02. unintentionally love

Kirana lagi fokus menyedot teh sampai kotaknya ringsek setelah sari-sari cairan tersebut masuk ke mulutnya.

Sudah sebulan lamanya Kirana tahu bahwa kampusnya punya fasilitas bus buat antar-jemput mahasiswa. Dari awal mendengar fakta tersebut, Kirana girang bukan main. Sebabnya? Dari dulu, Kirana pengen sekolah yang ada kendaraan antar-jemput siswa. Nggak apa-apa, sih. Cuma, sedari SD dia selalu berangkat sama Raki. Jadi kalau nggak mau ditinggal, Kirana mesti bangun sangat awal kalau mau menyelamatkan diri dari omelan panjang Abangnya yang anti telat dan selalu datang pagi—bahkan paling awal.

Kan, enak, ya. Naik bus sama temen-temen, terus nggak perlu bangun awal banget, dan nggak bakal kena omel ketua OSIS yang mana saat itu adalah Abangnya. Tapi, siapa yang nyangka keinginannya itu bakal terwujud saat dia kuliah. Meski nggak berangkat sama Raki lagi—soalnya, yakali—Kirana tetap semangat naik bis tiap hari sebab nggak tahu kenapa, itu semua membuatnya merasa lebih 'hidup'.

Yah, meski tugas sudah mulai membuat Kirana merindukan jadwal tidur siang wajib yang belakangan ini sudah jarang ia lakukan.

Ada beberapa mahasiswa seperti Kirana di halte tersebut, sedang menunggu bis datang. Semuanya mulai memasang ancang-ancang saat sebuah bis merah datang dari kiri jalan, takut nggak kebagian. Ini dia bagian paling krisis dari naik bis. Masuknya mesti desak-desakkan kayak ikan pindang, tapi untung banget hari ini lebih lengang jadi Kirana bisa santai sedikit.

Semua orang meringsek maju ke depan. Tubuh Kirana yang kecil terjepit di sana-sini sebelum akhirnya dapat menaiki bis. Ia kebagian duduk di dekat pintu masuk, tangannya berpegangan erat pada besi pegangan. Ketika bis mulai berjalan pelan, siluet hitam tertangkap mata Kirana. Paham situasi, ia refleks berdiri lalu mengulurkan tangan, membiarkan orang itu meraihnya dan hap! Berhasil masuk bis.

"Thanks," ucap pemuda itu.

Kirana mengangguk. "Nope." Dia duduk, dan mulai memakan permen cherry setelah menawarkan ke orang-orang di sampingnya.

Dia menatap jalanan lewat jendela yang terbuka, dan tepat di sana—semakin dekat, and there it is, gedung department bisnis kampus Kirana. Kelihatan hijau dengan rumput yang terpotong rapi. Selanjutnya, ada sebuah café yang beberapa lalu ia kunjungi dengan Jeviar. Kirana suka sama muffin dan croissant di sana, dari baunya saja udah bikin dia ngiler.

Di dalam tas, ponsel Kirana bergetar. Ada beberapa pesan masuk, tapi yang terbaru dari Jeviar.

Kak Je : masih di bihun?

Kak Je : gw tunggu di halte, ya

Fyi, bihun itu sebutan buat bis antar jemput mahasiswa kampus Kirana. Layaknya legenda, nama itu sudah ada dari angakatan sebelum-sebelumnya hingga alasan kenapa bis ini dinamakan bihun jadi samar bin miring. Kalau ditanya, pasti jawabannya mentok-mentok begini, "Emang begitu dari sananya." Tapi, nggak ada yang mengorek lebih lanjut. Sebab, yah, siapa yang mau pusing mikirin nama bis coba.

Kirana kemudian dengan cepat membalas.

Kirana : Iya, hehe

Kirana : makasih udah ditungguin ^□^

Balasannya datang secepat kilat.

Kak Je : makasihin gw kalau udah sampai di sini

Kak Je : ^♡^

Kak Je : Sorry, salah pencey

Kak Je : *pencet

Kak Je : ^□^

Kirana cuma ketawa dalam hati. Nggak membalas lebih lanjut soalnya pusing kalau nunduk lihat ponsel di dalam bis. Ia mendongak, kembali menatap sekeliling dan kemudian matanya bersirobok dengan orang yang juga kebagian di samping pintu. Orang yang tadi Kirana bantuin naik. Dia mengangguk sopan, terus lanjut menatap keluar jendela.

By the way, Kirana sudah tahu dari dulu kalau Jeviar, Jeno, dan Ree itu satu kos. Tapi, melihat ketiganya tinggal bersama secara langsung adalah sebuah kemungkinan yang paling nggak mungkin, tapi betulan terjadi. Dilihat gimana ributnya mereka dulu, adalah sebuah keajaiban bahwa rumah kos itu masih berdiri dengan kokoh.

Awalnya, Kirana emang nggak habis pikir. Tapi, lama-lama kalau dilihat dengan seksama, mereka ini malah menciptakan sebentuk keselarasan yang aneh.

Ree anaknya itu tertata dan rapi, bakal ribut dan cranky banget kalau kos berantakan sedikit saja. Jeno yang sering kena semprot Ree bahkan menjuluki pemuda itu sebagai nyonya kos. Sementara Jeviar, entah sejak kapan cowok itu suka berkreasi di dapur lewat bantuan mbah yutub, turned out, hasil masakannya sangat layak buat dimakan.

Terus Jeno, cowok itu menghidupkan suasana kos dengan memboyong dua anabul—bukan anak bule, ya, tapi anak bulu alias kucing. Yang oren namanya Ganteng, yang putih namanya Cantik. Gara-gara dua makhluk ini, kosan nggak pernah sepi kecuali penghuninya lagi balik kampung.

Dan sebetulnya, kosan Jeviar bukanlah kosan. Itu adalah rumah milik kenalan Jeffrey yang pada masa itu, kebetulan lagi kosong. Bangunan rumah itu terdiri dari dua lantai. Ada empat kamar tidur di lantai atas dengan kamar mandi di dalam. Di lantai bawah, terbagi menjadi ruang tengah, dapur yang jadi satu dengan ruang makan, dan satu ruangan yang difungsikan menjadi gudang. Garasi di depan rumah bisa menampung satu mobil dan tiga motor—empat bisa, tapi mesti dempetan kayak ikan dendeng. Yah, karena tempatnya strategis dan kelihatan comfortable, pihak ortu dan anak sepakat buat kos di sana.

Belakangan ini, Kirana juga sering main ke sana. Kalau ada jeda kelas panjang, dia bakal melipir ke kosan Jeviar sebab jaraknya yang dekat dari kampus. Kalau libur, Kirana bakal jadi freelance dadakan di sana. Kadang dia bantuin bersih-bersih saat tiga penghuni lain lagi hectic sama tugas akhir, kadang dia bakal nyabutin rumput di garasi ditemani si Ganteng—maksudnya anak bulunya Jeno, ya. Tapi, seringnya, sih, Kirana jadi pengasuh dua majikan kos. Si Cantik dan si Ganteng.

Sampai-sampai Ree sempat khawatir sebab dulu banget, Kirana pernah sesak napas karena main sama kucing. Takutnya itu anak tepar lagi, kan. Tapi, Jeno dengan cepat menyangkal. Dua majikannya itu adalah kucing fashionista yang kalau diibaratkan dengan manusia, mungkin sudah sekelas sama Syahrini. Jadi nggak mungkin mereka bawa penyakit.

Di halte pemberhentian, yang turun cuma beberapa orang. Termasuk Kirana. Ia langsung melihat Jeviar lagi duduk di halte dengan wajah tenang, cowok itu lalu mendongak dan tersenyum saat menatapnya. Kirana bergegas menghampiri.

"Kak!"

"Cie, ketemu gue."

Kirana ketawa. "Lama, ya?"

"Lama juga nggak apa-apa."

"Nggak usah ditungguin juga padahal, aku bisa naik bihun lagi."

Alis Jeviar berkerut. "Ki?! Jadi lo lebih suka naik bis daripada boncengan sama gue?"

"Hehehehe."

Muka Jeviar dibuat semasam mungkin. "Gue jadi supir bihun aja kali, ya."

"Heh!" Kirana menepuk lengan Jeviar. "Ayo jalan. Bang Ree kasian lagi demam."

Jeviar mengangguk. Lantas menuntun Kirana menuju motornya yang tak terganti. "Mampir dulu ke Indomart, ya?"

"Mau beli apa emang?" Kirana menerima helm yang dikasih Jeviar.

"Ayam sama sayur. Ntar gue mau bikinin Abang lo sop."

"Cie perhatian banget sama sohibnya." Kirana cekikikan.

Jeviar cuma memasang muka jumawa. "Mereka beruntung ada gue, kan. Apa jadinya hidup itu dua orang tanpa gue coba. Mungkin udah kayak Bang Vidi kali, ya? Jadi butiran debu. Meski kayaknya, mereka lebih cocok jadi butiran daki."

"Kak, ih! Masa daki." Kirana nggak bisa membayangkan kalau Ree mendengar kelakuan mulut Jeviar barusan.

"Kenyataan adalah kenyataan, Ki. You can't deny it just because you don't like it."

Kirana cengengesan dengar perkataan Jeviar yang makin-makin. "Nanti aku juga mau bikin. Minta resepnya, ya, Kak."

Jeviar menepuk kepala Kirana yang terbalut helm. "Buat lo, sekalian gue ajarin."

"Makasih, hehe."

Hari ini Kirana cuma ada satu kelas, jadi pulangnya cepat. Berhubung di rumah juga nggak ada siapa-siapa, Om Key lagi sibuk-sibuknya, kan. Jadinya Kirana mampir ke kosan Jeviar, sekalian nengok Ree yang katanya kena demam sejak kemarin.

Dia bergerak naik ke belakang Jeviar, mencari posisi nyaman sebelum motor itu membawanya pergi. Tapi, semenit kemudian motornya nggak jalan-jalan. Kirana jelas heran.

"Kak? Kenapa nggak jalan-jalan?"

"Lo lupa? Keamanan adalah hal nomor satu bagi pengendara di jalan raya." Cowok itu malah bermukadimah.

"Iya. Terus?"

"Pegangan, dong? Ntar kalau gue nggak sengaja ngerem mendadak, terus lo terjungkal ke belakang, kan, nggak lucu, Ki?"

"Oh, iya." Terus Kirana menggenggam jaket jeans cowok itu.

Namun, tanpa aba-aba Jeviar malah menarik kedua tangannya bikin Kirana jantungan, kaget. Dia bisa merasakan hangat tangan cowok itu kala menyentuh kulitnya, berbanding terbalik dengan tangan Kirana yang dingin. Dan entah gimana, tangan Kirana sudah berakhir di saku jeans jaket Jeviar.

"Tangan lo dingin banget."

Hm, pikir aja kenapa bisa dingin.

"Udah, kan? Kita jalan, yaaaaa." Terus mulut Jeviar membentuk huruf 'u' selama lima menit ke depan setelah berseru "Yuhuuuu!"

Kirana nggak bisa buat nggak membatin kecil. Hm, satu kata buat hubungannya dan Jeviar?

Kirana cuma bisa jawab, hehe.

***

Septa nggak pernah menyangka, bahwa sepotong permen dari seseorang bisa berdampak sebegini serius terhadap dirinya.

Ia tak tahu apa yang terjadi, tapi semua ini berawal sejak masa ospek dua bulan lalu. Septa kebetulan menjadi kating pengawas buat maba di fakultasnya. Kala itu, ia sedang menjalankan tugas untuk mengarahkan para maba dan bagi orang yang nggak banyak omong seperti Septa, hal itu agak menguras energi sebab kalau Septa nggak ngomong, itu maba nggak ada yang bakal gerak.

Di jam istirahat, satu temannya yang sudah ia kenal saat mereka masih SMA menghampiri dirinya dan bertindak kurang ajar seperti biasa. Minuman Septa diembat sampai habis.

"Kantin fakultas lo tutup?"

Ode duduk bersandar dengan santai setelah menghabiskan minuman Septa. Ia menggeleng dengan mimik polos. "Buka. Kenapa?"

"Lo jauh-jauh ke sini cuma buat ngabisin minuman gue?" tanya Septa dengan muka sedatar tripleks.

"Iya. Kenapa?"

"Lain kali, beli sendiri."

"Iya, nanti gue yang minum tiap lo beli."

"Lo ngajak berantem?" Kening Septa berkerut dalam.

Ode cuma ketawa. Orang lain mungkin bakalan syok lihat Septa bicara sebanyak ini. Tapi, buat Ode, hal ini sudah biasa. Mereka sudah lama kenal, dan tentunya orang semacam Septa ini butuh waktu lama untuk bisa terbuka. Bukan karena sok misterius atau apa, tapi memang anaknya nggak bakal ngomong kalau nggak dipancing duluan. Jangan ditanya segigih apa Ode dulu ngajak ngomong ini anak sampai mulutnya berbusa, dan mesti sabar dan tabah saat hanya ditanggapi dengan satu, "Hm," oleh temannya ini.

"Woles, Brodi. Gue ke sini cuma mau menyampaikan mandat anak-anak baru, buat bilang kalau lo ganteng."

"Terus?"

Ode mengeluarkan pulpen dan kertas HVS dari tasnya. "Sini tanda tangan lo, kalau gue jual pasti gue untung banyak."

"Gila."

Ode ketawa lagi. "Oh, ya, kata adek gue, ada temennya yang jadi maba di kelompok lo. Baru balik dari Kanada, katanya."

"Terus?"

"Ada kejadian waktu temen adek gue ini baru kelas sepuluh, she had an accident. Dan lama banget dirawat di Singapore, sebelum akhirnya pindah ke Kanada buat pemulihan. Lo ingat nggak waktu si Fani nangis gara-gara pisah sama temen sekelasnya?" tanya Ode sambil mengingat adiknya yang biasanya nggak punya akhlak bisa juga nangisin orang kayak waktu itu.

Septa cuma merenung. Mana mungkin dia nggak ingat waktu adik temannya ini meninggalkan bekas cakaran sepanjang tiga senti di pipinya waktu dilarang ke rumah sakit buat menjenguk temannya. Hm, jangan tanya kenapa Septa ikut terlibat di sana.

Melihat Septa yang diam, tapi tetap menyimak, Ode melanjutkan. "Nah, temannya itu balik lagi dan ngambil prodi di fakultas lo. Dan lo tahu, apa yang lebih spekta soal temen adek gue ini?"

Septa cuma melirik, seolah berkata, "Apa?"

"Ternyata, itu cewek sohibnya Dek Kiza!"

Muka Septa berubah masam. Kadang, orang jatuh cinta itu nggak beda jauh dari menjadi lebih bego dari yang seharusnya. Ode cuma memasang ekspresi bahagia yang kentara.

"Terus?"

"Ternyata ada hikmahnya juga gue temenan sama lo!"

Alis Septa berkerut. "Apa?"

"Kemarin Dek Kiza nge-chat gue," ada jeda pendek sebelum Ode berkata dengan letup bahagia yang ditahan, "DIA, DEK KIZA, YANG SUKA NGE-READ CHAT GUE DOANG, NGE-CHAT GUE DULUAN, SOB! Yah, meski cuma buat nitip salam ke lo, sih. Katanya, dia minta tolong ke lo buat lihat-lihatin temennya dia yang ternyata juga temen adek gue, seandainya itu anak udah kelihatan capek atau apa, bisa lo giring ke tenda maba buat istirahat."

Septa nggak yakin, tapi emang bisa, ya, manusia jadi sebego ini? "Terus?"

Ode berdecak. "Kalau lo denger gue ngomong apa tadi, maka itulah yang mesti lo lakukan."

Septa mengangguk. "Yang mana?"

"Apanya?"

"Temennya temen lo."

Ada "oh" panjang yang membentang dari mulut Ode sebelum berkata, "Nanti, kalau anaknya kelihatan gue tunjukkin." Ode kemudian menatap Septa penuh penghargaan, akhirnya temannya ini menemukan nuraninya yang udah lama hilang. "Tumben lo baik gini? Biasanya juga kayak Tuan Crab ogah rugi?"

Septa cuma melirik Ode malas. "Buat jaga-jaga aja."

"Jaga-jaga gimana?"

"Siapa tahu, gue perlu ngehubungin ambulans besok."

Ode bengong sejenak sebelum mendesis kesal, "Si kampret."

Di hari selanjutnya, pas ada sosialisasi dari beberapa narasumber yang diundang, Ode menunjuk seseorang di barisan kelompok Septa. Mengatakan bahwa cewek yang rambutnya dikepang satu itu adalah orang yang dimaksud.

"Itu, tuh, orangnya." Ode berkata. "Tolong kalau anaknya udah kayak agak capek, lo suruh ke tenda aja."

Dahi Septa mengernyit. "Ngapain?"

Melihat tampang Septa yang tak beriak saat bertanya kayak gitu, Ode pengen banget buat menggeplak kepala ini orang. "Kalau lo punya kuping dan otak, gue rasa lo mestinya masih bisa ingat apa yang kemarin gue bilang."

"Oh."

"Dah, ye. Gue mau ke Jey dulu."

Septa nggak membalas. Membiarkan Ode pergi yang langsung membuat pikirannya agak tentram. Sepanjang sosialisasi itu, ia sesekali melirik temannya temen Ode itu, saat dirasa semuanya baik, Septa duduk di salah satu kursi lalu menghela napas. Memikirkan kapan kali terakhir dia tidur siang, dia nggak bisa buat nggak berdecak. Memang bukan dirinya yang OSPEK, tapi rasanya nggak kalah capek.

Saat acara itu selesai, Septa mencuri-curi waktu tidur di sekitar kantin. Niatnya mau nunggu briefing buat acara besok. Tapi, siapa yang tahu kalau Septa tidurnya bakal kebablasan.

Ada sesuatu yang basah dan dingin yang Septa rasa mengganggu. Itu mengenai wajahnya seperti terkena tempias hujan. Saat kesadarannya kembali secara perlahan, sosok seorang gadis memenuhi pandangannya dengan seorang lagi yang Septa tahu ialah Ibu kantin.

"Ya, ampun, Kak. Akhirnya bangun. Maaf banget kita bangunin kayak gini soalnya—hng, takutnya Kakak keterusan tidur di sini sampai malam kalau nggak dibangunin."

Septa mencerna situasi. Hari sudah mulai malam, yang mana artinya dia ketinggalan briefing dan malah ketiduran di sini. Dia menghelas napas, kemudian memaksakan sebuah senyum. "Nggak apa-apa."

"Oalah, Den. Tak kira kamu pingsan, dibangunin nggak sadar-sadar. Panik Ibuk, tuh." Ibu kantin berkata sambil ngelus dada.

"Tadinya kalau Kakak nggak bangun, Ibunya mau manggil ambulans saking paniknya."

" ... "

Entah kenapa Septa merasa de javu.

"Hng, Kakak nggak apa-apa, kan?" tanya gadis itu lagi.

Septa mengangguk. Dia bergumam makasih kepada dua orang itu. Sebelum kembali mengumpulkan nyawa dan memeriksa ponselnya. Betul saja, banyak panggilan dan pesan tak terjawab. Dan tiba-tiba, sesuatu disodorkan ke arahnya.

"Ini tisu buat bersihin muka Kakak. Maaf, ya, baju Kakak jadi agak basah."

Septa menerima dengan sahutan makasih lagi. Kemudian, dia terpikirkan sesuatu. Dari atribut dan juga kepangan rambutnya, Septa tahu anak ini siapa. "Lo kenapa belum balik? Bukannya maba udah dipulangkan semua?"

"Iya. Tadi saya balik lagi soalnya tumbler punya saya ketinggalan. Tapi udah ketemu, kok."

Septa mengangguk.

Terus, cewek itu membuka tasnya dan mengeluarkan kantong sedang. Awalnya, cewek itu agak rikuh mencari hingga pada akhirnya memutuskan buat menjatuhkan isinya di atas meja. Septa mengerjap. Dia melirik cewek yang lagi mencari sesuatu di antara tumpukan permen, cokelat, dan jelly. Hingga kemudian dia menatap Septa lagi dan mengulurkan tangannya.

"Ini permen kopi, biar ngantuknya Kakak hilang."

Tangan Septa secara otomatis menerima.

Cewek itu buru-buru membereskan makanannya setelah menawari Septa jenis permen yang lain. Yang tentu dibalas gelengan oleh Septa. Ia kemudian beranjak pergi dengan terburu, bilang kalau sudah dijemput seseorang.

"Eh—tunggu bentar."

Cewek itu yang sudah setengah jalan kembali menoleh. "Iya?"

Septa mengerjap. Sejenak bingung kenapa dia menghentikan anak itu. Hingga saat sosok lain menatapnya penuh tanya, Septa kelabakan dan untuk pertama kalinya, ia merasakan otaknya tak mampu bekerja.

"Itu—oh, iya nama lo siapa?"

"Kirana, Kak."

"Oke, Kirana. Thanks buat permennya."

Septa nggak tahu mukanya sudah sekaku apa saat berkata begitu. Tapi, saat mendapati cewek bernama Kirana itu tersenyum sambil melambaikan tangan kecil, dia tahu ada yang nggak beres dengan degub jantung miliknya.

Dari situ, Septa mulai merasa ada yang nggak biasa setiap kali dia menemukan sosok gadis itu sekali pun di tengah keramaian, diikuti dengan detak di dadanya yang bertalu kencang. Septa jelas tak nyaman dengan itu semua, tapi nggak menampik bahwa sebetulnya perasaan yang muncul tiap ia bertukar pandang dengan anak itu cukup menyenangkan.

"Heh, lo mau ke mana?!"

Tanya barusan datang dari Ode. Cowok itu mengernyit melihat Septa berjalan jauh menuju jalan raya, bukannya ke area parkir. Septa cuma menoleh, lalu melemparkan kunci motornya ke Ode, terus lanjut jalan.

Ode yang tadi sengaja datang buat minta tebengan pulang begitu tahu kelas mereka ada di jam yang sama mengernyit. Tapi, tetap menangkap kunci motor Septa lalu mengejar temannya itu. "Heh, lo mau ke mana?"

"Pulang."

"Ya, tapi ini motor lu—"

"Nitip."

"Terus lo mau pulang pake apa, ege?!"

"Bihun."

Ode menatap Septa sejenak. "Sehat lo?"

"Hm."

"Terus lo ngapain naik bis kalau bawa motor anjir?!"

"Lagi pengen." Septa menanggapi seadanya.

Ode menatap punggung Septa yang kian jauh dengan pandangan rumit. Dia pikir sudah memahami temannya itu dengan baik, tapi kalau gini, kayaknya emang Septa yang aneh dari sananya, dah. "Oalah, gemblung," katanya capek lalu berbalik pergi menuju motor Septa.

Septa nggak terlalu peduli kalau Ode menganggapnya sinting habis ini, sebab matanya telah secara otomatis melihat seorang gadis terhimpit-himpit mau naik ke bis di depan halte. Dan begitu saja, ia bergerak maju mengejar bis yang mulai melaju.

Sejenak dua melupakan ejekannya pada Ode selama ini, dan jadi lebih bodoh dari dirinya yang biasa sebab kayaknya, Septa lagi jatuh cinta.

to be continued.

yak, tentukan pilihanmu.

01/07/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top