20. tukang bakso

Sesuai wacana, mereka belajar bareng di rumah Jeviar.

Berhubung Tante Rose masih ada urusan terkait pekerjaan. Jadinya sewaktu Raki dan Ree tiba di sana, yang mereka dapati hanyalah dua manusia dan seekor kucing dengan berstoples-stoples kue di atas meja. Raki sempat syok, mengira sebetulnya Jeviar lagi menggelar syukuran berjamaah.

"Mama gue seneng banget pas tahu lo mau ke sini. Tapi, dianya ada urusan yang nggak bisa ditinggal. Mama sedih, sih, cuma sebagai gantinya dia baking-baking ini kue-kue, katanya buat lo." Jeviar jawab gitu pas ditanyain Raki.

Karena ruang tengah sudah nggak ada space buat menampung buku-buku mereka, Jeviar beralih mengajak mereka ke rooftop. Di tengah-tengah atap ada meja kayu bundar dengan kursi melingkar, mereka duduk di sana. Karena kebanyakan bunga di sana lagi pada mekar, wanginya samar-samar memenuhi udara. Matahari lagi terik, sih, tapi berhubung mereka teratapi oleh kaca, jadinya, ya, nggak panas-panas banget.

Sejak mereka buka buku, yang serius belajar cuma Raki sama Ree. Jeviar kebanyakan menguap, kentara banget mengantuk. Jeno nggak usah ditanya, itu cowok sibuk jadi bucing alias babu kucing. Raki sudah mencoba menegur, tapi yang ada dia capek sendiri melihat kelakuan dua orang itu. Ree berlagak bodo amat, dari tadi dia baca buku sambil rajin menggilas kue-kue yang dibawa Jeviar dari bawah ke dalam mulutnya.

"Ibong, tahan bentar lagi, ya?" Jeno berkata sambil mengelus bulu kucingnya. "Aku tahu kamu akhir-akhir ini lagi alergi serbuk bunga, tapi malah berakhir di taman kembang gini."

Jeviar cuma menatap Jeno tak minat.

"Mau gimana lagi? Kamu tahu sendiri bentar lagi ujian, dan aku mesti banyak belajar. Tapi, aku juga nggak bisa biarin kamu di rumah sendiri, takutnya ngambek terus ngilang kayak kemarin. Maaf, ya."

Raki sebetulnya capek, tapi kalau diladeni yang ada dia ikutan nggak waras.

"Tapi janji, deh, habis dari sini kita beli whiskas di depan!" Jeno melanjutkan.

Ree geleng-geleng kepala. "Emang sinting."

Jeno mendongak, menatap penuh ke Raki. "Eh, gue masih nggak paham."

"Emang ada di dunia ini hal yang bisa lo pahami?" Raki mengangkat satu alisnya.

"Tuh, reaksi lo baru aja jadi bukti ketidakpahaman gue." Jeno berkata. "Kok, lo mau belajar bareng kita, sih? Tiba-tiba banget lagi." Habis bilang gitu, Jeno menatap Jeviar kayak tercengang. Seolah baru menyadari sesuatu.

"Apa lo ngelihatin gue kayak gitu?!"

"Lo nggak ngejampi-jampi si Raki, kan, Je?"

Jeviar keselek. "APAAN?!"

"Ke dukun mana lo? Kok, manjur bener?!"

"KAGAK, YA." Jeviar rasanya mau cosplay jadi balon, biar bisa meletus. "Dia yang mau sendiri!"

Ree yang lagi sibuk makan biskuit jadi kepikiran juga. Dia mau nanya tapi lupa terus, jadi sekalian saja dia ikut mengompori keadaan. "Iya, juga. Lo nggak left grup coki-coki aja udah aneh, ini tiba-tiba banget ngajak belajar bareng? Sama dua dedengkot parsi ini lagi?"

"Gue kena dare."

"Hah?"

Raki berdecak. "Gue main truth or dare sama Kiki, gue kalah. Terus gue milih dare."

"Dare-nya ... belajar bareng kita?"

Bukannya menjawab tanya Jeviar, Raki malah mengambil satu kamus terus melemparnya ke muka itu cowok. "Gara-gara sering main sama lo, otak adik gue tercemar pengaruh negatif!"

"DIH, NYALAHIN GUE?!"

"Ya, emang?! Belajar dari siapa coba dia jadi separuh licik kayak gitu kalau bukan lo?!" Raki ngomong sampai nyembur.

"LICIK GIMANA?!" Ree bereaksi heboh, nyaris ngegebrak meja.

"Kiki menjebak gue dengan pilihan truth or dare!" Raki berseru dengan sepenuh nafsu. "Kalau gue pilih truth, dia bakal maksa gue cerita kejadian di halte. Kalau gue pilih dare, gue mesti ngajarin ini bocah balsem buat ujian!"

Ree menganga. "KIKI BEGITU?!"

"Wow, ternyata aslinya lebih drama daripada apa yang gue bayangkan." Jeno berkomentar. Dia kemudian menepuk bahu Jeviar, rada keras. "Berdasarkan apa yang udah Kirana lakukan buat lo, lo mestinya tahu itu anak masuk tipe yang mana."

Jeviar sudah nggak bisa mikir. Dua manusia sudah siap menerkam soalnya. "Tipe apaan?"

"Sirkuit otak lo adanya cuma satu jalur, ya? Heran gitu aja pikirannya ngadat." Jeno malah meledek. "Tipe-tipe yang Tante Rose bilang—masih nggak paham? Mau gue gebug kepala lo?"

Jeviar mengerjap bentar, tapi setelah tahu maksud Jeno apa, kontan dia cuma bisa senyam-senyum jablay. "Yha ...."

"Nggak usah kebanyakan ngayal!" Raki berkata pedas begitu melihat gelagat Jeviar. "Kiki buat dare kayak gitu soalnya tahu gue nggak suka sama lo! So I have to decide to choose tell her everything or be in the same room with you!"

"Dan pada akhirnya lo di sini, kan? Itu artinya dengan adanya gue sebagai pilihan, secara nggak langsung gue udah menyelamatkan lo." Jeviar berkata.

"Menyelamatkan mata lo!" Raki nggak terima kalah gitu aja. "Kalau Kiki nggak main sama lo, dia nggak bakal kepikiran main TOD dan pilihan itu nggak bakal ada! Nggak usah kepedean, Kiki nggak naksir sama lo! "

"Buset, udah kayak percakapan sinetron aja." Jeno nyeletuk.

Jeviar sok tersipu. "Mau Kiki naksir gue atau belum, nggak mengubah apa pun, sih."

"Maksudnya?!"

"Kan, yang naksir gue. Nanti gue tinggal usaha biar disayang balik hehe."

Ibarat kata banteng, ini Jeviar namanya segaja banget memakai pakaian merah di depan banteng yang lagi ngamuk berat. Raki sudah lupa apa artinya kesabaran, terus Ree sekuat tenaga menahan diri buat nggak melakukan tindakan radikal semacam ngelempar stoples kaca bekas cookies ke muka songong Jeviar.

Jeno geleng-geleng kepala. "Bulol bener lo."

"Ngaca. Gue bulol-nya sama orang, lah elo sama kuceng?" Jeviar balik meledek.

"Nggak usah bawa-bawa Ibong, dia terlalu suci buat dibandingkan sama lo yang penuh dosa." Jeno berkata pedas. "Tapi, gue penasaran, deh, Je."

"Apaan?"

"Adeknya Raki, kan, bukan selera lo—"

"LO KATA KIKI INDO*MIE?!" Ree capek banget dengan semua ini.

"—kok bisa, sih, lo suka sama dia? Lo, kan, anti sama anak bawang." Jeno melanjutkan, nggak peduli sama pelototan tajam Ree atau Raki sudah memasukkan semua buku-bukunya dengan kasar ke dalam tas.

Pertanyaan yang bahkan Mamanya juga nggak paham. Jeviar juga nggak paham, sih, kenapa. Cuma namanya juga hati, selalu kurang ajar suka deg-degan karena subjek yang kadang nggak sesuai sama pendirian. Kalau sudah gitu Jeviar bisa apa coba? Dari awal kalau bisa milih, dia juga nggak bakal milih suka sama orang yang bukan Kirana, sih.

"Kiki anaknya unik, sih." Jeviar bilang gitu. "Kan, gue jadi penasaran. Eh, ending-nya malah kena jackpot."

"Kenapa lo seakan-akan bilang Kiki, tuh, satwa langka sejenis badak bercula satu, ya?" Raki mendelik sinis.

"Betulan, ya!" Jeviar membalas dengan semangat membara. "Mana ada murid di sekolah kita berbagi gorengan sama Pak Satpam—"

"Lo ini sesesat apa, sih, sampai lihat orang sharing makanan aja lo bilang unik?!" Checked, disemprot mulut jeletotnya Ree.

"—sampai bikin gue salah paham dia anaknya Pak Bagas," lanjut Jeviar.

Raki melotot. "LO NGGAK LIHAT MUKA KIKI JIPLAKAN MUKA GUE?! KESIMPULAN DARI MANA KIKI JADI ANAKNYA PAK BAGAS?!"

"Udah gue bilang salah paham, duh!" Jeviar capek menghadapi dua orang yang lagi emosi, salah Jeno, nih, mancing-mancing masalah. "Dan yang paling bikin gue tercengang ...."

Jeno kepo mode max. "Apa?! Dia pernah nyemplung ke got buat menyelamatkan kitten di jalanan?!"

"Ye, otak lo isinya kucing mulu!" Jeviar jadi emosi. "Gue sempat mergokin Kiki minum air keran dari moncongnya langsung!"

Raki sama Ree kontan keselek berjamaah. "APA?!"

"KAGET, KAN, LO BERDUA?!"

Raki syok. Kalau bisa dibaca, mukanya nggak lebih bakal bilang, I am on mental breakdown. "What—wait, but how?!"

"INI NGGAK BISA DIBIARKAN!" Ree merogoh ponselnya, terus mau menghubungi ponsel Kirana. "Kita butuh klarifikasi nyata!"

Sambungan telepon Kirana sibuk, bikin Ree geregetan sendiri. Tapi sedetik kemudian, ponsel Raki berdering. Yang menelepon Kirana. Segera saja Raki menekan tombol hijau tanpa pikir panajng. "Pas banget ini anak—halo Kiki—"

"ABANG!"

Mereka berempat terperangah mendengar nada panik Kirana di seberang sana. Ree kontan menyuruh Raki mengaktifkan mode loudspeaker biar dia bisa leluasa mendengar.

"Abang di mana—bisa pulang sekarang, nggak?!" Suara Kirana sudah kayak menahan tangis.

Instan saja buat Raki merasa panik. "Kiki tenang dulu—bilang ada apa? Kenapa?"

Suara-suara samar terdengar, berganti suara seorang lainnya yang hilang-timbul. "Ki, biar gue aja yang jelasin—duduk, badan lo shaking parah anjir! Halo halo halo, Kak Raki? Bisa dengar nggak? Ini Skiza."

"Skiza? Yes of course I can hear you, but what's going on? Kiki shaking—"

"Kak Raki bisa pulang dulu, nggak? Nanti aku jelasin, tapi please ke sini dulu cepetan!"

"Iya, kita pulang tapi bilang ada apa dulu?!" Yang teriak Ree, sampai ngos-ngosan dan nyaris menaiki meja kalau nggak sigap ditahan Jeviar.

"Tadi pas mau balik dari Minimaret, kita tiba-tiba dikejar tukang bakso, Kak!"

" ... "

"Serem banget, mana ngejarnya sampai rumah!"

" ... "

"Terus pas kita udah masuk ke rumah, omnya malah nggak pergi-pergi!"

"WHAT?!"

***

Ketika Raki, Ree, Jeviar dan Jeno mendarat di rumah, mereka mendapati satu mobil tesla putih telah terparkir di depan pagar. Pas Raki cek, nggak ada tukang bakso di sekitar sana seperti apa yang dibilang temannya Kirana barusan, tapi malah Kale dan dua personal assistant-nya.

"Kok ada lo di sini?!" Jeno nggak bisa buat nggak terkejut begitu melihat Kale duduk bersilang kaki di sofa single ruang tamu. "Jangan-jangan lo yang ngintilin ini dua cewek segala pake nyamar jadi kang bakso, ya?!"

Raki selaku tuan rumah sampai lupa caranya beramah-tamah pada tamu ketika melihat Kirana tertidur di sofa panjang dengan posisi yang pasti nggak nyaman. Kepala Kirana jatuh di lengan sofa, sementara badannya masih dalam keadaan setengah duduk sambil memeluk bantal. Mukanya agak pucat, ada sisa-sisa peluh yang mengering di pelipisnya.

Raki mendekat, berniat membangunkan Kirana, tapi ditahan Skiza lebih dulu.

"Biarin gitu dulu, Kak. Baru bisa relaks dia, tadi habis lari dari ujung komplek sambil panik ketakutan. Pas udah di dalam rumah aja anaknya masih shaking parah."

Ree mengernyit. "Sebetulnya ini ada apa?"

Skiza pun mulai bercerita soal niat mereka yang awalnya mau membuat roti korea yang belakangan lagi hits, berbekal ilmu hasil nonton youtube, mereka akhirnya nekat beraksi. Tapi, persediaan keju di rumah Kirana lagi habis, jadilah mereka mampir dulu ke Minimaret sekalian beli jus kotak. Eh, pas pulang bukan dikejar anjing atau apa, malah dikejar tukang bakso.

Awalnya nggak kentara banget. Itu gerobak bakso terparkir cantik di samping Minimarket, sampai suatu kali Skiza merasa aneh sebab suara mangkuk-mangkuk bakso terus terdengar padahal teknisnya mereka berdua jalan terus. Ternyata abangnya ikutan jalan di belakang mereka. Tapi yang bikin syok, pas mereka berhenti itu tukang bakso juga berhenti, pas mereka jalan cepat itu abangnya juga ikutan jalan cepat.

Kentara banget, gitu, lho, Sob! Mereka otomatis lari, tapi nggak disangka-sangka tukang baksonya malah tangkas mengejar. Padahal Skiza yakin dia nggak pernah ngutang di mana-mana, dan Kirana—jangankan ngutang, itu anak sama pengamen aja suka kalap ngasih duit merah-merah.

Sampai mereka masuk pun, abangnya malah nongki di depan gerbang, sok polos banget gelagatnya kayak pedagang bakso biasa sambil mukul-mukul mangkok pakai sendok. Kalau nggak ingat Kirana udah lemes duluan, nih, ya, itu tukang bakso udah Skiza ajakkin tubir dari tadi.

"Terus lo kenapa bisa ada di sini, deh?"

Pertanyaan Ree sontak bikin Raki, Jeviar, sama Jeno menatap Kale yang duduk tanpa dosa di sana. Tepat di sampingnya, satu assistant Kale berdiri kayak pengawal kerajaan. Satunya lagi di teras, tadi permisi mau mengangkat telepon. Mereka sudah nggak heran, cuma masih kurang bisa paham aja sama kelakuan Kale.

Kale cuma mengendikkan bahu, lalu menunjuk Skiza. "Ditelepon dia."

Skiza keselek. "UDAH DIBILANG KEPENCET, NYET—uhuk, hng sorry-sorry," dia pura-pura batuk begitu melihat semua mata menatapnya penuh tanya.

Jeno menyipitkan matanya, menatap penuh selidik ke arah Kale dilanjut Skiza. Ini aneh. Jelas, soalnya Kale nggak pernah sekalem ini di-monyet-monyetin sama anak lain, apalagi adik kelas. Tapi karena dia tahu situasi, dia diam saja.

"Terus tukang baksonya ke mana?" Jeviar bertanya.

"Pas dia ngelihat muka Mr. Hao, dia langsung kabur." Kale menjawab, menyertakan nama salah satu PA-nya.

"Lah, kok, gitu?" Ree bereaksi keras. "Harusnya dia tunggu di depan, biar bisa gue bikin bonyok luar dalam!"

Kale menggeleng. "Dia bukan tandingan lo, Bang. Jadi, nggak usah macam-macam."

"Maksudnya?!"

"Dilihat gimana dia nyamar—di luar aksi kejar-kejaran tadi, dan gimana dia tahu siapa Mr. Hao, besar kemungkinan dia professional yang terlatih. Cuma lagi rada bego aja, he's so stupid to chased the target obviously." Kale menjelaskan.

"What?!" Raki makin pening. "Itu artinya tadi Kiki lagi dalam bahaya?!"

"Unfortunetaly, yes."

"Tapi kenapa juga itu kang bakso ngejar-ngejar kita?!" Skiza masih emosi.

"We'll find out after know who's at the back." Kale bilang gitu. Terus dia beralih menatap Skiza. "Dan itu artinya, lo bakalan lebih aman kalau berangkat ke sekolah bareng sama gue besok."

"Dih, kenapa jadi gitu?!"

Kale berdecak. "It's for your safety."

Mr. Hui yang tadi sempat ke teras bejalan mendekati mereka, lalu berdiri di samping Mr. Hao. "Tuan Muda, saya sudah mengirim file-nya ke e-mail anda. Silakan diperiksa."

Instan saja, Kale mengaktifkan notebook-nya lalu memeriksa e-mail masuk. Dia mengernyit begitu membaca data-data tersebut, lalu menatap kepada Jeviar dan Raki secara bergantian. "Well ...."

"Apa?"

"We don't have the fix answer, but there's two possibilities." Kale menghela napas.

"SIAPA?!!!"

"Based on the data, it can be Ms. Yoo or Mr. Moreno."

Sejenak, Raki kehilangan kata-kata, hingga sesuatu di dalam dadanya tersulut bersama dengan tangannya yang terkepal kuat.

to be continued.

Kenapa jadi dark gini ....

ya sob udah tgl 19 aja

19/01/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top