11. Oh Mom

Aku tambahin lima part, ya...
Ebook Second Lead bisa juga kamu download di karyakarsa.com/kincirmainan

"Dari mana aja kamu?"

Karena kupikir pertanyaan itu ditujukan kepadaku, aku langsung menjawab jujur, "Curug."

Tante Yoona, yang semula memasang tampang galak langsung mengerut salah tingkah. Matanya yang memelotot berubah menjadi mata senyum. Dengan penuh haru, dia menghambur anggun mendekatiku.

Semula, karena bajuku cukup basah gara-gara keusilan Top, aku bermaksud mencegahnya. Namun, Tante Yoona yang berjalan terlalu cepat keburu memelukku duluan.

"Duuuh bukan kamu, sayaaang!" serunya dengan suara melengking.

Aku menyambut pelukan yang terkesan berlebihan itu-canggung-sambil berkata, "Baju aku basah, lho, Tante...."

"Oh, nggak apa-apa," tepisnya. Katanya, sih, nggak apa-apa, tapi badanku langsung didorong halus menjauh. "Apa kabar, Keke? Makasih, ya, udah mau ke sini buat Raksa...."

Aku mengulum senyum.

Kayaknya aku sudah pernah bilang seperti apa mamanya Raksa. Tipikal nyonya besar yang stay slim dan glamor di usia senja. Untuk mempertahankan kemudaannya, dia rajin perawatan sampai menghabiskan puluhan, bahkan ratusan juta per minggu. Per minggu, ya, bukan per bulan. Jambulnya tinggi, rambutnya hitam mengilap, badannya penuh perhiasan mahal, brand yang dipakai? Jangan tanya. Dia punya salon sendiri di rumah utama mereka. Seminggu sekali dia belanja ke Singapura, Jepang, Paris, New York, dan aku nggak sedang bercanda atau melebih-lebihkan. Heran juga anaknya cuma dilempar ke Puncak. Coba ke Korea, kan, aku bisa sekalian jalan-jalan.

Kali pertama Raksa memperkenalkanku kepadanya, kupikir adegannya akan seperti di drama-drama Korea. Mamanya akan membenciku karena mengira aku hanya ingin mengeruk dan menguasai harta putranya, lalu aku akan ditawari sekoper uang asal mau meninggalkan Raksa. Aku bahkan sudah menyiapkan jawaban yang dramatis kalau sampai itu terjadi, tetapi nyatanya nggak.

Dia, sih, nggak baik-baik amat kayak mama-baik-hati di sinetron Indonesia juga, sewajarnya orang kaya ke orang miskin ajalah gimana. Ramah, tapi kadang kena conversation gap, mencoba keep up pembicaraan tapi nggak paham juga apa yang kita jawab karena dunianya udah beda duluan. Meneliti penampilan udah pasti, tapi sejauh ini masih bisa ditoleransi. Memulai pertanyaan dengan formula jawaban panjang, tetapi selalu memutus jawaban di tengah karena-jelas-dia nggak benar-benar tertarik dengan apa yang orang lain bicarakan.

Orang kaya mah bebas.

"Mama udah bicara sama mama kamu juga kemarin," kata Tante Yoona. "Kamu masih mau kan, manggil Tante 'mama'?"

Kepalaku mengangguk ragu.

Tante Yoona beralih kepada Top, bertanya dengan nada dingin, "Kenapa baju kamu basah?"

"Aku ganti baju dulu," kata Top datar.

Tante Yoona mendengus, tetapi saat beralih padaku, senyumnya melebar kembali.

"Gimana perjalanan kamu, Keke?"

"Ba-"

"Mana Edo?"

"Keke nggak ta-"

"Jalan, ya, sama si Panca? Dia nginep kan, ya?"

Seperti itulah kira-kira. Aku nggak perlu benar-benar mempersiapkan jawaban panjang karena pasti dia udah menyimpulkan duluan, atau nggak sabar melompat ke pertanyaan selanjutnya.

Setelah pertanyaan basa-basi yang bikin aku megap-megap karena selalu dipotong sebelum selesai bicara, akhirnya Tante Yoona mengajak ke ruangan Raksa. Putra tampannya itu ditidurkan di salah satu kamar terbesar yang letaknya nggak terlalu jauh dari kamarku. Tempat tidurnya diletakkan di sisi jendela besar berterali dan berhias gorden megah. Raksa tidur tenang seperti pangeran dalam negeri dongeng. Dia ganteng meski kulit putih bersihnya tampak pucat, hanya kelopak mata tertutupnya yang berseri lembut merah muda yang memberinya warna kehidupan. Bulu-bulu mata lentik dan panjang-yang paling kusuka dari seluruh bagian wajahnya-menempel di permukaan tulang pipinya yang tampak cekung. Jika tidak terdapat selang pernapasan menyumpal lubang hidung, standing infus, dan monitor pasien di sekeliling tempat tidurnya, Raksa seperti benar-benar hanya sedang lelap.

Sosok yang beberapa bulan ini selalu ingin kulupakan kini tergolek tak berdaya di atas tempat tidur. Sesaat, aku sempat tak percaya seseorang seindah ini menaruh hati kepadaku. Kalau saat itu aku menggunakan akal sehat, mungkin kami nggak harus berada pada situasi seperti ini. Kalau saat dia mendekat aku menggunakan logikaku, seharusnya aku sadar kami berdua seperti hidup di dunia berbeda yang nggak punya kesempatan untuk bersatu.

"Waktu Raksa bilang kepadaku dia sedang jatuh cinta, terus terang saja aku agak tidak tulus merelakannya," ujar Tante Yoona pelan. Dia duduk di sisi pembaringan Raksa, mengusap rambut putranya dan menatanya ke balik daun telinga.

"Mamaku juga," balasku sama pelannya.

"Hmm?" Tante Yoona menggumam. Tangannya menari mengajakku mendekati Raksa ke sisi lain tempat tidur.

"Mamaku juga agak tidak tulus merelakan Raksa jatuh cinta kepadaku, Tan," jelasku.

"Oh, itu tidak benar," ucap Tante Yoona.

"Semua orang juga menyayangkannya," imbuhku lagi. "Mungkin itu yang bikin aku nggak terlalu ingin mempertahankan Raksa. Karena aku tahu, aku nggak sepadan dengannya."

"Itu nggak benar, Sayang," tukas Tante Yoona. Diremasnya jemariku di atas dada Raksa. "Mama nggak rela bukan karena kamu yang dia cinta, melainkan karena Mama masih ingin menganggapnya milik Mama seorang."

Kubalas remasan jemari Tante Yoona, tetapi mataku tak bisa beralih dari wajah Raksa yang seperti orang tidur.

Hubungan fisik kami memang belum terlalu jauh. Raksa tidak pernah menyentuhku secara seksual. Kami bertatapan, bersentuhan tangan, berciuman, tetapi tidak pernah lebih dari itu. Namun, aku pernah beberapa kali menghabiskan hari-hari bersamanya, menemaninya tidur siang, atau berbaring di tepi kolam renang apartemennya. Aku nggak mungkin lupa bagaimana wajahnya saat tidur. Damai seperti bayi. Embusan napasnya teratur, senada dengan naik turun dadanya. Ah, jangan-jangan bukan kebencian yang menghalangi langkahku buat move on, melainkan karena Raksa ternyata seindah ini.

Aku terlalu sibuk memikirkan kebahagiaanku yang hancur hingga menuduh rasa bencilah yang membuatku terpuruk.

Apa aku masih mencintai Raksa?

"Dia anakku satu-satunya." Ucapan lirih Tante Yoona bikin aku terperangah karena ingat kisah Top mengenai Raksa. Namun, ketika seorang ibu mengasuh seorang anak, darah dagingnya atau bukan, mereka tentu akan dengan mudah menganggap anak mereka sendiri, kan? Aku juga begitu sama Odi dulu. Bukan, Odi bukan manusia. Dia anjing yang sudah kuanggap anak sendiri, kuasuh sejak bayi.

"Harusnya waktu itu aku meyakinkan dia lebih keras lagi. Dia terlalu takut kamu kecewa kepadanya, Keke...." Tante Yoona mulai menangis.

Aku bingung harus bagaimana. Apa aku mesti pura-pura nggak tahu, atau sebaliknya? Namun, aku ingat, dia nggak butuh-butuh amat tanggapanku. Cuma mau didengar.

"Top atau Edo sudah jelasin ke kamu?" tanyanya.

"Soal apa, Tante?"

Tante Yoona terisak, "Soal hubungan Mama dan Raksa sebenarnya...."

Aku mengangguk, "Sud-"

"Ooooh..."

Nah, kan?

"Sejak kecil perasaannya halus, mudah terluka, mudah khawatir, dan selalu takut akan mengecewakan orang lain. Dia selalu bersikap tenang, nggak banyak bicara, tapi jauh di lubuk hatinya... dia menyimpan kegelisahan...."

Tangisnya makin kencang sampai-sampai aku khawatir kalau Raksa akan bangun. Aku sudah berniat menenangkannya, tapi lalu kupikir-pikir... bukannya bagus kalau Raksa bangun? Jadi aku diam saja.

"Keke... bisa kamu ke sini? Ke dekat Mama?"

Aku menuruti permintaannya tanpa bicara. Kalau bicara juga bakal dipotong. Dalam diam, aku melepaskan jemariku dari genggaman tangan Tante Yoona dan berjalan pelan memutari tempat tidur, mendekatinya.

Tante Yoona menyambar kedua tanganku dan menyimpannya kembali dalam genggaman. Aku tidak melawan saat perempuan itu menempelkan pipinya yang basah oleh air mata. Kutunggu sampai isak tangisnya mereda, baru kemudian wajahnya yang basah oleh air mata mendongak. Ya ampun... eyeliner dan maskaranya nyaris nggak luntur, padahal matanya sampai sembap.

"Mama boleh minta sesuatu sama kamu, Keke?" tanyanya memelas.

"Boleh, Tan-"

"Oh... Mama tahu Mama nggak berhak mengajukan permintaan seperti ini...."

Astaga, dia benar-benar nggak ngasih kesempatan buatku ngelarin satu kataaa aja!

"Mama tahu kamu pasti terluka atas perlakuan Raksa ke kamu, Sayang. Tapi kamu sudah dengar alasannya, kan? Apa kamu ngerti kenapa dia ngambil keputusan kayak gitu?"

Aku baru mau buka mulut, tetapi ternyata Tante Yoona belum selesai bicara.

"Dari awal ketemu, Mama tahu kamu gadis yang baik. Raksa nggak pernah ngenalin pacar sebelumnya ke Mama dan Mama selalu percaya sama pilihannya. Atas nama Raksa... Mama mau minta maaf sekali lagi. Apa kamu mau maafin Raksa?"

Aku mengangguk sajalah akhirnya.

"Sungguh?"

"Iya, Tante... aku maafin Raksa, kok." Oh, finally. Aku bisa menyelesaikan satu kalimat!

Tante Yoona menangis penuh syukur, tersengal, tetapi bersikeras mengucapkan terima kasih berulang kali. Iba melihat seorang ibu menangis, kucoba membantu dengan mengulurkan kotak tisu, tetapi dia menolak sambil mengelus dadanya. (Oh, aku baru ingat dia juga aktif dalam organisasi penyayang alam yang sedang rajin mengampanyekan penggalangan donasi untuk penanaman pohon demi kembalinya habitat alami hutan, meski aku curiga salah satu sepatunya terbuat dari kulit buaya). Alih-alih, dia memilih mengambil tas mahal yang diletakkannya di nakas, lalu mengeluarkan selembar saputangan sutra dengan bordir benang emas.

"Maaf... maaf," ucapnya.

"Nggak apa-apa, Tante...."

"Ada satu hal lagi yang ingin Mama tanyakan ke kamu, Ke...."

Perasaanku langsung nggak menentu. Aku bisa menebak ke mana arah pembicaraan Tante Yoona dengan membawaku ke sini.

"Keke... mau nggak kamu... ngasih kesempatan kedua buat Raksa?"

Sesuai dugaan.

Bukannya aku nggak mau, tapi bukankah belum ada seorang pun yang tahu alasan sebenarnya Raksa melakukan itu? Emang nggak ada yang kepikiran, barangkali sebenarnya dia lupa udah minum obat tidurnya, terus minum lagi, gitu? Siapa tahu dia nggak sengaja....

"Paling nggak... pertimbangkan perasaan Raksa kalau dia ngajak kamu pacaran lagi. Kamu nggak perlu buru-buru seperti kemarin, mungkin kalian butuh lebih banyak waktu untuk mengerti satu sama lain. Ya? Keke? Mama mohon...."

"Tapi, Tante-"

"Kamu mau kan, Keke? Pertimbangkan aja permintaan Mama ini.... Mama nggak bisa melihat Raksa menderita lagi.... Uhuhuhu...."-Itu suara Tante Yoona nangis lagi.

Duh... gimana, ya? Aku, tuh, mikirnya gini... kalau ternyata Raksa sama sekali bukan bunuh diri karena aku, mau ditaruh di mana mukaku? Mereka sendiri yang bilang dia suka banyak pikiran, kan? Sekarang gini aja, kalau emang dia masih cinta sama aku, kenapa dia nggak nyari aku? Well... aku nggak tahu, sih, apa yang ada di kepala orang yang kepikiran bunuh diri, tetapi aku nggak berniat menyakiti hatiku lebih dalam lagi dengan harapan palsu. Aku ke sini buat nyari jawaban, bukan mau balikan sama Raksa.

"Keke...."

"Aku nggak bisa janji apa-apa, Tante...." Aku diam, siapa tahu omonganku akan dipotong lagi, tetapi Tante Yoona juga diam. Menatapku harap-harap cemas. "Tapi aku pasti akan dengerin kalau Raksa mau ngomong sama aku. Soal kami ke depannya, biarin aja waktu yang menjawab."

Habis ngomong gitu, Tante Yoona kembali memelukku, dan bertepatan dengan kehadiran Top yang kayaknya habis mandi, aku disuruh istirahat setelah pembicaraan kami selesai.

"Sampai jumpa lagi," bisik Top saat aku melewatinya.

"Lo mau ke mana?" tanyaku.

Pertanyaanku belum terjawab, Tante Yoona sudah lebih dulu menyebut nama Top lagi dengan nada galak. Aku saja sampai kaget. Nggak pernah kayaknya dia ngomong dengan nada seperti itu sebelumnya. Tanpa menjawab panggilan, Top mempercepat langkah dan aku menutup pintu di balik tubuhku. Berjalan menuju kamar.

Bang Edo dan temannya ada di kamar.

"Udah lihat Raksa?" tanyanya begitu aku menunjukkan batang hidung.

Aku melirik teman Bang Edo yang sedang duduk di atas tempat tidur.

"Udah!" jawabku ketus. "Bang Edo nggak ada kamar sendiri?"

"Abang balik hari ini," katanya santai.

"Balik? Bukannya Bang Edo bakal nemenin aku di sini? Yang bener aja, masa aku di sini berduaan sama Raksa doang?"

"Nggak akan berduaan juga. Nanti ada orangnya Tante Yoona, dokter, suster, ada Top juga. Tante Yoona juga bakal sering-sering ke sini."

Oh... Top juga? "Tapi, Bang-"

"Eh-" potongnya, kebiasaan kalau aku udah mulai protes. "Kardigan lo mana? Perasaan Abang lihat tadi pakai kardigan pas balik dari jalan sama Top."

"Oh... paling ketinggalan di kamar Raksa."

"Ambil, gih."

"Bang, nggak usah mengalihkan pembicaraan, deh. Aku nggak mau di sini sendirian. Bang Edo kudu nemenin, dooong!" rengekku.

"Nanti juga gue bakal sering-sering datang. Kan Abang ada kerjaan juga. Nggak mungkin di sini terus. Udah, deh. Lo udah gede dan ingat... lo emang butuh di sini."

Sial. Tiba-tiba, aku merasa kesal banget karena semua orang mendadak ribut menentukan apa yang kubutuhkan. Setelah aku nurut, ditinggalin gitu aja.

Nggak mau berdebat lagi sama Bang Edo, aku tinggalin mereka berdua buat ngambil kardiganku di kamar Raksa. Di ambang pintu, aku baru ingat kalau Tante Yoona dan Top sedang di dalam, jadi nggak langsung ketuk-ketuk. Siapa tahu mereka lagi ngobrol serius, kuputuskan nguping dulu.

Nggak ada suara.

Mungkin mereka udah keluar.

Hati-hati, aku membuka pintu dan mengintip. Ternyata dugaanku keliru. Mereka berdua masih ada di dalam. Aku baru mau menarik diri dan menutup pintu kembali, tetapi keburu terdengar suara keras yang bikin aku melanjutkan pengamatan diam-diamku. Top terhempas menabrak meja kosong di belakangnya.

"Jangan coba-coba deketin dia!" kecam suara Tante Yoona. "Dan kamu harus tetap berada di pihak kami, Thomas! Ingat, kamu bisa jadi kayak begini karena siapa?!"

Dia? Dia siapa?

Aku menutup pintu sebelum ketahuan menguping.

Kardiganku masih ada di dalam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top