08. unrevealed past

Raki nggak tahu apakah keputusannya buat balik ke sini adalah pilihan yang tepat.

Sekian tahun berada jauh tak sedikit pun menghilangkan kenangan buruk yang sampai saat ini masih belum bisa Raki relakan sepenuhnya. Terlebih lagi orang yang paling dia benci ada di sini, dan bertemu orang tersebut adalah hal yang paling ia hindari. Tapi, Kirana ... Raki paling takut kalau orang itu menemui Kirana lagi, sementara dirinya jauh dari jangkauan anak itu.

Dan terbukti, belum seminggu penuh Raki di sini, lelaki itu datang tanpa rasa malu sedikit pun.

Raki benci fakta bahwa lelaki itu masih terlihat baik-baik saja sementara Kirana hampir kehilangan dirinya sendiri. Betapa rasanya tak adil ketika melihat tahun-tahun adiknya harus bergelut dengan rasa sakit fisik dan hati yang harus ditanggung oleh sebab ayah kandung mereka sendiri.

Makanya begitu melihat wajah Bayu di rumah mereka, Raki nggak bisa menahan diri buat memaki dan mengusir pergi lelaki itu. Namun, hal yang terjadi di luar perhitungannya adalah Kirana melihat itu semua—dan kemungkinan, mendengar semua hal yang ia coba sembunyikan rapat-rapat.

Betapa bajingannya ayah yang mereka punya.

Raki terlalu syok hingga tak dapat mencegah kepergian Kirana yang sudah pasti menahan kecewa, bagusnya ia lega sebab dengan begitu Bayu bisa sadar diri bahwa kehadirannya hanya sebatas luka dalam kehidupan mereka. Setelah itu lelaki tersebut juga pergi tanpa kata.

Raki sempat menelepon Jeviar buat memastikan keadaan Kirana. Dia bahkan mengabaikan kondisi adiknya yang pulang digendong oleh cowok itu. Satu hal yang Raki tahu, meski kemungkinan Kirana lagi nggak baik-baik saja sekarang, seenggaknya anak itu nggak lagi sendirian.

"Maksudnya—"

"Lo pasti bertanya-tanya," kata Raki yang melihat muka tercengang Ree, "di halte waktu itu, gue ketemu sama anaknya yang lain."

Ree meneguk ludah. Kejadian itu sudah lebih dari lima tahun lalu, tapi masih jelas dalam ingatannya sosok Raki yang menangis tersedu di sisi jalan. Selama ini Raki tetap tutup mulut apa pun yang terjadi, karena itu juga Ree nggak terlalu mengorek lebih jauh sebab dari gelagat Raki yang seakan menutup-nutupi, itu pasti bukanlah situasi yang sederhana.

"Dari situ gue tahu betapa busuknya bokap gue." Raki menghela napas lelah. "Memang, gue tahu bokap nyokap gue itu nikah karena dijodohin. Meski begitu, setelah menerima mama gue sebagai istrinya, dia juga nggak memutus hubungan sama wanita yang sejak dulu adalah pacar bokap gue."

" ... "

"Gue benci banget kalau ingat gimana dulu dia mengabaikan gue sama Kirana dan malah senang-senang sama keluarganya yang lain. Nggak cuma itu, dia juga berniat cerain mama dan waktu dia tahu niatnya itu nggak bakal terwujud sebab keluarga besar gue yang menentang, mama juga lagi hamil Kirana."

Ree dengan muka kosong mendengarkan.

Raki tertawa miris sebelum berkata, "Dan brengseknya, dia pernah coba buat gugurin adek gue yang masih di perut tanpa sepengetahuan nyokap cuma karena selingkuhannya itu marah sebab dia nggak jadi cerai sama mama gue."

Ree beneran speechless.

"Gue yang dari dulu ngira kalau bokap emang sesibuk itu sama kerjaan, jadi paham kenapa dia seenggak pernah ada itu buat gue sama Kirana. Dan salah gue yang ngira kalau itu adalah kali terakhir dia bisa sekejam itu sama anak sendiri, tapi ternyata enggak. Dia ngirim orang buat ngikutin Kirana, dan pada akhirnya adik gue celaka gara-gara dia."

Ree bengong mencerna semuanya. Mukanya sampai kisut memproses semua fakta di kepala.

"Gue beneran nggak bisa bayangin kalau sampai Kirana nggak ada. Selama bertahun-tahun hidup, cuma dia yang gue punya sepenuhnya di hidup gue."

Habis itu, Ree terdiam sejenak.

"Raki, kalau lo lupa di belakang lo selalu ada gue. Lo kenal gue dari orok, masih aja lo nggak nganggep gue sebagai sodara?" Ree nggak bisa buat nggak ngomel setelah tercengang sama kata-kata Raki. Meski dalam hati dia membenarkan, Raki tanpa Kirana dan sebaliknya adalah sebuah kemustahilan yang mutlak.

"Lima tahun nggak ketemu ternyata lo masih aja baperan?" kata Raki heran.

"Dan lo masih bisa bercanda?" Sudut mulut Ree berkedut kesal.

Raki menghembuskan napas, terus menggeleng pelan. "Makanya sekarang gue khawatir banget sama Kiki. Gue nggak bisa di sini lama-lama, dan kenapa gue cerita ke lo soal semua ini sebab gue mau minta tolong. Tolong jagain Kirana pas gue balik nanti."

"I'll do. I always do."

Ree betulan nggak bisa bayangin kalau ada di posisi Raki. Sejak dulu dia tahu betapa Raki merindukan keluarga yang utuh, mungkin juga Kirana. Tapi, karena keegoisan seseorang, mereka berdua harus hidup dalam bayang-bayang tanya ketidakhadiran orang tua, tumbuh seorang diri, dan terlebih ada fakta seperti ini. Mungkin benar kata orang, luka terdalam cuma dapat ditorehkan oleh orang tersayang.

"I am glad to hear that, thanks dude."

Ree berdecak. "Kirana juga adek gue, ya. Thanks-thenks-thanks-thenks pala lo kotak."

Raki ketawa pelan. Terus dia teringat sesuatu. "Menurut lo ... Jeviar gimana?"

Mendengar pertanyaan Raki, Ree jelas mengernyit meski tahu arah pembicaraan ini bakal ke mana. "Maksud? Lo suka sama si kampret?"

"Not even in your dream," balas Raki dengan muka jelek. "Gue bisa lihat dia masih punya maksud lain ke Kiki meski udah selama ini dan jujur ... itu cukup mengganggu gue."

"Lo mau jawaban apa dari gue?"

"Jujur, sebagai lelaki dan abangnya Kirana." Menurut Raki pertanyaannya jelas berdasar. Selama ini, mereka nggak pernah kontak-kontakkan dan berinteraksi lebih, jadi dia nggak begitu tahu soal apa pun mengenai Jeviar dan track record cowok itu akhir-akhir ini. Jelas Raki nggak kepengen kalau adiknya sampai kenapa-napa lagi, sebab apa yang sudah dilakukan papa mereka itu sudah sangat lebih dari cukup.

"Yah, meski rada bego dan agak freak, gue mengakui kalau Jeviar jelas lebih baik daripada cowok lain yang sama Kiki. Maksud gue, gue kenal baik dan dekat sama Jeviar sampai ke keluarganya. Jujur, dibanding cowok-cowok yang ada di lingkungan gue, Jeviar itu jenis yang paling bersih dan hidupnya lurus banget. Lima tahun ini, itu orang cuma fokus kuliah kayak orang kejar target. Dia bahkan udah daftar sidang sementara mulai ikut bantu-bantu di perusahaan bapaknya."

Raki kelihatan termenung.

"Soal cewek pun, gue angkat tangan. Pernah, sih, si kampret punya pacar, tapi itu pun karena ulah si Jeno. Kalau lo dengar ceritanya mungkin lo bakal kayang saking nggak habis pikir." Ree bercerita mengingat kegaduhan yang dulu sempat dibikin Jeno sampai dia minggat dari kosan sebab nggak tahan.

"What the heck?" Itu adalah reaksi Raki setelah mendengar cerita penuh Ree.

"Tapi belom ada sebulan udah putus, sih, gara-gara si cewek nggak tahan soalnya si kampret lempeng banget." Ree melanjutkan bumbu di tengah gosip hangat mereka.

Raki beneran nggak habis pikir.

"Tapi, bokap gue pernah bilang sesuatu." Ree kembali melanjutkan, kali ini mukanya kelihatan lebih serius dan suaranya memelan bikin Raki sukses penasaran.

"Apa?"

"Sebenarnya bokap gue tahu ini dari Om Jeff. Katanya si kampret pernah ngomong ke Om Jeff satu hal. Dan ujungnya, ini karena Kiki."

Raki jelas bingung. "What? Kenapa jadi Kiki?"

"Jadi, gini ..."

Dan Ree menumpahkan segala teh yang dia punya dengan muka julid ala lambe turah.

***

Hujan datang mengguyur setelah langit tiba-tiba jadi kelabu. Udara yang dingin menusuk kulit tak terlalu dihiraukan sebab Kirana berada jauh dalam pikirannya sendiri, hingga tak menyadari Jeviar datang mendekatinya dengan sebuah kresek putih di tangan.

Jeviar membawa Kirana ke minimart di seberang sebuah tanah lapang yang ada di dekat komplek perumahan cewek itu. Ia melihat sudut mata hingga pipi Kirana memerah sehabis menangis, dan sampai sekarang nggak ada kata apa pun yang keluar dari mulut gadis itu selain helaan ingus di kala tertentu. Ia kemudian melepas kemeja yang melekat di badannya, lalu memakaikannya pada Kirana.

Jeviar melihat gadis itu akhirnya menoleh dan ia cuma tersenyum kecil terus bilang, "Udaranya dingin."

Dan karena itu, Kirana makin nggak tahu harus berkata apa. Ia paham, sejak kepergiannya bertahun lalu dan tiba-tiba kembali, pasti banyak sekali tanda tanya di dalam diri Jeviar mengenai masalah Kirana. Namun, Kirana pura-pura tak menyadarinya dan bersikap seolah semua baik-baik saja, padahal ia sedang menutup masalahnya rapat-rapat untuk disimpan sendiri. Kirana sadar, pasti Jeviar merasa sulit di saat ia kadang menarik diri dan seperti menghilang, tapi cowok itu selalu datang lagi entah dengan cara seperti apa. Jeviar juga tak bertanya lebih mengenai apa pun sebelum Kirana sendiri yang mulai mengungkitnya lebih dulu.

Ia tahu perasaan cowok itu terhadapnya seperti apa, dan hal itu hanya membuatnya merasa buruk. Kirana hanya berpikir, apakah dia pantas mendapatkan niat Jeviar yang seperti itu di saat Kirana sendiri hanya dipenuhi perasaan menyedihkan seperti ini? Bagaimana kalau tanpa sadar, ia membuat Jeviar kesulitan saat mereka bersama dan berakhir pergi seperti papanya?

Mengingat hal itu lagi, dada Kirana rasanya diremas kuat hingga air matanya turun lagi. Sumpah, dia nggak ingin terlihat seperti ini di hadapan siapa pun, terlebih Jeviar. Tapi, dia nggak bisa menahan diri lagi hingga air matanya keluar secara mandiri.

"Kiki?" Jeviar gelagapan waktu Kirana terisak lagi. Dari tadi, dia nggak menginterupsi waktu Kirana menangis, tapi sekarang dia jadi khawatir sebab ujung mata gadis itu hampir lecet sebab digosok-gosok sejak tadi, apalagi suaranya makin parau. "Baju aku bau, ya, makanya kamu nangis lagi?"

Dalam isakannya, Kirana bahkan baru sadar kalau Jeviar mengubah gaya bicaranya jadi 'aku-kamu' sejak tadi.

Jeviar yang melihat Kirana terus menangis memandang cewek itu dengan muka sulit. Jujur, dia juga ikutan sedih sama apa yang terjadi pada Kirana. Dia paling nggak suka orang-orang yang dia sayangi merasa sakit dan sedih. Pada akhirnya, ia hanya mencondongkan badan ke arah Kirana, dan lekas memeluk anak itu hati-hati dan mengusahakan sentuhannya jadi seringan bulu.

Awalnya Kirana kaget, tapi beberapa saat kemudian itu berubah menjadi rasa nyaman yang hangat.

Detik-detik selanjutnya berlalu dengan sunyi. Sebab Kirana telah jatuh tertidur di bahu Jeviar. Anak itu tampak kelelahan sampai bisa terlelap dalam posisi yang sudah pasti nggak nyaman. Cowok itu sejak tadi sibuk menahan tubuh Kirana supaya tetap bersandar ke padanya sementara tangannya yang lain sibuk menerror orang lain.

Ia menghubungi Jeno, tapi bahkan nomornya nggak aktif. Jeviar kemudian beralih menelepon Ree, panggilannya tersambung, tapi nggak disangka-sangka yang terdengar adalah suara Raki.

"Di mana?" tanya Raki setelah Jeviar menjelaskan situasinya.

"Minimart deket lapangan komplek lo."

Setelah itu Raki cuma berkata seadanya bahwa cowok itu akan menjemput adiknya. Jeviar cuma mendengus pelan. Raki dari dulu emang sensi banget kalau menyangkut adiknya, tapi dia paham kenapa. Apalagi dulu banget, Ree—yang nggak terlalu suka terlibat dalam masalah orang lain— sampai ikutan mengancamnya buat nggak macam-macam sama Kirana.

Sekarang, Jeviar ngerasain perasaan yang sama. Dia nggak mau hal-hal kayak gini bikin Kirana terlalu dalam terpuruk, dia pengen Kirana bisa lihat lagi orang-orang yang sayang sama dia daripada terus menatap luka dari orang yang nggak cukup pantas mendapat setitik perhatian dari Kirana. Jeviar yakin itu nggak akan mudah dan perlu waktu, makanya di dalam hati dia memantapkan diri buat lebih ada buat Kirana, dia nggak bakal rela seandainya anak itu menjalani semuanya sendirian. Jeviar menatap wajah damai Kirana yang masih diselimuti jejak tangis, lalu memperbaiki jaket yang melorot dari bahu gadis itu.

Raki kemudian datang dengan mobil yang Jeviar tahu adalah milik Ree. Cowok itu melihat adiknya tertidur dengan bersandar pada Jeviar. Dalam keadaan normal, Raki dengan pasti akan setidaknya menendang betis Jeviar, tapi kali ini dia cuma melengos pelan lalu membawa Kirana ke dalam mobil tanpa membangunkan anak itu.

Jeviar cuma mengikuti saat Raki membopong dan mendudukkan Kirana di kursi penumpang. Setelah memastikan anak itu dalam posisi nyaman dan meletakkan tas cewek itu di kursi belakang, ia menunggu mobil tersebut berjalan sesaat Raki memasuki kursi kemudi.

Di dalam, Raki menatap Jeviar capek. "Ngapain lo berdiri di situ?"

"Emang kenapa?"

Raki memalingkan mukanya ke depan. "Naik."

Jeviar kayaknya salah dengar. "Hah?"

"Naik," kata Raki tak sabar.

"Naik ... ke mana?" Jeviar bertanya dengan muka konyol.

"Ke mobil," desis Raki mulai naik darah. "Cepetan elah."

Meski bingung, Jeviar tetap memasuki kursi belakang mobil. Saat dia memasang seatbelt, Jeviar tiba-tiba berkata, "Tapi, gue udah suruh si Jeno jemput."

Raki mendelik. "Sekarang, lo ikut ke rumah gue dulu. Temen lo suruh nyusul."

"Buat apa?"

"Gue udah tahu."

"Tahu apa?"

"Niat lo ke adek gue."

Alis Jeviar terangkat. "Oh," katanya nggak heran. Dia emang nggak berusaha menutupi usahanya dari siapa pun. "Baru sadar?"

Kini tatapan tajam yang diberikan Raki. "Gue nggak nyangka kalau maksud lo ke adek gue bakalan sedalem itu."

Jeviar cuma mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"

"Ree udah bilang semuanya."

Apa? Perasaan Jeviar nggak ada bilang apa-apa ke Ree. "Bilang apaan?"

Raki melirik Jeviar dari kaca mobil. "Soal lo yang cepet-cepet pengen lulus dan udah mulai bantu usaha bokap lo, itu semua karena Kiki."

Jeviar tercengang. Mukanya megap-megap mau ngomong, tapi dia terlalu terkejut sebab rahasianya itu ternyata rahasia semua orang alias kurang ajar banget itu si Jeffrey bisa-bisanya ember masalah pribadi anaknya sendiri?!

"Gue cukup mengapresiasi semua usaha lo, tapi lo tahu semua nggak akan bisa semudah itu."

" ... "

Raki menoleh dengan muka gelap. "Sebulan. Gue kasih waktu sebulan buat buktiin diri lo layak buat adek gue."

Jeviar mengerjap cepat dengan mata berkelip senang. "Beneran?"

Seringai jahat muncul di muka Raki. "Get ready for it, dude." Sebab Raki nggak akan pernah ikhlas adiknya menjalin hubungan dengan lelaki mana pun.


to be continued.

hai wkwkwkwk.

05/06/23

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top