12. coki-coki

Apa yang terjadi setelah Raki nyaris membuat kepala adiknya pitak?

Kirana memutuskan buat ngambek terus mogok ngomong selama satu hari sama itu cowok. Yah, Raki juga nggak bisa berbuat apa-apa selain menghela napas pasrah pas Kirana lebih memilih nebeng sama Ree dibanding pulang sama dia—dalam hati, sih, Raki agak lega sebab habis ini sebetulnya dia ada urusan lagi sama klub ekskulnya mengenai perekrutan anggota baru, makanya dia nggak berkomentar banyak.

Ini Raki heran kenapa dia masih sibuk padahal sudah melengserkan diri dari segala kegiatan sekolah kecuali yang masih berkaitan sama ujian mendatang.

Jeviar sendiri pulang dengan perasaan bahagia, sebab apa? Kirana bakal datang ke rumahnya habis ini—sama Ree, sih. Tapi nggak apa-apa! Jeviar masih punya seribu cara biar berada seribu langkah di depan Ree. Sebagai keturunan lelaki satu-satunya yth. Bapak Jeffrey, ketikung teman sendiri itu haram hukumnya. Kalau itu terjadi, bisa-bisa Jeviar diledek bapaknya sampai itu orang sudah jadi aki-aki.

Lagian Jeviar sudah mendapat dukungan penuh dari mama, tadi juga Jeviar sudah kong kali kong sama mamanya buat membujuk tante Windy mau menyuruh Ree ngajak Kirana ke rumahnya, dan berhasil.

Sampai di rumah, sudah ada Mama sama Tante Windy, lagi ngeteh di ruang keluarga yang di belakang meja TVnya ada jendela kaca besar, jadi pintu menuju taman mini outdoor—yang bukan satu-satunya di sana—sementara para bapak-bapak tak terlihat di mana pun.

Sehabis menyalimi kedua perempuan itu terus bertanya di mana keberadaan Papanya—yang ternyata lagi beli bahan barbeque sama Om Cahyo—Jeviar lantas ke kamar buat mandi terus ganti baju. Dilama-lamain dikit biar wangi, ini, kan pertama kalinya Kirana bakal ke sini. Jadi sebagai tuan rumah, Jeviar mesti memberikan kesan yang baik. Begitu.

Ada kali, tuh, setengah jam lebih Jeviar ngerem di kamar. Keluar-keluar pakai baju putih sama training doang, tapi semerbak banget kayak kebun bunga baru mekar. Pas jalan mau ke teras belakang, tempat dimana party barbeque akan dilaksanakan, dia nggak mendapati siapa pun, tapi ... Kirana.

Anak itu berdiri membelakanginya, lagi asik menyiram bunga. Kirana nggak memakai seragam lagi, hanya baju lengan panjang putih yang dipadukan dengan terusan jeans sebatas lutut. Dari sini, kelihatan dia memakai jepit merah polos untuk merapikan poninya ... duh, ini Jeviar nggak tahu kenapa tiba-tiba pengen gigit kusen jendela.

Kirana yang lagi sibuk menyirami tumbuhan dalam pot-pot kecil yang berjejer di atas meja kayu nyaris keselek coki-coki begitu ada tangan lain yang ikutan memegang gagang penyiram bunga yang kini ia genggam. Kirana menoleh, hanya untuk mendapati Jeviar lagi tersenyum menatapnya.

"Kak Jeviar?"

"Ini namanya sukulen, masih sejenis sama kaktus, jadi nggak boleh disiram air kebanyakan. Nanti jadi busuk." Jeviar bilang gitu.

Kirana mengerjap. "Waduh."

"Waduh?"

"Aku nyiramnya belum lama, sih, tapi kayaknya kaktus Kakak bakal kobam, deh." Kirana meringis. "Maaf, ya, aku nggak tahu ...."

"Nggak apa-apa, Ki." Jeviar ketawa. "Lagian kaktusnya udah lama nggak disiram."

"Beneran?"

"Iya!"

"Yaudah hehe."

"Kepala lo udah nggak apa-apa? Masih sakit?"

"Nggak terlalu, sih, tapi kalau disentuh sakit—dikit, hehe."

Sayang sekali Jeviar jadi nggak bisa tepuk-tepuk kepala Kirana. Tapi, nggak apa-apa, presensi Kirana di sini entah gimana bikin Jeviar senang. Jeviar beneran nggak bisa menahan senyum dari tadi. "Lo udah ketemu Mama gue belum? Masih ingat nggak?"

Kirana menaruh lagi penyiram bunga di bawah samping meja, terus mengangguk semangat. "Iya! Tadi ketemu sama Tante Windy juga di depan. Aku masih nggak nyangka tante Rose, tuh, mamanya Kakak. Beneran unexpected banget, habis Kak Jeviar nggak pernah nongol sama tante Rose, sih!"

Jeviar ketawa lihat Kirana semangat banget. "Kalau gini lo kelihatan banget adiknya Raki, ya ... vibes-nya sama." Iya, bisa-bisanya Jeviar dulu nggak sadar. Selain vibes, mereka juga sama-sama punya kesan baby face yang innocent—dan kepekaan di bawah standar kaderisasi homo sapiens yang semestinya.

"Namanya juga kakak-adik!" Kirana ketawa. "Tadinya, ya ... aku mau bilang Kakak, tuh, nggak mirip Tante Rose."

"Tadinya?"

Kirana mengangguk. "Soalnya Kakak mirip bangeeeet sama Om Jef—tadi aku lihat fotonya! Tapi pas dilihat-lihat lagi, muka Kakak itu lebih apa yah? Lebih manis ketimbang Om Jef."

" ... "

"Sekilas mirip Tante Rose dari samping! Cuma sekilas doang—loh, hng? Kak Jeviar halooo?" Kirana heran melihat Jeviar bengong, mukanya merah. "Kakak sakit? Mukanya merah gitu!"

" ... hah?"

"Napas, Kak!"

Oh, pantas Jeviar sesak dari tadi. Ternyata dia lupa napas. Dia menghembuskan napas pelan, menetralkan detak jantungnya yang bertalu terlalu cepat, sampai rasanya mau copot dari rongga dadanya. "Gue nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa apanya—wait, coba Kakak nunduk dikit, deh—nah, gitu." Kirana meletakkan punggung tangannya di dahi Jeviar yang manut aja disuruh menunduk. "Hm, nggak panas."

Jeviar buru-buru menegakkan badan lagi, dia punya jantung cuma satu. Nggak lucu kalau meledak cuma gara-gara disentuh dikit sama cewek. "G-gue beneran nggak apa-apa!"

Kirana paham kenapa Jeviar jadi pakai nada tinggi, tapi yaudah lah, ya. Kayaknya Jeviar betulan nggak apa-apa, mungkin kepanasan doang. Iya, sih, akhir-akhir ini matahari lagi terik banget.

Melihat Kirana manggut-manggut paham, Jeviar nggak bisa buat nggak senyum. Kali ini, hal itu tertangkap oleh mata Kirana sendiri.

"Kak Jeviar kalau senyum kayak gitu jadi mirip seseorang, deh." Kirana bilang gitu.

"Oh, ya? Siapa?"

"Om Kupu-kupu hehe."

"Hah?"

"Om Songkang."

" ... "

(Tipe-tipe senyuman pukupu)

***

Dalam rangka hari spesial—yang nggak disebutkan secara eksplisit oleh siapa pun—di halaman belakang rumah Jeviar sudah ada tiga keluarga ditambah Kirana dan Ibong yang lagi sibuk menyiapkan persiapan pesta.

Para bapak-bapak—tersebut Om Jef selaku tuan rumah, Om Cahyo, dan papanya Jeno kebagian menyiapkan arang, alat pemanggang dan segala tetek bengeknya. Sementara para istri sibuk menyiapkan alat makan dilanjut membersihkan sayur lalu menjadikannya salad di meja panjang di tengah-tengah halaman, berdampingan dengan anak-anak yang bertugas menyiapkan minuman dan camilan. Jeno, sih, kebagian ngurus Ibong sambil makan, bikin Ree dongkol setengah mati.

"Kirana udah kelas berapa?" Tante Jessica selaku mamanya Jeno bertanya.

"Baru masuk SMA tahun ini, Jes." Yang jawab malah Tante Windy. Wanita itu menggulung sosis dan daging yang sudah di-grill dengan selada, lalu menyuapi Kirana. "Besok Kiki sekolah, nanti jam 8 pulang, ya, sama Ree."

"Sip, Tante."

"Duh, baru juga mulai, udah main pulang aja." Tante Jessica menyeloroh. "Nggak apa-apa, Kiki. Jam 8 masih lama, kok. Santai aja dulu di situ, kenalan sama anak Tante. Meski agak ndablek kalau udah sama kucing-kucingnya, tapi aslinya Jeno anak baik, kok." Habis bilang gitu, Tante Jes ketawa.

Dua pasang mata sudah melempar tatapan nggak setuju ke arah Tante Jessica. Tante Rose yang sadar muka anaknya mendadak kecut setelahnya hanya bisa tersenyum pasrah.

"Iya, Tante. Makasih, aku udah kenal Kak Je—" Bentar Kirana lupa nama aslinya Jeno. "—Jeno, kok. Hehe."

"Bagus, dong! Kan kata pepatah, habis kenal bisa coba saling sayang. Iya nggak, Win?" Tante Jes menyenggol bahu Tante Windy.

Jeviar pura-pura batuk, tapi tatapannya menghunus tajam Jeno yang memasang wajah tanpa dosa. Ree yang emang udah khatam sama sifat Tante Jes hanya bisa memutar bola mata malas. Kirana lagi kurang fokus dari tadi, jadi nggak bilang apa-apa.

"Ma, jangan bilang yang aneh-aneh di depan Ibong kayak gitu, dong! Nanti dia ngambek lagi gimana?" Jeno berusaha menyelamatkan diri dari lubang yang digali mamaknya sendiri. Lihat aja, tuh, Jeviar sudah bernafsu buat membunuhnya.

Tante Jes kelihatan capek dengar omongan Jeno. "Oh, boy. Harusnya kamu yang jangan aneh-aneh! Mana ada kucing ngambek?!"

"Ma, Ibong juga sama kayak kita, punya perasaan dan bisa tersakiti!"

"Kalau memang kucing punya perasaan, kayaknya nggak bakal ada kitten di jalanan hasil perzinahan induknya, deh?!"

Jeno menutupi kuping Ibong yang tampak malas di pangkuannya seraya berseru. "Mama, jangan bilang hal sekeji itu ke Ibong!"

"Oh, God." Tante Jes memutar bola mata capek. "Jangan dramatis gitu, boy. Mama cuma nggak mau kamu jomlo, you have to create something about love on your youth. Jangan keasikan sama kucing mulu! Tuh, Kirana belum ada gandengan, pepet—"

"PAPA!"

Semua orang di sana terperanjat kaget ... Jeviar tiba-tiba teriak sambil berdiri dari duduknya.

Om Jef nyahut. "Uy?"

"S-sosisnya kurang!" Ini absurd banget padahal sosisnya masih banyak. Jeviar merutuk, dia refleks kayak gitu soalnya nggak tahan dengar Tante Jessica yang mencoba jadi mak comblang antara Kirana dan Jeno.

"Je, sosisnya masih banyak," kata Tante Windy.

"Aku lagi kepengen makan sosis yang banyak, Tante!" Jeviar keringetan.

Ree geleng-geleng kepala, lanjut mengaduk sirup. Meski rada nggak ngotak, tapi apa yang dilakukan Jeviar tadi, Ree bersyukur, soalnya dari tadi tangannya gatal mau membanting gelas gara-gara kupingnya panas dengar omongan Tante Jes.

Tante Rose, sih, diam-diam menahan senyum melihat Jeviar. Mana Kirana anaknya anteng adem-ayem, nusuk-nusukin paprika ke tusuk sate. Tahu-tahu, Jessica bisik-bisik ke dia.

"Anak lo kenapa, deh?"

Tante Rose cuma ketawa.

Kayaknya Tante Jess ini adalah satu contoh manusia yang pantang menyerah. "Kiki lagi ada suka sama orang nggak?"

Jeviar yang baru saja duduk lagi dengan damai, kembali dibuat menyabarkan diri. Ree udah kelihatan nggak peduli lagi.

"Lo diam." Akhirnya Tante Windy angkat bicara. "Tolong banget simpan segala niat lo buat jadi mak comblang, Kiki udah gede, ya. Jangan buat dia nggak nyaman."

Kirana yang baru ngeh dari tadi orang-orang pada ngomongin dia mengerjap nggak paham. Ya, emang, dari tadi raganya doang di sini, pikirannya udah ke mana-mana.

"Loh ... emang Kiki udah punya pacar?"

"Pacar, sih, nggak ada, ya." Tante Windy lanjut bekerja. "Tapi dia udah suka sama seseorang."

Pernyataan itu bikin semua orang—plus kucingnya Jeno mendongak. Yang kaget nggak cuma Jeviar, tapi Ree juga.

"HAH, SAMA SIAPA?!"

Kompak banget memang urusan begini.

Tante Windy menatap Kirana. "Spill or not?"

Kirana malah tersipu-sipu. "Gotta keep it a secret. Hehe."

"Kiki?! Masa nggak bilang ke Abang?!" Ree tampak tak terima. "Ayo, sini bisik-bisik juga nggak apa-apa! Kamu suka sama siapa?"

"Nggak." Kirana menggeleng. "Tapi, dia nggak ada di sini hehe."

Jantung Jeviar berasa terjun ke perut. Mamanya diam-diam menepuk-nepuk paha Jeviar, menyabarkan.

"Siapa?!" Ree tampak frustasi.

"Hehe, namanya aku sensor, ya. Tapi aku punya panggilan khusus. Namanya ... Mr. Coki-coki." Kirana nyengir.

"Hah?!"

"Mr. Coki-coki."

Rasanya Jeviar pengen keliling dunia cuma buat balik-balikin meja.

to be continued.

helo ksksksk

minggu ini up sekali wkwk, i have so muuuuuch to do huf.

have a good night all, stay safe!

07/11/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top