4. ban kempes

"Lo yang ngempesin ban motor gue kemarin."

"B-bukan—tolol, eh—maksud saya, tolong ampuni saya, Kak!"

"Apaan, sih, lo dramatis amat." Jeno berdecak melihat Udin—nama tersangka disamarkan, sebab kejahatan yang sudah tersangka perbuat setara dengan kekejaman oknum penjual bakso boraks—tiba-tiba berlutut di hadapan Jeviar dengan sekujur badan tremor.

"Mental lo segini doang?" Jeviar tertawa dingin. Tangannya mengepal geregetan di dalam saku celananya. "Kemarin gue berasumsi, siapa pun yang nyari gara-gara dengan ngempesin ban motor gue pasti punya nyali gede. But what are you? Tampang lo sekarang kayak mau bilang bahwasanya kemarin lo lagi kerasukan setan gabut pas ngelakuin itu semua."

"S-saya, saya cuma kalah main TOD, Kak!" Udin berkilah.

"Nggak ada yang nanya." Jeno nyeletuk santai.

"Bodo amat. Mau lo kalah TOD, kalah main ular tangga kek, itu nggak memvalidasi perbuatan lo yang sudah ngerugiin gue! Pertama, lo kira lucu dorong motor sampai bengkel panas-panasan di siang bolong, terus lo seenak jidat bilang cuma karena kalah TOD?! Kedua, bukannya bertanggung jawab atas kelakuan lo yang minta dihujat banget terus minta maaf, lo malah ngeles kayak kenalpot bajaj butut?!"

Udin makin pucat pasi.

"Lo kira, lo masih bisa selamat setelah lo bikin gue susah wahai anak muda?" Jeviar meregangkan leher dan tangannya dengan wajah penuh napsu untuk mengkrauk manusia.

"Maaf, Kak! Jangan sakiti saya!"

"Apa banget bahasa lo, ketahuan banget korban sinetron azab!" Jeno mendengkus, capek banget lihat kejablay-an manusia ini.

Jeviar mengangguk, menyetujui ucapan Jeno. "Karena ini masih di sekolah, gue nggak akan pukul atau apa pun itu sebab gue masih dalam pengawasan pak Hadi yang kalau sampai gue ketahuan membelot, bisa dipastikan surat peringatan akan sampai di tangan nyokap gue which is kalau sampai itu terjadi, gue bakal disate bapak gue. Tapi, bukan berarti lo akan lolos gitu aja, ya!"

Muka Udin melas banget. "Ampun, Kak ... s-saya janji bakal ganti biaya—"

"Bakal gue terima kalau lo gantinya pakai motor baru, yang sama persis." Jeviar menyela sinis.

Udin meneguk ludah dalam-dalam. Alamak Udin lelang harga diri dulu kalau gitu.

"Tapi berhubung gue nggak butuh-butuh amat, dan masih bersumpah setia sama si Item motor gue, hukuman lo gue ganti jadi hal yang lain." Jeviar berkata demikian. "Enaknya ini anak diapain, ya, Jen?"

Jeno tampak berpikir, lalu melihat kanan-kiri sisi kelas Udin yang kosong melompong sebab memang ini masih jam istirahat pertama. Sengaja, tadi mereka mencegat Udin di depan kelasnya biar nggak ada drama kejar-mengejar. "Kalau disuruh manjat pohon jambu tetangga kita gimana?"

"Yeu, ketika tante Jes doyannya es krim bertabur emas, ini anaknya malah maling pentil jambu tetangga!" Jeviar menggeleng. "Nggak, ganti!"

"Apa, dong? Suruh jadi freelance naik-naik pohon buat menyelamatkan kucing komplek kita? Kebetulan Ibong lagi suka main petak umpet terus naik-naik ke pohon beringin, meski gue siap banget bertaruh nyawa untuk menyelamatkan Ibong yang selalu lupa cara turunnya gimana, tapi katanya itu beringin sebelas duabelas sama kuburan kosong, gue juga ngeri kalau gitu caranya."

"Emang kenapa sama kuburan kosong?"

"Rumah aja kosong serem, apa lagi kuburan, Je!"

Oke, Jeviar mulai sakit kepala dengar masukkan Jeno yang nggak ada menguntungkannya satu pun. Ia beralih ke Udin. "Yaudah lo—"

"Ampun, Kak! Apa pun akan saya lakukan asal jangan suruh saya naik kub—eh, pohon, Kak!" Udin yang sudah berjongkok di depan Jeviar mulai melakukan tindakan tarik-menarik celana cowok itu, bikin Jeviar tambah kesal.

"Eh, anjir, lo ngapain tarik—"

"Sesungguhnya, saya alergi kucing dan saya juga takut setan, Kak!" Udin merengek. "Plis suruh yang lain aja!"

"Lepasin celana gue!" Nggak tahu, ya, ini kenapa terdengar sangat salah. "Lagian siapa juga yang nyuruh lo naik pohon?! Lo kira gue segabut itu? Sekarang sebagai hukuman, gue titahkan lo buat push up 500 kali, biar lo tahu gimana rasanya capek sampai pengen say good bye!""

Udin terbatuk. "Masa—"

"Lo nego lagi, gue tambahin jadi 1000 kali." Jeviar ngomong sambil senyum nggak ikhlas.

"Baik, Kak!!!" kata Udin langsung tengkurap ke lantai dengan ditumpu kedua tangannya.

"Jen, hitung!"

Jeno menelengkan kepala mengamati Udin. "Dapet apa gue kalau gue hitung?"

"Dapat pahala. Cepet anjir, ntar keberu bel!"

Dengan itu Jeno memulai menghitung Udin push up, sementara Jeviar duduk di atas bangku dengan muka puas banget. Tapi, baru hitangan kelima belas, seseorang sudah nyelonong masuk ke dalam kelas padahal jam istirahat masih empat puluh menit lagi. Mereka sama-sama tercengang, kemudian Jeviar buru-buru turun dari bangku lalu memaksa Udin berdiri, air mukanya langsung berubah seratus delapan puluh derajat waktu merangkul bahu Udin.

"Ini ada apa ...." Kirana melongo melihat kakak kelas ada di kelasnya.

"Nggak ada apa-apa!" Jeviar menyengir salah tingkah. "Kita lagi nyamperin Udin buat ngajak makan bareng, tapi tadi uangnya dia ngegelinding ke lantai, makanya sampai rebahan gitu!"

"Kak, gue belum selesai push—"

Mulut Udin langsung dibekap Jeviar, bikin Jeno geleng-geleng kepala.

"Wooh nggak usah, nggak usah. Hari ini biar gue yang traktir, jadi lo relakan aja uang keping seribuan lo itu!" Keringat Jeviar sudah menetes segede jagung.

"Tapi, baru lima belas kali gue push up—"

"Hahaha lo suka banget push up, ya, ntar lanjut lagi. Sekarang kita makan dulu yuk!" Jeviar menarik Udin dari sana yang mana susahnya udah kayak narik kambing mageran.

Kirana bingung, sejak kapan Udin akrab sama duo pentolan sekolah atau emang kenal kali, ya? Mereka belum lama jadi teman sekelas, ya wajar aja, sih, kalau Kirana nggak tahu.

Jeviar setengah menyeret Udin dengan paksa hingga mereka jalan di koridor, mereka diikuti Jeno dari belakang. "Apaan, sih, lo kok nggak bilang sekelas sama dia?!" semprotnya ke Udin.

"Hah?" Udin speechless sampa ternganga. Lah? Dia aja nggak tahu Jeviar bakal melabraknya kayak gitu, gimana kepikiran coba ngabsenin satu-satu teman sekelasnya. "Saya ... nggak jadi ditraktir? Kebetulan saya kepingin bakso hehe."

"Jen, pegangin gue, Jen," kata Jeviar sambil memaksa Jeno memegang tangannya. "Sumpah, ye, lo nggak tahu malu apa gimana, hah?! Berani banget setelah ngerecokkin gue, menodai citra baik gue di depan dia, terus lo—" Jeviar rasanya capek banget. "Pergi nggak lo sekarang? Dalam hitungan tiga lo masih di sini, jangan salahin gue lo bakal jadi bebek gili—"

Belum selesai Jeviar ngomong, Udin sudah ngacir duluan. "Buset, dah, itu anak. Tungguin gue selesai ngomong, kek!"

Jeno geleng-geleng kepala. "Ini, tuh, pertanda nggak, sih?"

"Apaan?"

"Lo disuruh mundur teratur sama Tuhan Yesus, sebab kayaknya si Kiki itu sebelas duabelas sama si Ree."

"Maksud lo apaan?!"

"Ya, kayak si Ree. Lo nggak lihat instagram story-nya dia kutipan dari Alkitab semua?! Terus si Ree juga rajin ke Gereja! Nggak kayak kita pas natal sama paskah doang!"

"Gue sering, ya, sama nyokap!" Jeviar ngotot.

"Nggak usah ngada-ngada gitu, Je. Nanti dosa lo yang sudah membukit makin banyak terus menggunung, bisa-bisa lo baru lewat depan tempat suci, udah lebur jadi debu duluan."

"Nggak usah sok suci, ya. Lo juga banyak dosa!"

"Sesama pendosa nggak boleh saling ngatain."

"Lo yang ngatain gue duluan!"

"Kak Jeviar—" Kirana ngos-ngosan sampai batuk-batuk habis lari mengejar tiga cowok yang jalannya kayak kilat kuning konoha, "—ini, hahhh, ini gelangnya jatuh tadi." Dia menyerahkan sebuah gelang rantai kecil dengan hiasan tiga huruf, inisial nama panjang Jeviar.

Jeviar sama Jeno menoleh hanya untuk dibuat terperangah melihat sosok Kirana. Tersadar bahwa itu anak kayaknya habis lari mengejar mereka dari koridor kelas sepuluh, mukanya sampai merah walau nggak sampai keringatan.

"Oh, makasih." Jeviar menerima gelangnya. Kemudian dia terperangah pas ingat tadi Kirana menyebut namanya. "Lo ingat gue?!"

Kirana mengerjap. "Iya, kakak yang kemarin nyebrangin aku, kan? Eh, nama Kakak Jeviar bukan, sih?"

"Bener, kok!" Jeviar menimbang-nimbang apa sekalian saja ya, dia kasih foto bertuliskan nama lengkapnya ke Kirana. "Kayaknya lo susah amat ingat sama gue, ya? udah beberapa kali kenalan masih aja lupa."

"Bukan gitu hehe, aku tahu Kakak pas awal masuk, kok! Kan, tiap upacara Kakak barisnya di depan. Jadi kelihatan dari barisan kelasku meski paling ujung."

Hati Jeviar mencelos. Dari sekian juta cara keren buat ternotice doi, kenapa pas dia lagi dihukum gara-gara ketahuan ngewarung pas upacara? Jeno dalam hati sudah ngakak, sih, sampai jantungnya terjungkal.

"Cuma, ya, aku tuh suka bingung soalnya kalian ke mana-mana bareng, terus nama sama mukanya juga mirip. Susah dibedain tahu, aku bingung yang mana Kak Jeviar, mana Kak Janar hehe." Kirana menjelaskan. "Tapi sekarang udah clear, kok! Udah bisa bedain hehe."

Rasanya Jeviar mau mengkrauk tembok koridor di sampingnya. Jeviar udah overthinking saban malam mikir alasan Kirana nggak ingat-ingat sama dia padahal hitungannya udah tiga kali kenalan, ternyata biang keroknya si Jeno?!

"Idih gue dikembar-kembarin sama iguana berbuntut kadal kayak dia?" Jeno menatap Jeviar yang kayak, idih apa banget.

Ini kalau nggak ada Kirana, pasti betisnya Jeno sudah Jeviar tending tiga kali. "Nggak apa-apa, santai aja. Btw, makasih, ya, gelangnya. Kalau sampai hilang, nggak tahu deh mau bilang apa sama nyokap," katanya sambil mencoba senyum yang bikin adem hati orang, tapi malah bikin Jeno pengen ngegaplok.

"Iya, sama-sama, Kak Je. Lain kali hati-hati, ya." Kirana ngacungin jempol terus pergi.

"Katanya tahu lo, tuh," celetuk Jeno.

"Lo!!! jauh-jauh dari gue!"

"Lah, kenapa dah?" Jeno bingung lihat Jeviar mundur lima langkah.

"POKOKNYA JAUH-JAUH!"

Jeno bingung dia punya salah apa lagi ketika Jeviar melangkah menjauhinya.

to be continued.

yha, kutahu ekspektasiku tak semulus kulit eonni eonni korea. pengen cepet kelar tapi i have no much time huf.

02/10/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top