1. susu stroberi

"Dek, ayo naik."

Samar-samar, Jeviar mendengar suara seorang pemuda berseragam sama seperti dirinya, tengah menawarkan tumpangan kepada seorang gadis yang lagi duduk sambil nyedot susu kotak stroberi di kursi halte depan sekolah. Ia menghela napas pasrah ketika gadis itu beranjak, lalu menaiki boncengan pemuda itu dengan raut muka kayak orang habis menang lomba panjat pinang.

"Duh, itu bola mata kayaknya bakal mau loncat dari rongga mata lo. Biasa aja kali ngelihatinnya!"

Jeviar mendelik sinis pada Ree, cowok yang lagi bersedekap dada di sampingnya. Ree sudah memakai jaket hitam untuk menutupi seragam sekolahnya, terus pakai helm. Tanda sudah siap mau pulang, tapi melipir dulu waktu nggak sengaja lihat Jeviar berdiri di belakang gerbang dengan kepala melongok ke luar pagar kayak orang lagi ngintip orang lagi berbuat dosa.

Eh, ternyata benar. Terus, ya, gitu, sekalian aja Ree ledekin.

"Anaknya udah punya gandengan, ya, Pak?"

"Diem lo." Muka Jeviar sudah sebutek air bekas kain pel.

"Oh, ternyata gitu." Ree mengangguk-ngangguk takjim.

"Ternyata gitu apaan?"

"Lo tadi bikin sekantin cengo gara-gara lo beli susu stroberi, disamping fakta bahwa seorang Jeviar kayaknya lebih rela minum kopi bersianida daripada minum susu apalagi yang berperisa stroberi."

"Ya, emang kenapa gitu kalau gue minum susu stoberi?!"

Ree berdecak. "Terakhir kali lo minum itu habis kalah main TOD, lo muntah-muntah sambil ngedrama minta masuk IGD ke Om Jef."

Jeviar terpelatuk, " ... kapan gue begitu?!"

"Waktu kelas enam SD. Tadinya gue kira otak lo lagi lost connection makanya beli susu stroberi, eh ternyata, buat adik kelas." Ree menepuk pelan bahu Jeviar. "Lagian sejak kapan, sih, lo kalau mau deketin cewek jadi penuh effort kayak gini?"

"Heh, gue orangnya emang selalu berusaha, ya!"

"Just when you are interested and try to hit on those girls. In studying? Big no."

Jeviar memutar bola matanya. "Berarti lo nggak cukup mengenal gue dengan baik."

"Kalau gitu, artinya nggak ada orang yang kenal lo dengan baik."

"Shut up your cangkem."

"Terserah, tapi kayaknya itu adik kelas anak baik-baik."

"Atas dasar apa lo bisa bilang gitu?" Jeviar menatap Ree dengan tanya. Jangan-jangan ini orang juga naksir lagi?!

"Soalnya dia tetanggaan sama gue."

Dengan sepenuh hati Jeviar membalas, "Kampreeeeet, kenapa lo baru bilang ke gue?!"

"Buat apa juga? Buat memuluskan rencana busuk lo yang mau pdkt-in dia?" Ree memandang Jeviar dengan tatapan se-salty laut selatan. "Kiki lumayan dekat sama mama gue, terus berhubung dia anaknya nggak neko-neko meski rada lemot, dia udah gue anggap kayak adik sendiri. Jadi, kesimpulan gue bilang gitu bukan buat menjembati proses pdkt lo itu sama Kiki—super duper big no kalau itu, mah—tapi ini adalah peringatan gue buat lo, Je. Don't play her, atau lo akan berhadapan sama gue. "

"Idih lo kira gue aspal bolong lo kasih peringatan," cibir Jeviar, "Terus nggak usah sotoy gue mau mainin dia, ya!"

"Kayaknya teripang yang hidup di dasar laut juga nggak bakal percaya omongan lo, Je." Ree menyahut ketus.

"Lo ini kenapa jadi sibuk ngurus urusan orang kayak gini, sih?"

"Sejak orang yang coba lo jadikan target tembak itu itungannya masih saudara gue."

"Ngaco, lo kira gue anggota kopassus?! Sana anjir balik lu sono, bikin gedek lama-lama!"

"Lagian, nih, Je. Kalau mau hit on girl itu tolong cari yang sekelas sama lo, jangan yang masih jomlo ting-ting baik-baik kayak Kiki."

"Kok rasanya lo lagi menghina gue, ya?"

"Gue ngasih saran, Bahlul! Inget, Je, di dunia ini ada yang namanya karma! Seandainya suatu saat nanti lo beneran suka yang beneran suka sama seseorang, nggak semua cewek bisa menerima masa lalu lo yang kelamnya ngalah-ngalahin lautan tinta itu!"

Nggak tahu saja kamu wahai saudara Ree, karma lagi on the way menuju oknum bernama Jeviar.

***

Kalau ditanya gimana bisa Jeviar naksir Kirana, jujur dia sendiri juga nggak paham. Padahal kalau kata Kale, soal cewek, ibarat kata kesaktian, Jeviar itu sudah setingkat sama si Pitung.

Tapi, kalau ditanya sejak kapan Jeviar tahu Kirana, jawabannya adalah sejak MOS siswa baru empat bulan lalu.

Waktu itu hari ketiga MOS, yang masuk sekolah hanya peserta dan panitia yang didampingi guru sebetulnya. Tapi, waktu itu Jeviar punya urusan sama wali kelasnya perkara tipo ranking raport. Sehabis menyelesaikan urusan, Jeviar langsung bergegas pulang. Dari ruang guru menuju parkiran, memang kudu melewati koridor bangunan kelas sepuluh dulu, terus lapangan, bangunan kosong, baru, deh, sampai.

Lalu waktu Jeviar lewat di lapangan, dia langsung disuguhkan pemandangan para murid baru yang menggunakan atribut macam orang gila lagi pada heboh cari tanda tangan para OSIS, yang tentu saja hal itu dijadikan ajang pertunjukkan oleh para panitia dengan memberi syarat aneh-aneh sebelum memberi sebuah tanda tangan. Tapi, ada dua anak yang malah ngadem di bawah pohon pinggir lapangan, nggak ikut kesana-kemari kayak yang lain. Salah satunya itu ... Kirana.

Samar-samar, Jeviar dengar mereka ngobrol.

"Duh, kalau nggak dapat tanda tangan bakal dihukum kayak apa, ya?" keluh temannya Kirana.

"Nggak tahu. Tapi, malas banget aku disuruh nyanyi aneh-aneh, takutnya—"

"Takutnya?"

"Nanti Mbak Isyana kalah saing kalau suaraku go public."

Nggak cuma temannya Kirana yang ketawa, tapi Jeviar juga. Untung nggak ada yang lihat, kalau ada, pasti Jeviar bakal dikira gila atau nggak habis ketempelan setan.

"Tapi, dengar-dengar katanya bakal disuruh ngegombalin senior ... mampus, nggak, sih, kita dijadiin gunjingan seminggu?"

"Cuma gombal, kecil itu, mah!"

"Oh, ya? Emang kamu jago?

"Kata Abangku, sih, iya hehehe."

"Kasih contoh, dong!"

"Gini," Kirana berdeham yang jatuhnya malah kayak orang lagi keselek permen, "kak, aku tahu isi hati kakak, tuh, apa."

Jeviar berdecak geli, tanpa sadar memperlambat jalannya sambil curi-curi dengar. Temannya Kirana sudah heboh bilang, "Apaaaa tuh???"

"Empedu, kan?"

Terus Kirana ketawa sendirian, sementara muka temannya sudah kecut abis. Jeviar, sih, sudah lanjut jalan, meski bibirnya sudah tertarik soalnya lucu aja gitu dengar percakapan random anak-anak baru akil balig.

Waktu itu, Jeviar belum ada rasa apa-apa, apalagi rencana naksir Kirana. No hard feelings. Kayak, oh, yaudah. Di pandangan Jeviar, Kirana itu hanyalah siswa baru dan adik kelas yang identitasnya nggak perlu dia tahu, gitu juga sebaliknya. Soalnya Jeviar paling anti naksir adik kelas, apalagi anak kelas sepuluh yang kebanyakan aura anak SMP-nya masih kentara.

Habis itu mungkin mereka beberapa kali pernah papasan di koridor, sebab meski beda gedung, Jeviar itu tergolong siswa rajin. Iya, rajin patroli.

Karena itu pula, segalanya mulai porak-poranda oleh kesalahpahaman Jeviar terhadap Kirana gara-gara kejadian keran di belakang sekolah.

to be continued

11/09/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top