09. night changes

Kata orang, patah hati bisa bikin orang jadi nggak waras.

Menurut Jeno pribadi, kayaknya emang beneran begitu. Pertama kali kasus patah hati yang pernah Jeno hadapi adalah Jeviar. Sebabnya, sih, bertahun-tahun cowok itu nelangsa karena ditinggal orang yang disuka ke negeri orang. Jeno mengerti kesedihan Jeviar, tapi juga nggak begitu paham sebab dia nggak pernah ada dalam situasi kayak gitu. Sehabis kejadian itu, ada sisi Jeviar yang nggak pernah ia temui sebelumnya.

Mungkin, kata-kata semacam 'even if you forget the pain, doesn't mean it would disappear' cocok buat mendeskripsikan cowok itu. Bisa saja Jeviar bertingkah kalau dia selalu baik-baik saja, tapi tiap kali dia lupa diri, akan selalu ada nama Kirana terselip di bibir pemuda itu.

Di beberapa bagian, Jeno juga bakalan menghadapi Ree yang sudah punya mulut kayak petasan mercon jadi segarang singa betina pms kalau lagi berantem sama Asa. Anehnya—ini dia hapal banget soalnya kejadian kayak gini minimal sebulan bakalan terjadi—beberapa harinya lagi, mereka bakalan bertingkah nggak pernah ada yang terjadi dan kembali lengket kayak lem sama perangko.

Jeno nggak bisa paham. Sebab setahunan dia bersama Lizi, hubungannya bisa dikatakan adem ayem. Lizi adalah tipikal cewek kalem yang hatinya bisa jadi lebih mulus dari pantat bayi. Dia nggak pernah marah soal apa pun, nggak banyak menuntut, dan ketika ada perselisihan di antara mereka baik Jeno maupun Lizi akan memberikan waktu untuk satu sama lain hingga akhirnya masalah itu terselesaikan sendiri.

Makanya, ketika itu tentang patah hati, Jeno nggak pernah bisa membayangkan bahwa gadis sebaik Lizi akan membiarkannya merasakan perasaan sekampret itu.

Dan ketika hal yang nggak pernah dibayangkan bisa terjadi malah jadi kenyataan, rasanya kayak habis diseruduk banteng sampai semaput. Sakitnya betulan tak tergapai untuk disentuh, tak kunjung reda meski hari berganti, seolah ada beban yang menghimpit paru-parunya hingga gepeng.

Mungkin karena lagi patah hati, Jeno jadi nggak waras.

Yah ... walau baik Jeviar maupun Ree sering bilang dia sudah gila sejak dulu.

Mungkin karena itu dan seakan paham sama kondisinya, Karina nggak pernah mengusir Jeno saat dia sudah tiba-tiba berada di ruang private café baru cewek itu. Nggak ada alasan khusus, sih, Jeno cuma lagi suka makan ramen sama laksa di sana, terus berhubung café cewek itu selalu ramai hingga kerap menerapkan sistem book only, bikin Jeno melipir ke atas semenjak tahu ada ruangan semi outdoor di sana. 

Saking seringnya Jeno muncul, karyawan yang bekerja seolah khatam sama kehadirannya dan membiarkan Jeno naik ke area rooftop meski Karina sendiri nggak ada.

"I am going to NYC next week." Karina berkata tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ipad.

Jeno yang lagi menggelepar di atas sofa cuma berdehem malas. Tatapannya jauh menembus genteng, kentara sekali lagi melamun. Entah sejak kapan bungkus whiskas yang sempat dia beli buat dua majikannya di kos terbuka dan nyaris seperempat isinya masuk ke mulut Jeno. Karina cuma melirik, enggan mengomentari tingkah orang yang lagi setengah sinting.

"Gue akan pura-pura nggak tahu soal apa yang terjadi, tapi kalau lo mau ngomong sesuatu, go on." Karina berkata lagi.

"Jadi kucing kayaknya enak."

" ... " Karina melirik Jeno dengan muka batu.

"Hidup malas-malasan, molor doang udah ada yang kasih makan, terus nggak perlu ribet sama yang namanya pasangan."

" ... "

"Capek, capek." Jeno kayak lagi orang ngelindur semi meratapi nasib.

Karina berdecak. "Lo itu cuma sibuk denial."

"Apaan?"

"Lo denial habis diselingkuhin sama orang yang lo perjuangin bertahun-tahun. It hurts your pride, as a man. Lo bertanya-tanya apa yang salah dari diri lo dan apa yang kurang dari semua effort lo selama ini."

Jeno terlonjak bangun. Batuk-batuk habis keselek whiskas.

"Stop it."

"Ohok—ghue kheselohok—ohok!" Jeno memegangi mulutnya biar nggak menyemburkan sesuatu dari dalam.

Karina mengernyit jijik, tapi tak urung ia berdiri mengambilkan segelas air buat Jeno. Dia geleng-geleng kepala, nggak habis pikir sama orang berusia dewasa, tapi kelakuannya masih saja kayak anak TK. "As i said, stop it. Lo nggak akan pernah nemuin jawaban kenapa lo diselingkuhin kalau lo nyarinya di dalam diri lo sendiri."

" ... "

"It's them whose head with nothing inside, not you."

" ... tapi, gue sayang banget sama Lizi."

Karina menghela napas. Ia menatap Jeno prihatin, kalau sudah menyangkut perasaan semuanya emang bakalan jadi lebih rumit. Rasa benci, kecewa, marah itu semua masih bisa sejalan dengan rasa sayang dan cinta. Meski buat Karina pribadi jalan keluar dari masalah Jeno itu sudah jelas sekali, tapi dari pandangan Jeno belum tentu gitu. Because he loves her and their memories for years.

Meski begitu, Karina sebagai orang waras tentu nggak akan membiarkan Jeno mengambil jalan yang salah. Makanya sejak awal, dia nggak mau repot menutup-nutupi ketidaksetujuan hubungan cowok itu sama pacarnya.

"Cheating is a disease, Jen. You can't heal them, but themself. If you move on, you will just lose her. But if you choose to be a pigheaded one and still dating her, later you'll lose not only her, but yourself too," kata Karina dengan muka kejam.

Muka Jeno makin muram. Badannya menggelosor di atas sofa dengan lemah. "Perasaan masih cakepan gue ke mana-mana daripada si Toyo-toyo itu, dah. Picek amat matanya Lizi."

Karina berdecak. Nggak menggubris Jeno lebih lama lagi sebab sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Itu adalah sebuah video, ketika ia memutarnya dan menonton isi video tersebut, ekspresi mukanya seketika berubah mengerikan. Minuman kaleng di tangannya langsung ringsek sebab digenggam sedemikian erat oleh si empu.

Jeno yang merasakan tensi di sekitar jadi memberat sebab Karina kini sudah seperti mengeluarkan tanduk iblis, buru-buru melompat ke sudut sofa buat melindungi diinya sendiri. Ia memandang Karina ngeri, mendadak merasa deja vu.

"What the fu*king hell is this?!"

***

Hari ini, sebetulnya Kirana nggak ada jadwal kelas. Tapi, sejak pagi dia sudah berangkat pergi sebab Skiza dengan gencar memaksanya ikut menonton turnamen futsal antar departemen di kampus mereka. Aslinya, Kirana malas ikut dan berniat buat tidur hingga tengah hari, tapi apa daya kalau Skiza sudah menyogoknya dengan takoyaki dan sekotak jelly.

Lapangan indoor yang jadi tempat diselenggarakannya pertandingan sudah ramai penonton meski waktu mulainya masih tiga puluh menit lagi. Kirana cuma manut mengekori Skiza ke mana-mana, dia bahkan baru tahu yang tanding hari ini adalah departmen jurusannya sendiri. Melihat spanduk dan beberapa temannya yang sejurusan dengannya juga ada di sini, nggak heran kalau ia juga menemukan Nindy.

"Katanya nggak mau nonton?"

Itu adalah protesan dari Nindy yang cuma dibalas cengiran oleh Kirana. "Hehe."

Nindy cuma cemberut dan secara alami cewek itu bergabung dengan keduanya. "Hari ini Kak Septa ikut tanding."

Skiza jelas tahu siapa yang dimaksud Nindy, dan kepalanya langsung mengurai apa yang sedang terjadi. Ia menatap Nindy sekilas lalu mendengus di dalam hati. Dia jelas tahu kalau ibarat di dalam dunia per-buburan, Nindy itu tim bubur nggak diaduk dan Skiza sebaliknya. Alias, mereka berada di kubu yang berbeda. Meski Jeviar kadang berkelakuan kayak orang berotak setengah, tapi dia tahu segimana nelangsanya cowok itu karena ditinggal sohibnya. Skiza nggak sampai hati, sih, kalau sampai katingnya itu ketikung orang, mana roman-romannya ini Kirana juga naksir balik meski anaknya kelihatan pasif. 

Menilik dari gimana Nindy menggiring suasana dan momen buat cowok bernama Asep-asep ini, Skiza sudah paham maksud dan tujuannya. Namun, seperti biasa orang yang sebetulnya adalah tokoh utama malah bertingkah nggak peka.

"Kak Septa siapa?" 

Skiza nggak tahu mesti nangis atau ketawa mendengar pertanyaan Kirana.

"Masa lupa, sih?" Nindy berkata, "itu, yang kemarin ngembaliin payung lo yang ketinggalan di kelas."

Sebetulnya, Nindy tahu kalau waktu Ospek dulu Septa jadi pendamping kelompok Kirana, tapi dia juga lebih tahu kalau cowok itu keseringan bolos tidur daripada ikut mengawasi adik tingkat makanya dia nggak mengungkit hal ini sebab, yah, bakalan percuma. Kirana juga anaknya ternyata rada bolot padahal setahu Nindy, Septa sering secara 'kebetulan' nongol di depan anak itu.

"Oh," Kirana tampak nggak tertarik, soalnya dia nggak terlalu minat sama jenis olahraga apa pun apalagi siapa pemainnya. "Masih lama, nggak, sih?"

Skiza berdecak. "Yailah, belum juga mulai udah nggak betah aja."

"Rencananya hari ini, kan, aku mau tidur."

"Tapi, habis ini, kan, rencananya kita mau jajal takoyaki?" balas Skiza meniru kalimat Kirana barusan.

Nindy ketawa melihat muka Kirana yang kelihatan capek, tapi pasrah aja. "Yaudah, sih, Ki. Waktu mainnya masih lama, sih. Mending kita main ke belakang, yuk."

"Ke belakang mana?"

"Tuh, lihat pemain yang lagi siap-siap. Sekalian ngasih dukungan moral, siapa tahu nanti department kita menang." Nindy berkata dengan maksud terselubung yang tentu saja gagal ditangkap Kirana.

Tapi, tentu saja Skiza yang lebih dulu mencium bau busuk lekas memanggil bala bantuan. Kirana ini anaknya rada polos nyerimpet ke oon, jadi dia nggak bakalan paham kalau lagi dijebak secara mentah-mentah sama orang. Kelihatan banget gitu, ya, kalau ini anak kurang pengalaman hidup. 

Pada akhirnya, mereka nggak jadi ke sana, sih, sebab isi ruangan dominan laki semua. Nindy yang ngajak jadi rada gentar buat melancarkan aksi jadi mak comblang. Makanya, mereka melipir ngadem ke sudut kursi penonton. 

Semuanya berjalan adem ayem, ketika tiba-tiba saja ada dua mbak-mbak dengan muka sepet datang menghampiri.

"So, that's you?"

Kirana melongo saat salah satu dari mereka tiba-tiba bertanya dengan nada agak keras ke padanya. Skiza yang melihat niat nggak baik orang-orang ini tentu saja bereaksi keras dengan memandang mereka jutek. "Ini ada apa, ya? Bisa ngomong baik-baik, kan?"

Seakan nggak memedulikan pelototan Skiza, cewek itu lanjut memojokkan Kirana. "Puas udah bikin keluarga gue hancur? Kenapa lo mesti balik dan bikin semuanya jadi rumit?" katanya emosi, "nggak, dari awal seharusnya lo mati aja!"

Nindy yang dari tadi tercengang juga jadi ikutan emosi mendengar kata-kata kasar cewek itu. "Apa-apaan—"

"Heh, belegug! Kalau ngomong itu dipikir dulu, ya! Seenaknya aja itu cocot, punya otak, tuh, dipake napa?" Skiza berkata dengan kepala sudah hampir menumbuhkan tanduk.

Kirana yang dari tadi kebingungan seketika membeku. Semua orientasi soal papa dan keabsenan lelaki itu selama bertahun-tahun dalam hidupnya sekarang berada tepat di depan Kirana. Ia mulai merasakan napasnya memberat bersama buku jari-jarinya yang mendingin. Suaranya tercekat, tiba-tiba teringat kebersamaan papanya dengan wanita selain mama yang datang silih berganti dengan semua momen yang ia lewati hanya dengan Raki.

Perasaan sesak itu kembali menghantamnya dalam-dalam. Ia kemudian menyadari bahwa ada suara-suara di sekeliling mereka dan ketika Kirana pulih dari ketertegunan, ia sudah menjadi pusat perhatian.

"Kenapa diam? Malu? Emang masih punya malu setelah kamu sama mamamu itu ganggu hidup papa saya?" kata cewek itu sarkastik. Temannya yang lain menarik tangannya untuk menyudahi keributan itu, tapi karena sudah kepalang emosi, dia balik berteriak kesal, "Kak, dia udah bikin mama sama papa aku berantem terus tiap hari! Aku nggak tahan lagi, gara-gara dia keluargaku jadi berantakan kayak gini!"

Oleh kata-kata tersebut, orang-orang mulai menarik kesimpulan dalam diam. Sebagian dari mereka hanya menonton tak peduli, tapi tak sedikit juga yang mulai memandang Kirana dengan tatapan menghakimi. Skiza yang tahu fakta sesungguhnya jelas pengen menghujat balik cewek di depannya ini dan menampar mulutnya minimal tiga kali.

Kirana tertawa miris mendengar kata 'papa' dan 'keluarga' datang dari mulut gadis itu. "Udah?" katanya.

Cewek yang baru saja berdebat sama temannya itu menatap kesal Kirana.

"Gimana rasanya?" Kirana malah bertanya dengan muka tanpa ekspresi.

Nindy sama Skiza kontan tercengang. Jelas baru melihat Kirana yang 'ini' pertama kali. Skiza benar-benar melihat sekilas sifat tajam Raki dalam diri Kirana. Namun, yang ini auranya jauh lebih dingin dan sarat akan emosi. Sesaat ia lupa akan nafsu kuat buat membabat sesosok manusia di depannya.

"Gimana rasanya ngeliat orang yang kita sayang saling benci dan menjauh? Gimana rasanya ada di rumah yang seluruh isinya berantakan?" tanya Kirana retoris.

" ... "

"Kalau kamu bisa semarah ini sama keadaan kamu sekarang, gimana dengan saya?"

" ... "

"Daripada kamu repot-repot nyalahin orang lain, harusnya kamu bisa paham," Kirana memandang cewek itu dingin, sudut matanya menajam, "itu namanya karma."

Tiga detik berlalu, sebelum sebuah tangan secara kasar mendarat di pipi Kirana. Dan suasana setelahnya tak lagi kondusif sebab Skiza tak menahan diri lagi buat menerjang dua cewek itu setelah melihat temannya terhuyung ke belakang dengan darah merembes di hidungnya.

to be continued.

jujurly, ini pertama kalinya aku bikin adegan yang ada unsur yahhhh kekerasan. Mohon jangan ditiru, ya. ciaooooo :v

aku sendiri meniatkan kalau book 2 ini gak bakalan panjang2 amat. so, let me know momen apa aja yang pengen kalian ada di cerita ini sebelum end ya!

dah si, met bobo!

07/07/24

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top