17. bunga matahari
"Cepetan naik."
"Bentar." Kirana bergumam seraya berusaha mengaitkan tali helm-nya.
Jeviar ketawa di atas motornya, terus bilang, "Sini deketekan. Kalau susah, tuh, minta tolong, dong, Cantik."
"Biasanya kalau sama Bang Raki juga bisa, tapi ini susah, keras banget." Kirana mengambil satu langkah maju, membiarkan Jeviar mengaitkan kaitan helm sebelum mendapat tiga tepukan kecil di atasnya.
"Ya, kan helm-nya baru dipakai hari ini."
Kirana mengerjap. "Hah?"
"Baru gue beli kemarin. Tuh, segelnya masih ada."
"Jangan bilang Kak Je belinya gara-gara aku mau numpang?!"
"Kalau iya kenapa, sih? Kan buat keamanan."
Rasanya Kirana mau nangis. "Buang-buang duit, Kak Je. Aku, kan, juga punya di rumah! Tau gitu aku bawa aja helm tadi pagi."
Jeviar berdecak. "Duit gue banyak, Ki. Beli helm sebiji nggak bakal bikin gue jadi gelandangan."
"Sombong amat." Kirana mencibir. "Tapi ini warnanya fancy banget."
"Lah, lo nggak suka?"
"Suka." Kirana mengacugkan jempol kayak orang tanpa nyawa. "Tapi, kayak sia-sia banget nggak, sih, ini belinya dipake cuma sekali?"
"Makanya sering-sering main sama gue, dong, biar gue belinya nggak sia-sia!" Jeviar malah cengar-cengir. "Cepetan naik, kita cap cus!"
Jadi, gitu. Kirana naik ke boncengan Jeviar sebelum meninggalkan area parkir sekolah. Hari ini, mereka janjian bakal makan siang ke Burito. Soalnya, kemarin Kirana lihat ada diskon buat paket menu kesukaannya di official sosmed Burito. Sayangnya Raki sudah ada acara yang telah dirancang pemuda itu jauh-jauh hari sebelumnya, jadi nggak bisa nganterin Kirana ke sana. Oleh karena itu, Kirana maksa buat pergi sendiri, tapi ditentang mentah-mentah sama Raki sebab, ya, sob, dia nyeberang jalan aja nggak bisa?
Alhasil, Kirana bete berat. Kesalnya kebawa-bawa sampai semua yang ditemui cewek itu hari ini pada tahu. Akhirnya, Jeviar menawarkan diri buat mengantar.
Mengenai Raki. Kirana masih belum tahu apa-apa mengenai kejadian tempo hari. Malah, habis mengurung diri di kamar kayak anak gadis lagi marahan, Raki tangkas marah-marah ke Ree sama Jeviar begitu melihat betapa hancurnya dapur mereka kala itu cuma karena mereka mau bikin smoothies. Kirana nggak berniat mengorek lebih lanjut soalnya kelihatan banget, Raki selalu mengalihkan pembicaraan tiap kali dia mengungkit hal itu.
Jadi, Kirana memutuskan buat memberi waktu kepada Raki sebanyak mungkin, hingga pemuda itu siap memberitahunya tanpa kecuali.
"Ki? Kirana lo dengar gue?!" Jeviar teriak-teriak saat tak mendengar sahutan dari orang di belakangnya.
Kirana tersentak, langsung mencondongkan badan ke depan. "Kenapa, Kak?"
"Lo ngelamun, ya?"
"Nggak. Suara Kak Je nggak kedengaran, diterbangin angin!"
"Bener?"
"Iya!"
... atau sebenarnya Kirana tengah memberi waktu untuk dirinya sendiri alih-alih Raki, karena sesuatu yang membuat Abangnya sekacau itu, tak akan mungkin akan membuatnya baik-baik saja.
Jeviar tahu Kirana melamun, kelihatan soalnya dari kaca spion. Tapi, ya, dia nggak mendebat lebih lanjut. Dia biarin aja, sampai mereka tiba di tempat tujuan. Siang ini Burito agak crowded, efek lagi ada diskon kali, ya. Mereka nyari duduknya di lantai dua, mepet balkon, biar kena sepoi angin gitu. Kapok perkara mie setan waktu lalu, Jeviar memesan nasi goreng perawan—yang dari tadi diketawain Kirana soalnya, ya, nama menunya gitu amat?
"Nggak apa-apa, Kak Je. Kakak, tuh, nggak suka pedasnya baru level satu." Kirana menenangkan soalnya Jeviar manyun gara-gara dia ketawain. "Ada, ya, temenku kalau makan pedes diikkkkiiit aja, dia langsung opname ke wc."
"Lagian buat apa, sih, makan makanan yang pedesnya sampai bikin hilang akal?"
"Duh, karena pedas makannya jadi nagih!"
Jeviar menelengkan kepala. "Pilih mana, mie setan atau cookies bikinan mama gue?"
"Cookies tante Rose lah!" Kirana ketawa. "Masakan tante, tuh, priceless alias nggak bisa dibeli di mana pun."
"Okay, your wish is granted."
"Wish apa?"
"Satu stoples cookies cokelat by mama gue."
"Dih, kok, tiba-tiba?"
"Nggak, ya." Jeviar menyentil pelan dahi Kirana yang ketutupan poni. "Karena lo sudah jadi fans nomor tiga masakan mama gue—yang nomor satu gue, terus yang kedua bokap gue—sebagai reward, satu stoples cookies akan ada di rumah lo sore ini."
Ya, gitu. Mereka makan nggak lama, sih, soalnya tiba-tiba mendung. Mereka bergegas buat pulang, biar nggak kehujanan. Tapi, yah, tetap saja pada akhirnya kehujanan. Mana Jeviar bawa mantel cuma satu—yang selalu dipastikan ada di bawah sadelnya oleh mama—dan mentelnya itu, tuh, kayak baju tok.
Jadinya yang pakai cuma Kirana. Jeviar ngotot pas Kirana menolak dengan alasan bahwa sebagai cowok dia itu lebih tahan dingin. Udah biasa juga, soalnya dari Jeviar SD, dia sudah bandel main hujan-hujanan tiap pulang sekolah bareng Jeno. Tapi, yah, Jeviar bukan bebek yang kalau kena air nggak bakal basah, makanya pulang-pulang Jeviar sudah mirip anak itik habis kecebur di kolam.
Mereka memutuskan berteduh di rumah Jeviar dulu, sebab hujannya deras banget, dan tempat paling dekat dijangkau, ya, rumah cowok itu. Mama ada di rumah, baru balik dari kerja. Perempuan itu kaget melihat Jeviar sama Kirana pada menggigil di teras rumah pas mereka papasan, lalu menyuruh keduanya masuk ke dalam.
Kirana lagi duduk di stool chair yang mepet sama dapur, hanya disekati meja panjang. Dia sudah ganti baju, tadi dikasih Tante Rose soalnya walau sudah pakai mantel, entah gimana, Kirana tetap kehujanan. Jeviar masih mandi sama ganti baju kayak Tante Rose kayaknya. Meski nggak lama kemudian, tante Rose datang sambil bawa segulung tisu.
"Loh? Kamu udah selesai? Gimana bajunya, pas nggak?" Tante Rose senyum melihat Kirana mengacungkan jempol.
"Makasih, ya, Tante. Udah dipinjemin baju, nanti aku balikin pas udah dilaundry."
"Nggak apa-apa, Kiki. Senyamannya aja." Tante Rose bilang gitu. "Eh, Kiki mau minum apa? Udah makan belum?"
"Nggak usah repot-repot Tante, tadi udah makan di luar bareng Kak Jeviar, sih."
Dengar jawaban Kirana, Tante Rose senyum-senyum. "Oh, gitu."
Jadinya, karena mereka berdua sama-sama sudah makan, dan Jeviar nggak nongol-nongol sehabis pamit mau ganti baju tadi, akhirnya Tante Rose membawa Kirana ke rooftop buat lihat-lihat tanaman. Sampai di sana, Kirana speechless banget. Tempatnya lumayan luas, ada banyak tanaman yang mostly adalah tanaman hias, bunga-bunganya banyak banget dan cantik-cantik. Tapi yang paling amazing, rooftop tersebut dilingkupi oleh kubah kaca yang atasnya bisa dibuka-tutup. Kirana berasa ada di secret glass garden.
Terus mereka bercakap-cakap, kan, tuh.
"Oh, ya. Raki gimana kabarnya? Udah lama banget Tante nggak lihat dia, sekarang dia kelihatan kayak gimana, ya? Dulu, kan, kalian lucu-lucu banget."
"Baik, Tante. Abang lagi sibuk persiapan ujian, sih." Kirana nyengir. "Aku ada fotonya, Tante mau lihat nggak?"
"Boleh."
Terus Tante Rose geregetan sendiri melihat foto-foto Raki. "Ya ampun, udah segede ini. Mukanya nggak banyak berubah, kayak kamu. Jadi pengen ketemu, tapi Raki masih ingat nggak, ya, sama Tante?"
"Masih, kok. Waktu ini Tante sempet kirim cookies ke rumah, kan, nah Abang juga makan. Terus, kata Abang rasanya, kok, kayak kenal. Aku bilang dari Tante Rose yang dulu itu hehe, terus Abang syok sampai melotot gitu."
Tante Rose senyum. "Duh, beneran lho kalian dulu, tuh, selalu ada pas Tante main ke rumah Ree. Makanya Tante sengaja bawa cookies tiap dateng, pasti kalian senang banget."
"Aku rada nggak ingat, sih, soalnya udah lama dan aku masih kecil banget. Ingatnya cuma ada Tante-tante cantik rambut panjang suka bawa cookies enak."
Tante Rose ketawa. Keingat dulu waktu pertama kali melihat Raki sama Kirana, mereka ini sudah catching her attention. Nggak kayak kakak-adik lainnya yang suka berantem tiap deketan, mereka ini adem banget. Interaksi di antara keduanya suka bikin Tante Rose gemas sendiri, biar pun mereka cuma duduk anteng sebelahan.
"Sekarang Raki masih sering kepangin rambut Kiki, nggak?" tanya Tante Rose.
"Jarang, sih, tapi waktu ini—WOAH, KOK, TANTE TAU SOAL ITU?" Kirana kagum banget.
Tante Rose chuckled. "Kalian nggak banyak berubah, ya, ternyata."
"Hehe."
"Nanti sebelum pulang, Kiki makan dulu, ya. Tante mau masak sesuatu yang special."
"Wah ...."
"Ya?"
"Oke, deh. Hehe."
Terus mereka siram-menyirami tanamannya, kan. Sampai Kirana tertarik sama tumbuhan bunga matahari di pot tanah liat yang meskipun masih pendek, tapi sudah berkuncup. Nah, kesannya obvious banget, sampai ke-notice Tante Rose.
"Yuki suka sunflower?"
Yuki.
Sudah berapa lama, ya, Kirana nggak mendengar dirinya dipanggil kayak gitu? Orang terdekatnya manggil Kiki, sih, but Yuki has a different soft spot for her, because it's her mother who usually calling her like that.
"Tadinya, sih, nggak terlalu. Tapi, sejak dua menit lalu jadi suka." Kirana nyengir.
"Then, you can take it since you like it."
Kirana mengerjap. "Beneran, Tante?"
"Of course, sweetheart."
"Duh, Tante baik banget. Thank you huhu, nanti kalau udah ada kuacinya, aku bakal kasih lihat Tante!"
"Okay then!" Tante Rose mengambil pot berisi tanaman bunga matahari tersebut. "Tapi potnya Tante ganti dulu pakai polyback, ya, biar kamu nggak berat bawanya."
Terus setelah urusan bunganya selesai, mereka turun buat masak. Kebetulan banget mereka papasan sama Jeviar di depan meja makan, cowok itu kelihatan linglung. Sebelum akhirnya bernapas lega begitu melihat dua orang perempuan datang dari arah tangga.
Tadinya, mereka mau bantuin Tante Rose masak. Tapi, nggak dikasih soalnya wanita itu beralasan akan memasak hal special, jadinya mereka nggak dikasih ikutan. Jadinya Jeviar sama Kirana ngejogrog di depan TV di ruang tengah. Jeviar mengerjakan contoh soal-soal ujian—ini bukan pencitraan, ya, dia juga bisa belajar selayaknya murid pada umumnya—sementara Kirana sibuk ngasih makan pou di ponsel Jeviar, berhubung ponselnya lagi numpang di-charge sehabis lowbat tadi.
Tapi, namanya juga Jeviar, ya. Belajar jalan, modus jalan.
"Ki, ini pelajaran kelas sepuluh, kan?" tanya Jeviar sembari menunjuk satu soal di bukunya kepada Kirana. "Gue lupa konsep. Ini, tuh, dicari FPB apa KPK-nya, ya?"
"Wah, iya. Kalau yang, itu, sih cari KPK, Kak—seingatku, ya! Nggak tahu, deh, bener apa nggak."
"Duh, berat nih."
"Cari di internet aja, Kak."
"Iya, sih. Tapi gue seringnya gagal fokus kalau belajar pakai hp, Ki. Bukannya belajar, nih, ya, yang ada gue malah scrolling-scrolling nggak jelas."
"Sama kayak aku!" Kirana ketawa. "Kalau gitu mending belajar bareng Bang Re nggak, sih? Dia, kan, pinter. Kalau ada yang Kak Je kurang ngerti, bisa ditanyain ke Bang Ree."
Jeviar tersenyum. "Lo tahu sendiri, rumahnya Ree itu ...."
"Hng, Bang Ree-nya aja yang disuruh ke sini."
"Mana mau dia, Ki, repot-repot tanpa dapat keuntungan apa-apa."
"Hng, kalau gitu teman Kak Je yang lain? Masa nggak ada, sih? Kak Jeno misal?"
"Jeno? Bukannya belajar buat ujian, nih, ya, endingnya gue belajar jadi babu kucing, Ki."
Kirana ketawa.
"Tapi, belajar sama lo kayaknya cukup, deh, Ki."
"Lah, kok, gitu? Aku, kan belum pernah jadi kelas duabelas?"
"Ye, siapa juga yang bilang begitu." Jeviar berdecak. "Gue, nih, kan rada lupa sama pelajaran kelas sepuluh, yah. Nah, lo ini, kan kelas sepuluh, which is pasti pelajarannya masih fresh di ingatan lo, kan. Nah, gue bisa tanya-tanya seputaran materi kelas sepuluh ke lo, gitu."
"Aku nggak secerdas itu, lho, sampai bisa ngajarin orang."
"Yha—"
"Tapi, kalau sama Bang Raki, dijamin pertanyaan Kakak dibabat habis! Lagian kalian sama-sama kelas duabelas dan lagi persiapan ujian, kayaknya dia mau."
"Gue belajar sama Abang lo—" kayaknya gue babak belur duluan, deh. Jeviar melanjutkan dalam hati.
"Kenapa?"
"Nggak. Nggak apa-apa." Jeviar senyum ngenes.
"Nanti aku tanyain ke Abangku okeeee, pokoknya Kak Je terima beres aja."
"Yha."
Terus tiba-tiba, hp Jeviar yang lagi dipakai Kirana berbunyi nyaring. Sebuah telepon masuk terpampang, bikin Kirana mengernyit begitu tahu siapa yang menelepon.
Jeviar menatap Kirana. "Siapa?"
"Abangku." Kirana meringis.
WAW. Apa pasal, nih, Raki tiba-tiba menghubungi Jeviar. Dia tersenyum semringah, lalu berkata, "Angkat aja, Ki."
"... nggak Kakak aja?"
"Lo lihat sendiri gue lagi belajar. Lagian, yang telepon, kan Abang lo, Ki. Bukan orang lain."
Ya, gitu. Begitu Kirana menyapa dengan, "Halo?" reaksi Raki betulan kayak kaget banget.
"KIKI? KOK, KAMU YANG NGANGKAT?!"
"Ya, bisa. Kan aku punya tangan ...."
"Kiki, jawab yang bener." Raki kedengaran frustasi di seberang sana. "DAN KENAPA KAMU NGGAK NGANGKAT TELEPON ABANG?!"
"Hp-ku lowbat, maaf hehe."
"Sekarang kamu di mana? Hujan gini masih di luar?!"
"Lagi neduh di rumah Kak Jeviar, makanya aku bisa angkat teleponnya hehe."
"WHAT THE—KALIAN BERDUA AJA—"
"Ada Tante Rose, kok."
Raki terdengar menghela napas. "Oke, sekarang. Kasih teleponnya ke si ku—maksudnya Jeviar."
"Oke."
Terus pas ponselnya sudah di tangan, belum sempat Jeviar ngomong halo, baru napas aja, nih, dia sudah di-gas duluan dengan nada seasin lautan.
"BANGSAT!!!"
Ini, ya, kalau nggak ada Kirana Jeviar sudah pasti ngegas balik. "Apaan?!"
"Pulangin adik gue sekarang!"
"Heh, lo nggak lihat di luar hujan lebat, hah?!"
"Suruh hujannya berhenti! Terus anterin adek gue dalam keadaan utuh, awas aja sampai ada lecet seujung kuku, lo gue jamin nggak bakal bisa lihat matahari besok pagi!"
"Lo kira gue pawang hujan apa?! Iye, entar gue balikin adek lo elah." Jeviar memutar bola matanya. "Btw, lo di mana?"
Raki keselek di seberang sana. "APA PULA LO NANYA-NANYA?!"
"Dih, gue cuma wakilin curiosity-nya Kiki, ya!" Jeviar jadi sewot kalau gini. Diam-diam melirik Kirana yang bengong menatapnya.
"Kasih teleponnya ke adek gue cepetan!"
Jeviar menganjurkan teleponnya ke Kirana, yang dibalas tatapan tanya dengan gestur bibir yang kalau bisa diterjemahkan oleh kata, nggak bakal beda dari, "Udah, apa katanya?"
Jeviar sudah balik lagi dengan soal-soal di buku, membiarkan Kirana dengan teleponnya.
"Iya-iya, duh. Hooooooh, oke. Bawel banget, deh, Abang. Iya, ampun. Iyaaaaaaa. Iya aku telepon nanti." Kirana lantas berseru kesal begitu panggilan tersebut diakhiri, sebab pounya yang tadi lagi main skateboard dan nyaris mendapat nilai tertinggi ternyata sudah otomatis balik ke rumah.
"Kenapa, Ki?"
"Pou-ku mati huhu."
"Lah, bisa mati?"
"End game doang, sih."
Jeviar mesem-mesem. "Gue juga pengen punnya end game, sih."
"Maksudnya?"
"Gue juga pengen suatu saat, someone that I adore so much will be my end game, so that we'll have the another beginning to be 'us' without losing each of ourself."
Tapi, yah, semua kata-kata buaya Jeviar harus berakhir dengan mengenaskan hanya karena sebuah kata ....
"Hah?" Kirana nge-bug as well.
"Gini—"
Penjelasan Jeviar terinterupsi oleh dering ponsel, lagi. Kali ini Kirana menjawab tanpa berpikir. Soalnya, tadi Raki bilang mau telepon lagi kalau Kirana nggak juga menelepon. Tapi, ini bahkan belum ada sepuluh menit berlalu?!
"Apa lagi Abang?!" tanya Kirana galak.
Tapi, ternyata ... bukan Raki.
"Hng, sorry, tapi ini siapa, yah?"
Kirana mengerjap, terus mengecek si penelepon dan ternyata Jeno. Dia meringis, terus minta maaf.
"Bisa ngomong sama Jeviar bentar, nggak?"
"Woooosh bisa-bisa! Bentar!" Kirana memberikannya ke Jeviar, awalnya Jeviar kebingungan, tapi mukanya berubah sepet begitu tahu siapa yang menelepon.
"Ape?" tanya Jeviar.
Di luar dugaan, Jeno malah teriak-teriak. "DAMN IT, JE! SHE'S BACK!"
"Siapa? Lo kalau ngomong yang lengkap!"
"Karina, she's back!"
Jeviar terdiam.
"Pantes, ya, kucing gue pada sawan dari kemarin!"
" ... "
***
Sore hari menjelang malam, Raki baru balik dari acara futsal yang cuma jadi wacana alias batal gara-gara Hasa mendadak sakit perut, katanya nggak sengaja nenggak larutan oralit jebakan adiknya. Raki kesal, soalnya setelah berita soal Hasa tersebut tersampaikan di grup chat, satu per satu temannya mendadak ada urusan. Raki curiga itu semua sudah direncanakan.
Tapi, sesuatu di sudut kaca jendela kamarnya menarik perhatian cowok itu, lalu setelah menaruh tas olahraganya di lantai, dia mengambil ponsel lantas menghubungi Kirana.
Raki tahu, sih, Kirana ada di kamarnya—yang cuma butuh lima langkah dari kamarnya saat ini, tapi, yah, hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun sejak Raki pertama kali dibelikan ponsel. Padahal, sih, males, ya. Buat apa punya paket telepon unlimited kalau nggak digunakan kayak gini?
"Kiki ...."
Dari suaranya, Raki tahu adiknya lagi cengengesan. "Udah lihat, ya?"
"Dapat dari mana pot bunga matahari?"
"Dikasih Tante Rose. Buat Abang."
"Tiba-tiba banget?" Raki mengernyit.
"Iya, soalnya juga Abang suka tiba-tiba sedih. Jadi, hadiahnya juga tiba-tiba."
"Thanks, then?" Raki berkata demikian. "Tapi mesti banget ditaruh di kamar Abang?"
"It radiates positive vibes, happiness and joys."
"Em-hm?"
"It's always faces the sun from dawn till dusk."
"Then?" Raki melempar dirinya ke atas kasur, terus hela napas, hanya untuk merasakan aliran hangat itu menguasai dadanya.
"From now on, you are the sun in our home Abang." Kirana bilang gitu. "May its joy and all the good vibes will follow you around."
Raki mau terharu, tapi bentuk bunga mataharinya lucu banget, mana masih kuncup. "Tapi bunganya masih pentil Kiki."
"Emang, you have to sing a song every morning first, to make it blooms."
Raki ketawa, bengek. "Kok, jadi nyanyi? Emang bisa gitu?"
"Bisa!" Kirana menjawab berapi-api.
"Coba praktekin!"
"Kalau aku nyanyi, Abang turutin permintaan aku, ya?"
"Depends on your wish."
"Dih, kok, gitu?!"
"Permintaannya aneh-aneh nggak?"
Kirana berdecak di seberang sana. "Emang kapan aku pernah minta yang aneh-aneh?"
"Cookies rasa semangka, lupa?"
"Itu bukan aneh, ya! Itu namanya inovasi."
"Iya-iya!" Raki ketawa. "Come on, sing it!"
Kirana mulai berdehem-dehem, bikin Raki geleng-geleng kepala.
"Here comes the sun do, do, do, do. Here comes the sun, and I say it's alright."
Raki dengerin.
"Little darling, the smiles returning to the faces. Little darling, it feels like years since it's been here."
"It sounds like you're trying to comfort me right now?" Raki chuckled.
Kirana malah terus nyanyi.
"Here comes the sun do, do, do, do. Here comes the sun ...."
" ... "
" ... and I say it's alright."
Now Raki knows, the cold in the certain part of his heart slowly melted.
(((kemeja punya abang)))
to be continued.
kangen banget sumpah wkwkwk i just kambek from penderitaan siswa
jadi gaes, gimana nih ke depannya wkwk siapakah karina ini, dan apa yang sebetulnya yang terjadi pada raki??????
oiya, adik-kakak alias yuki-raki ini tercipta karena adek kakak betulan ksksksksk, gemes banget saya melihatnya
dah sie gitu aja, stay safe ya semua
22/12/2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top