27. final chapter
4 years later.
"Ampun, dah. Gue berasa lagi syuting film zombie."
Jeviar nggak menghiraukan kata-kata Jeno yang sudah pasti lagi meledek dirinya. Dia lagi berkutat dengan laptop dan bertumpuk-tumpuk buku yang dia jadikan acuan laporan akhirnya. Yah, dia lagi kena badai yang pasti bakal menerpa setiap maskot alias mahasiswa bangkotan sebelum lulus. Dia lagi kejar target, jangan tanya gimana kondisinya saat ini sampai-sampai dikatain zombie sama Jeno.
Jeno geleng-geleng melihat ruang depan kosan mereka yang kayak habis diamuk banteng dewasa yang lagi ngamuk. Iya, bantengnya si kunyuk ini. "Inget bersihin ini tempat, ye. Entar yang mulia paduka ngamuk lagi lihat ini kos udah kayak habis diterjang badai tujuh hari tujuh malam."
"Ree katanya nggak pulang hari ini, lusa baru balik." Jeviar berkata, tapi tangan sama matanya tetap bekerja pada laptop.
"Loh, kok, nggak kabar-kabari gue?!"
"Anaknya baru pergi sore tadi." Jeviar meregangkan badan, terus menguap lebar banget kayak kudanil mangap. "Lho manha hadha thadhi hoooaaahemmm—sibuk menumpuk dosa, sih, lo."
"Itu namanya memupuk kasih sayang, brader." Jeno ketawa. "Otak lo, kan, lagi konslet habis diputusin, ya. Gue nggak menyalahkan lo yang jadi bitter gini kalau liat orang lagi sama ayang."
Jeviar cuma bisa melempari Jeno pakai kulit kacang sambil ngedumel, "Diputusin sama si Lizi baru tahu rasa lu, kampret."
Jeno cuma berlalu sambil ketawa gede. Itu cowok masuk ke kamarnya nggak sampai lima menit, habis itu keluar lagi pakai pakaian yang beda. Mana hitam-hitam udah kayak ninja. Jeviar mengernyit heran, soalnya itu si Jeno baru balik, eh, udah ambil kunci motor lagi.
"Mau ke mana lo?"
"Flying to the moon?"
"Serius, nyet."
"Lah, gue serius." Jeno ketawa. "One day, gue mau bangun rumah ngapung di Bulan."
"Hadeh emang gila."
Jeno chuckled, terus jawab, "Gue mau nengok Ibong."
Tangan Jeviar berhenti mengetik. Dia melihat Jeno yang lagi pakai kaos kaki dilanjut sepatu. Dia melihat tanggal di jam tangannya—damn, it's been two years since his cat passed away. "Gue kudu ikut nggak, nih?" tanya Jeviar.
"Nggak usah. Ibong bisa enek lihat lo lagi, lo lagi yang nyekar di makam dia."
"Muka lo kali yang kayak gorengan kelelep minyak, bikin enek," sinis Jeviar.
Jeno ketawa lagi. "Dah, ya. Gue caw dulu."
"Tumben nggak bawa bunga-bungaan?"
"No need to. Lizi yang bawa."
Sontak saja Jeviar berseru kesal. "Yeu, si kampret ternyata mau pacaran!"
Jeviar lanjut ngetik lagi begitu suara motornya Jeno terdengar lalu pelan-pelan menghilang. Iya, Ree, Jeviar, sama Jeno tinggal di satu kos yang sama. Itu adalah hasil rembug satu malam orang tua mereka yang pada latah anak-anaknya mau tinggal jauh dari rumah. Ya, mumpung satu universitas, kan, sekalian aja dikandangin jadi satu. Itu kata bokapnya Jeviar. Lalu aktivitasnya terhenti saat denting ponselnya berbunyi berkali-kali. Waktu Jeviar mengeceknya, ada beberapa chat yang masuk. Dan pesan teratas di kolom whatsapp ponselnya betulan bikin Jeviar menghela napas.
Hani : Jev
Hani : just wanna let you know
Hani : i'll forgive anything about us in the past
Hani : it's not my fault at all. I just unfortunately in love with a man who never done with his past.
Hani : And it's not yours too. You just as kind to me as you being nice to everyone.
Hani : hope you have a great life, Jev.
Jeviar bergeming membaca pesan tersebut. Bukan apa-apa, ya, cuma mereka udah putus setahun lalu. Dia cuma bisa garuk-garuk kepala, bingung mau balas apa. Meski pada akhirnya, dia cuma membalas, hope you do so.
***
Jeviar lagi ngadem di kantin fakultas saat tahu-tahu ada yang narik kursi di sampingnya, dan sewaktu dia menoleh, dia mendapati Ode—adik tingkatnya duduk terus nyerobot jus alpukat punya Jeviar. Awalnya, sih, mereka ketemu karena satu tempat futsal, eh, malah satu kampus juga. Yaudah, meski rada-rada sengklek, ini anak lumayan bisa get along sama Jeviar.
"Minta, Bang." Ode berkata saat isi gelas jus Jeviar udah habis masuk ke perutnya.
"Kebiasaan lo, ye."
"Haus, Bang." Ode cengengesan. "Lagi nyiapin Ospek, nih, gue. Gerah banget. Untung anak barunya pada bening-bening, adem dah mata gua."
"Lah, bukannya belum Ospek? Udah tahu aja anak baru pada bening?"
"Kan, mereka daftar, Bang. Ada juga, tuh, yang keliling kampus buat lihat-lihat." Ode kemudian beranjak buat pesan makanan, terus duduk lagi di samping Jeviar. "Yah, anak barunya emang pada bening-bening, tapi yang nyantol di hati masih dek Kiza seorang. Walaupun mukanya doi suka asem kayak sayur basi."
Habis bilang gitu, Ode cekikikan sendiri, bikin Jeviar geleng-geleng kepala. "Baek-baek, tuh, mulut, ya. Belum pernah ketemu bulldog-nya si Kiza aja lo bisa ngomong begitu."
"Lah, pelihara anjing dia, Bang?"
"Iya, lagi kuliah di Inggris."
Ode cuma ngakak. "Masih lama, kan, baliknya?"
"Siapa? Si Kale?" Jeviar manggut-manggut kemudian. "Setahun lagi kayaknya."
"Hehehe, lumayanlah."
"Lumayan apaan?"
"Lumayan waktunya buat nikung pacar orang, Bang."
Jeviar berdecak. "Otak lo makin hari makin nggak bener aja."
"Kira-kira, ya, Bang. Si Kale bisa segila apa?"
Alis Jeviar terangkat sebelah. "Kenapa lo tiba-tiba nanya?"
Ode cuma mengendikkan bahu. "Jaga-jaga. Soalnya cuma orang gila yang bisa ngelawan orang gila."
Jeviar mendengus.
"Jadi, Bang? Could you tell me?"
"Ini berdasarkan keluhan si Kiza ke gue kalau mereka lagi berantem, nih, ya." Jeviar berkata separuh berbisik. "Lo kalau beli cimol di jalan bayarnya pakai apa?"
"Ya, duit? Ya, kali pakai daun."
Jeviar menggeleng takjim. "Si Kale beli cimol lima ribu, bayarnya pakai black card."
"Anjaaaaayyy. Dia, sih, gilanya gila kaya raya, Bang. Gue, kan, gilanya karena berotak setengah."
Jeviar cuma ketawa. "Jadi lo nyerah, nih, mepet pacar orang gila kaya raya?"
"Nggak, Bang. Duit mah masih bisa dicari." Ode berseru. "Gue punya tambang rezeki selain muka gue, yaitu gue sebelas duabelas sama Afgan. Pinter nyanyi."
"Lo nggak tahu, kan, si Kale umur lima tahun udah pernah gelar konser solo?"
Ode menganga dengan tercengang. "Anjaaaayyy! Yang bener lo, Bang?!"
Jeviar mengangguk.
"Gue konser dua kali sehari, Bang." Ode menepuk-nepuk dadanya dengan muka masam. "Di wc, tapi."
Jeviar tak sempat menanggapi walau bibirnya sudah tertarik lebar ke atas. Ada sebuah panggilan masuk. Panggilan dari luar negeri. Siapa lagi coba kalau bukan Kale? Panjang umur bener emang ini orang. Baru juga digosipin, eh, malah nelepon.
"Ape?" jawab Jeviar begitu mendengar sapaan Kale.
"Wanna ask you something."
"Ape?"
"Did you know?"
"Tahu apaan?"
"Do you know?" ralat Kale.
"DO YOU KNOW APA WOI YANG JELAS, DONG?!" Lama-lama Jeviar emosi betulan.
Ada jeda panjang sebelum Kale menjawab. "Oh. Di sini lagi musim panas."
"Terus?!"
"Bilang ke cewek gue, gue mau pergi ke summer camp."
Jeviar menghela napas, sebelum dengan sepenuh emosi berteriak ke layar ponselnya. "BILANG SENDIRI, YOU BANGK*E!"
Ode yang dari tadi cuma mengamati akhirnya bertanya begitu melihat Jeviar memutuskan sambungan teleponnya dengan sepenuh emosi. Terus sekarang anaknya lagi mengatur napas kayak orang habis lari keliling kota.
"Kenapa, Bang?"
"Gitu, tuh, orang gila kalau lagi LDR."
Ode mengangkat bahu tak peduli. "Siniin hp lo, Bang."
Jeviar menyipit curiga. "Buat apaan?"
"Save WA gue."
"Lah, terus yang lama?"
"Hapus aja," kata Ode, lalu mulai memasukkan nomornya ke ponsel Jeviar. "Nih, udah. Eh btw, lo ikut kelompok belajar apa, Bang?"
Dahi Jeviar mengernyit, sebelum akhirnya menggeleng. "Nggak ada."
"Bohong bener." Terus Ode menunjukkan ponsel Jeviar ke hadapan muka si pemilik. "Itu apa?"
Jeviar melotot. Reflek merebut kembali ponselnya cuma buat memastikan kalau apa yang dia lihat emang betulan kenyataan.
Kober Ujian
Ree changed this group's settings to allow all participants to send messages to this group
Ree added Jeno
Ree added Raki
Ree : @raki done.
Raki : thanks
Jeviar merasakan ujung-ujung jarinya membeku seketika.
***
Kepala Jeviar pusing.
Dia baru ketemu dosen pembimbingnya barusan. Dan, yah, laporannya habis dibantai sebab katanya, metode yang Jeviar ambil di awal sudah salah kalau melihat tema yang dia angkat buat laporannya. Duh, dia belum makan dari kemarin sore, malamnya sibuk begadang buat merapikan laporan sekalian meminimalisir kesalahan ketik. Terus sekarang, pagi-pagi jam tujuh dia udah di kampus, tapi dosennya ngaret sampai jam sepuluh dan lihat laporannya betulan dibabat habis sama itu Pak mampang.
Capek Jeviar bertambah dua kali lipat saat memikirkan dia mesti merevisi nyaris setengah isi laporannya. Rasanya pengen ngamuk, tapi kayaknya dia lebih butuh hibernasi, deh. Bodo amat, deh, ya. Daripada dia sakit, kan, terus bikin Mama ngotot menginap di kos yang sudah pasti, bapaknya juga bakal ngikut.
Juga, soal Raki yang tiba-tiba masuk ke grup yang mereka buat empat tahun lalu setelah keluar tanpa bilang apa-apa ... Jeviar betulan nggak ngerti kenapa. Ada banyak pertanyaan yang dia punya, but had no one to ask. Ree lagi nggak di kos, dan entah apa yang membuat itu cowok sibuk banget sampai-sampai semua chat dan telepon Jeviar diabaikan. Kalau Jeno, itu anak sama clueless-nya sama dia. Malahan, nih, ya, itu cowok udah gencar merecoki Jeviar dengan tanya yang jawabannya sama sekali nggak dia tahu.
Dan meski Jeviar punya akses buat menghubungi Raki lewat grup itu, but it's been years. Mereka nggak pernah berkabar secara langsung, mostly kalau ada apa-apa, yang bilang ke Jeviar itu Ree. Lebih dari itu semua, ada sesuatu yang menahan Jeviar buat nggak melakukannya.
Jeviar berhenti berjalan saat ponsel di saku celananya berdering. Dia menepi dari koridor, lalu mengangkat telepon yang ternyata dari mamanya.
"Halo, Ma?"
"Kata Ree, hari ini kamu ada bimbingan? How was it?"
Di saat-saat begini, nih, dia makin kangen sama Mama. Tahu aja kalau Jeviar lagi down. "Hancur, Ma. Mesti direvisi lagi."
"It's okay, Sayang." Mama berkata lembut. "Pelan-pelan aja, ya. Jangan lupa makan sama istirahat yang bener, jangan sampai sakit. Atau kamu mau mama temenin?"
Duh, Jeviar pengen nangis rasanya. Kok, dia jadi melankolis begini, sih? "Nggak apa-apa, Ma. Aku bisa jaga diri, kok."
Mama terdiam sejenak. "Je."
"Iya?"
"Nanti Mama kirim kue ke kos, ya. Mama titip ke Ree."
"Oke, Ma. Makasih, ya."
"Take care to yourself okay? Mama tutup dulu."
Jeviar mematikan data seluler ponselnya begitu Mama memutus sambungan telepon. Dia menghela napas lelah, tangannya mau mengantongi ponselnya ke saku celana, tapi entah sebab ponsel belum terselip dengan baik atau karena dia kelewat 3L alias lemah, leti, lesu, ponselnya malah terjun bebas menghantam lantai. Mana bunyinya keras banget, kuping Jeviar ngeri dengarnya.
Jeviar meringis kala dia menunduk buat memungut ponsel. Bukan karena layar hpnya baret habis terjun bebas, tapi kepalanya malah makin keliyengan terus penglihatannya sejenak menghitam. Perut Jeviar mual. Makanya sebisa mungkin dia mencari pegangan ke tembok buat bisa berdiri. Dia sudah mau menghubungi Jeno, tapi batal saat sebuah suara sudah menginterupsinya lebih dulu.
"Hng, Kak?"
Jeviar mengerjap, hendak mengusir jejak-jejak hitam yang menghalangi pandangannya.
"Kakak nggak apa-apa—eh, eh, Kak?!"
Jeviar nggak ngerti gimana, tapi saat pandangannya sejenak membaik, dia mendapati sesosok gadis berambut panjang tengah memegang lengannya yang gemetar. Gadis itu celingak-celinguk panik sambil manggil-manggil orang buat membantu.
"Kak—haduh jangan pingsan dulu, please."
Ada tepukan-tepukan kecil yang Jeviar rasakan di pipinya, saat dia menyipit, posisinya sudah setengah jongkok terus gadis itu menunduk sambil menahan badan Jeviar biar nggak menghantam lantai. Jeviar mendongak, mau bilang kalau dia nggak apa-apa sama orang di depannya. Tapi, tiba-tiba lidahnya kelu saat menangkap siluet wajah gadis itu yang terhalangi rambut.
"Lo—"
"Bentar, bentar—Kak! Kak! Tolong ini ada orang ping—"
Jeviar nggak mampu menahannya lagi, dia jatuh terduduk ke lantai bersamaan hilangnya segala orientasi yang dia punya. Tapi, sebelum kesadaran Jeviar terhapus penuh, ada setitik gelisah dalam benaknya bahwa apapun yang sempat matanya tangkap, bukanlah sekadar halusinasi belaka.
***
Waktu Jeviar membuka matanya, yang dia tangkap hanyalah warna putih. Dia bengong sejenak buat mengumpulkan kesadaran seutuhnya. Walau kemudian sakit di kepala Jeviar dan perasaan mual kembali mendera. There, tangannya nyeri sebab diinfus, dan mudah saja buat Jeviar menebak kalau dia lagi ada di rumah sakit.
"Akhirnya Wiro Sableng sadar juga."
Jeviar menoleh, lantas mendapati Jeno lagi berdiri di samping brankarnya.
"Gimana? Enak hasil cosplay-an lo jadi petapa nggak makan nggak tidur saban hari?" Jeno mencerca lagi.
"Kepala gue pusing, Jen."
"Ya, emang. Malu kali itu pendekar baja hitam kalau lo nggak tepar setelah maksain diri kayak gitu."
"Haus, ambilin air." Jeviar berkata lemah.
"Hadeh." Walau kesal, tapi Jeno nurut aja. "Nih—eits, bisa bangun nggak lo?"
"Bisa." Akhirnya Jeviar minum, kan. Habis itu rebahan lagi. Dia sudah mau menutup mata buat meredakan sakit kepalanya, tapi siluet wajah seseorang tiba-tiba melintas di benaknya. Dia mengedarkan pandangan, tapi nggak ada siapa-siapa lagi di sana selain Jeno dan beberapa orang asing yang kayaknya juga lagi menunggu pasien di sana.
"Kenapa?" tanya Jeno pas melihat Jeviar kayak orang kebingungan.
"Yang bawa gue ke sini—"
Jeno malah tangkas marah-marah. "Elo yeeee, elo kalau bukan temen udah gue cemplungin di Ciliwung! Buset, badan lo nggak gede-gede amat, tapi beratnya ya Tuhan ... gue berasa jadi Atlas ngegendong sejagat raya."
Jeviar cuma bisa mendengus. Diam-diam agak kecewa, there's no way she is here. "Mama gue tahu?"
"Ya, tahulah. Kayaknya Tante Rose udah on the way ke sini."
Jeviar cuma bisa menghela napas. Habislah dia. Meski kalem gitu, Mama jugalah seorang mamak-mamak yang suka khilaf ngomel panjang lebar kalau anaknya sudah ambruk dan berakhir di rumah sakit gini. Jeviar pasrah aja ini tinggal terima nasib.
"Duh, kok, lama banget, sih?" Jeno ngedumel sambil melirik jam tangannya. "Jangan-jangan nyasar lagi."
"Mama gue bukan anak kecil, nggak mungkin nyasar. Lagian kayak nggak tahu jalanan Jakarta aja lo."
Muka Jeno mengerut sensi. "Siapa juga yang ngomongin nyokap lo—"
Omongan Jeno nggak terteruskan sebab seseorang sudah menginterupinya lebih dulu.
"Maaf, maaf. Aduh, bajuku basah semua. Kak Jeno punya tisu nggak—hng, Kak Je udah sadar?"
Jeviar mematung mendapati sosok itu berjalan mendekati ranjangnya. Dia mengerjap, buat memastikan kalau orang yang dia lihat emang betulan nyata, dan bukannya hilang saat sekali saja dia mengedipkan mata. Sosoknya tak berubah banyak, hanya lebih sedikit tinggi dengan rambut panjang yang sekarang sudah dikepang menyamping. Jeviar tiba-tiba nggak bisa berkata-kata waktu gadis itu sudah berdiri di samping Jeno, tengah menatapnya penuh dengan sebuah senyum yang—damn, he didn't know he miss that smile this much.
"Kak Je, how's life?" tanya Kirana.
Siapa pun nggak bakal menyangka, kalau Jeviar bakal menangis detik itu juga.
END.
AAAAA MAMAAAAK AKU PUNYA CERITA ENDDDDD TTTTTTTT
shit, gue nangis.
Tenang, sob. Karena saya juga gasuka digantung, akan kukasih bonus chapter lagi ksksksksk. Tapi gatau deh kapan ksksksk
Dah, ciao. Stay safe and keep healthy yaaaaaa!
04/03/2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top