3. (I Can't) Marry You

"Bagus. Dialog film apa lagi, tuh?" tanggapku tak acuh. Kulempar senyum penuh agenda.

Agenda supaya dia menutup mulut.

"Aku serius, Kira, aku nggak bisa."

Aku mendengus keras, tidak peduli meski musik pengiring telah berhenti. Buket bunga berat di tanganku meluncur ke sisi gaun, tetapi masih erat kupegang. Aku tahu Raksa tidak melucu. Dia tidak pernah lucu, kecuali ketika tiba-tiba dia mendekatiku dan mengatakan bahwa dia ingin menikah. Denganku.

Sepertinya, Pendeta Johan melihat gelagat aneh di antara kami, sehingga beliau tidak segera melanjutkan upacara pernikahan, dan justru bertanya, "Anakku, apakah kalian baik-baik saja?"

Ya, Tuhan. Aku memutar bola mata, padahal susah rasanya melakukan gestur itu dengan pemberat bulu mata palsu yang ditempel berlapis di kelopak demi memberi efek dramatis berlebihan. Aku harus akui, Syahrini memang pantas jalan-jalan ke Eropa sebulan sekali, sebagai imbalan atas kelopak matanya yang bekerja keras setiap hari.

"Raksa, kamu memang lucu, Sayang, tapi ini bukan saatnya bercanda!" geramku, bicara tanpa membuka mulut. Aku cukup ahli dalam melakukan ini. Waktu kecil, aku tergila-gila pada ventriloquism.

Gimana aku nggak geram? Pertama, kami sudah berdiri di depan altar, kalau dia punya ide gila, apa nggak sebaiknya dia katakan sebelum aku dandan tadi pagi?

Kedua, seorang pendeta sudah siap menikahkan kami. Aku berdiri sebagai calon mempelai, mengenakan gaun terindah yang pernah kulihat sepanjang hidupku, dengan bunga-bunga yang membuat kepalaku lebih mirip Richmond Park daripada kepala manusia, di sisi seorang pria bertuksedo putih yang tampan.

Tentu saja dia tampan, selain kaya raya. Kalau tidak, ngapain aku langsung bilang iya saat dia bilang ingin pacaran denganku? Dalam mimpi aja aku nggak kepikiran seorang bintang rock terkenal akan melamarku setelah pertemuan ketiga. Tiga kali pertemuan itu bukan kencan, lho. Aku sedang mengatur dekorasi pernikahan adik sepupunya dan kami hanya bertemu saat keluarganya melakukan gladi bersih.

Ya. Mereka melakukan gladi bersih pernikahan sebanyak tiga kali.

Kalau kupikir dia lucu, kenapa aku menerimanya?

Aku yakin Reza sedang bertepuk tangan dalam hati sekarang. Sejak Raksa mengajakku menikah, dia dengan lantang mengatakan bahwa dia berani taruhan nyawa sama iblis kalau pernikahanku bisa bertahan lebih dari dua bulan. Dia bahkan menyelidiki motif lamaran Raksa. Jangan-jangan dia dipaksa menikah supaya bisa mewarisi perusahaan rekaman terkenal milik kakeknya. Siapa tahu?

Namun, sampai lima bulan persiapan pernikahan, Reza tidak menemukan apa pun yang ganjil. Raksa juga tidak berubah pikiran.

Lima menit sebelum aku memasuki gereja, Reza masih berbisik: Lo yakin bakal ngelanjutin semua ini?

Dan tadaaa! Seharusnya aku mendengarkan nasihat sahabatku, bukannya marah saat dia bilang hidupku bukan cerita Cinderella. Hidupku adalah cerita dongeng modern. Dan tidak ada happy ending dalam modern fairytale.

"Time out, Bapa Johan!" kataku, yang langsung disambut gaduh oleh tamu-tamu yang memadati gereja. Aku menarik lengan Raksa, membawanya paksa ke sebuah ruangan persiapan di balik altar. Raksa mengikutiku dengan langkah lemah.

"Oke. Apa ini? Kamu diutus malaikat maut untuk membunuh papaku atau mamaku? Atau malah mau bunuh aku? Apa maksudmu nggak bisa menikahiku? Kamu nggak bisu, kan? Cincinnya nggak lupa kan kamu taruh di mana? Raksa... kamu jahat! Bukannya kamu yang meyakinkan aku buat nikahin kamu?" Aku menggertakkan rahang, membusungkan dada, dan menarik-embuskan napas berkali-kali.

"Aku minta maaf," ucap Raksa. Kepalanya menunduk dalam. "Aku nggak bisa melakukan ini."

Aku tertegun tak percaya. Ini pasti mimpi di siang bolong. Aku yakin semua mempelai wanita mengalami mimpi ini sebelum mereka benar-benar menjadi istri seseorang, saking khawatirnya pesta akan gagal. Sudah seminggu ini aku seperti orang gila. Sejak kami menyiapkan pesta pernikahan, aku sudah nyaris sinting, dan seminggu ini benar-benar berat.

Tidak ada yang kulakukan, selain memusatkan konsentrasi, mengirim sinyal ke alam bawah sadarku yang terdalam supaya aku lekas bangun tidur. Aku yakin, begitu aku bangun, aku akan kembali ke pukul 6 pagi hari yang sama, menemukan Mama membangunkanku dengan wajah penuh haru dan berlinang air mata.

"Raksa..." kusebut namanya. Suaraku bergetar, kerongkonganku terasa pedih—kering saat mengucapkannya. Dia menatapku dengan pandangan penuh rasa bersalah, dan aku tidak kunjung bangun dari tidur. "Kenapa kamu melakukan ini?"

"Aku nggak bisa nyakitin kamu, Kira, kamu terlalu baik," katanya terbata.

Meskipun aku tahu itu omong kosong, tapi aku tidak menyerah. "Kamu nyakitin aku dengan bersikap kayak gini. Apa sih susahnya bilang 'aku bersedia'? Terserah kalau kamu mau kita bercerai seminggu atau dua minggu dari sekarang, tapi paling nggak, pesta harus tetap diselenggarakan! Kalau nggak—siapa yang mau bayar sampanye dan kue-kue itu?"

"Tuh, kan. Kamu nggak cinta sama aku, Kiraaa!" kata Raksa.

"Jangan bilang kamu mencintai aku!" balasku.

"Aku cinta kamu, Kira!"

"Terus kenapaaa?!"

Raksa menghela napas berat. Dia menatapku dengan manik matanya yang cokelat terang, menyelam di kedalaman mataku seperti biasanya. Dan aku selalu luluh dengan cara menatapnya. Aku selalu suka warna bola matanya yang sewarna dengan milik Tante Yoona, mamanya.

"Awalnya, aku melakukan semua ini untuk publisitas—"

Mataku langsung membeliak, siap kembali meluapkan amarah. Namun, Raksa lebih dulu meredam dengan memintaku mendengarkan dulu penjelasannya.

"Aku tahu itu jahat. Awalnya aku hanya ingin berita tentangku tetap muncul di mana-mana, tapi..."

"Lo benar-benar menjijikkan!" umpatku.

"Tapi..." Raksa menahan tanganku yang melayang hendak memukulnya. "Tapi dengar dulu, tapi... lima bulan ini membuatku benar-benar jatuh cinta sama kamu. Biarpun begitu, aku tetap saja salah. Aku melakukan semua ini buat mengelabui banyak orang, aku merasa nggak adil sama kamu, Kira."

"Terus, apa masalahnya sekarang? Kalaupun awalnya maksud kamu buruk, bukankah sekarang kamu mencintai aku?"

Raksa melonggarkan dasi kupu-kupunya. "Aku nggak bisa menikah dengan orang yang nggak cinta sama aku, dan aku punya alasan yang nggak bisa kuungkap, kenapa aku nggak bisa melanjutkan sandiwara ini."

"Kamu berharap aku percaya omong kosongmu? Kamu selingkuh, kan? Siapa pacarmu, hm? Carissa? Cynthia? Siapa?"—aku bahkan nggak tahu nama siapa yang kusebutkan.

"Aku nggak bersama siapa pun sekarang, Kira. Cuma kamu. Justru karena sekarang aku cinta kamu, aku nggak bisa melakukan ini. Kamu nggak cinta sama aku. Iya kan?" tanya Raksa, suaranya terdengar melankolis.

"Siapa bilang aku nggak cinta kamu? Aku cinta kamu, kok! Udahlah, kita bahas ini nanti aja. Kalau memang kamu cinta sama aku, buat apa kita berdebat masalah ini? Aku, toh, dengan sukarela mau menikah sama kamu."

"This is wrong!" katanya.

"Di mana salahnya? Aku nggak ngerti!"

"Kira, kenapa kamu mau menikah sama aku?"

Karena dia memintaku. Karena dia terlalu indah buat jadi kenyataan dalam hidupku. Karena aku ingin hidup dalam impian semua gadis yang hidup di muka bumi ini. Karena lima bulan ini, dia berhasil membuatku jatuh hati padanya. "Karena aku cinta kamu."

Raksa tersenyum getir, kepalanya menggeleng pelan. "Aku nggak bisa memaksa seseorang yang nggak mencintai aku untuk menikah."

"Ini semua konyol! Jangan cari-cari alasan dan mengambinghitamkan perasaanku. Sebenarnya kamu cuma takut punya istri. Iya, kan? Well you know what, Raksa, kamu nggak ada bagus-bagusnya! Selain muka kamu ganteng, kamu nggak punya kelebihan apa-apa. Suara kamu jelek, main gitar keteteran terus, kamu lipsync di atas panggung, nggak bisa bikin lagu, dan kamu rocker yang lebih sering main FTV dibanding bikin album!"

"Kira—"

"Pergi kamu dari sini!" usirku kalap. Aku mendorong, menendang, memukulinya seperti banteng mengamuk di arena matador. "Awas kamu, ya! Aku akan bongkar skandal perselingkuhan kamu! Siapa pacarmu? Kak Revalina, kan?! Pantas kalian akrab banget!"

"Ya ampun! Dia lagi hamil!" seru Raksa, tidak percaya dengan tuduhan yang kulempar kepadanya.

"Terus? Sama siapa? ATT?! Jessica Iskandar! Harusnya aku tahu! Selebritas memang gudangnya perselingkuhan. Aku doain kamu... kamu... kalau kamu punya anak, matanya cuma satu di jidat! Atau istrimu nanti meninggal dimakan buaya! Kamu udah bikin papaku ngeluarin banyak uang buat nyewa gedung, biar kita menikah seperti sahabat-sahabat selebritasmu! Aku bakal nuntut kamu!"

"Aku yang akan bayar semua biaya yang dikeluarkan papamu, Kira... maafin aku. Kamu bisa pakai tiket bulan madu kita buat jalan-jalan. Kamu boleh sebarin alasan apa pun kenapa kita nggak jadi menikah. Kamu berhak melakukannya. Aku minta maaf. Kamu berhak atas kebahagiaanmu sendiri."

"Fuck you!" makiku. Begitu Raksa pergi, Mama masuk ke ruangan tempat aku menangis dalam ironi gaun pengantin. Beliau memelukku, meyakinkanku bahwa aku akan mendapatkan pengganti yang lebih baik.

Sehari setelah kejadian itu, kakakku hampir dipenjara karena mematahkan tulang hidung Raksa. Mungkin karena merasa bersalah, Raksa tidak menuntut dan kontrak Edo dengan salah satu perusahaan kakeknya tidak jadi dibatalkan. Segalanya kembali seperti semula, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Kecuali apa yang terjadi pada hatiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top