1. Obsessed
Tokoh pujaanku waktu kecil?
Elektra King, pacarnya James Bond.
Aku mencuri lihat film itu 16 tahun lalu, waktu aku masih 6 tahun. Di celah antara dua sofa tempat Papa dan Mama berduaan sampai lewat tengah malam, aku bersembunyi dan diam-diam ikut menonton semuanya. Saat itu, aku langsung terpesona, tidak hanya pada kecantikan Elektra, tetapi juga kekuatan karakternya.
Belakangan, setelah beranjak dewasa—dari baca-baca—aku tahu Elektra mengidap stockholm syndrome yang membuat dia jatuh cinta kepada Renard, penculiknya sendiri, bukan kepada si James Bond. Cool banget, kan, diculik seseorang dan jatuh hati? Bukannya jatuh cinta sama pemeran utama yang penakluk semua wanita itu.
Sejak mengidolakan Elektra, aku berhenti bermimpi menikahi pangeran atau jatuh cinta pada pemeran utama. Menurutku, second cast, tak peduli tokoh antagonis, jauh lebih menantang.
Hal itu berlanjut sampai aku remaja.
Aku cenderung menghindari cowok-cowok populer. Di mataku, cowok populer itu kurang menarik. Terlalu mainstream. Bayangkan, naksir seseorang yang jadi impian semua cewek di sekolah. Membayangkan ciuman dengan seseorang yang juga hadir dalam angan-angan 300-an siswi lain, belum lagi kalau diam-diam di antara temanmu ada yang banci, makin banyak orang yang menginginkannya.
Aku ingin seperti Elektra, mencintai orang yang hanya kucintai seorang diri, bukan mencintai James Bond yang digilai banyak wanita.
Aku tahu itu menjadi agak obsesif, tetapi begitulah Elektra King merasuki kehidupanku.
Seiring berjalannya waktu, seperti cewek lainnya, aku tumbuh menjadi seorang fangirl. Maksudku, siapa yang nggak? Cewek selalu berusaha menemukan sosok ideal yang jarang ditemukannya di dunia nyata, bukan?
Dalam hal ini pun sama, aku nggak pernah stan buat bias yang paling cemerlang. Misalnya, aku nggak pernah ngefans Taka atau Toru-nya One OK Rock, tetapi justru lebih demen sama Ryota. One Direction, aku demen Niall ke mana-mana dibanding Harry, atau Zayn. Ketika semua temenku lebih mengelu-elukan Sehun, Kai, Baekhyun, atau Baekwan—just kidding, aku bukan EXO-L—aku lebih suka sama Kim Jong-dae a.k.a Chen. Bahkan, meski aku nggak suka-suka amat sama Infinite, kalau disuruh nyebutin satu bias, aku akan dengan lantang menyebut Dongwoo, atau Sungyeol.
Iya. Yeol yang cuma dapet line secuil dua cuil tiap kali mereka punya lagu baru.
Itu baru soal bias. Dalam kehidupan nyata, aku nggak pernah sibuk berdesak-desakan dengan cewek lain buat kasih cokelat ke gebetan. Gebetanku pasti bukan dari kalangan yang laku-laku banget. Di kelas, misalnya, saat semua cewek berebut perhatian Tama, di mataku dia tak lebih dari butiran debu.
Aku naksirnya sama Herry, yang kalau bercanda garing banget ngalahin kacang oven Dua Kelinci. Sayangnya meski dia biasa-biasa aja, kami tetap aja nggak jadian. Mana mau doi sama kentang rebus, sedangkan ceweknya bergelombang kayak Chitato rasa daging panggang. Apalagi mereka serasi banget. Si cowok serampangan dan si cewek populer. Persis kayak cerita-cerita di novel teenlit, yang biasanya putus di tengah jalan karena si cowok lebih suka cewek apa adanya. Namun, sampai lulus mereka masih bareng aja tuh, nggak putus-putus. Mungkin karena aku bukan tipe cewek apa adanya juga.
Nah, karena Elektra King inilah, aku jadi kurang perhatian sama cowok-cowok menonjol. Malah, kalau kata Reza, sahabatku, aku jadi konyol dan kurang peka. Menurut Leah, sahabatku yang lain, hal inilah yang jadi penyebab mengapa sampai umur 21 tahun, aku hanya pacaran bahkan nggak genap sekali.
Kenapose sekali aja nggak genap? Karena aku bahkan nggak diputusin. Ditinggalin aja gitu kayak bekas bungkus berondong jagung di gedung bioskop. Pas aku tanya kejelasan hubungan, dia malah menyalahkan aku karena malas buka Line. Ya, memang. Aku maleees buka Line karena kebanyakan isinya chat grup yang aku mute saking berisiknya. Grup alumni TK, SD, SMP, SMA, kampus, ini, inu, itu, yang hanya pernah kubuka waktu join pertama kali buat intro doang. Jadi, mereka bilang aku hanya pacaran setengah kali karena kisah cintaku dianggap bahkan belum sepenuhnya tuntas. Ya kali, diputusin pakai Line chat.
Ya ... itu cerita lamaku, sih.
Tapi, sumpah, aku bukannya ngincer second cast karena fisikku kurang oke. Aku cukup oke. Tujuh per sepuluh, lah, ya kalau kelebihan, mungkin enam per empat. Ada poin-poin yang ingin kuperbaiki supaya jadi tujuh, atau lebih seperempat.
Nanti aja itu kita bahasnya.
Sebenarnya, aku cukup percaya diri bisa dapetin cowok populer kalau aku mau. Dengan usaha maksimal, tentunya.... No pain, no gain. Harga mati itu. Pacar cowok-cowok kece itu juga nggak selalu yang bening-bening banget kayak air Aqua, kadang ada yang biasa aja kayak air isi ulang. Jadi, ini pilihanku, bukan alasan karena malas jaga penampilan.
So the story goes.
Pokoknya kalau diibaratkan, setiap kali memasuki suatu ruangan, aku akan sibuk meneliti mana cowok yang kira-kira bukan milik umum. Sampai-sampai, aku kadang nggak sadar bahwa ada a real hot guy yang ternyata sedang mengamatiku, misalnya.
Terang aja itu nggak sering terjadi, but it once happened.
Kejadiannya sekitar lima bulan lalu, waktu aku datang ke sebuah acara gladi bersih pernikahan klien. Aku, yang bekerja paruh waktu tiap Sabtu dan Minggu di sebuah wedding organizer milik teman, tengah berdiri dengan rangkaian bunga segar yang harus dipasang di sisi altar ketika seorang cowok menghampiri.
Sekali lihat, aku langsung melengos. Bukan karena doi nggak cakep, shay. Sebaliknya. Masih ingat, kan, penjelasan panjang lebar mengenai second cast tadi? Nah, makhluk di sampingku ini adalah jenis super leading man. Dia ini best man of the groom, yang jelas aku tahu siapa saking seringnya diliput majalah musik dan tabloid gosip.
"Gue telat banget, nih," keluhnya.
Aku hanya mengangguk secukupnya.
Mungkin karena reaksiku yang biasa aja, nggak terkesima gitu kali, dia menoleh sekali lagi untuk menatapku. "Lo... siapa?"
"Gue?" Mau menunjuk hidung sendiri, tapi kedua tanganku sibuk memeluk rangkaian bunga. "Kekira Lamusu."
Dia menjelaskan maksudnya, "Maksud gue, lo siapa. Ngapain di sini?"
Aku tengsin berat, sih, udah nggak tahu malu nyebut nama sendiri, tapi bodo amat. Nggak mau kehilangan muka, aku hanya mengangkat bunga di tangan.
"Tukang bunga?" tebaknya, dengan muka bener-bener bertanya, bukan bermaksud merendahkan.
"Staf WO," kataku akhirnya.
Bibirnya membentuk huruf O yang kulihat dengan ekor mata. Sesudah itu, dia diam lagi, memindai prosesi gladi bersih dengan saksama. Sampai kemudian, tahu-tahu dia membungkuk sedikit, "Lo... tahu siapa gue, kan?"
Kepalaku mengangguk sekali lagi.
Siapa yang nggak tahu dia? Saat kami di-briefing beberapa minggu lalu, team leader-ku udah sesumbar mengenai klien penting yang melibatkan seorang bintang pop dan rock papan atas, Raksa Hardian. Pasangan yang akan menikah ini masih keluarga dengan pemilik Hardian Group, dan Raksa adalah sang putra mahkota. Tentu saja perusahaan kami akan untung besar dan semua yang terlibat dijanjikan bonus yang lumayan.
Bonus. Yang. Lumayan.
Tujuanku hanya itu.
Dengan bonus, aku bisa menambah pundi-pundi tabungan buat jalan-jalan ke Eropa yang sudah kuimpikan jauh-jauh hari. Aku memang gitu orangnya. Kalau di mana-mana orang akan mengawali pengalaman travelling mereka ke negara-negara yang mudah dijangkau, aku justru sebaliknya. Kupikir, kalau aku mengambil rute terjauh dan tersulit dulu, negara lainnya akan kususulkan dalam list perjalananku dengan mudah.
Dan kalau semua cewek seusiaku bakal menjerit histeris plus rela nggak dibayar demi bisa melihat Raksa Hardian secara langsung, aku mah nggak. Seseorang seperti Raksa Hardian nggak membuatku terpana, kalau dia punya adik yang tampak biasa aja, aku akan lebih tertarik kepada adiknya.
Sayang, semua orang tahu Raksa anak tunggal. Selain itu, semua orang yang berada di dalam gedung waktu itu tampak seperti bintang utama dalam sebuah film. Nggak ada yang menarik perhatianku selain bayangan mengenai bonus, bonus, bonus.
Sindrom Elektra King membuatku menatap mereka tanpa rasa tertarik berlebihan. Kadang aku berpikir, betapa indahnya hidup ketika kita nggak terobsesi pada kegantengan seseorang. Dan sejak pertemuan pertama dengan Raksa, aku bisa menarik kesimpulan bahwa nggak mustahil seseorang justru akan tertarik pada orang lain yang tidak mengacuhkannya.
Mungkin kalau saat itu aku kelihatan berminat, aku hanya bakal jadi satu di antara jutaan kaum hawa yang tak akan menarik perhatian Raksa. Saat ini... entahlah. Aku nggak tahu apakah aku harus merasa bangga berhasil "memancingnya", atau malah menyesal.
Bermula dari "Jadi, nama lo Kekira? Gue suka nama lo," yang diucapkannya dengan harapan akan bikin aku tersipu malu—tapi ternyata hanya mendapat balasan singkat "terima kasih", seorang calon megasuperstar mencari nomor kontak staf wedding organizer berpenampilan biasa saja. Aku. Bukan Anastasia Steele, bukan siapa, tapi aku.
Kekira Lamusu.
Apakah hal itu bikin aku senang?
Tidak bisa kumungkiri, itu emang bikin aku melambung ke angkasa. Kamu bisa saja punya standar tipe cowok semanusiawi mungkin, bukan Siwon atau L Infinite, tetapi ketika seseorang sekaliber Raksa mengetuk pintu hati, maka mengubah pola pikir dan prinsip hidup demi menjalani dongeng dalam kenyataan adalah hal yang halal dan wajar.
Masalahnya terletak pada logika yang tergeser karena impian semu.
Saat janji-janji bahagia tersaji di depan mata, mendadak kamu lupa tentang Selena Gomez yang diputusin Justin Bieber. Atau Miley Cyrus yang jatuh bangun sama Liam Hemsworth. Cewek memang mudah diperdaya. Sebanyak apa pun kita menjejali diri dengan rapalan mantra supaya tidak mudah percaya pada rayuan palsu yang menjanjikan happy ending, lagi-lagi pangeran bergitar seharga rumah orangtuamu yang dicicil selama setengah dari umurnya akan membuatmu lupa diri.
Imbauan Selena mengenai modern fairytale tidak pernah berakhir bahagia mendadak terdengar seperti ungkapan cewek nyinyir yang cintanya kandas di tengah jalan.
Demi seorang pangeran, seorang gadis yang selalu pasrah meski kamarnya dipindah ke loteng berdebu seperti Ella si upik abu, tiba-tiba rela mengambil risiko dihukum oleh ibu tiri kejam demi beberapa jam berdansa dengannya.
Demi dongeng dalam kehidupan nyata, 21 tahun hidupku kubiarkan jungkir balik. Kubiarkan diriku jatuh dalam angan-angan, logikaku runtuh berserakan. Perlahan tapi pasti, aku menjadi salah satu dari jutaan gadis yang bermimpi tentang pangeran berkuda putih. Bersemangat bangun pagi demi hari esok yang makin dekat dengan gambaran dongeng modernku.
Aku lupa bahwa modern fairytale justru lebih banyak diawali dengan kebahagiaan yang hancur.
Stan: Dalam istilah Kpop Stan artinya mengidolakan
Bias: Idol
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top