04. officially coming
Habis ngampus, Kirana tiba-tiba mendapat pesan bahwa Karina sudah menunggunya di parkir gedung fakultasnya.
Kalau dibilang dadakan, ya, emang iya. Sebelumnya Karina sudah mengajaknya buat jalan di lain waktu. Tapi, dia nggak nyangka kalau lain waktu itu berarti besoknya langsung. Mana perempuan itu nggak menanyakan serba-serbi jadwal Kirana untuk hari ini, untung Kirana nggak ada kelas lagi. Coba kalau ada, mau gimana coba?
Tapi, yah, emang Kirana punya nyali buat mengeluh secara gamblang di depan manusia yang satu ini? Jujur, meski sudah beberapa kali keluar bareng, Kirana masih rada gimana gitu sama Karina. Soalnya aura mbak-mbak yang satu ini bisa dibilang agak berat dan mahal banget buat orang seumuran dia.
Pas Kirana jalan ke parkiran, matanya langsung mengarah ke satu-satunya mobil yang tampak mentereng di tengah-tengah kendaraan yang ada. Napas Kirana langsung jadi berat begitu kaca mobil tersebut turun, disambung dengan pintunya yang terbuka ke atas kayak sayap pegasus. Bikin orang-orang yang nggak sengaja melintas pada melongo.
Karina menampakkan dirinya dengan setelan baju shoulder off hitam dipadu ripped jeans dan black booties heels, tampak fancy dengan kaca mata hitamnya. Ia menoleh ke arah Kirana, tapi nggak juga turun dari mobil. Tingkahnya bikin Kirana bertanya-tanya, tapi tak urung juga kakinya mendekati perempuan itu.
"Kak."
"Ready to go?"
Kirana mengangguk kemudian duduk di dalam mobil pegasus itu. "Kita mau ke mana?"
"Somewhere that you'll be the first one to visit that place." Karina menjawab santai.
Kirana melirik orang di balik kursi kemudi. " ... terus jajan takoyaki-nya?"
Karina menoleh ke Kirana sebentar, sebelum tertawa ringan. "That one too."
"Hng, oke."
"Sebetulnya gue ngajak lo pergi hari ini karena pengen ngasih tahu sesuatu." Karina berkata sejenak sebelum melanjutkan. "Dan ini berhubungan sama salah satu dari the dumbers."
Oke, the dumbers kalau kata Karina itu artinya Jeviar sama Jeno.
"Kalau ini terjadi empat tahun yang lalu, maka udah pasti gue akan membereskan ini semua dengan well—cara gue?" Karina berkata kayak nggak yakin, habis itu dia mengendikkan bahu. "Tapi, sekarang gue rasa yang terjadi ini udah di luar teritori hal yang bisa gue campuri."
Kirana yang masih clueless ini ada apa dan siapa yang kenapa mengernyit heran. "Jadi, ini soal—"
Karina menoleh ke arah Kirana sejenak. "Jeno," jawabnya.
"Kak Jeno?"
"Yaps."
"Emang Kak Jeno kenapa?" heran Kirana.
Karina mendengus. "Kayaknya dia bakal patah hati nggak lama lagi."
"Hah, kenapa gitu?!"
Muka Kirana yang syok betulan bikin Karina menoleh. Dia memikirkan sesuatu selama sesaat dan menjawab, "Lo tahu, kan, temen perempuan Jeno yang dulu banget sempat ada problem sama mantan pacarnya?"
Tumben banget, otak Kirana menangkap dengan cepat. "Maksud kakak ... Lizi?"
Karina nggak membenarkan, tapi nggak menyanggah juga. Dia cuma tersenyum miring. "Salah satu spesies yang nggak gue suka."
Kirana memasang muka nggak paham.
"Well, belakangan ini gue sering lihat itu cewek jalan sama mantannya yang dulu lagi, I don't know if he knows it already or not, but I bet it's not gonna go in a good way."
" ... "
"Awalnya gue nggak mau ambil pusing karena itu bukan urusan gue, tapi makin ke sini, mereka makin kelewat batas. Some of people even asked me about them. It's ... kinda annoying."
Kirana bengong. nggak tahu harus bereaksi apa sebab apa yang didengarnya barusan kayak bikin otaknya bolong. Dia tentu tahu Lizi. Cewek yang dulu dekat sama Jeno dan berlanjut hingga sekarang. Kirana sempat dengar beberapa hal mengenai hubungan mereka sebelum pindah ke Kanada, tapi setahunya semua berjalan baik hingga Kirana balik lagi ke sini. Terus Kirana juga sempat ketemu Lizi beberapa kali, and she had a good impression about her.
Kirana menoleh, memerhatikan Karina yang lagi menyetir mobil. Tak pelak satu pemikiran terlintas di benaknya. Meski kelakuan ini mbak-mbak kadang nggak bisa dicerna sama otak manusia normal, tapi Kirana tahu kalau dia ini sepeduli itu baik sama Jeviar atau Jeno. Kelihatan, kok, meski caranya kadang agak ekstrem dan ketutupan sama sifatnya yang tsundere.
"Tapi, yah. Gue ngomongin ini sama lo karena well—to be honest, gue nggak punya orang yang cukup trust-worthy buat gue ajak ngomongin ini. Beberapa hari ini, hal itu cukup mengganggu dan kayaknya, gue butuh curhat. Jadi, jangan terlalu dipikirin. Jeno udah gede, gue yakin dia bisa selesain semuanya dengan baik. Seandainya dia butuh dukungan, dia nggak bakal kekurangan satu pun. So don't worry about that."
"Iya, sih."
Mereka kemudian berhenti di depan sebuah café yang artsy banget kalau menurut Kirana. La Vie. Itu adalah plang yang tertulis di depan bangunan café tersebut.
"Artinya hidup."
Kirana menoleh ke Karina yang juga menatap plang tersebut.
"Beberapa tahun terakhir ini, gue rasa ada banyak hal yang bikin gue memikirkan lagi hidup yang gue jalani selama ini." Karina bersidekap dada dengan mata tetap tertuju pada bangunan di depan mereka. "Untuk beberapa hal mungkin berjalan mudah, tapi nggak sedikit kesulitan yang gue alami selama ini. Orang-orang mungkin pada mikir bahwa dengan privilege yang gue punya, hidup gue otomatis jadi semulus jalan tol. Meski, yah, gue nggak menampik dalam beberapa hal, semuanya berjalan lancer karena apa yang gue punya. Tapi, semua itu juga bikin apa pun pencapaian gue selalu dikait-kaitkan sama keluarga gue and some people are so gready that once they see my last name, they start to pretending to be nice with me."
Kirana mendengarkan dengan seksama.
"I've lived my life in that kind of condition since I was born, so I started to be too distance to people because I am not easy to trust everyone. Then, I met those brat—I mean, Jeviar and Janar."
"Mm-hm?"
"Sejak saat itu, gue sadar kalau selama ini gue sebetulnya kesepian dan gue nggak cukup familiar dengan ide itu. Gue nggak meniatkan untuk jadi akrab sama mereka, soalnya kalau gue lihat mereka dari jauh, tanpa gue pun—yang dielu-elukan sama orang, hidup mereka berdua tampak baik-baik aja. Makanya gue sering jahil ke mereka soalnya gue kesel, mereka bisa temenan sama orang lain, tapi kalau itu gue, mereka udah kayak ngelihat anjing rabies."
Kirana bingung mau ngomong apa soal Karina yang secara nggak langsung melabeli dirinya sendiri kayak gitu.
"Tapi, akhir-akhir ini gue sadar kenapa gue kayak gitu."
"You wanna be friend with them."
Karina mendengus. "Yah, itu harusnya jadi sesuatu yang menguntungkan buat mereka, tapi dua orang itu terlalu bodoh buat bisa memahami hal kayak gitu."
Kirana otomatis ketawa.
"Dan, yah, untuk beberapa kejadian di masa lalu, gue akui cara gue emang agak nekat, tapi gue benci ketika ada orang dengan niat tertentu ada di sekitar gue ... dan orang-orang yang gue pedulikan. So, I'll crush them before they can do anything at first."
Tapi, jujur saja, ya. Meski tampang Karina kayak iblis semi malaikat gini, tapi Kirana tahu kalau aslinya Kirana, tuh, kalau sekali sayang sama orang, bakal disayang habis-habisan, sih.
"Tapi, itu dulu. Sekarang gue mau lebih perhatian sama diri gue sendiri. Ada banyak hal di tangan gue yang mesti gue pilah-pilah mana yang harus gue lepas dan mana yang mesti gue pertahanin. Hidup udah cukup ngasih gue dan udah saatnya gue fokus dengan itu. Gue nggak bakal terlalu peduli sama judgement orang tentang hasil yang gue raih, what's in my hand will forever be mine no matter what they say. Dan untuk sesuatu yang nggak bisa gue dapatkan sewaktu gue kecil, akan gue cari pelan-pelan mulai sekarang." Karina mengetukkan jari telunjuknya di roda kemudi.
Orang modelan Karina, emang bisa nggak punya apa, deh? Kirana bingung.
Karina senyum. "That face is read-able, young lady." Dia terkekeh melihat dahi orang di sampingnya makin berkerut. "Sebagai manusia, sebagai seorang anak, ada kebutuhan psikologis yang namanya cinta. I am not that close to my parent since they're not reach-able when I was young, they're more like someone I respect a lot than someone I can adore. Karena itu, gue pengen ngerasain itu seenggaknya sekali sebelum gue mati."
Sebagai orang yang pernah nyaris mati beberapa tahun silam. Kirana rasanya jadi mellow. Kayak, kata-kata Karina bikin dia sadar bahwa yang terdekat dengan kehiduan yang dia hirup adalah kematian itu sendiri. Kayak dua sisi koin yang nggak bisa dipisah. Kita nggak pernah tahu, nggak bisa menduga kapan itu akan datang.
"Gue nggak yakin, sih, mereka bisa berubah, tapi gue bisa merubah diri gue sendiri. Nggak mesti cinta dari orang tua, there are plenty types of love in this life. Gue bisa memilih salah satu dari itu. Rasa sayang dari sahabat misal, atau ... dari pasangan."
"Kak ...."
"I've talked too much." Karina melepas sabuk pengaman terus ngelihatin Kirana yang menatapnya kayak anak anjing habis ditinggal ibunya. "Kenapa muka lo gitu?"
"Gue nggak tahu mesti ngomong apa."
"Emang lo harus ngomong apa?"
"Something that will make you feel better?"
"No need to. This café does."
Iya juga.
Makanya Kirana turun dari mobil, terus ngintilin Karina masuk ke dalam café yang sepi.
Tapi, sebelum bisa terkagum-kagum sama interior bangunan itu, ponsel Kirana sudah lebih dulu berdering nyaring.
Ternyata dari Raki.
Hm, tumben jam segini nelepon.
"Halo, Abang?"
"Hey," Raki menjawab dibarengi suara riuh di sekelilingnya. "Kiki lagi sibuk nggak?"
"Eum," Kirana melirik Karina sesaat. "Dibilang sibuk, sih, enggak, cuma lagi sama temen di luar. Kenapa, Abang?"
"Ow, I am sorry for disturb you, but please can you escort me?"
"Hah?"
"Jemput Abang, Kiki."
"Jemput ... ke Kanada?"
"No," Raki samar-samar ketawa. "Ya enggak, Abang di bandara. Nggak ada yang jemput, Om katanya di luar kota."
"Hah?"
"Kiki, jemput Abang."
"BENTAR—JADI, INI SERIUS?!"
Karina menoleh melihat muka Kirana yang rada syok. Dia bertanya dengan bisikin ke Kirana, "Kenapa?
"Iya, serius. I am here, Kiki."
"HAH?!"
***
"It's hella hot here."
" ... "
"I need to take off this shirt and—"
Raki mendesis jengkel. "Once you do that, I'll just leave you here with your luggage."
Bocah remaja bule di samping Raki cemberut. "Too cruel."
Raki menghela napas, capek meladeni bule ini dari sejak duduk di pesawat. Tapi, iya, sih udaranya panas. Khas Jakarta banget. Nggak nyangka aja dia bakal ke sini lagi setelah lima tahun lebih. Rasanya campur aduk. It feels like his daydream and nightmare are both living here. To be missed and scaring him at the same time.
But, this is only a city. Hatinya bergumam. Raki jelas nggak bisa melarikan diri lagi sejak adiknya tinggal lagi di sini.
"Is your house near from here? Is there a pool inside it? I just wanna take off my jacket and pull myself into cold water—uhm, bathtub will be nice too. But, before that can we stop a moment in convenience store to buy some snack or maybe ice cream? Kiki would like to have some! She really likes strawberry ice cream, mi—"
"I know what's my sister likes to eat, you dumb." Raki berkata pusing.
"Yeah, I also wanna try some dishes like nas—"
"Stop, you already said that word a thousand time. I am sick of it."
Jake memasang muka nyolot. "So what—"
"ABANG!!!"
Raki menggerakkan kepalanya buat mencari suara familiar yang memanggil namanya. Di sana, seseorang melambai dari mobil merah yang melambat dengan kepala terjulur ke luar. Itu Kirana.
Saat mobil itu tak jauh terparkir di dekat mereka, Kirana jadi yang pertama turun—melompat dan terbirit-birit lari ke arah Raki. Cowok itu sudah melepas barang bawaannya dan telah merentangkan tangan di udara buat memeluk adiknya. Tapi, yang nggak dia sangka adalah sosok di sebelahnya sudah melesat lebih dulu dan menangkap Kirana dalam sebuah pelukan yang seharusnya jadi milik Raki.
"KIKI! I REALLY MADLY, DEEPLY, TRULY MISS YOU!"
Jleb.
Pintu mobil tertutup sendiri meninggalkan tangan Jeviar yang masih menggantung di udara. Suara yang ditimbulkan serupa petir yang menyambar di dalam kepala Jeviar, tapi tubuhnya kaku. Jeno melongo di samping Jeviar, Ree pelan-pelan tapi pasti memasang wajah salty, terus Karina bersandar di depan mobil dengan kepala dimiringkan.
"DON'T YOU MISS ME ALREADY?!"
Kirana mau nggak mau menepuk bahu orang yang betulan bikin dia kaget setengah mati barusan—yang kini, masih memeluknya. "Jake?"
"YEAH, IT'S ME!"
Muka Raki sudah berubah dingin dari tadi. Begitu kesadaran kembali ke benaknya, dia buru-buru menyentak pelukan dadakan dua orang itu dan menarik adiknya menjauh dari Jake. "What the hell are you doing?!"
Jake yang nggak terima acara pelukannya diakhiri secara paksa balas ngotot. "Just expressing that I've missed her?!"
"You, fuck*in brat—"
"Abang."
Muka Raki yang tadi angker berubah pas nengok ke Kirana. "Yes, Kiki?"
"Kok, tiba-tiba udah di sini, sih?!"
"Surprise."
"Harusnya kabarin dulu! Kalau aku nggak ngangkat telepon tadi gimana?!"
"Namanya juga surprise, Kiki. Masa kudu kabarin dulu, sih?" Raki mengusap bibir Kirana yang maju pakai telapak tangan. "Udah. Abang balik, kok, malah kamunya ngambek, sih? Emang nggak kangen sama Abang?"
Kirana menatap Raki sejenak. Terus manggut-manggut kecil. "Kangen."
"Then, come on." Raki terus memeluk Kirana pakai pelukan beruang, yang besar sampai Kirana kelelep.
"Eum ... but, excuse me ... what did you guys just talking about?"
Jeno yang dari tadi nggak mood selama perjalanan, tapi memaksakan diri buat ikut soalnya kepo melihat bentukan Raki setelah sekian lama berasa habis mendapat ilham setelah melihat kejadian barusan. Dia menepuk bahu Jeviar yang tangannya langsung jatuh ke sisi tubuhnya lagi.
"Je."
" ... "
"Kalau kata gue, sih; Waduch."
Yang sewot malah Ree. "Waduh apaan?"
"Waduch, ternyata beneran Bule Kanada."
Bukannya mereda, isi kepala Jeviar malah makin jedar-jeder.
to be continued.
hellow ges hehe.
dah sebulan aje hehe
hehe
27/06/23
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top