extra chapter

"Udah, dong, Za ...."

"G-gue jugha mahunya udahahaha—hiks," isak Skiza nggak berhenti nangis dari tadi sampai bengek.

Kirana cuma bisa tepuk-tepuk punggung temannya buat menguatkan. Mereka duduk di ruang tamu rumah Om Key, sudah satu jam lebih kayaknya sejak Skiza tiba-tiba datang terus tahu-tahu nangis. Nggak pakai heran, pasti ini anak tahu dari Kale yang emang dari dulu canggih banget bisa tahu apa aja. Skiza baru bisa tenang lima belas menit kemudian, meski masih aja ingusnya keluar, terus matanya merah dan agak bengkak.

"Za, kalau air mata itu berharga, kayaknya kamu udah kaya raya habis nangis bombai tadi." Kirana bilang gitu.

"Lo masih aja kalau ngomong pakai aku-kamu." Muka Skiza kelihatan kesel, tapi banyakan mau meweknya. "Nggak berubah. Pakai lo-gue, kek."

"Ya, kan, di Kanada aku pakenya I sama you, nggak mungkin pakai lo-gue."

"Masih ngeselin jughhhaaaa." Skiza nangis lagi. Aslinya dia capek, tapi gimana, ya, matanya nggak bisa berhenti nangis.

Kirana nyengir. "Udah, dong."

"Guwe khira lo henggak bakhal bhalik laghihhihiiihiks."

"Aku ngiranya juga gitu, sih."

"Tuhhhhh, khan!"

"Ih, udahan, dong!" Kirana ketawa. "Sekarang, kan, kita bisa bareng-bareng lagi. Aku juga mau lanjut ke univ sana, tapi masih ngurus surat-surat."

"But, are you okay now?" Skiza meneguk ludah. "Terakhir kali gue lihat lo—it just ugh—" Dia lanjut mewek lagi.

"I am totally okay." Kirana berujar. "Kiza, thanks for caring me."

"LOGAT LO KENTEL BANGET KEK BULE." Skiza berseru dengan sisa-sisa tangis. "I know I am that sweet. Kalau ada apa-apa—heck, I hope it'll never happen, but we should being ready for the worst—jangan ragu jangan sungkan telepon gue. Gue punya jin gosok."

"OH, YA!" Kirana keinget sesuatu. "Kok, kamu bisa jadian sama Kak Kale, sih?! Padahal, kan—padahal, kan, kalian dulu kayak—"

"Kayak Cinderella sama ibu tirinya?"

"—kayak Tom and Jerry."

Skiza terbatuk pelan sebelum menjawab, "Gara-gara kulit ale-ale."

"Hah?!"

"Pokoknya gitu."

"Aku masih nggak percaya." Kirana bengong menatap Skiza. "Udah berapa lama, sih?"

"Sejak prom night angkatannya dia."

"IT'S BEEN THREE YEARS THEN?!"

"Hm."

"Woah."

"Nggak usah kaget gitu." Skiza mengelap sisa-sisa ingusnya dengan tisu. "Tadi gue dengar lo sempet ke RS, anything wrong?"

Kirana menggeleng. "Nggak. Tadi ada accident kecil pas aku ke gedung rektorat. Terus, ya, gitu. Aku mesti ikut ke RS."

"Gitu—bentar," Skiza nggak jadi ngomong sebab ponselnya berdering duluan. Dia menekan tombol hijau, lalu menempelkan benda tipis itu ke dekat telinganya. "Annyeonghasaeyo, Sunbae-nim? Apa? HAH, YANG BETUL? Kepala aman, kan? Nggak kepentok atau gimana? Takutnya tambah geser. WHAT?! Wah, pantes. Oke, sekarang aja gimana? Gue lagi ada di titik lokasi. Oke, sip. Bye, tiati."

"Siapa?" Kirana menatap Skiza penasaran.

"Biasa, senior bangkotan."

Kirana cuma manggut-manggut.

"Ki."

"Iya?"

"Di depan rumah lo ada pohon jambu, dan lagi berbuah lebat."

"Iya, terus?"

"Lo nggak ada niat mau nawarin gue gitu?"

" ... kan, yang punya Om Key, bukan aku."

"Huf."

Kirana ketawa. "Kamu mau banget emang?"

"Kalau iya, lo mau apa?"

"Yaudah, aku petikkin."

Berhubung Om Key lagi nggak ada di rumah, jadi Kirana lebih leluasa buat bergerak—baca manjat pohon jambu—dengan bebas. Skiza rada speechless lihat kemampuan Kirana yang satu itu nggak pernah berubah, even ketika anak itu sudah jadi bule dalam hitungan tahun. Sehabis Kirana turun dia langsung mungut-mungutin jambu yang jatuh. Karena itu pohon tumbuhnya nempel dinding pagar, makanya banyak buah yang jatuh di luar teritori rumah. Skiza lagi ke dalam buat mengambil hand bag, karena itu Kirana inisiatif ke luar buat mungut jambu yang jatuh.

Kirana menunduk buat mengambil buah di jalan sisi rumah cuma buat jatuh menggelinding lagi begitu matanya menangkap sepasang sepatu converse tepat di depannya. Kala dia mendongak, sepasang mata jernih tengah menatapnya dan betulan bikin Kirana kaget setengah mampus.

"Ngapain?" tanyanya.

"Kak Jeviar?!"

"Ini gue."

Kirana celingak-celinguk panik. "Kakak kenapa ada di sini?!"

Jeviar mengerjap mendapati raut panik Kirana. " ... emang nggak boleh?"

"Bukan gitu." Kirana menggeleng. "Kakak tadi pingsan, harusnya sekarang istirahat dan—tuh, lihat! Muka Kakak masih pucat."

"Lo tadi pergi gitu aja," kata Jeviar, tatapannya lurus dan agak sedih, "gue cuma mau pastiin kalau lo emang betulan ada di sini. Bukan cuma sekadar halusinasi gue doang."

Kirana menghembuskan napas. "Betulan, kok. Nih, kalau nggak percaya cubit aja." Terus dia menganjurkan satu tangannya.

Jeviar menatap Kirana sebentar, sebelum tersenyum terus mengangguk. Dia awalnya hendak mencubit lengan Kirana, but something inside his chest feels like melted when he looks into her eyes. So warm ... and full. Detik itu juga, tangannya berbalik haluan menggenggam lengan gadis itu, lalu menariknya cepat ke dalam sebuah pelukan yang teramat erat. Kirana tersentak kaget, bersamaan dengan perasaan hangat yang menjalar dari suatu sudut di balik rusuk sampai ke pipinya.

"Kak—"

"Gue tahu ini nggak sopan," kata Jeviar pelan. "But, please. Let us be like this for a while—damn, I didn't even know I've missed you this much all this time."

Kirana betulan nggak tahu mesti apa di dalam kekepan Jeviar, hingga suara langkah kaki seseorang bersamaan datang dari belakangnya.

"Ki, gue minta kresek aja boleh nggak—Owh mai gooosh ..."

Kirana mendorong Jeviar pelan, hingga pelukan itu terurai. Dia linglung sejenak waktu Skiza berkata kembali.

"Sorry mengganggu, nih." Skiza meringis, terus pelan-pelan mundur buat undur diri. "Silakan dilanjut. Tapi, kalau bisa jangan sampai kepergok tetangga, ya. Ntar kalian viral dijepret hengpong lambe turah lagi."

***

Terus gimana?

Sebab Jeviar yang belum pulih-pulih amat malah nekat menemui Kirana di siang bolong yang terik dan panas, jadinya itu cowok diizinkan buat rebahan di sofa panjang ruang tamu. Skiza masih di teras rumah buat mencuci buah jambu, terus Kirana lagi ke belakang buat bikin teh hangat manis.

Tadi, Jeviar sudah menelepon Jeno buat menginformasikan kalau dia lagi ada di sini. Yang mana sempat membikin cowok itu emosi sebab ternyata, Jeno sempat kelabakan nggak menemukan Jeviar di kos padahal hitungannya masih dalam masa recovery. Ya, gimana orang baru keluar dari rumah sakit udah main keluyuran aja mana nggak bilang-bilang. Itu namanya nggak tahu diri.

Sewaktu Jeviar membuka mata, dia sudah mendapati Kirana duduk sambil makan satu bar cokelat. Segelas teh sudah ada di depan meja saat Jeviar mengedarkan pandang. Dia menghela napas beberapa kali, cuma dia masih rada nggak percaya kalau dia lagi ada di satu ruangan dengan orang yang sempat dia sukai bertahun-tahun lalu. Dan kayaknya, waktu nggak pernah merubah apa pun bentuk perasaan Jeviar ke Kirana selama ini.

Jeviar kemudian merubah posisi berbaringnya menjadi duduk, dia masih agak lemas, jadinya dia menyender ke sofa. Gerak-gerik Jeviar tentu saja ditangkap oleh Kirana, bikin anak itu mengerjap takut-takut itu orang mau pingsan lagi.

"Kak Jeviar serius nggak mau pulang aja?"

Jeviar mengangguk. "Gue udah suruh Jeno buat jemput ke sini."

Kirana manggut-manggut. "Oke."

"Ki."

"Iya?"

Jeviar meneguk ludah. "Lo ... udah nggak apa-apa?"

Kirana menatap Jeviar nggak paham.

"It just ... the last time I saw you, you weren't in a good condition. You—"

"I am super okay! Serius." Kirana Senyum. "Maaf, ya. Aku waktu itu pasti bikin orang-orang cemas. Kakak juga."

"Of course you were!" Jeviar jadi kepengen ngomel. Mulutnya sudah monyong-monyong kayak mau merepet macam emak-emak berantem. "We're too close to lose you—I can't evem imagin that. So, please ...."

Kirana menunggu Jeviar melanjutkan kalimatnya.

"Kalau mau nyebrang telepon gue aja," katanya agak frustasi.

Kirana malah ketawa. Habis itu bilang, "Aku udah bisa nyebrang jalan tahu."

Jeviar menatap Kirana sangsi. "Terakhir lo bilang gitu, tapi ujung-ujung—heck, I couldn't even say that."

"Bener, kok." Kirana jawab gitu sambil senyum, adem banget di mata Jeviar. "Aku sempat rada trauma sama jalanan gara-gara kejadian itu, I've met some therapists and tried to deal with them."

"But, still—"

"Aku nggak apa-apa beneran. Kalau enggak, nggak mungkin Mama ngizinin aku lanjut kuliah di sini."

Jeviar rada tercengang mendengar pengakuan Kirana. "Lo ... mau lanjut di sini?"

"Iya hehe."

Jeviar tiba-tiba nggak bisa berkata-kata. "Bentar, gue mau kaget dulu."

Kirana ketawa. "Mana ada orang kaget bilang-bilang!"

Terus gitu, ada kali, ya, mereka ngobrol kurang lebih sepuluh menitan sebelum Jeno datang. Itu cowok mencengkeram kerah belakang Jeviar kayak lagi nenteng kucing terus menyeretnya buat masuk mobil. Kirana sama Skiza cuma bisa menonton sambil dadah-dadah.

"Gue ini ngimpi nggak, sih, Jen?"

"Ngimpi ape lagi, sih, Sat?!"

"Dih, kasar banget itu congor."

"Lo, nih, bagusnya digantung di pohon nangka. Nggak tahu diri."

"Gue masih sakit, ya. Lo mestinya memperlakukan gue dengan baik." Jeviar berkata.

Betulan, deh. Jeno kadang capek temenan sama Jeviar. "MEMPERLAKUKAN DENGAN BAIK PALA LO GUNDUL! UDAH TAHU SAKIT MASIH AJA KELUYURAN NGGAK JELAS, ANYING."

Jeviar manyun. "Ya, kan, gue perlu memastikan."

"Memastikan apaan lagi?!"

"Kalau Kiki ... emang betulan udah balik." Jeviar menghembuskan napas. "Kayak gue masih nggak nyangka."

Jeno melirik Jeviar kayak yang nggak habis pikir."Gue pengen nyemplungin lo ke Ciliwung hidup-hidup beneran, dah."

Jeviar tertawa. "Try me then."

"Tuhan, kenapa Engkau menciptakan manusia gendeng semacam ini?"

"Biar Kirana ada jodohnya kali, ya."

Jeno berdecih. "Pede bener, kesalip bule Kanada tahu rasa lo."

"Ya, gue pepet baliklah."

"Hadeh, gila."

"Hehe."

***

Dari dulu, Kirana itu tipe anak yang selalu lamban dalam membentuk suatu orientasi melalui ingatan. Entah itu dalam pelajaran, arah atau jalan, bahkan kadang nama dan wajah orang. Bukan berarti dia pikun-pikunan, ya. Tapi, memang kapasitas otaknya yang cuma bermodal kbps nggak bisa diajak kerja keras. Hingga sewaktu Kirana mau masuk sekolah dan sempat kesulitan belajar baca, Raki jadi rajin mengajaknya latihan ingatan.

Meski begitu, masalah Kirana dengan mengingat muka orang dan nama mereka terus berlanjut. Nggak sekali-dua kali Kirana disapa sama orang di jalan, tapi dia lupa mereka siapa. Jadinya, biar nggak bikin orang tengsin, Kirana suka sok akrab balik menyapa meski sebetulnya dia nggak tahu mereka siapa. Entah mereka betulan kenal, atau cuma iseng ngerjain Kirana.

Dan kalau diingat-ingat, hal itu juga pernah terjadi sama Jeviar. Kenapa jadi Jeviar? Karena cuma itu cowok yang mau get along sama Kirana meski sudah berkali-kali dia salah mengalamatkan nama.

Yah, kalau dipikir lebih dalam sekarang, hal itu agak memalukan. Kelihatan banget Kirana bego gitu. Tapi, mau gimana. Kirana juga, kan, nggak sengaja kayak gitu. Lagian Jeviar bukannya kesel atau apa, malah bilang suka sama dia.

"Lo ingat nggak kapan pertama kali lo ketemu gue?"

Jeviar bertanya gitu ke Kirana. Mereka baru kelar foto copy beberapa dokumen yang Kirana perlukan buat daftar kuliah, terus sekarang mereka lagi ngadem di depan indomaret sambil jajan kebab. Jangan tanya kenapa bisa sama Jeviar, itu cowok tiba-tiba sudah nangkring di depan pagar rumahnya begitu Kirana keluar tadi siang. Untung banget Om Key lagi crowded soal buka cabang perusahaan, makanya nggak bisa leluasa bantuin Kirana ini-itu. Kalau enggak, kayaknya Jeviar sudah diusir sambil ditimpukin pentil jambu.

Pas Kirana tanya, kenapa Jeviar bisa tahu dia ada keperluan, itu cowok cuma cengengesan sambil jawab, "Disuruh Abang lo."

Nggak heran.

"Waktu Kakak nyebrangin aku di halte waktu itu?"

Jeviar menggeleng takjim. "Gue udah tahu lo sejak angkatan lo MOS—eh, nggak, kita pertama ketemunya waktu Ree ulang tahun yang ke-enam."

"Aku nggak ingat."

"Ya, jelas, Ki. You were just three back then. Hebat banget kalau lo ingat ketemu gue kalau gitu."

"Hehe."

"Jujur, nih, ya." Jeviar sudah ketawa. "Dulu gue sempet ngira lo anaknya Pak Bagus."

"Pak Bagus—" Kirana mikir bentar, "—oh, pak satpam sekolah? HAH, KOK, BISA? EMANG AKU MIRIP PAK BAGUS?"

Jeviar ketawa gede. Bikin Mas-mas kasir di dalam melongokkan kepalanya, rada heran. "Ya, enggak. But, both of you seemed too close. Lo tahu sendiri di sekolah kita anak-anaknya kayak apa, Ki. Sisi istimewa sekolah elite kayak gitu. Gue aja pernah jadi korbannya."

"Itu, kan, gara-gara Kakak nggak klarifikasi."

"Males."

Kirana ikut ketawa. "Jadi gara-gara itu Kakak ngira aku anaknya Pak Bagus?"

"Sorry." Jeviar meringis. "Tapi habis itu gue langsung tahu, kok, lo adiknya si Raki. Goblok juga, sih, gue nggak nyadar padahal muka kalian, tuh, bedanya tipis."

"Ya, ampun."

"Oh, ya. Gue dengar dari Kiza kalau lo salah paham."

Kirana mengernyit. "Salah paham?"

"Gue nggak punya pacar."

"Hah?"

"Gue nggak punya pacar, Ki."

"Hng."

"Terus Kiza bilang—"

Kirana menatap gamang kebabnya yang sudah boncel setengah. "Ya, ampun. Aku memilih jalan yang salah dengan curhat ke Kiza."

Jeviar ngakak. "Dia bilang lo takut hangout sama gue sebab ngira gue ada pawangnya?"

" ... nggak gitu juga, sih."

"Apapun itu, Ki. Gue nggak punya punya pacar. Pernah, sih, tapi udah putus setahun lalu, itu pun gue jadian gara-gara salah paham." Jeviar menghela napas. "Makanya, lo nggak usah ngerasa cemas bakal ada yang ngelabrak kalau jalan sama gue."

Sebetulnya, Jeviar nggak perlu ngejelasin itu semua ... cuma, ya, gimana.

"Terus Kakak nggak takut dilabrak kalau jalan sama aku?" Kirana jadi pengen balik nanya.

Jeviar mengernyit. "Loh ... emang ada yang bakal ngelabrak?"

Kirana mengangguk pasti.

"Siapa emang?"

"Om aku."

Jeviar pengen banget ngacak-ngacak got habis denger jawaban polos Kirana habis menanyakan hal yang scandalious. Padahal dia sudah ketar-ketir menyusun rencana buat nikung orang, sekalian mendirikan organisasi PPO alias—artiin sendiri bisa, lah, ya—bareng Ode.

"Si Raki sama si Ree aja udah gue lalui, Ki." Jeviar jawab gitu. "Btw, gue mau bilang sesuatu."

"Ya?"

"Soal gue yang sempet lo lihat ngasih bunga mawar ke Renata waktu itu—"

Kirana menatap Jeviar capek. "Kak."

"Hoh?"

"Kakak udah bilang itu berkali-kali."

Jeviar manyun. "Gue bilang gitu bukan buat bikin lo berhenti khawatir, tapi biar gue tenang." Iya, sehabis dia dengar perkataan Karina di rumah sakit waktu itu, dia merasa ada yang ngeganjal. Tahu, kan, rasanya ngupil, tapi jari nggak cukup menjangkau. "Lo ada di sini, tuh, masih kayak mimpi banget buat gue. So, I wanna say anything that stuck in my mind all these moments. Cause I never know, when I'll run out of time."

Kirana cuma bisa garuk-garuk kepala.

"Gue jadi mau nanya, deh."

"Apa?"

"Lo udah punya KTP belum, sih?"

note 

yak. selesai. 

24/03/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top