5. keran sekolah

"Mama jadi penasaran, deh, kamu itu bukannya selalu bilang kalau tipe kamu itu harus yang sebaya, nggak yang umurnya di bawah kamu, tapi tiba-tiba—wait, Kirana adik kelas kamu, kan? Nggak ada gap year masuk sekolah atau apa?"

"Iya, Ma. Beda setahun sama Panji sama Kale."

"Berarti dia ini kasus spesial, ya, Je?"

"Hehehe."

Jeviar lagi berbaring di sofa panjang depan TV berbantalkan paha Mama. Dari kecil, Jeviar memang anak mama banget, faktor anak tunggal dan sifat Jeviar yang sebelas duabelas sama bapaknya yang haus perhatian kalau sudah sama mama menjadi sebabnya. Meski sudah segede ini, kebiasaan Jeviar manja-manja nggak berubah, sampai-sampai pernah ribut sebab Jeviar dikatain ganjen dan kegatelan sama papa. Padahal, mah, sama aja.

Maka dari itu rasanya nggak aneh lagi kalau Jeviar curhat sama mama udah kayak sahabat. Soalnya dari dulu apa-apa Jeviar ngomongnya ke Mama, nyaman aja gitu sebab disamping sifat Mama yang loveable dan soft, orangnya juga pengertian banget. Nggak heran, sih, kalau Mama sampai tahu soal Kirana sampai ke akar-akarnya.

"Mama jadi penasaran, deh, kok bisa, ya, dia bikin anak Mama yang seleranya sama yang tua-tua jadi melipir ke dia?" kata Mama.

"Ma, tipeku bukan yang tua-tua, tapi yang dewasa!"

"Loh, kata papa kamu sama aja, Je."

"Mama jangan percaya omongan papa sepenuhnya gitu, dong. Papa, kan, suka bawa gosip gelap." Jeviar cemberut.

"Kan, papa kamu suami Mama, ya, harus percaya dong." Mama malah ketawa. "Kamu belum jawab pertanyaan mama yang tadi, loh."

Jeviar menatap langit-langit rumahnya, tengah berpikir keras. "Aku udah pernah cerita soal keran di belakang sekolah nggak, sih, Ma?"

"Belum, deh. Emang kenapa?"

Jadi hari itu, adalah satu dari sekian hari Jeviar jadi kuli angkut bola pas jam olahraga.

Bola basket yang habis digunakan itu, rencananya akan dikembalikan ke gudang penyimpanan yang terletak di belakang gedung kelas sepuluh. Habis mengunci pintu gudang, Jeviar beranjak hendak pergi ke kelas, mau ganti baju terus istirahat mandiri—ngertilah, ya—tapi, pas dia jalan di koridor gudang, Jeviar melihat Kirana lagi jongkok melepas sepatu dilanjut kaos kaki. Dilihat dari seragam yang dipakai, kayaknya itu anak habis kelar olahraga seperti Jeviar.

Awalnya, Jeviar kira Kirana itu mau cuci kaki di keran pendek yang ada di halaman gedung belakang, sebab tadi sempat lepas sepatu, kan. Tapi, niat Jeviar mau bodo amat terus lanjut ke kelas batal saat dia melihat gerak-gerik mencurigakan dari Kirana.

Di mana-mana, orang mau cuci kaki di keran yang cuma sedengkul, tuh, logikanya pasti berdiri atau menunduk biar nggak keciprat air. Tapi, Kirana malah jongkok, makin mendekatkan diri serta wajahnya ke moncong keran, habis itu apa yang terjadi berhasil membuat mental dan akal Jeviar anjlok ke dasar kerak bumi.

Jeviar yang seumur-umur nggak pernah menyentuh keran dengan tujuan meminum air mentah langsung keselek melihat aksi Kirana yang minum air keran langsung dari moncongnya. Itu anak nggak takut keracunan kaporit apa, ya?!

Gara-gara itu, Jeviar jalan ke kelas sampai bengong-bengong speechless, masih nggak bisa percaya sama apa yang dia lihat. Jeno sampai mengira Jeviar habis kesambet penunggu gudang yang katanya bersemayam pada kerangka tengkorak tak terpakai karena kepalanya copot.

Habis kejadian itu, nggak tahu kenapa Jeviar jadi ngerasa gimanaaaa gitu pas ngelihat Kirana nggak sengaja papasan sama dia. Rasanya kayak ngelihat makhluk pluto lagi jalan-jalan dengan santai di mall. Gara-gara itu, tanpa sadar Jeviar malah giving attention ke Kirana lebih daripada yang seharusnya, meski nggak pernah mencoba untuk berinteraksi lebih, cenderung hanya mengamati.

Apakah kejadian itu cukup sampai membuat Jeviar jatuh hati? Tentu saja, belum.

Malah, Jeviar pernah merasa iba kepada Kirana, sebab setiap kali anak itu tertangkap pandangannya, dia tengah melakukan sesuatu yang membuat jantung Jeviar jatuh ke dasar lambung karena kasihan. Misalnya, mungutin kuaci yang sengaja dijatuhkan temannya di lantai, membawa buku usang yang tepinya diplaster sedemikan rupa, jaket sama sepatunya itu-itu aja, terus pernah tertangkap basah lagi berbagi gorengan sama pak satpam di pos depan ketika Jeviar mau membobol pagar dengan niat jajan di luar.

Jeviar sampai curiga jangan-jangan Kirana ini anaknya pak satpam terus sekolah di sini karena beasiswa. Bukannya dia mau bilang anak satpam nggak bisa belajar di sekolahnya, tapi kasus itu sangat jarang terjadi sebab sekolah Jeviar adalah sekolah swasta elit yang spp per bulannya bisa buat beli gadget baru. Karena itu, suatu siang dia bertanya ke pak satpam yang malah bikin dia merasa tolol banget.

Dunia menipu Jeviar lagi.

"Pak itu, tuh, anak bapak, ya?" Dengan pedenya Jeviar bertanya. Menunjuk Kirana yang pergi menjauh bersama seorang teman gadis itu melalui tatapan mata.

"Hah? Maksud kamu teh Neng Kiki eta?" Pak Satpam malah balik nanya.

"Jadi namanya Kiki?"

Iya, waktu itu Jeviar belum tahu nama Kirana. Kasarnya, pak satpam adalah informan pertamanya.

"Nama aslinya, mah, Kirana tapi dipanggil Kiki. Meni cakep pisan kayak orangnya, ya." Pak satpam ketawa. "Kalau Bapak punya anak modelan eneng eta, sih, Bapak nggak nolak. Tapi, anak Bapak di rumah namanya Euis hehe, bukan Kirana."

"Lah? Bukan anak bapak?"

"Ye, bukan atuh. Dapet DNA dari mana kitu Bapak kalau dapet anak modelan kinclong jiga Galuh ande-ande lumut! Kamu mah, aya-aya wae!" Bapaknya malah ketawa.

Jeviar menganga. "Lah, kalau bukan bapak terus siapa?"

"Meneketehe! Mana Bapak tahu orang tuanya Neng Kiki siapa! Lagian dengar dari mana, sih? Hoax paling hoax itu, mah!" Pak Satpam malah ngegas balik ke Jeviar. "Tapi, abangnya Neng Kiki katanya sekolah di sini juga, kalau nggak salah. Masih seangkatan sama kamu kayaknya."

"Hah, siapa?!"

"Aa ketos yang udah lengser terus digantiin sama Aden Chen, tuh—aduh Bapak lupa namanya siapa, tapi masih ada 'ki' 'ki'-nya kayak Eneng Kiki."

"MAKSUD BAPAK SI RAKI?!" Ini Jeviar syok berat sampai muncrat ngomongnya. "HARSA RAKI YANG ITU?!"

"Iya, kayaknya."

Beneran, deh, Jeviar kena mental breakdown habis dengar penjelasan Pak Satpam. Kayak, gimana bisa adiknya Raki yang style-nya udah kayak model baru lepas dari ajang fashion show perhelatan dunia malah minum air mentah fresh from moncong keran terus mungut kuaci di lantai?!

Jeviar nggak habis pikir, sih. Tapi, bukannya merasa kecewa sebab rasa ibanya selama ini kepada Kirana sia-sia, sebaliknya Jeviar malah merasa lucu. Yah, yang salah sejak awal Jeviar, sih, sudah mengira yang enggak-enggak, meski buat dia perkiraannya itu sangat berdasar. Terus, acara Jeviar mengamati Kirana diam-diam dari Jauh, secara tak diniatkan malah jadi kebiasaan. She's perhaps like a mistery box, such in a good way. She's so unexpected to be guess at, yet he's happy even when he's wrong.

"Ya ampun, Je ...." Mama ketawa dengar cerita Jeviar. "Jadi awalnya, kamu cuma salah paham?"

"Iya. Maaf, ya, Ma."

"Loh, kok, minta maaf?"

"Aku yakin Mama nggak mau aku jadi anak yang gampang menilai seseorang berdasarkan asumsi atau gara-gara omongan orang lain. Karena itu, aku minta maaf."

"Nah, it's okay. Yang penting kamu tahu itu salah, lain kali jangan kayak gitu lagi, ya." Mama mengelus rambut Jeviar sambil ngegedein volume TV.

Jeviar memiringkan badan menghadap ke sandaran sofa, mukanya akan jadi bersisihan dengan perut Mama kalau saja dia nggak mendongak. "Tahu nggak, sih, Ma? Ternyata dia tetanggaan sama Ree, terus katanya lumayan dekat sama Tante Windy."

"Oh, ya?" Mama memfokuskan dirinya pada Jeviar, kini terlihat benar-benar tertarik. "Mama lumayan sering ke rumah Respati dulu waktu kalian SD, tapi nggak pernah tahu ada yang namanya Kirana, Je."

"Ya, kan, Mama mainnya ke rumah Ree, bukan ke rumah tetangganya Ree. Wajar kalau Mama nggak tahu."

"Tapi, papanya Ree, kan, suka banget bawa-bawa anak tetangganya main ke rumahnya dia. Pernah Mama ke sana pas si Windy ulang tahun, kebanyakan yang datang itu malah anak-anak komplek mereka, Je. Yang paling sering ke situ sampai tiap Mama ke sana, selaluuu aja ketemu—ada, deh, siapa ya namanya? Yuki sama Raki kalau nggak salah."

Mendengar nama Raki, Jeviar langsung terlonjak bangun. Dia menatap Mamanya penuh atensi, terus nanya, "Raki?"

"Iya, Raki. Yuki itu adiknya. Mama ingat banget waktu itu Yuki bilang kalau Mama mirip Mamanya dia. Sekarang, mungkin udah segede kamu kali, ya, mereka berdua." Mama bercerita diselingi tawa.

"Yuki adiknya Raki ...."

"Iya, kamu tahu?"

"MA," Jeviar bersimpuh menghadap Mama dengan dramatis, "KIRANA ITU ADIKNYA RAKI, MA."

"Hah? Tapi namanya Yuki—"

"Jesus Christ! Ini pasti takdir!!!"

" ... "

"Aku baru ingat nama lengkapnya Kirana ada Yuki-nya, Ma!!!" Jeviar kelihatan senang banget.

"Hah, kamu yang bener?!" Mama tampak syok, tapi seneng, tapi nggak percaya. "Ya ampun, jadi Mama udah pernah ketemu Kirana yang kamu taksir itu? Masa itu Yuki, sih?"

"Iya, Ma!" Jeviar mendadak tersipu-sipu. "Kalau aku sama dia, gimana, Ma?"

"Asal kamu senang, Je. Tapi ingat batasan, ya. kalian masih pada muda, waktunya masih buat belajar." Mama ketawa, terus tepuk-tepuk kepala Jeviar. Ia kemudian beranjak bangun. "Udah, ah. Mama ke kamar dulu."

"Mau ngapain, Ma?" tanya Jeviar.

"Nge-chat mamanya Ree."

Usai sosok Mamanya menghilang di balik tembok, Jeviar merebahkan dirinya di atas sofa terus menyembunyikan wajahnya yang mendadak panas. Dia merogoh ponsel di saku celana, lalu menekan ikon instagram dan memencet sesi direct message. Ia menggulirkan jarinya ke bawah, mencari akun dengan username @kiyuki01 yang ternyata sudah me-reply DM Jeviar yang ia kirim tadi pagi. Ada dua pesan balasan, bikin senyum Jeviar kian lebar, tapi langsung luntur saat ia membaca isinya.

Obrolan di ruang chat itu tak lebih begini ....

jeviar.on : Ki, follback

jeviar.on : Ini jeviar

kiyuki01 : who?

kiyuki01 : how dare u texting my sis, u dumbass

You were blocked by this account

Jeviar langsung kena mental.

to be continued.

wkwkwk, perlu aku spill gak sih nama lengkapnya mereka?

03/10/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top