberikan kakak beserta jajaran direksi itu terlalu sibuk hingga waktu bersenang-senangnya sebagai pria bebas yang gemar berpesta pun berkurang. Entahlah, ia jadi tidak tahu itu justru bagus atau sebaliknya. Satu yang patut disyukuri. Kepindahannya ke Manhattan jelas mendekatkannya pada Scarlett. Ini pasti takdir.
William tidak menanggapi perkataan Scarlett sebab sibuk menghabiskan roti lapis dalam genggamannya yang tinggal segigit. Sengaja membiarkan wanita itu berasumsi sesukanya. Setelah roti terakhir tertelan masuk ke lambung seluruhnya, buru-buru pria itu memanjangkan tangan untuk menyambar botol minuman yang berada dalam genggaman Scarlett. Dan ketika seteguk cairan hijau itu resmi bergulir ke tenggorokannya, William sontak menyemburkannya ke arah tepi danau.
“Minuman apa ini?” makinya sambil memelototi botol hijau tersebut dan mengelap mulut ala kadarnya.
Jenna kaget, sementara Scarlett tertawa geli sambil mengusap dada Jenna. Salah sendiri pria itu minum tanpa permisi, tanpa bertanya pula minuman apa itu. “Itu jus sayur. Brokoli, wortel dan—”
“Ok, cukup penjelasanmu, Scarl,” potong William. Botol jus dalam genggamannya terangkat. Tatapan ngeri pada minuman itu masih menghiasi wajahnya ketika ia mendorong botol tersebut ke arah Scarlett. Mengisyaratkan wanita yang masih tersenyum geli sambil menutupi mulut menggunakan tangan di hadapan William agar mengambil minuman anehnya kembali.
Tubuh tegap William berdiri. Tanpa menghuraukan ibu dan anak tersebut, kemudian cepat-cepat berjalan menuju keran taman yang sepi untuk minum. Setidaknya air mineral lebih manusiawi daripada jus sayur buatan Scarlett. Teruntuk yang satu ini, persetan dengan pendekatan yang berkaitan dengan itu. Ia tidak bisa pura-pura menikmati minuman tersebut untuk sebuah pendekatan.
Dalam benaknya, William heran. Kenapa wanita selalu melakukan sesuatu yang aneh bin tidak enak bin kadang menyakitkan untuk menjaga berat badan supaya tetap ideal atau mempercantik diri? Minum jus sayur itu salah satunya. Memangnya buah-buahan yang segar dan enak tidak membantu menurunkan berat badan? Haruskah brokoli, wortel dan apalah yang akan diucapkan Scarlett tadi?
“Habiskan penekukmu, Pumkin. Biarkan saja paman bunga Lilac. Dia tidak suka jus sayur.” Scarlett mengusap kepala Jenna yang memelankan kunyahan sambil memperhatikan William.
“Aku juga tidak suka jus sayur. Aku lebih suka jus apel.” Suara Jenna yang cempreng ala balita memicu senyum di bibir Scarlett. Apalagi ketika melihat putrinya dengan mulut penuh, berusaha berbicara. Sangat menggemaskan.
“Ya, jus apel itu sangat enak dan sehat.”
Usai mereka sarapan, Scarlett mengemasi peralatan serta perlengkapan piknik dibantu Jenna dan William. Namun, teriakan-teriakan balita yang bermain mempengaruhi minat gadis gembul itu. Ia menengok sebentar sebelum akhirnya berlari menuju arena bermain.
“Pumkin!” seru Scarlett.
“Biar aku saja yang menjaganya, kau berkemaslah, Scarl,” usul William ketika melihat wanita itu seolah bingung antara harus mengejar Jenna atau mengepak peralatan pikniknya yang kurang sedikit lagi.
Scarlett tidak menjawab William sebab pria itu sudah berlari lebih dulu mengejar Jenna. Setidaknya benaknya terjejali oleh rasa terima kasih dan timbullah suatu ide untuk membuatkan kue untuk pria itu.
Ah, kenapa harus ada ide seperti itu? Scarlett menimbangnya kembali. Namun, setelah dipikir-pikir, bukankah dulu ia juga belum sempat mengucapkan terima kasih lewat kue andalannya sewaktu William mengantarnya ke pelanggan yang ulang tahun gara-gara mobil boks Bake Me Up mogok? Lalu jangan lupakan soal kejadian di pesta di Bellen Loye.
Embusan napas pasrah dari Scarlett tercampur udara sekitar. Ya, tampaknya ia memang harus membuat kue andalannya untuk berterima kasih pada William karena telah mengantarnya waktu itu, mendengarkan keluhan tangisnya, dan menjaga Jenna saat ini.
Semua barang telah tertata rapi di keranjang amyaman kayu khas piknik. Scarlett menentengnya dan berjalan ke arah arena bermain. Kedua netranya melihat Jenna meluncur di prosotan kuning bersama balita lain, tampak riang dan menimbulkan kehangatan dalam hatinya. Terlebih, ketika William mengangkat Jenna tinggi-tinggi sewaktu gadis gembul itu sudah resmi menapaki paving.
Yah, seandainya—Scarlett buru-buru menghapus pikirannya yang hendak mengarah ke masa itu.
Pengelihatan Scarlett berpindah pada sebuah bangku taman kayu cokelat tua berbentuk sedikit panjang berlengan besi hitam yang kosong. Ia lantas bergegas duduk di sana. Keranjang anyaman yang berada dalam genggaman wanita juga menepati sebelah ia duduk. Siku-siku Scarlett pun bertumpu pada lutut sementara tangannya menopang dagu dengan arah pandangan ke Jenna dan William.
Sambil tertawa, putri kecil Scarlett sedang berlari mengejar William yang mengitari area perosotan kuning. Ketika Jenna berhasil menangkap William, mereka terlihat bercakap-cakap. Entah apa yang mereka bicarakan, Scarlett tidak bisa mendengarnya sebab jarak antara perosotan dan bangku yang ia duduki lumayan jauh.
“Bukankah pria di sana sangat seksi?”
Kepala Scarlett secara praktis berputar beberapa derajat ke kanan, tepat mengadah pada seorang wanita yang berbicara demikian. Selain itu, ia juga mengikuti arah pandangan wanita yang masih muda tersebut— mungkin berumur sekitar dua puluhan—yang sedang bersama temannya dan melihat ke arah William serta Jenna.
“Sayang sekali sudah punya anak,” sahut teman wanita berhidung bintik-bintik dengan pandangan menerawang.
“Justru itu letak keseksiannya. Bukankah dia ayah yang baik dengan mengajak putrinya bermain? Lalu di mana ibunya?”
“Uh, aku harap dia duda—”
“Lalu kau akan menjadi jodohnya seperti cerita-cerita di novel romantis? Begitu?” potong wanita tadi dengan nada mencibir.
Menghiraukan temannya, ia memuji, “Coba kau lihat saja anak perempuan itu? Dia lucu sekali, aku suka mata abu-abunya yang terang. Bagaimana mungkin aku tidak menyukai gadis itu?”
“Aku yakin itu menurun dari ibunya. Pria itu kan bermata hijau.”
Scarlett menegakkan posisi duduk lalu menurunkan pandangan ke arah sepatu jogging merah mudanya. Yah, para wanita itu hanya tidak tahu cerita lengkapnya. Oh, ayolah, ia tidak hidup dalam cerita novel atau film yang bisa diatur sesuka hati oleh sang penulis, dengan lika-liku alur romantis dan berakhir bahagia.
Seandainya ia hidup dalam romansa novel, pikirnya muram.
Scarlett mengernyit ketika ekor matanya menangkap sepatu merah muda kecil—mirip yang ia kenakan—telah mendekatinya dan sepasang sepatu jogging pria warna hitam berlarik putih.
“Mommy, paman bunga Lilac berjanji akan mengajakku ke Disney Land karena aku bisa menangkapnya saat lari tadi.”
Scarlett buru-buru menaikkan pandangan dan mendapati Jenna bersama William sedang berdiri di depannya. Jenna yang menarik lengan bajunya, sementara William tersenyum malu-malu.
“Oh, benarkah?” tanya Scarlett. Seketika mengubah wajahnya yang hampir murung menjadi ceria. Ia tentu tidak boleh menampilkan wajah tidak berdaya di hadapan Jenna. Apalagi di hadapan William, tidak untuk kedua kalinya.
“Ya! Katanya Mommy juga boleh ikut.”
“Bagaimana menurutmu?” tanya William yang sudah ikut duduk di samping Scarlett. Tampak terengah dan produksi keringatnya lebih banyak dari sekadar jogging tadi.
“Apa kau ingin pergi ke Disney Land, Pumkin?” tanya Scarlett pada Jenna usai melirik William.
“Apakah Mommy bercanda? Tentu saja aku ingin pergi ke sana. Ayo kita pergi ke sana naik mobil paman bunga Lilac yang bagus!” seru Jenna antusias menjawab pertanyaan Scarlett. Kalau sudah begini, apakah ia mampu menolak permintaan anaknya?
Jenna melompat-lompat kecil. Akhirnya Scarlett melihat putri serta William dan mengangguk. “Baiklah ... Ayo kita ke Disney Land.”
Berhubung sinar matahari yang menyirami Centrak Park sudah sedikit menyengat kulit, mereka memutuskan untuk pulang. Dan dengan tidak tahu malu, William meminta Scarlett mengantarnya. Tujuanya tentu untuk memberitahu Scarlett dan Jenna tempat tinggalnya. Lalu dengan alibi balas budi karena telah berjasa mengantarnya pulang, ia bisa memanfaatkan situasi. Maka, simsalabim, terjadilah timbal balik yang menguntungkan William untuk mendekati Scarlett.
“Terima kasih, kalian yakin tidak mau mampir?” ucap William seturunnya pria itu dari Chevrolet hitam Scarlett yang berhenti dan menepi di lobi.
“Tidak terima kasih, kami pergi dulu. Sampai jumpa besok setelah jam makan siang.”
Ketika Scarlett sudah menendalikan perseling dan hendak menginjak pedal gas, William buru-buru menghentikan wanita itu. “Bagaimana caranya aku bisa ke menjemput kalian tanpa tahu alamatnya? Kau tidak akan menyuruhku menjemput di Bake Me Up kan?”
Scarlett membuka mulut tanpa suara selama beberapa detik lalu mencari ponsel dan mengulurkannya pada William. “Berikan nomor ponselmu. Akan kuberitahu lokasinya.”
Rasanya William ingin salto detik itu juga. Akhirnya ... Scarlett meminta nomor ponselnya guys .... Berhubung sedang berada di tempat umum, ia buru-buru mengurungkan niat tidak elegan itu dan meraih ponsel Scarlett serta mencantumkan nomor ponselnya.
William Molchior berguling-guling di kasur sambil memelototi ponsel sedari tadi, berharap Scarlett Delillah akan segera menghubunginya untuk memberitahu alamat rumah. Bisa saja detik ini juga ia menelepon Hillary untuk meminta alamat rumah Scarlett. Namun, ia urung dalam melakukannya. Biarlah kali ini berjalan secara natural.
Sebenarnya ponsel William tidak sunyi. Banyak yang mengiriminya pesan—terutama dari para wanita yang pernah singgah dalam kehidupannya walau hanya teman berbagi kehangatan. Beberapa telepon dari para sahabatnya juga memenuhi notifikasi ponsel pria itu. Dan semuanya mengajak William pergi ke suatu tempat untuk bersenang-senang di malam Minggu.
Sudah berkali-kali dengkusan keluar dari mulut William. Berhubung gemas karena Scarlett tidk kunjung menghubunginya, ia melempar ponsel di kasur. Namun, sedetik kemudian alat komunikasi itu bergetar dan berdering, pertanda sebuah telepon masuk.
Senyun mengembang di bibir pria itu. Kepalanya terangkat secara otomatis dan tangannya meraih ponsel secara cekatan ketika pikirannya meraba-raba serta menduga itu berasal dari Scarlett. Sayang sekali, dugaan itu meleset. Bukan wanita itu yang menelepon, melainkan dari Bellen Loye.
Meski kedua sudut bibir William yang semula membentuk garis cekung bernama senyum sontak menjadi garis datar, kedua alis William mengernyit heran sebab tidak biasanya Bellen menelepon. Terhitung sejak hampir dua tahun lalu wanita itu memutuskan mengakhiri hubungan mereka, Bellen sama sekali tidak pernah lagi menghubunginya dalam bentuk apa pun. Dan sewaktu pesta beberapa hari lalu, William juga belum bertemu dengannya karena pulang lebih awal setelah mendapat informasi dari Hillary. Pasti Bellen memiliki alasan kuat serta perkara penting untuk menelepon William.
“Halo,” sapa William menggunakan nada datar.
“Will,” panggil Bellen. Suara wanita itu sedikit parau, terdengar sangat sedih.
“Ya, ada apa, Bellen?” tanya William sambil menggerak-gerakkan kakinya secara vertikal dengan pengeluhatan tertuju pada langit-langit kamarnya yang tinggi.
“Apa kau sedang sibuk sekarang?” William tidak langsung menjawab dan berpikir hampir lima detik sehingga Bellen kembali bersuara. “Halo, Will? Kau masih di sana?”
“Em, tidak juga. Ngomong-ngomong, ada apa dengan suaramu? Kau menangis? Astaga Bellen ..., rupanya kau masih cengeng,” ejek pria itu.
Terdengar suara isakan dari ujung seberang sambungan yang membenarkan asumsi William. “Will, temani aku minum kalau kau tidam sibuk.”
William sontak duduk. Walaupun status mereka sudah menjadi mantan kekasih dan sudah menjadi rahasia umum bila ia lemah terhadap wanita yang menangis, ia pun menjadi tidak tega untuk bersikap cuek atau mengabaikan Bellen yang manja.
“Hei ... hei ... ada apa denganmu sebenarnya? Di mana kau sekarang? Kenapa tidak menelepon Loven? Oh ya, kau juga sudah bertunangan, Bellen. Sebaiknya kau menelepon tunanganmu.”
“Aku masih di apartemen. Loven sedang kencan dengan kekasihnya, aku tidak mau mengganggu. Sedangkan teman-temanku semuanya sedang sibuk.” Bellen mengambil jeda dan berniat melanjutkan, tetapi William dengan cepat membaca situasi.
“Baiklah, aku mengerti. Kutemani kau minum malam ini. Berhentilah menangis, aku akan menjemputmu sekarang juga.” Dasar bayi, maki WilliM dalam hati. Inilah yang kadang sulit membuatnya konsisten dengan satu wanita. Kadang-kadang, selain kebutuhan biologis, banyak wanita yang mudah meluluhkan hatinya dengan perkara sejenis ini.
Isakan dan tawa bercampur menjadi satu. Bellen pun merasa lega. “Terima kasih, Will.”
_______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang sudah vote, komen, ngasih support atau benerin typo
Kelen luar biasa
Well, bonus foto :
Bellen Loye
Dan
KiWil liam Molchior
See you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
16 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top