07. hidden feeling
Selain sibuk karena skripsi, Jeviar juga lagi pusing sama satu hal.
Dia sejak kemarin uring-uringan nggak jelas. Mau nyusun skripsi, tapi fokus sama pikiran lagi nggak ada di tempat yang seharusnya. Mana Jeno sejak break sama pacarnya jadi caper banget, tingkahnya kayak minta dijejelin ke got. Terus oknum di balik semua kegelisahan Jeviar anteng-anteng aja makan es krim sambil nonton kartun pororo.
Rasanya Jeviar pengen confess sambil guling-guling biar Kirana peka sama perasaannya.
Kirana dan peka itu emang dari dulu adalah sesuatu yang nggak bisa dipisahkan. Awalnya, sih, Jeviar nggak masalah banget, kan, sebab dia pengen jalanin dan jelasin pelan-pelan ke Kirana kalau dari dulu perasaan Jeviar nggak penah berubah. Tapi, belakangan ini Jeviar malah jadi overthingking. Kayak, ngebiarin Kirana menghadapi dunia tanpa sebuah status yang jelas di antara mereka itu kayak berisiko banget.
Iya, risikonya Jeviar ditikung orang.
Tapi, ada sesuatu yang lebih penting. Ini Kirana suka nggak, sih, sama Jeviar sebetulnya? Selama ini, anak itu mentok-mentok ada interaksi sama lawan jenis cuma sama orang-orang yang udah Jeviar kenal lama. Jadi kayak, no hard feeling gitu. Tapi, sekarang pergaulan itu anak udah mulai makin luas dan hal tersebut bikin Jeviar sadar kalau baiknya Kirana emang udah setingan dari pabrik. Nggak pakai pilih-pilih. She's just treats everyone equally.
Nggak heran, sih, kalau banyak yang bakal salah paham sama empati itu anak. Dan takutnya, Jeviar adalah salah satu orang yang salah paham itu.
Pusing, kan.
Makanya Jeviar nggak mau buang-buang waktu lagi habis selesai nge-dratf skripsi, dia cabut mau ngajak Kirana jalan. Untung anaknya senggang, kalau enggak, ya, luntang-lantunglah Jeviar.
Hari ini dia sengaja bawa motor. Soalnya ada yang bilang kalau great man learns from mistakes, Jeviar beneran mengimplementasikan hal itu sebab beberapa kali dia ngajak Kirana hangout, selalu aja ada buntut yang nggak diperlukan datang mengikuti. Makanya kalau Jeviar bawa motor, Jake nggak bakalan bisa ikutan nebeng.
Kirana sebetulnya udah pegal banget ini dibonceng Jeviar, tapi anehnya mereka nggak sampai-sampai ke tempat tujuan. Dia toel-toel pinggang orang di depannya, kan, nanya masih jauh apa enggak.
Jeviar cuma bilang lima menit lagi. Gitu terus, deh. Dari ngajakkin pergi, pas ditanya mau ke mana jawabannya sok misterius banget.
Tapi, kali ini beneran. Motor Jeviar berhenti di depan sebuah gedung yang kayaknya adalah tempat futsal indoor. Kirana jadi bertanya-tanya dalam benak, kayak ini mereka jauh-jauh ke sini pakai motor sampai Kirana rasanya encok cuma buat main futsal? Kirana? Main futsal? Yang bener aja. Ini, sih, Jeviar keterlaluan randomnya.
Kirana, mah, nendang bola palingan sepatunya yang masuk gawang.
"Kak? Ini kita ngapain ke sini?"
"Yuk, naik dulu."
Bukannya jawab, Jeviar malah narik Kirana buat naik ke tangga yang ada di sebelah gedung tersebut. Tangganya sempit, jadinya yang kelihatan cuma badan Jeviar doang. Pas mereka sampai di atas, ternyata adalah sebuah tempat yang kayak tongkrongan zaman-zaman 90-an. Dindingnya penuh coretan piloks yang anehnya, kayak familiar. Tempat itu lumayan luas, ada sofa, meja, dan segala hal yang menurut Kirana jadul banget. Bahkan di samping rak buku di salah satu dinding terdapat vinyl player beserta piringan hitam.
Kirana cengo, sampai Jeviar menariknya buat mendekat ke balkon. Dari sana Kirana bisa lihat kota yang kayaknya nggak pernah mati, tapi yang bikin perasaannya campur aduk adalah gedung sekolah SMA mereka dulu juga kelihatan.
Masa yang nggak begitu panjang buat Kirana, tapi sesuatu yang nggak mungkin bisa dia lupakan gitu aja.
"Aku nggak tahu ada tempat ini dulu."
"Iya, dong. Ini tempat baru dibangun pas lo ke Singapore." Jeviar berkata. "Lo tahu nggak siapa yang bikin ini tempat?"
Kirana kemudian menatap Kirana penasaran. "Siapa?"
"Pacarnya sohib lo." Jeviar ketawa kecil.
"... Kak Kale?"
Jeviar mengangguk. "Habisnya dia bingung si Kiza mau diapain anaknya galau mulu pas lo tinggal pergi."
"Ya, ampun."
"Terus lo ingat nggak sebelumnya ini tanah apa?"
Kirana menatap Jeviar sangsi. " ... jangan bilang tanah bekas kuburan?"
Jeviar ketawa, terus nyentil jidat Kirana pelan. "Yang bener aja, Ki."
"Terus apa?"
Jeviar terus menunjukkan sesuatu di ponselnya ke Kirana. Itu adalah foto mereka berdua di depan pedagang cotton candy yang diambil pas mereka jalan-jalan ke pasar malam dulu.
"Ingat nggak?" tanya Jeviar.
Kirana mengangguk pelan.
"Terus lo ingat apa yang gue bilang ke lo pas itu?"
Kirana terdiam.
"Tempat ini bisa aja berubah, Ki." Jeviar bilang gitu. "Tapi, gue enggak."
Punggung Kirana mendadak kaku.
Jeviar melirik Kirana yang mukanya sudah kayak habis ketahuan nilep permen di kantin. Sesuatu yang sudah bisa diduga, soalnya ini Kirana. Meski gitu, Jeviar tetap nekat bilang gini soalnya dia nggak bisa tahan lagi. Dan soal perasaanya dia nggak bohong. Lima tahun bukan waktu yang singkat, mereka tumbuh masing-masing dengan bertemu banyak orang baru di lingkungan baru, tapi tempat itu selalu ada buat Kirana. Mungkin ada saatnya Jeviar lupa sama Kirana, tapi akhirnya dia bakalan keinget lagi.
Dia bahkan sempat mau membuka lembaran baru, tapi rasanya nggak bisa. Kayak, nggak klik aja.
Butuh waktu lama buat Jeviar menata dirinya lagi dan beranjak maju. Dan itu nggak terlepas dari iming-iming masa depan yang dia impikan, that unspoken dream that keep alive even if he's fall asleep.
"Dari dulu, Ki. Dan sekarang gue nggak ragu lagi." Jeviar sudah menghadap Kirana yang mematung. "Gue mau minta kesempatan sama lo buat jadi orang yang selalu ada di samping lo, apa pun keadaannya."
" ... "
"Ki." Jeviar noel Kirana.
" ... "
"Gue kasih waktu lima menit."
" ... "
"Kalau belum ada reaksi juga, gue kasih lima menit lagi."
Kirana baru bergerak dan napas dengan benar setelah Jeviar turun. Nggak tahu, deh, mau ngapain. Dia kemudian dengan brutal mengipasi wajahnya yang panas sambil nangis kecil soalnya nggak tahu banget mesti gimana.
Kirana sudah ada firasat Jeviar masih suka sama dia, sih, tapi nggak tahu kalau orangnya bakalan sengegas ini.
Tapi, selebihnya aslinya Kirana takut. Jeviar baik banget, baik banget malah. nggak ada yang kurang sedikit pun dari lelaki itu. Sementara Kirana, ada banyak huru-hara dalam hidupnya yang dia sembunyikan rapat-rapat. Ia punya banyak luka yang tiap malam Kirana telan dalam redam tangisnya. Untuk seseorang yang hangat seperti Jeviar, Kirana nggak mau memperlihatkan dirinya yang seperti itu. Dia nggak ingin lukanya jadi luka orang lain juga.
Jeviar ... deserves a lot better then her.
Sekarang, Kirana nggak mungkin lari. Dia harus membuat batas itu dengan Jeviar sebelum semuanya makin jauh. Tapi, pas Jeviar balik bawa mogu-mogu, perasaan Kirana campur aduk lagi.
"Nih, minum dulu."
Jeviar duduk di sofa sementara Kirana ini tangannya dingin banget, keberaniannya yang barusan ia susun buat ngomong menguap entah ke mana.
"Santai aja, Ki. Lima menitnya bisa gue pending sampai tahun depan." Jeviar berusaha mencairkan suasana.
"Kak," kata Kirana dengan nada seret.
"Iya?" jawab Jeviar sambil bukain tutup botol mogu-mogu terus dikasih ke Kirana. "Minum dulu."
Kirana minum, tuh, tapi sedetik kemudian dia malah nge-blank.
"Tadi mau ngomong apa?" tanya Jeviar.
"A-aku, b-bukan—maksudnya, kakak yakin?"
"Kenapa nggak yakin?"
"Aku mungkin bukan Kirana lima tahun yang lalu Kakak kenal," cicit Kirana. "I've change a lot, Kak."
"Terus?"
"They said, you probably miss the time you've been spent with me, but not me."
Jeviar cuma senyum kalem. "The memories that I have with you, you're drinking some jelly drink or eat some sugar candy, isn't it? And you just do the same right now."
Kirana kemudian melirik botol di tangannya. Terus bingung sendiri. Kenapa rasanya dia lagi dijebak, ya?
"Lo mau berubah kayak apa pun, lo tetap Kirana, kan?" Jeviar bilang gitu.
Jeviar tahu. Berbulan-bulan akhirnya balik lagi, Kirana jelas berubah. Not in a specific way, Jeviar bisa ngerasain kalau pas Kirana sendirian ini anak suka ngelamun. Ada saat-saat di mana Kirana bakalan membuat jarak dan kayak ngilang. Ree juga sempat bilang ke Jeviar buat nggak terlalu mengorek apa pun kalau Kirana sudah kayak gitu. It just what she's been through was quite tough.
Karena itu juga, Jeviar makin-makin nggak bisa lihat Kirana sendirian. Dunia emang nggak selalu baik, tapi Jeviar nggak rela kalau Kirana ngejalanin itu semua sendirian.
"Lagian, di dunia ini siapa yang nggak berubah, Kiki?" Jeviar berkata. "Tempat ini, gue, lo. Even ketika perasaan gue berubah, gue tahu itu bakalan jadi sesuatu yang lebih besar."
"Tapi, aku mungkin bukan orang yang ada dalam bayangan Kakak." Kirana masih menyangkal.
"Emang lo tahu gimana diri lo sendiri di dalam bayangan gue, hm?"
Kirana makin ciut soalnya ini Jeviar ngomongnya halus banget. Dia jadi agak gloomy sebab nggak mau banget bikin Jeviar kecewa, tapi di sisi lain dia juga takut.
"Sekarang gue mau nanya, deh. Lo sendiri gimana?"
" ... apa?"
"Lo suka nggak sama gue?"
Tenggorokan Kirana kering. Mau jawab enggak, tapi nggak sanggup. Apalagi Jeviar ngelihatin dia kayak gitu banget. Seolah Kirana itu kapas yang kalau ketiup angin dikit aja bakal hilang dari hadapan cowok itu.
"Ki?"
Kirana balas menatap Jeviar bentar, habis itu buang muka. Tapi Jeviar bisa lihat anggukan kecil darinya.
Sebetulnya dalam hati Jeviar jumpalitan, tapi berusaha tetap cool. "Yaudah, berarti deal, ya."
" ... deal?"
"Kasih gue kesempatan, ya?"
***
Sore itu, perasaan Kirana rumit banget. Di antara dia sama Jeviar, sekarang, ada sesuatu yang nggak bisa dia jelaskan. Kirana sadar, kalau urusan perasaan dia emang nol banget, makanya dia pasrah-pasrah aja sama kata Jeviar. Urus belakangan aja, deh. Sekarang Kirana cuma mau rebahan terus tidur. Pusing soalnya.
Eh, di depan komplek perumahan Kirana, motor Jeviar malah mogok. Sebab perjalanan jauh, tanpa sadar kaki Kirana ternyata kesemutan. Hampir aja dia oleng pas turun dari motor. Gara-gara itu Jeviar ngotot mau gendong Kirana padahal rumahnya masih lumayan jauh. Jauh kalau jalan kaki. Kalau pakai motor, sih, lima menit sampai.
Kirana nggak punya pilihan lain selain nemplok di punggung Jeviar soalnya itu cowok udah jongkok-jongkok di depannya dan nggak bakal bangun sebelum kata-katanya diturutin. Untung ini komplek tergolong sepi, terus pos satpamnya sudah lumayan jauh. Jadi, ya, nggak bakal malu-malu banget bakal ada yang ngelihatin.
Ini perasaan Kirana aja atau emang jalannya Jeviar jadi pelan, lambat, dan gemulai gini, ya? Apa Kirana keberatan?
"Kak, aku bisa jalan sendiri—"
"Shuuuuttt, anggap aja ini buat menebus kesalahan si Item yang mogok di jalan."
"Tapi, nanti kalau Abang lihat—"
"Masalah Abang lo, biar gue yang hadapin, Ki."
"Nanti Kak Je pulangnya gimana?"
"Minta jemput si Jeno."
"Huf." Terserah Jeviar saja, deh, Kirana capek.
Jeviar bisa rasain kepala Kirana terkulai di pundaknya. Dia nggak yakin ini anak tidur, tapi dia tahu Kirana lagi kehabisan baterai makanya senyap gini. Nggak apa-apa, deh, Jeviar, mah, siap-siap aja jadi sandaran Kirana setiap saat.
Kirana mulai hanyut oleh langkah-langkah pelan Jeviar. Langit sudah berselaput merah dengan awan tipis. Baru kali ini kepalanya terasa ringan, kayak plong gitu. Ada aroma maskulin samar yang menyesaki hidungnya. Kirana mau memejamkan mata, seandainya dia nggak mendengar suara marah seseorang dan langkah Jeviar yang mendadak berhenti.
"Kamu pikir apa? Setelah apa yang kamu lakuin, kata maaf bisa bikin semuanya balik lagi?"
" ... "
"Tahun-tahun itu, kamu nggak tahu semenderita apa adik saya. Sesedih apa dia tiap sadar dari tidurnya. Kamu nggak tahu gimana keluarga saya berjuang buat bisa hidup lagi setelah apa yang kamu lakukan."
"Raki, Papa—"
"Pergi. Saya nggak mau lihat kamu atau kamu dekat-dekat sama adik saya lagi."
"Dengerin Papa, Nak. Papa mohon. Sekali ini saja, biarin Papa ketemu sama Kirana."
"Dengar apa lagi? Ketemu buat apa lagi? Kamu yang dulu bahkan sampai nyelakain adik saya? Nggak sekali, tapi dua kali! Kamu tega mau gugurin anak kandung kamu sendiri biar bisa balik sama selingkuhan kamu, setelah gagal, kamu bahkan ngirim orang buat celakain Kirana?! Terus sekarang kamu minta saya buat bisa bikin kalian ketemu? Itu namanya nggak tahu diri." Raki berkata tajam.
Jeviar bisa merasakan tangan Kirana mengerat di lehernya.
"Saya bisa hidup tanpa kamu, tapi saya nggak bisa kalau nggak ada Kirana. Kalau kamu mau macam-macam, saya nggak bakal segan."
"Papa salah, Papa tahu. Papa—"
"Kak."
Baik Raki maupun Bayu kemudian menoleh dengan kaget.
Ada jejak panas yang menembus kemeja yang Jeviar pakai. Bikin perasaan Jeviar makin mlenyes.
"Kirana," kata Bayu pelan. Dia sudah mau mendekati Kirana yang digendong Jeviar, tapi urung saat anak itu mengalihkan pandangannya.
"Ayo pergi."
"Tapi—"
"Aku belum mau pulang, Kak. Ayo kita pergi," kata Kirana penuh mohon.
to be continued.
meme untuk chap ini :
kiki .....
Jeviar ........
Raki .........
hadeh. wassap gaes.
09/09/23
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top