2. Doom Dada Doom
Lima bulan setelah pertemuan pertamaku dengan Raksa, aku menatap pantulan wajahku sendiri di cermin. Kata siapa gadis cantik selalu dari sananya cantik? Omong kosong. Peralatan make up bisa mengubah sebuah kentang menjadi kiwi.
"Ready dipasangin bulu mata ketiga, Shaaay?" tanya seorang cowok ber-make up tujuh kali lebih tebal daripada riasanku sehari-hari, tapi dalam versi yang jauh lebih glowing dan glamorous.
Kalau dibandingkan dengan ratusan rekan sejawatnya, kupikir Elektra syndome-ku belum benar-benar sembuh. Dalam dunia hiburan Indonesia, Raksa masih tergolong rookie alias pendatang baru. Yang membuatnya ramai jadi buah bibir tentu saja karena latar belakang keluarganya yang hebat dan—
"Melek!" perintah si banci.
—kaya raya.
"Merem melek!"
Raksa adalah putra tunggal dari pasangan musisi paling menonjol di negeri ini. Menurut orangtuaku, kedua orangtua Raksa sudah berpacaran sejak remaja dan menjadi relationship goal bagi banyak pasangan selebritas di akhir 90-an.
"Cucok!"
Bukan hanya itu, Tante Yoona—mamanya Raksa—adalah salah satu pewaris Hardian Group yang tersohor. Kakek Raksa adalah pemegang saham terbesar dari beberapa label rekaman, production house, restoran, hotel, mal, you name it! Gimana? Hebat, kan? Kebetulan, Tante Yoona hanya punya satu saudara perempuan yang sama sekali tidak peduli dengan harta keluarganya selama dia dibiarkan travelling keliling dunia. Dia juga tidak menikah. Mungkin belum, mungkin juga dia bahkan nggak ingat kalau usianya sudah menjelang 40. Bahkan bisa jadi lebih.
Kamu tahu dengan apa Raksa melamarku? Lihat, nih. Sebuah cincin berlian yang besarnya hanya bisa kamu sembunyikan kalau gigi gerahammu bolong dan menyisakan emailnya saja. Serius. Gede banget, kan?
Ya, Tuhan. Waktu lihat cincin ini untuk kali pertama, aku langsung berpikir cepat. Aku bahkan bisa membeli seseorang dengan berlian ini!
Siapa yang akan kubeli kalau misalkan kita bisa membeli seseorang? Mungkin Kai EXO. Aku bisa menyuruhnya jadi pengawal pribadiku. Tapi, memangnya dia mau dibayar dengan sebutir berlian? Bukannya dia visual grup yang mahal banget?
Demi mempersiapkan diri menjadi pasangan selebritas, aku meninggalkan pekerjaanku yang membosankan sebagai hotelier (padahal aku baru saja diangkat menjadi pegawai tetap, lho. Kamu harus lihat muka kecut bosku yang merasa kukhianati. Ya ampun, tapi bikin bos kesal itu emang asyik, ya? Terutama kalau kamu berniat meninggalkannya demi hidup yang lebih baik. Oh, God... puas banget rasanya), juga pekerjaan sambilanku menjadi perangkai bunga di penyedia jasa perencanaan pernikahan milik teman. Seperti yang pernah kubilang, aku banting tulang mengumpulkan uang tambahan untuk travelling keliling Eropa. Tentu saja aku membatalkan tabunganku, sebab Raksa akan membayariku tur keliling Eropa selama apa pun yang kumau. Mau pergi sepesawat sama Syahrini, itu soal mudah.
Oh... Syahrini memakai jet pribadi? Siapa juga yang mau sepesawat sama dia? Aku yakin Raksa bisa membelinya. Tidak dengan uangnya sendiri, sebab dia baru merintis karier, mungkin dengan uang kakeknya.
Apa yang lebih baik dari skenario hidupku ini? Kupikir nggak ada.
Aku mengabaikan imbauan semua orang untuk memikirkannya kembali. Terutama orang-orang terdekatku. Mereka agak kesulitan memahami jalan pikiran Raksa saat memilihku menjadi istri. Benar-benar bikin aku kesal. Kadang orang-orang yang dekat dengan kita memang suka seenaknya memandang rendah dan menutup mata pada keistimewaan yang bisa dilihat oleh orang lain, bukan?
Bagiku, yang penting sekarang, sih... lima bulan persiapan ini benar-benar terwujud dan tidak berantakan di tengah jalan. Jujur saja. Sampai semalam sebelum tidur, aku masih khawatir aku akan bangun di bulan ketiga atau keempat, mendapati diriku bermimpi karena ternyata aku sedang dalam keadaan koma setelah tertabrak Transjakarta sepulang kerja, atau kembali ke lima bulan lalu ketika semua kisah indah ini sebenarnya nggak pernah terjadi.
Frequently Asked Question sebagian orang yang menerima undangan pernikahanku adalah:
"Bagaimana gadis sepertimu bisa kenal Raksa?"
Biasanya, aku hanya tersenyum bijaksana, tetapi diam-diam menikmati wajah dengki mereka saat memastikan berulang kali nama calon pengantin pria yang bersanding dengan namaku dalam selembar undangan berwarna drunk-tank pink. Jujur saja, aku juga nyaris percaya bahwa seorang gadis hanya diperkenankan berkhayal sesuai kesempurnaan fisik mereka. Kalau seorang gadis secantik Sandra Dewi, punya impian menikah di Disneyland bukan hal yang konyol. Kalau kamu terlahir dengan kecantikan maha memikat dan suara bak malaikat surga seperti Raisa, tak akan ada orang yang mempertanyakan siapa yang akan menikahimu.
Tapi... kalau hal ini terjadi pada gadis berpenampilan biasa, meski lulusan terbaik Harvard (bukannya aku lulusan Harvard atau gimana), menikahi seorang seperti Raksa akan menimbulkan kerutan di dahi semua orang.
How shameful. Apa kabar dengan inner beauty, hmm? Bagaimana dengan kepintaran yang membuat seorang wanita jauh lebih menarik dari penampilannya? (Bukannya aku pintar juga, sih, itu hanya perumpamaan).
Sekarang kukasih tahu nih, ya. Sebaiknya kamu berhenti menghambur-hamburkan uang untuk memperbaiki penampilan demi memikat pria dan mulailah bersikap acuh tak acuh saat seorang pria sempurna mendekat. Seperti yang kubilang, pria akan menganggapmu kurang menantang kalau kamu bersikap terlalu terbuka. Begitu kamu cuek, mereka akan mengejar seperti anjing yang menguntit sekerat daging.
Boleh percaya, boleh tidak. Tapi, aku sangat berharap kamu bisa melihatku berdiri dibalut gaun cantik rancangan seorang desainer bridal terkenal (aku nggak akan bilang siapa, ya, kalian belum tentu tahu juga) supaya kamu bisa mulai sadar bahwa dongeng itu bisa terjadi pada siapa saja.
Lihat saja aku sekarang.
Aku seperti Cinderella versi modern.
Aku bahkan sudah lupa siapa itu Elektra King.
Lima bulan lalu, aku masih bekerja dari pukul 8 sampai pukul 5, kalau bosku tidak memaksaku lembur. Gajiku kecil, orangtuaku masih sering memberiku tambahan uang saku, abangku masih suka mengantar jemput karena Papa masih harus menunggu dana asuransinya cair untuk membelikanku mobil baru (itu juga kalau dia berniat membelikan mobil baru. Aku terus minta-minta seperti pengemis, tetapi dia nggak pernah bilang iya). Pada akhir pekan, aku bekerja paruh waktu untuk membayar rencana liburan bergengsiku.
Aku nyaris nggak punya pandangan soal jodoh. Setiap kali orang bertanya kapan aku akan mengenalkan seorang pria pada pertemuan keluarga, aku merasa setiap saat bisa menjadi pembunuh. Tentu saja akhirnya aku hanya sanggup memutar bola mata, membuat mereka berpikir bahwa menikah muda adalah suatu tradisi kuno.
Dulu, aku juga sama dengan kebanyakan gadis modern yang mengagung-agungkan usia muda. Aku benar-benar setia mencibir keputusan teman-teman yang memutuskan menikah dini, seolah itu patut disayangkan. Maksudku... aku baru saja memasuki usia 20-an. Masih banyak rookie K-pop pre-debut yang butuh dukunganku, sedangkan denting jam biologisku masih terasa sangat jauh di ujung dunia. Masih banyak perusahaan besar yang menanti karyawan berpotensi sepertiku, aku masih harus melanjutkan kuliah, pergi keliling dunia tanpa memikirkan apakah pasanganku selingkuh selama aku pergi, menjaga bentuk tubuhku dari stretchmark pascamelahirkan, dan sebagainya, dan sebagainya.
Sebelum tiba-tiba... deziiinggg!
Pada saat aku bahkan nggak menganggap menikah ada dalam bucket list, nggak berharap apa-apa, keajaiban itu datang.
Di mana-mana, impian seorang gadis, ya, menikah.
Terlepas dari tipe second cast-ku, aku tetap punya impian menikahi seorang CEO muda kaya raya seperti di cerita-cerita yang kubaca. Dunia membutuhkan pria-pria multijutawan yang sanggup melihat kedalaman hati seorang gadis, bukan melulu kecantikan fisik semata. Apa aku terdengar nggak relatable dengan tipe standarku?
Persetan.
Aku mau liburan panjang keliling Eropaku.
Aku mau belanja santai tanpa harus menunggu cuci gudang akhir tahun atau repot-repot menghitung potongan 50% tambah 20% itu sama dengan 70% atau tidak.
Aku ingin mengisi lemari dengan setumpuk setelan baju dalam seharga televisi 14 inci.
Siapa yang tidak ingin memenuhi kantong belanjaan tanpa melihat price tag dan menyerahkan begitu saja pada petugas kasir tanpa harus mempertimbangkan barang mana saja yang sebaiknya dibayar, dan mana yang terpaksa ditinggalkan, kemudian menghibur diri bahwa barang-barang itu memang diperlukan, padahal tidak?
Di atas semuanya, siapa yang tak ingin mendapatkan tatapan cemburu gadis-gadis seantero negeri karena berhasil menyanding pria impian mereka?
Kalau ada yang menjawab tidak, orang itu jelas bukan aku.
"Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Papa, lembut.
"Sudah, Pap," jawabku sukacita.
Sekali lagi, Papa memandangiku dengan tatapan menerawang jauh. Secara harfiah, dia sudah melakukan tatapan "seorang papa terharu melepas putrinya" itu sebanyak 27 kali sejak aku bangun tidur pagi ini.
"Kamu kelihatan cantik sekali, Kekira Laeticia Lamusu," ucapnya.
Tadi sewaktu dia mengatakan hal yang sama begitu aku selesai berdandan, aku memang menangis sampai perias banciku menggerutu karena harus membenarkan riasan mataku. Namun kini, aku begitu ingin mendengus. Hanya saja, aku tidak melakukannya. Masalahnya, aku tidak merasakan sesuatu yang mengharukan, kecuali perasaan bahagia.
Saat kakak sepupuku menikah, pernikahannya begitu mengharukan. Penuh air mata. Aku sampai heran, kalau mereka menangis sesenggukan seperti itu, kenapa mereka harus menikah?
Seakan mereka hendak melepaskan masa-masa bebas dan bahagia untuk masuk ke dalam sangkar mematikan yang akan membunuh eksistensi mereka. Aku tidak merasakan itu hari ini dan kupikir itu bagus. Yang ada di kepalaku... aku akan pergi berbulan madu ke Hawaii bersama Raksa.
Keren, kan?
Kenapa aku harus menangis kalau dua hari dari sekarang aku akan berjemur di tepi pantai di Honolulu? Minum punch langsung dari dalam buah nanas, melumuri seluruh tubuhku dengan minyak kelapa, dan bertingkah seolah ini liburan Hawaii-ku untuk yang kesekian kalinya? Aku akan pakai bikini dan melapisinya dengan blus tipis saat kami berjalan menyusuri pantai. Memangnya ngapain aku diet karbo? Cuma supaya muat dalam gaun ini? Rugi, dong! Pengorbanan ini kulakukan sekaligus supaya aku bisa memakai two piece swimsuit dan kelihatan seperti kontestan Miss Universe. Mungkin aku akan mempertimbangkan berenang, tapi mungkin juga tidak. Aku tidak ingin mengotori bikini Victoria Secret pertama dalam hidupku, sebenarnya. Kecuali Raksa mau membelikan sepasang yang lain setelah kami resmi menjadi suami istri.
Kualihkan perhatian pada Papa yang tengah terharu. Aku mengucapkan terima kasih, dan membalasnya, "Papa juga kelihatan sangat memesona!"
Aku nggak mengada-ada. Papaku memang tampan, selain berprestasi. Dia seorang arsitek andal yang sering dipercaya dalam mendesain gedung-gedung indah, jasanya bahkan dipakai sampai luar negeri, padahal usianya masih relatif muda. Belum genap 50 tahun. Abangku, Edo, mewarisi ketampanannya. Dia seorang model yang sedang naik daun. Ini sekaligus menjelasakan bagaimana aku bisa bekerja di wedding organizer yang sering menangani pernikahan selebritas, dan akhirnya mempertemukanku dengan Raksa.
Itu dia abangku. Yang berdiri di samping cewek berambut keriting dan adik lelakinya yang berwajah cantik. Kalau kalian melihatnya, pasti kalian berpikir cewek itu adalah cowok yang buruk dalam hobi cross dressing, sedangkan cowok itu seperti cewek tomboi yang tetap cantik meski berbusana pria.
Bang Edo melambai dengan raut panik karena kami tidak kunjung melangkah masuk.
Musik pengiring pengantin mulai dilantunkan.
Dadaku bergetar hebat mendengar denting piano yang mengalun indah dan syahdu. Aku mengeratkan pegangan di tangan Papa.
Di ujung sana, tepat di depan altar yang disulap begitu cantik berhias beraneka bunga dalam nuansa pink lembut dan putih, pria itu berdiri dengan wajah penuh keyakin—tunggu dulu. Kenapa Raksa kelihatan pucat? Oh, pasti dia gugup. Sama sepertiku. Aku juga nervous. Bedanya... make up-ku tebal. Orang mati saja akan tampak hidup dengan riasan begini. Aku paham kalau dia gugup, tapi apa dia harus tampak sesedih itu?
Apa dia menyesal di detik-detik menjelang pernikahan?
"Kekira..." bisik Raksa, tepat setelah Papa menyerahkan aku kepadanya.
Aku tersenyum semanis mungkin.
"Aku nggak bisa nikahin kamu!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top