7. Cafe

Aku bangun karena lapar.

Kayaknya habis mandi tadi aku ketiduran. Aku keluar kamar dan mendapati apartemen Bang Edo sepi. Sadar aku ditinggal sendiri, aku langsung ke dapur. Aku cukup kenal apartemen ini, meski tidak sering ke sini. Ruangan luas dengan perabotan minimalis yang tampak mahal selalu membuatku bertanya-tanya dari mana Bang Edo dapat uang sebanyak ini untuk membayar semua kemewahan hidupnya.

Apa aku benar-benar sudah memandang rendah profesinya?

Kalau dibandingkan kerja kantoran, menjadi model memang lebih banyak duitnya. Namun, untuk seseorang yang belum lama menggeluti dunia entertainment, masa sih Bang Edo udah sekaya ini? Apartemen mewah di pusat kota, mobil mentereng, gadget paling baru, dengan kerjaan yang nggak terlalu padat?

Mungkin aku memang sudah terlalu memandang rendah profesinya.

Di dapur juga nggak ada tanda-tanda kehidupan. Pintu kulkas yang lebih tinggi dari puncak kepalaku langsung menjadi tujuan utamaku begitu melangkah ke dapur. Mulutku otomatis mengumpat karena tidak menemukan apa pun selain air putih dan jus jeruk. Kulkas sebesar ini dan nggak ada apa-apa di dalamnya. Kayaknya dia emang ngabisin semua duitnya buat bayar cicilan.

Untuk mengganjal perut, aku meminum segelas besar jus. Sambil ngedumel, coba tadi belanjaanku ikut diangkut, aku mencari-cari siapa tahu ada makanan disembunyikan entah di mana, tapi tetap nihil. Ini bujangan tiap hari makan apa, coba? Masa mi cup aja nggak ada? Sebutir telur aja nggak ada? Astaga.

Setelah buka tutup kulkas berkali-kali, aku baru menemukan post-it diganjal magnet yang ditujukan buatku.

Kalau lapar, di bawah banyak kafe. Keluar lewat pintu belakang. Wartawan udah bubar, tapi siapa tahu masih ada yang ngintip.

Aku memutar bola mata. Satu-satunya yang tidak kuinginkan saat ini adalah bertemu manusia lain. Aku melakukan segala daya upaya untuk menghindari pertemuan dengan spesiesku sendiri. Menimbun makanan, delivery, dan membayar tagihan secara online. Pergi ke kafe sudah berhenti kulakukan sejak wajahku cukup dikenal secara memalukan. Namun, rasa laparku ini tidak bisa kutahan lagi. Aku memakai jaket bertudung, turun, dan memilih salah satu kafe yang letaknya tersembunyi, meski kelihatan ramai pengunjung.

Aku mengendap menemukan sebuah meja kosong, lalu duduk.

Merasa ada sesuatu yang mengganjal di kursi, aku menarik sebuah topi dan melemparkannya begitu saja ke kursi lain. Seseorang pasti meninggalkannya.

Aku melambai mencoba memanggil pelayan, tetapi kafe ini terlalu hiruk-pikuk sehingga tak seorang pun memerhatikan. Kucoba sekali lagi. Kali ini aku menggunakan topi yang semula kulempar untuk menarik perhatian. Pelayan yang berdiri di depan pintu mengangguk kepadaku, kupikir dia mengerti, jadi aku menghentikan lambaian dan menantinya menghampiri.

Namun, bukannya pelayan yang mendekat, malah seseorang dengan tatanan rambut aneh yang datang. Dia berjalan lurus dari kasir ke arahku. Ya ampun... rambutnya silvery pink, terang-benderang mirip neon berjalan.

Ngapain dia ke sini? Masa dia mau ngajak berbagi meja? Mana nggak ada kursi lain yang kosong. Aku sudah berusaha menoleh ke sana kemari biar kami tidak saling bertemu mata, berharap seseorang di meja lain beranjak, supaya cowok itu bisa berubah haluan. Namun, sampai cowok itu berdiri di depan mejaku, tak seorang pun menunjukkan tanda-tanda akan pergi.

Kuharap dia tidak mengenaliku. Aku tidak boleh menarik perhatian. Mungkin kalau aku bersikap sopan, kami bisa makan tanpa saling menghiraukan satu sama lain.

"Ini tempat gue," katanya.

Reaksi awalku tentu saja mengernyit.

"Gue tadi duduk sini," tambahnya lagi, sambil meletakkan baki makanan.

"Ini kursi kafe," bantahku agak kurang paham bagaimana bisa dia mengklaim sesuatu yang adalah milik umum.

Dia duduk. "Tentu saja, tapi gue udah duduk duluan di sini sebelum lo."

Well... sebenarnya aku nggak keberatan kalau dia sopan, tapi yang barusan tadi bukan sikap yang seharusnya ditunjukkan seseorang yang minta berbagi tempat duduk.

"Tuh," tunjuknya ke sisi tanganku.

Aku mengikuti arah jari telunjuknya dan kembali menautkan alis karena tidak mengerti apa maksud ucapannya. Di sisi tanganku hanya ada topi dekil yang kupakai buat manggil pelayan.

Oh... ya ampun.

"Topi itu gue pake buat nandain kalau ada yang duduk di sini," jelasnya.

Wajahku panas karena malu. Dengan serta-merta, aku berdiri, "Duh sori!"

Dia mencegah. "Eh, udah nggak apa-apa. Lo boleh duduk di situ, kok. Ini, kan, kursi kafe," cengirnya.

Sekali lagi aku meminta maaf.

"Santai aja. Gue cuma ngasih tahu karena lo kayaknya langsung nggak suka ngelihat gue jalan ke sini."

Aku gelagapan. Merasa tidak enak karena dituduh dan kebetulan tuduhannya tepat. Ya, meski aku sering punya pandangan negatif duluan ke orang asing, tapi aku bukan tipe orang yang suka konfrontasi langsung. Sewaktu aku berusaha mengklarifikasi, si rambut pink malah duluan mengibas tangannya seolah bilang supaya aku tidak perlu membahas.

"Pasti karena rambut gue, kan?"

Terus terang aja, aku K-popers, rambut pink bukan hal baru bagiku.

"Nggak, kok—"

Cuma... memang, cowok ini jauh dari kriteria cowok yang akan mengecat pink rambutnya kecuali dia artis. Dan sejak tadi kuperhatikan, mukanya tidak cocok dengan siapa pun yang sering lalu-lalang di televisi. Kenapa cowok dengan garis wajah sesengit ini mewarnai rambutnya seperti itu? Oke. Memang itu yang bikin aku mengernyit, sih, sejak tadi.

"Aneh, ya?"

"Bagus, kok, warnanya," kataku, masih resah karena pelayan tidak datang-datang juga, padahal sebagian terlihat berdiri-berdiri saja.

"Really?" tanyanya, lalu menyisir rambut depannya ke atas.

Aku memerhatikan sekali lagi. Lantas mengangguk, "Umur lo berapa?" tanyaku sebelum sadar pertanyaanku kurang pantas. "Sori, lupain aja. Gue lagi laper, jadi nggak konsen."

Dia ketawa kecil sambil menggigit roti isi. "It's okay"—tapi tetap tidak menjawab pertanyaanku—"Kalau laper, kok, nggak makan? Lo tinggal di sini? Kok gue kayak pernah lihat lo, ya?"

Aduh... mati.

Aku langsung mengkeret setiap kali ada orang asing melempar pertanyaan semacam gitu. Kok kayaknya kenal, ya? Mungkin semacam trauma kali, ya? Aku pasti langsung menarik diri, sebab biasanya mereka langsung akan merujuk pada adegan gagalnya pernikahanku yang bahkan sempat viral di Internet.

Secara otomatis, aku memalingkan wajah.

"Kalau lo laper... mestinya lo buruan mesen," ucapnya lagi.

"Nggak ada pelayan ke sini," kataku.

"Emang nggak akan ada yang dateng. Kalau lo duduk-duduk doang di sini, ya, dikira lo cuman numpang ngadem. Makanya gue tadi nandain tempat segala."

Umpatan kecil lolos dari mulutku.

Dia menahan tawa mendengarnya, menutup mulutnya yang penuh makanan, "Berarti lo nggak tinggal di sini."

Aku mendesah, "Emang nggak."

"Gue juga nggak," beritahunya. "Tunggu, deh. Kayaknya gue emang beneran pernah lihat muka lo—"

"Gue pesen makanan dulu," potongku cepat sebelum dia sempat menyelesaikan kalimat.

Buru-buru aku meninggalkannya menuju tempat memesan makanan. Saat mengantre, sekelompok orang tampak mengosongkan meja di salah satu sudut. Thank God. Aku nggak perlu balik ke cowok barusan. Kelihatannya dia bakal segera sadar siapa aku. Fotoku pasti kembali ditayangkan di acara-acara liputan siang tadi.

Saat tiba giliranku, aku nggak sabaran menunjuk berbagai makanan. Bersikap seakan aku tergesa-gesa dan waktu mau bayar, aku baru sadar di kantongku nggak ada uang sama sekali. Aku nggak bawa dompet.

Siaaal!

Mana muka pelayannya langsung jutek begitu aku ngeraba-raba diri sendiri dan nunjukin gelagat nggak bawa uang. Pesanan yang semula udah ditata di sebuah baki langsung dia tarik menjauh. "Jadi, ini mau dibayar nggak?" tanyanya sengit.

"Sori, aku bakal balik bentar lagi. Aku tinggal di sini."

"Next please!" ketusnya sambil melongokkan kepala melewati bahuku.

Meski dongkol, aku menyingkir juga. Namun, ketika aku siap-siap cabut, seseorang meletakkan sejumlah uang di meja kasir. Cowok berambut pink tadi!

"Cukup?" Dia bicara pada petugas kasir.

Aku mencoba mencegah, tapi dia mengabaikanku dan membayar sejumlah uang kepada si pelayan. Muka masam cewek itu langsung bersinar. Aku yakin dia nggak peduli soal pesananku yang nggak jadi batal, mukanya jelas banget senang karena cowok itu memang ganteng. Aku malah belum menanyakan namanya. Setelah menerima kembalian, dia bahkan tidak membiarkan aku bawa makananku sendiri ke meja.

"Sori, lagi-lagi gue ngerepotin lo," ucapku tulus.

"Nggak apa-apa. Gue juga butuh temen ngobrol, kalau lo nggak keberatan."

Asal dia nggak ingat siapa aku—

Aku tersenyum, "Apa yang lo lakuin di sini?" tanyaku, membuka obrolan. Kutuang sekantong gula ke cangkir cokelatku. Sambil mengaduk, mengoyak croissant polos dan mulai makan, aku memperkenalkan diri demi kesopanan. "Gue Kekir—Keke."

"Kekira Lamusu," katanya.

Tidak pernah aku merasa setertohok ini mendengar nama lengkapku disebut. Dadaku terasa sesak sebentar, tapi aku lebih cepat menguasai diri dibanding yang kupikir. Lagi pula, dia menyebutnya dengan santai, sama sekali tak ada kesan menghakimi atau bermaksud mempermalukan di sana. Jadi, aku mengangguk.

"Thomas Panjaitan," sebutnya. "Panggil aja Top."

"Top?" ulangku, lalu menggelak kecil. "Cocok sama rambut lo."

Dia mengernyit, sepertinya tidak terlalu mengerti aku merujuk pada siapa. Wajar, sih. Dia nggak kelihatan tertarik dengan K-pop, meski sebenarnya Big Bang bukan grup yang mustahil disukai pria.

Aku bertanya lagi, "Lo nggak buru-buru, kan?"

"Lagi nunggu panggilan," katanya. "Kenapa?"

"Gue harus bayar utang. Habis ini gue ke atas sebentar, lo mau nunggu, kan?"

"Oh. Nggak usah terlalu dipikirin," kibasnya. "Yakin lo kenyang cuma makan segitu aja?"

Sudah lama aku nggak banyak makan. Selera makanku sudah tergantikan dengan keinginan merenung dan menenggelamkan diri dalam persembunyian. Kadang seharian aku nggak makan karena nggak merasa lapar, kadang aku bahkan lupa sama sekali apa aku sudah makan atau belum. Sekerat croissant ini lebih dari cukup memenuhi lambungku yang menyusut, seringnya dia kembung karena anggur.

Kami nggak saling bicara selama menikmati makanan masing-masing. Diam-diam, aku meneliti wajah cowok di seberangku. Sekali-sekali, jika tidak sedang menyuap pasta ke mulutnya, dia mengunyah pelan sambil membaca majalah yang disediakan di tiap meja. Dari semua ornamen wajahnya, yang paling menonjol adalah hidungnya yang kurus tinggi. Selanjutnya tulang pipinya yang tirus, dilengkapi dagu lancip. Sekilas, dia seperti pensil yang runcing.

"Kenapa?"

Aku terkejut. "Apanya?"

"Lo ngeliatin gue," katanya.

"Nggak," sangkalku malu. Untuk menepisnya, aku membalas tatapan kedua bola matanya.

Dia mengerling samar saat kami bertemu mata. Dari tatapan itu aku menangkap kesan menggoda yang membuatku ingin cepat-cepat mengalihkan pandangan. Tapi apa ya, bukan menggoda yang bikin seseorang merasa dilecehkan, melainkan merasa tersanjung.

"Gue udah selesai," kataku.

Dia ikut-ikutan menutup majalah.

"Lo tunggu di sini sebentar, gue mau ngambil duit buat ganti duit lo."

"Bareng aja. Gue juga mau ke atas."

Aku mengernyit. "Lo tinggal di sini?"

"Oh nggak, tapi gue disuruh nunggu di apartemen abang lo. Tadi gue ke sana nggak ada yang bukain pintu, jadi gue ke sini dulu. Lo pasti pegang kunci, kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top