15. jepit rambut
"Kok, bisa-bisanya Kirana suka sama yang nggak nyata di saat gue tepat ada di depan mata?" Jeviar nyeletuk.
"Itu artinya Kiki masih punya selera," desis Ree, terus lanjut makan bakso.
Mereka berdua lagi istirahat mandiri di kantin. Jam keempat pelajaran Matematika kosong, digantikan oleh sebait tugas yang jawabannya bisa lebih panjang dari leher jerapah—yang mana menjadikan kelas terbelah menjadi dua kubu, yang rajin dan dengan patuh membuat tugas tersebut padahal ngejiplak doang, yang lain menjadikan jam kosong sebagai acara senang-senang.
Jangan tanya Jeviar masuk kubu mana, sementara Ree, berhubung dia sudah selesai sejak zaman jebot dan gabut nggak tahu mau ngapain di sisa jam itu, dia mengiyakan saja ajakan Jeviar buat early ngantin. Jeno nggak ikut, itu cowok sibuk main uno sama komplotannya Hasa di kelas dengan iming-iming sebungkus whiskas kalau Jeno menang. Kadang, Jeno bisa semurah itu kalau sudah menyangkut dunia permeongan.
"Eh, tapi apa hubungannya Jack Frost ama coki-coki?!" Jeviar masih wondering.
"Ye, meneketehe! Lo kira gue cermin ajaib tahu segalanya?" Ree malah balik ngegas.
"Ya, kan, lo yang nguping?!"
"Soal itu Kiki nggak ada bilang apa-apa." Ree mengendikkan bahu. "Tapi, serius, deh. Lo betulan naksir Kiki?"
Jeviar rasanya mau nyembur Ree pakai kuah bakso di mangkoknya. Kurang jelas apa lagi, sih? "Apa perlu ditanya lagi?!"
"Kenapa mesti Kirana?" Ree nanya disela-sela kunyahannya.
Jeviar tahu dari gimana Ree bicara, cowok itu nggak ada maksud apa-apa selain ingin tahu, meski masih agak sedikit defensif. "Kenapa juga mesti bukan Kirana?"
"Dih, kadal buntung." Ree mendelik. "Lo pikir, deh, Je. Kalau dibandingin sama mantan-mantan lo atau cewek-cewek yang pernah dekat sama lo, Kirana itu kayak out of your cup of tea tahu nggak? Bukan berarti Kiki nggak cakep, ya! Cuma, mantan-mantan lo itu terlalu Daisy dibanding Kiki yang cuma bau bedak bayi. Paham nggak lo?"
"Mungkin, karena gue suka waktu dia senyum?"
"Najis mugaladoh."
Jeviar ketawa melihat Ree sudah tak berniat mengkonfrontasinya lagi. "Lo sendiri kenapa suka sama Asa?"
Ree menyipit. "Bukan urusan lo."
"Ya, gue juga bisa jawab kayak lo barusan waktu lo tanya gitu, Ree." Jeviar meneguk habis air mineralnya sehabis menandaskan isi mangkok di depannya. "Tapi, jawaban yang gue kasih, gue serius. Gue suka ngelihat Kirana ketawa, dan dia itu apa, yah, gue nggak tahu mesti ngejelasinnya gimana."
Terus sekelebat ingatan gimana Jeviar menemukan Kirana, kesalahpahaman yang berujung plot twist, dan perasaan itu tiba-tiba saja sudah ada di sana, menelusup diam-diam tanpa dia sadari, menggelitik Jeviar tiap kali matanya menangkap sosok Kirana. Berhenti pun, kayaknya Jeviar sudah terlambat.
"Kenapa lo ketawa-ketawa? Sinting lo?" Ree berjengit menatap Jeviar yang cengengesan sendiri.
"Adek lo, tuh, unik, ya, hehe." Jeviar mesem-mesem.
"Nggak kayak lo gila."
Terus tiba-tiba, Jeviar keingat sesuatu. Potret keluarga di ruang tamu Kirana. "Eh, gue mau nanya serius, deh."
"Buah apa yang bikin monyet bingung?" Ree menebak sarkas. "Nggak mempan lo kutu busuk!"
"Gue serius, anjir!" Jeviar emosi duluan kalau gini caranya. "Dengerin nggak?!"
Terus, Jeviar ceritain soal gimana Jeviar melihat potret itu, dan sedikit tentang sesuatu yang Jeviar tahu. Di luar dugaan, Ree malah mendengarkan penjelasan Jeviar dengan serius—kelewat serius malah. Sampai dahi cowok itu terlipat dengan kernyitan yang perlahan-lahan jadi raut tegang.
"Lo ... nggak bohong, kan?" Ree bertanya sangsi.
"Menurut lo aja, apa gunanya gue bohong soal beginian?"
"Je, gue nggak tahu mesti apa kalau gini. Tapi, jangan kasih tahu Kiki atau siapa pun." Ree menghela napas frustasi. "She'd be very disappoint."
"Gue tahu, makanya gue bilang ini ke lo duluan."
"Just keep it a secret okay?"
"Apanya yang rahasia?"
Jeviar terbatuk sampai bengek—keselek habis minum air—sehabis mendengar suara yang datang dari balik punggungnya itu. Di depannya, Ree tampak sama terkejutnya. Jeviar menoleh, dan begitu saja dia mendapati Raki lagi berdiri menatap tajam ke arah mereka berdua.
"Anjir, sejak kapan lo di situ—"
"Sejak lo bawa-bawa foto keluarga gue, dan soal Kirana." Rahang Raki mengeras, giginya bergemeletuk saat bertanya, "Kasih tahu gue, Je. Kasih tahu gue apa yang lo berdua omongin barusan."
"Raki listen—"
"Ree," Raki menatap Ree tajam, juga sarat keputusasaan di saat yang sama. "Gue berhak tahu, so tell me right now."
***
"Lo udah bilang ke Abang lo, kan?"
"Udah, hari ini katanya Abang mau ke rumah temennya dulu. Bakal pulang telat, sih, kayaknya."
Jeviar meneguk ludah mendengarnya, tapi dia memaksakan sebuah senyum, lalu menyuruh Kirana naik ke boncengannya. Siang ini, mereka janjian mau ke mall bareng buat mencari buku. Jeviar, sih, nyari buku kisi-kisi ujian nasional, sementara Kirana mau beli novel yang katanya sudah ditaksir anak itu sejak sebulan lalu.
Cuma, ya, Jeviar nggak nyangka aja Kirana bakal beli novel fantasi. Satu series langsung, mana tebel-tebel banget. Satu buku ada kali, tuh, 600 halaman lebih. Sebagai lelaki sejati anaknya yth. Bapak Jeffrey, mana mungkin Jeviar membiarkan Kirana bawa-bawa setumpuk buku yang kalau dipakai buat ngegaplok maling, mungkin bisa bikin malingnya gegar otak ringan saking tebalnya.
Mereka ngantri di kasir bareng, awalnya Jeviar mau bayarin semua, tapi Kirana sudah duluan ngeluarin black card yang katanya punya si Raki. Terus, dari gramedia mereka pergi keliling bentar, soalnya Jeviar mau beli sepatu dulu. Habis dari sana, Jeviar malah membawa Kirana ke toko pernak-pernik cewek, padahal katanya mau makan.
"Kak Jeviar mau beli—"
Jeviar ketawa melihat Kirana yang melongo menatapnya. Kebaca banget ini anak lagi mikir apa. "Nggak, Ki. Gue emang mau beli sesuatu di sini, tapi bukan gue juga yang mau pakai kali!"
"Kirain." Kirana menyengir. "Emang mau beli buat siapa? Tante Rose? Atau buat pacarnyaaaa, ya?" Kirana bertanya dengan nada menggoda yang kentara.
Jeviar menggeleng. "Kalau gue beli girlie stuffs kayak gini ke Mama gue, yang ada gue diledekin bokap, Ki. Dan pacar? Fyi, gue nggak punya pacar."
"Lah, terus? Buat siapa?"
Jeviar senyum. "Bantu pilihin dulu, dong. Gue, kan, nggak paham selera cewek. Nanti kalau udah ketemu, baru gue kasih tahu buat siapa."
"Ini, tuh, buat siapa dulu. Yang mau Kak Je kasih itu masih anak-anak apa udah gede, kan, nggak lucu kalau aku pilih jepit warna-warni buat orang dewasa!" Kirana semangat banget.
Jeviar malah mesem-mesem. "Anaknya seumuran lo, kok."
"Woah, masa?! Aku kenal nggak?"
Peka dikit, dong, cantik. Jeviar mau ngomong gitu, tapi ya gimana. Kirana sudah mulai melihat-lihat, sementara Jeviar cuma ngintil sesekali memberi pendapat.
"Orangnya suka apa dulu, nih? Aku bingung, nggak ada gambaran mau pilih apa." Kirana bilang gitu, tapi matanya tertuju pada rak-rak penuh jepit rambut.
"Dia suka stroberi, jadi kayaknya lumayan suka pink. Terus, dia nggak suka sesuatu yang ribet dan terkesan rame." Jeviar nyerocos. "Hair pin aja kali, ya? Coba lo liat-liat dulu."
"Jepit rambut?"
"Iya. Dia pakai poni, dan udah lumayan panjang sampai nutup-nutupin mata gitu. Jadi, kayaknya jepit rambut bakal berguna, sih, buat dia." Siapa tahu lo bisa lihat jelas habis itu, Ki. Jeviar melanjutkan dalam hati. Rada geregetan, soalnya semua orang yang dekat sama mereka sudah pada tahu kalau Jeviar suka sama ini anak, tapi Kirana sendiri yang malah nggak tahu.
"Oh, gituuuu." Kirana cuma manggut-manggut, terus lanjut milih.
Yah, mengutip kata-kata Om Cahyo. Mungkin sebab keturunan kali, ya? Jeviar tertawa sumbang dalam hati.
Beberapa menit milih, Jeviar memerhatikan kayaknya perhatian Kirana dari tadi terdistraksi oleh satu benda. Makanya dia ambil itu jepit rambut, terus tanya ke Kirana.
"Yang ini gimana?"
"Bagus! Aku juga daritadi mau milih yang itu." Kirana berkata. "Tapi, warnanya nggak pink. Nggak apa-apa?"
Jeviar senyum lebar. "Lo suka, nggak?"
"Suka. Tapi nggak tahu, deh—"
"Yaudah, yuk."
"Hah? Ke mana?"
"Ke kasir. Kan udah dapat barangnya."
"Serius mau yang itu?" Kirana tampak ragu.
"Iya, yang ini."
Terus mereka bayar ke mbak-mbak kasir sebelum beranjak dari sana. Jeviar ngotot mau tukaran barang bawaan, Jeviar yang bawa buku-buku Kirana, terus Kirana yang bawa buku Jeviar yang cuma sebiji, tipis lagi. Mereka duduk di kedai ramen setelah memesan. Sebelum dengan tiba-tiba, Jeviar mendorong plastik berlogo toko pernak-pernik yang tadi ke arah Kirana.
Kirana tentu tak paham. "Kak Jeviar mau aku yang bawa ini? Berat, ya, bawa bukuku tadi? Tuh, kan, udah aku bilang—"
"Buat lo."
"Hah?!"
Jeviar ketawa. "Buat lo, Kirana."
Kiraana nge-bug bentar. "Lah? Bukannya tadi kata Kak Je buat orang—"
"Iya, buat lo." Jeviar berkata demikian. "Udah gue bilang, kan, gue bakal kasih tahu ini buat siapa kalau lo udah selesai milih. Tuh, buat lo."
"Jadi dari tadi kita, tuh, ngomongin aku?!"
"Iya, Kiki."
"Ya ampun." Kirana beneran speechless. "Tapi, Kak, di rumah aku udah banyak banget punya hairpin. Dibeliin Abang sama Mama, sih. Kayaknya banyakan jepit rambutku daripada rambut yang mau dijepit, deh."
"Ya, jangan dipakai semuanya serentak, dong. Entar lo dikira jualan jepit rambut." Jeviar bilang gitu. "Lagian, kan, yang lo punya itu dibeliin sama si Raki atau Mama lo, bukan gue yang beliin."
"Hah, apa bedanya?"
"Ya, beda." Jeviar nggak tahu lagi ini dia mesti jelasin kayak gimana. "Kayaknya juga lo suka, kan? Anggap aja hadiah soalnya lo udah nemenin gue hari ini, udah bantuin pilih-pilih sepatu juga."
Ya, gitu, deh. Jeviar mengemukakan seribu macam cara biar Kirana mau menerima pemberiannya. Mereka makan sambil cerita-cerita, mostly Jeviar, sih, yang nggak berhenti nyerocos. Sampai pembahasan soal hantu di rumahnya Ree aja ikutan jadi bahan gibah.
"Bentuknya gimana, sih? Lebih sereman mana sama valak?" Kirana tanya dengan antusias.
"Ya, sejenislah pokoknya. Dia munculin wujudnya yang asli cuma sekali, sih, pas kejadian kepala di jendela waktu gue kecil itu. Selebihnya, suka ngambil wujud orang lain."
Kirana bergidik. "Tapi, aneh nggak, sih? Hantunya cuma ngeganggu Kak Je. Padahal kayaknya nggak pernah ada kejadian yang aneh-aneh, deh, setahuku. Aku juga baru tahu kalau rumah Bang Ree ada hantunya gara-gara Kak Je baru-baru ini!"
"Gue juga nggak paham, Ki." Jeviar jelasin pelan-pelan. "Tapi pas kejadian di jendela itu, ada orang yang kebetulan bisa komunikasi sama—yah, lo tahulah, katanya itu hantu ngerasa kasian sama gue—"
"Hah kasian?!"
Jeviar mengangguk. "Iya. Nggak tahu juga, sih, kenapa. Pokoknya dia bilang kasihan aja, makanya itu hantu berupaya ngebawa gue buat pergi sama dia."
"Haaahhhhh." Kirana kelihatan syok. "Gila, serem banget!"
"Gara-gara itu nyokap gue rada trauma kalau mau bawa gue ke rumahnya Ree, mana gue sempat demam tinggi habis itu. Makanya gara-gara itu seringnya Ree yang datangin gue ke rumah. Padahal, kalau nggak ada itu hantu, kayaknya kita bakal kenal lebih awal, ya, Ki."
"Kak Jeviar nggak ada trauma gimana gitu?! Kok, berani banget datang ke rumah Bang Ree?" Ini Kirana jadi ngerasa gimana gitu pas ingat gimana seringnya dia main ke rumah Ree.
"Kejadiannya udah lumayan lama, jadi gue nggak terlalu ingat." Jeviar bilang gitu habis menyeruput lemon ice tea-nya. "Cuma, gara-gara kejadian yang dia jadi Tante Windy, gue jadi rada ngeri, sih, kalau mau ke rumahnya Ree."
"Ya ampun!" Kirana berseru. "Mending Kak Jeviar sebisa mungkin jangan ke rumah Bang Ree. Serem banget kalau kejadian lagi."
"Ya, gimana kalau gue ada perlu."
"Suruh Bang Ree yang nyamperin ke rumah Kak Je!"
"Lo tahu sendiri, itu anak magernya gimana, Ki."
"Duh, serba susah." Kirana geleng-geleng kepala. "Yaudah, sih, rumahku siap jadi markas ketemuan Kak Je sama Bang Ree."
Jeviar nyengir. "Kalau itu, sih, gue nggak keberatan."
to be continued.
yha, gue pucing
26/11/2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top