2. kaos kaki

"Ma," panggil Jeviar pada wanita yang kini tengah berdiri di depan stove. Lagi mengaduk sayur serta menambahkan garam sesekali.

"Hm?"

"Aku mau nanya, boleh nggak?"

"Go on, mau nanya apa?"

Jeviar berdehem. "Dulu, papa sama Mama kenalannya kayak gimana?"

Sejenak, Mama menghentikan kegiatan memasaknya hanya untuk menelengkan kepalanya pada Jeviar yang lagi mengaduk-aduk garam, entah Jeviar sadar atau tidak melakukannya. Mama dengan senyum tertahan, tapi juga bingung bertanya, "Loh, bukannya kamu udah pernah diceritain sama papa?"

Jeviar keselek. "Mama tahu?!"

Mama terkekeh, terus lanjut masak. "Ya, menurut kamu aja kalian ngegosipnya pas Mama ada."

" ... jadi waktu itu Mama pura-pura tidur?!"

"Kok, kayaknya kamu syok banget, sih, Je." Mama ketawa. "Lagian kamu udah tahu, kok, nanya lagi?"

Jeviar malah senyum sampai gigi-giginya kelihatan. "Aku pengen dengar dari sudut pandang Mama, biasanya perempuan, kan, detail gitu. Papa, mah, cerita-cerita, nggak ada isi langsung nikah."

"Bentar, deh, kamu minggir dulu. Mama mau pindahin ini ke piring," kata Mama setelah mematikan kompor dan menabur bawang goreng di atas sayur. Terus dipindahin dari pan ke atas piring.

"Jadi gimana, Ma?" Jeviar terus ngikutin Mamanya ke sana-sini meski cuma selangkah.

"Hm, waktu itu Mama sama mamanya Jeno pergi buat nonton futsal sekolah, kan, terus yang jadi lawan tandingnya itu tim futsal sekolahnya Papa kamu."

Muka Jeviar cerah banget, matanya sampai berbinar-binar gitu. "Terus, Ma?"

"Habis selesai pertandingan, tuh, Mama mau nyamperin Om Jeki buat ngasih minuman isotonik pesenannya dia sejak semingguan yang sebelum pertandingan kayaknya. Karena Om Jeki masih sibuk meratapi nasib habis kalah, jadinya Mama inisiatif turun ke lapangan buat kasih langsung. Eh, pas Mama jalan ke Om Jeki, minumannya malah diserobot Papa kamu."

"Buset, Papa nggak ada yang bawain minum, makanya gitu, ya, Ma?" Jeviar berdecak. "Terus, Ma?"

Mama ketawa. "Kayaknya yang bawain banyak, deh, Je. Tapi Papa kamu, kan, emang aneh dari sananya, jadi ya gitu. Pas minumannya udah habis, baru, deh, Mama kasih tahu kalau minumannya bukan buat dia. Terus, kamu tahu nggak Papa kamu bilang apa?"

"Papa bilang apa?"

"Dia bilang, 'maaf, ya, saya haus banget tadi habis ngalahin lawan tadi, minumannya saya ganti, deh. Tapi, kenalin dulu, nama saya Jeffrey' gitu."

Jeviar mengernyitkan dahinya, "Ternyata papa modusnya kampungan."

"Hush, Je." Mama memperingatkan anaknya. "Kalau Papa kamu nggak gitu, kamunya nggak bakal ada, Je."

Jeviar menghela napas, meski di dalam hati membenarkan.

"Kamu nggak mungkin tiba-tiba nanya gitu karena lagi naksir orang, kan, Je?"

Jeviar terbatuk, nggak sengaja ludahnya kepleset terjun ke tenggorokan dengan tak diniatkan. Mukanya sampai merah ke cuping-cuping. Lalu dengan inisiatif, Mama menuangkan segelas air putih buat Jeviar. Terus menepuk-nepuk punggung anaknya pelan.

"Duh, kok, kamu jadi gampang kaget gini, sih?"

"Mama, biasa aja dong nanyanya."

Mama yang nggak merasa bertanya yang gimana pun mengernyit. "Mama tanyanya biasa aja, kok. Kan, Mama tanya baik-baik, kamu lagi suka sama orang apa gimana, tiba-tiba nanya gitu. Tapi, kalau ingat kata-kata papamu agak nggak mungkin, sih," ringisnya.

"Hah, papa bilang apa?"

"Selain muka, bakat buayanya juga nurun ke kamu, Je."

Muka Jeviar merah. Kayak, malu banget kelakuannya selama ini ketahuan Mama. "Mama!"

"Tuh, reaksinya juga sama kalau Mama ledekin kayak gitu." Mama malah ketawa.

"Tapi, mungkin nggak, sih, kalau Mama nggak ketemu papa habis kejadian di lapangan waktu itu, Mama bakal lupa sama muka Papa?"

Mama menelengkan kepala dengan raut wajah berpikir. "Kurang tahu, sih, sebab faktanya papa kamu malah sering nongol di depan Mama habis itu. Kenapa? Orang yang kamu taksir lupa sama kamu, ya?"

Omongan Mama menusuk tepat di ulu hati Jeviar sampai rasanya kembang-kempis.

"Jujur aja, Je."

"Gitu, deh, Ma." Muka Jeviar tambah asem.

"Jadi beneran, ya, ampun...." Mama mau ketawa, tapi kasihan lihat raut muka Jeviar. Tapi, hatinya mendadak hangat waktu lihat Jeviar sudah segede ini, dan mungkin sebentar lagi, akan jadi pria dewasa yang nggak perlu ia ikut campuri kehidupannya. "Emang kamu udah kenalan gitu?"

Jeviar menghela napas terus jawab dengan lesu, "Harusnya, sih, udah, Ma."

"Loh, kok, ada kata harusnya?"

Jadi, malam itu ....

Jadi sore itu, Jeviar lagi datang ke laundry langganannya buat complain soal kaos kaki hadiah Mama yang warnanya abu-abu, terus ada inisial nama Jeviar juga, tiba-tiba berubah warna jadi merah muda, mana ada gambar stroberinya yang mana nggak mungkin banget dia punya kaos kaki kayak gitu.

Pihak laundry-nya minta maaf, katanya itu kerjaan staff baru yang masih rada kagok dalam bekerja. Karena sebagai manusia Jeviar juga punya banyak dosa, makanya dia memaafkan dengan hati seluas lapangan. Alasan lainnya, sih, karena hari itu yang complain juga lumayan banyak, termasuk orang yang kaos kakinya ketuker sama Jeviar. Terus kata yang punya laundry, kalau nggak keberatan, Jeviar bisa tunggu sebentar lagi sebab yang punya kaos stroberi lagi on the way mau balikin kaos.

Jeviar iyakan saja, sebab dia juga gabut di rumah sendirian, mama papanya lagi pada kerja soalnya.

Terus, nggak berapa lama Jeviar tunggu, seorang gadis berambut sebahu masih menggunakan helm datang ke dalam laundry sembari menenteng paper bag kecil. Dia jalan menuju meja yang buat ambil barang sekalian bayar dan ngelewatin Jeviar yang sudah terbengong di kursi tunggu gitu aja.

Jeviar baru sadar dan secara otomatis memasang wajah kalem, just the way anak pinter, cool, dan baik-baik looks like pas mbak laundry sama Kirana jalan dekat ke dia.

"Mas Jeviar, maaf banget, kaos kaki yang ada sama Mas punyanya adek ini." Begitu kata mbak laundry-nya dengan wajah penuh penyesalan.

Kirana mengangsurkan paper bag di tangannya terus bilang, "Ini kaos kakinya, Kak. Maaf ngerepotin, makasih juga ya, udah jaga kaos kaki saya."

Jeviar terima, kan, tuh. Terus cek isinya bener apa nggak, kan nggak lucu kalau ternyata ketuker lagi. Tapi syukurnya bener, sih. Dia terus senyum sopan ke Kirana, sambil memberikan kaos kaki stroberi itu anak yang tadinya ia kantongi di dalam jaket, tanpa dibungkus apa-apa.

"Ini betul punya kamu, kan?"

Kirana terima dengan tangan dan senyum manis. "Iya, Kak Jon. Makasih, ya."

Jeviar melongo bentar terus terbatuk-batuk, yakin telinganya nggak budek waktu dengar Kirana salah sebut nama Jeviar. Belum sempat dia menyela apalagi membetulkan kesahpahaman Kirana perkara namanya, mbak laundry sudah lebih dulu bicara.

"Sekali lagi kami mohon maaf, ya, atas pelayanan kami yang malah menyulitkan Mas, sama Kiki. Saya harap kalian nggak jera dengan pelayanan kami berhubung dengan kejadian ini, kami akan meningkatkan kinerja laundry. Sekali lagi, maaf, ya."

Tadinya, Jeviar mau ngomel dikit ke mbak laundry, sebab yang hampir hilang itu benda kesayangan Jeviar. Tapi berhubung Kirana malah mengangguk-angguk dengan senyum lebar terus malah berusaha menenangkan si mbak, rencana Jeviar batal.

Habis kelar dari sana, mereka keluarnya barengan, heran juga kenapa Kirana mendadak senyap padahal tadi sama mbak laundry ramahnya minta ampun. Pas mereka sudah melewati pintu keluar, Jeviar memberanikan diri untuk membuka suara.

"Sorry, mungkin ini nggak penting, tapi nama gue Jeviar bukan Jon." Jeviar berusaha menyamai langkah kecil Kirana.

Sebelum menjawab, Kirana celingukan dulu kayak memastikan apa dia yang lai diajak ngobrol sama orang di sampingnya. "Oh, hng—iya, Kak Jeviar, maaf tadi saya keceplosan soalnya nggak sengaja baca bordiran di kaos kakinya ...."

"Iya, nggak apa-apa." Jeviar bilang gitu. "Tapi ingat, ya, kalau ketemu lagi panggilnya Jeviar, jangan Jon."

Kirana nyengir, terus ngacungin jempol. "Sip, Kak Je."

Tapi entah karena otak anak itu memang lemah dari sananya atau muka Jeviar yang nggak sememorable itu buat diingat, karena dua hari setelah itu, pas Jeviar mencoba menyapa Kirana di koridor, Jeviar malah dicuekkin sampai dia diam-diam mencolek lengannya sendiri, ragu akan eksistensinya sendiri.


to be continued.

gak tau yah, rasanya aneh....

14/09/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top