13. Follow Me

Cerita ini dulu aku tulis gara-gara aku secinta itu sama TOP 😅

"Oh... pagi, Keke!"

Aku menelan ludah saat akhirnya Tante Tiffany berbalik dan menyapa. Top ikut menoleh. Cepat-cepat aku senyum karena nggak bisa buru-buru menetralkan keherananku.

Sambil menjauh dari Top, Tante Tif bertanya, "Nyenyak tidurnya semalem?"

"Lumayan, Tante," jawabku, melempar tatapan pada punggung Top yang kembali sibuk memasukkan buah-buahan ke dalam blender.

"Kami lagi bikin smoothies. Kamu mau yang sayuran atau mau dicampur buah? Ada lemon, kiwi, dan apel," ujar tante-tante yang nggak canggung sama sekali melihatku berdiri kikuk di ambang pintu.

"Apa aja," jawabku singkat.

"Yakin apa aja? Kalau apa aja, kamu bakal dikerjain sama Top, lho. Dia nyuci banyak sawi dan seledri pagi ini!"

Tubuh Top hanya bergerak seadanya saat Tante Tif memukul lengannya sambil tertawa. Aku memutuskan untuk duduk di meja makan sementara mereka sibuk memotong dan menghancurkan buah dan sayur sembari bersenda gurau. Sesekali, Top menghampiri meja untuk meletakkan kepingan toast dan apel.

Mungkin cuma aku yang menyadarinya, bisa juga aku cuma membayangkannya, tapi setiap kali Top mampir ke mejaku, Tante Tif selalu buru-buru memanggil. Aku jadi pengin cepat-cepat menyelesaikan sarapan dan pergi dari sana, sehingga waktu ponselku berbunyi, aku langsung mohon diri nggak pakai lama.

"Gimana Raksa, udah bangun?" tanya Bang Edo tanpa basa-basi.

Aku mengeluh. "Baru juga semalem."

"Semalem, kan, di sananya. Dia udah koma dua harian."

"Belum," jawabku sambil menutup pintu kamar. "Bang Edo nggak akan ke sini?"

"Nggaklah... tapi besok-besok gue pasti ke sana. Mama juga udah ingetin terus."

"Kapan?"

"Ya nanti, Dek. Abang lagi sibuk. Lagian di sana ada tantenya Raksa sama Top, kan? Kamu getting along sama mereka, kan? Jangan dekem di kamar aja!"

Justru itu masalahnya!

Mereka berdua, kok, agak-agak kelewat akrab gitu, ya? Aku merasa ganjil aja waktu melihat Tante Tiffany sama Top, yang kira-kira bedanya 15 tahun, suap-suapan potongan buah di dapur. Selama mereka bikin smoothies buat sarapan tadi, lama-lama aku merasa kayak obat nyamuk. Mereka memang ramah banget ke aku, but somehow awkward aja.

Top juga kentara banget jaga jarak sama aku kalau di depan Tante Tif, bikin aku menduga yang iya-iya tentang hubungan mereka. Ya kali gede banget gap-nya, kan? Apalagi menurut cerita Top, dia ikut diadopsi oleh Tante Yoona bareng Raksa meski bukan sebagai anak, tapi apa nggak aneh sama status mereka?

Well... itu emang bukan urusanku, sih, tapi aku makin merasa seharusnya nggak berada di sana. Aku pengin pulaaang. Lagian, sampai kapan coba aku harus di sini?

"Baru juga semalam!" sembur Bang Edo, membalas perkataanku waktu aku bilang nggak betah. "Sabar, dong. Yang namanya perbuatan baik itu butuh kesabaran, nanti juga lo sendiri yang nikmatin hasilnya. Iya, kan?"

Entah apa maksudnya, aku malas membantah.

Aku masih punya anggapan diam-diam mereka hanya menggunakan macam-macam alasan bunuh diri Raksa karena yakin aku belum bisa move on. Mereka pikir aku bakal senang dan berharap kami bakal jadian lagi. Aku sendiri enggan berharap. Kalau kemarin aku merasa tujuanku berada di sini begitu bulat, sekarang sudah buyar lagi.

"Kalau Raksa udah siuman, kasih tahu Abang segera, ya? Biar bisa ngabarin Mama. Pusing gue diteleponin Mama."

"Kok Mama nggak nelepon aku?"

"Kalau nelepon, pasti lo ngerengek minta pulang. Mama bakal kasihan, terus runyam, deh, semuanya. Lagian lo mending sembunyi di situ dulu. Rumah masih sering didatengin wartawan. Abang aja nginep di tempat temen. Mama di Bandung."

"Papa?"

"Papa cuti."

Sampai segitunya amat, sih, ini orang-orang. Ganggu hidup orang lain aja. Apa coba yang mereka dapet dari kepo gitu? Bukannya ikut sedih sama keadaan Raksa.

Habis telepon ditutup, aku nggak langsung ke mana-mana. Bengong aja di balkon. Sesekali ngebales chat Leah yang lagi ribet bantuin acara pernikahan adiknya. Coba aku nggak di sini... eng... tapi kalau aku nggak di sini, belum tentu juga aku mau keluar rumah, sih. Apalagi bantuin persiapan pernikahan.

Memikirkannya saja bikin bulu kuduk di sekujur tubuhku suka meremang sendiri.

Jangan-jangan aku bakal fobia pernikahan, ya? Apa semua orang yang pernah gagal menikah, atau pernah gagal dalam pernikahan, akan merinding juga sepertiku kalau mendengar orang lain bakal menikah? Rasanya aku selalu ingin memberitahu mempelai perempuan supaya berhati-hati. Mereka semuanya ular. Mereka akan mengacaukan impian terbesar perempuan dengan berpura-pura mewujudkannya.

Mungkin aku memutuskan nggak akan menikah sampai trauma ini lepas dari benakku. It's scary. Membayangkan puluhan pasang mata mengasihaniku pagi itu di gereja, apa mereka akan percaya kalau undangan dengan namaku kembali datang ke rumah mereka? Jangan-jangan mereka akan datang dan berharap ada hal seru lain seperti yang terjadi pada undangan sebelumnya?

Mungkin aku nggak akan menikah di depan orang-orang yang dulu kuundang. Tapi itu nggak mungkin juga, memangnya saudara dan teman-temanku akan terima kalau aku—

"Hey!"

—nggak mengundang mereka?

Top melambai tepat di bawah balkonku.

Dan aku nggak bisa melihatnya seperti caraku memandangnya kemarin. Kenapa, ya? Aku hanya menaikkan alis membalas sapaannya.

"You don't come back for your smothies," katanya.

"I am not that into veggies."

"Mau nyari sarapan sungguhan?"

Tanpa sadar, aku memberengutkan bibir. Aku malas kalau perginya bertiga Tante Tif, nanti aku malah jadi obat nyamuk.

"Ada bubur ayam lumayan, jalan dikit ke depan."

Mau tanya apakah kami akan pergi berdua saja, atau bertiga, kira-kira kedengaran nggak sopan nggak, ya?

"Gue juga nggak habis smoothies-nya. Tante Tiffany lagi mandi, dia nggak akan mau makan bubur ayam. Lagi diet."

Diet? Mau ngilangin lemak di mananya lagi dia?

Eh, tapi... kok dia bawa-bawa Tante Tiffany? Apa dia tahu aku merasa nggak nyaman tadi?

"Jauh?" tanyaku akhirnya.

Top menyunggingkan senyum. "Nggak. Turun sini. Habis sarapan, gue mau nunjukin sesuatu."

"Gue nggak mau basah-basahan kayak kemaren!" sungutku. "Lo resek."

"Nggak," janjinya. "Kardigan lo ada di ruang depan. Pakai, ya? Di sini nggak kayak di Jakarta, dingin."

Aku juga sudah tahu, maka dari itu, tanpa menanggapi imbauannya, aku langsung menyambar ponsel dan beberapa lembar rupiah yang kujejalkan di kantong celana sebelum turun ke lantai satu. Kardiganku terlipat rapi di sofa ruang depan. Sambil mengenakannya, aku berjalan memutar setengah bagian rumah ke bagian bawah balkonku. Top muncul dari arah gudang sambil menuntun sepeda.

"Lo bilang kita jalan," komentarku.

"Gue bilang jalan emang? Gue bilang deket sini."

"Lo bilang jalan tadi."

"My bad," cengir Top. "Gue boncengin, ya?"

Aku udah lama nggak diboncengin naik sepeda tandem beginian. Untuk dua kayuh pertama, aku sengaja mengambangkan kaki. Ketika sepeda mulai berjalan seimbang, perlahan aku mengayuh mengikuti kayuhan Top. Ini nggak sulit, asal yang bonceng nggak egois melambat atau mempercepat kayuhan. Biasanya kalau lagi akur, aku dan Bang Edo gowes gini tanpa babak belur. Kami pernah terjun dari sepeda tandem ke selokan di rumah nenek karena sepanjang jalan adu mulut.

"Segar, kan?" tanya Top saat kami bersepada diapit rimbun kebun teh. Suaranya tetap terdengar jelas meski kami melawan angin yang kencang menderu.

Aku hanya memenuhi paru-paru dengan udara segar sepuasnya sebagai jawaban. Kepalaku sibuk menengok kanan kiri sebab Top menghalangi pendanganku ke depan dengan punggung lebarnya. Yah... memandangi punggung pria sebenarnya nggak buruk juga, tapi dia bukan siapa-siapaku, jadi aku agak merasa malu sendiri menatapnya terus-menerus.

Top mengingatkanku tentang dinginnya udara pagi, tetapi dia sendiri mengikat kemeja flanelnya di pinggang. Sementara aku mengenakan kardigan, dia cuma berbalut sporty shirt tanpa lengan seperti yang dipakainya kemarin. Aku bisa melihat bahu dan punggung kekarnya terpapar sebagian. Kalau aku memajukan wajah sedikit, hidungku bisa mencium aroma kolonye pria bercampur segarnya embun pagi.

And there we go! Saking gembiranya karena kami mampu menempuh medan tak dikenal dengan mulus tanpa hambatan, aku melompat turun dari jok sepeda seperti anak kecil. Pipiku terasa dingin tertampar angin. Buku-buku jariku kaku seperti membeku. Segelas teh hangat dan semangkuk bubur menghangatkannya kembali.

"Apa Tante Yoona akan ke sini hari ini?"

"Gue nggak jamin. Kenapa? Lo lebih seneng sama Tante Yoona daripada Tante Tiffany?" Top membalik pertanyaanku, kemudian menyuap sesendok bubur.

Aku masih mengaduk. "Nggak juga. Kalau lo?"

"Tante Tif dan Tante Yoona?" ulangnya, kujawab dengan anggukan kepala. "Hmm... gue udah nggak terlalu dekat dengan Tante Tif, tapi dengan Tante Yoona juga nggak sedekat dulu. Banyak hal berubah setelah gue tumbuh dewasa. Gue nggak nyalahin Tante Yoona, sih, karena memang gue nggak kayak Raksa yang diadopsi buat jadi anaknya."

Aku nggak paham situasinya, tapi pura-pura paham.

Kalau soal Tante Yoona, aku nggak terlalu ambil pusing. Perkataannya yang sempat kudengar kemarin mungkin hanya ungkapan kekhawatirannya terhadap kedekatan Top denganku, sementara putranya dalam keadaan koma. Tapi... nggak dekat dengan Tante Tif? Sejak dia datang aja mereka nempel terus, pagi ini mereka bercanda akrab, skinship-nya udah kayak orang punya hubungan khusus.

Apa aku berhalusinasi?

Mungkin juga. Aku, kan, nggak kenal mereka, nggak tahu hubungan mereka seperti apa.

"Kenapa? Jangan-jangan lo curiga gue ada apa-apa sama Tante Tif karena kami bercandanya deket banget, ya?"

Karena ditebak dengan tepat, aku nggak punya pilihan selain meringis. Membenarkan.

"Tante Tiffany, sih, kayak gitu ke semua orang, apalagi ke gue yang udah dia anggap adik sendiri. Kami memang jarang ketemu, tapi komunikasi nggak putus. Tapi ya... cuma itu. Kelihatannya aja dekat, bercanda, tapi kita nggak banyak tahu satu sama lain. Meski kayaknya dia open banget, dia cukup tertutup kalau menyangkut kehidupan pribadinya. Tapi nggak aneh, sih, kalau lo salah paham. Lo bukan orang pertama yang mikir gitu."

"Tante Yoona juga?"

Top sempat berhenti menyuap mendengar pertanyaanku. "You're quite sharp."

"Thank you."

"Tante Yoona dan Tante Tif nggak pernah akur udah lama banget, kayaknya gue bahkan nggak ingat mereka pernah akrab. Kakek Hardian terlalu kaya, terlalu sibuk, jadi anaknya malah nggak dekat sama dia. Apalagi setelah istrinya meninggal, anak-anaknya banyak berantem. Yang soal bagian, soal tunjangan, sampai ke hal-hal pribadi. Gue sebenernya nggak pengin ngomong ini sih, tapi yah... kayaknya lo nggak akan dapat gambaran kalau gue nggak bilang."

"Apa, tuh?"

"Kalau nggak salah, suaminya Tante Yoona itu punya adik yang pacaran sama Tante Tif. Dia marah karena diam-diam Tante Yoona malah pacaran sama kakak pacarnya dan duluan menikah."

Aku melongo. "Ya ampun... jadinya mereka nggak bisa ngelanjutin hubungan, gitu?"

Top membenarkan. "Dan jadi dendam kesumat yang nggak pernah bisa diredam. Habis itu Tante Tif juga nggak pernah punya hubungan serius, dan sejak mantannya itu menikah, Tante Tif bepergian ke mana-mana. Tragis, ya?"

"Lo tahu dari mana?"

"Dari rumor yang beredar. Kan udah gue bilang, kami memang kelihatannya aja dekat, tapi nggak banyak saling tahu urusan pribadi masing-masing. Jadi, ya gue denger dari rumor-rumor aja."

"Apa Tante Tif... tahu soal Raksa?"

"Tahu, lah, kalau soal itu. Tante Tiffany baik banget, kok, orangnya. Dia sayang ke Raksa, ke gue juga baik. Kayaknya kebenciannya udah habis ke Tante Yoona semua."

Aku melanjutkan makan dalam diam. Ada rasa lega setelah mendengar penjelasan panjang lebar Top mengenai hubungannya dengan Tante Tif. Namun, rasa lega itu cuma mampir sebentar banget, karena selanjutnya aku merasa konyol. Apa hubungannya sama aku? Jangan-jangan aku mulai nggak cuma kesal kalau lihat orang nikah, tapi ke pasangan mesra juga? Duh, aku nggak boleh gini. Kalau sikap kayak gini kupelihara, salah-salah lihat kucing kawin aja aku jengkel.

"Enak?" Top tanya setelah menghabisi mangkuk kedua. "Mau nambah?"

Kukulum senyum tersipu sambil menggeleng. Waktu nanya, Top menopang dagu sambil memandangi wajahku lekat-lekat.

"You eat so slow," ucapnya. "Persis kata Raksa."

"Dia bilang gitu?"

"Iya. Buruan, yuk. Entar gue malah nambah semangkuk lagi sambil nungguin lo kelamaan. Habis ini gue ajak ke tempat Raksa biasa ngerjain lagu."

"Jauh?"

"Nggak."

Aku memicingkan mata.

"Serius, nggak!" Top tertawa.

Dia nggak bohong. Memang nggak jauh. Kami hanya bersepeda kurang dari lima menit, menemukan rumah berarsitektur kuno yang jauh lebih kecil dibanding vila yang kami tinggali, lalu turun dari sepeda. Lagi-lagi, karena terlalu bersemangat, aku melompat. Sayangnya, kali ini aku nggak mendarat sempurna. Kakiku yang kurang seimbang menjerat kakiku yang lain sehingga tubuhku terhuyung-huyung. Top menangkapku tepat sebelum jatuh.

Aku bertanya-tanya, kenapa jantungku berdegup begitu kencang saat lengannya merengkuh pinggangku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top