6

Selamat membaca


SETELAH SATU jam berdebat dengan Dela, aku kembali dipaksa menghadapi hal menyebalkan lainnya. Arka memintaku satu tim bersama si arsitek baru. Alasannya; arsitek baru ini berpengalaman merancang beberapa resort di berbagai kota tujuan wisata, sementara aku beberapa kali mendesain lobi dan furnitur kamar untuk hotel. Intinya proyek besar ini ranah yang biasa kami mainkan.

"Proyek gede begini nggak datang setiap saat, Ra," kata Arka, memecahkan momen hening yang terbentuk usai dia memintaku bekerja sama dengan si arsitek baru. "Jadi gue sangat berharap lo dan Adnan bisa solid dan kasih yang terbaik buat klien."

Arka melirikku saat kata solid dikeluarkan. Seakan-akan, si orang baru tidak memiliki potensi membuat masalah, cuma aku. Keinginan untuk membalas Arka menggebu, tetapi energiku tersisa sedikit sekali padahal hari masih sangat panjang. Jadi aku memilih bungkam untuk menghemat tenaga, sambil memutar ulang keseluruhan ucapan Arka tanpa kata solid. Proyek besar begini memang langka buat Helio. Biasanya klien yang datang ke Helio memberikan proyek rumah tinggal perorangan, kantor, kafe, restoran, belum ada yang menyerahkan lahan besar kosong untuk didesain dan dibangun dengan tujuan komersil seperti ini. Bahkan, proyek hotel yang kupegang, mereka cuma meminta kerja sama di interior saja.

Sialan.

Meski sudah memikirkan fakta proyek ini penting dan wajib berjalan lancar, aku tetap sebal pada Arka. Dia menuduhkanku biang onar di depan orang asing. Bagaimana kalau orang ini meremehkanku? Belum lagi cara Arka berulang kali melirikku, padahal omongannya sudah memanjang ke mana-mana. Terang-terangan menunggu aku berjanji tidak akan membuat masalah.

Mengalah saja, Nora!

Saat Arka kembali melirikku, aku memaksakan diri tersenyum lebar tanpa gigi. Menyetujui perjanjian tak tertulis, bahwa aku akan bersikap sangat manis selama proyek berjalan. Dan ya, satu sudut bibir Arka tertarik ke atas lalu mengangguk kecil.

"Setelah ini lo sama Adnan rembukan mau Jumat atau Sabtu ke Bandung ketemu Om Djoko," kata Arka. "Lo tahu lokasi rumah Om Djoko, beliau juga dekat sama lo. Karena arsiteknya bukan gue atau Dela, kehadiran lo bisa bantu Om Djoko nyaman mengutarakan pandangan beliau lebih rinci ke Adnan. Selain itu, lokasi tanah di sana berkontur. Ya, itung-itung kalian kalian survey juga di sana. Biar lebih aman. Oke, Ra?"

Dengan bibir terbuka, aku melirik si arsitek baru yang duduk di seberangku. Ekspresinya tidak terbaca, tetapi saat mata kami bertemu—senyum sialannya terlepas. Dan aku mendadak tidak tahu mau bereaksi seperti apa, aku tidak bisa membayangkan yang duduk bersamaku di mobil dan menemaniku mengurus proyek bukan Dela.

Aku terlambat menyadari dua lelaki itu memusatkan tatapan mereka kepadaku, sementara aku belum menemukan respon tepat untuk situasi ini.

"Gue punya opsi buat nolak?" tanyaku.

Arka langsung menggeleng.

"Kalau gitu jangan pakai kalimat seolah lo minta pendapat gue, to the point aja. Kalimat perintah."

Sudahlah, Nora, lihat dari sisi positifnya saja. Aku belum mencari tempat tinggal baru, dan tidak berniat kembali ke tempat Bastian. Jadi tidur di hotel selama beberapa hari, luar kota pula, bukan ide buruk. Hitung-hitung refreshing.

Setelahnya, Arka mengakhiri meeting dan keluar dari ruangan.

Aku pikir orang baru ini bakal menyusul pergi, tetapi dia bertahan di tempat duduknya seperti aku. Dan sialannya, pikiranku mendadak semakin kosong saja. Denyut nadiku langsung melaju kencang dan lututku terlalu lemas untuk berdiri. Rasa khawatir berdesakan dengan rasa tidak nyaman, keduanya berlomba menguasaiku. Ini kali pertama aku bekerja tanpa Dela ataupun Arka. Selama membangun karir di sini, selalu ada salah satu dari mereka di sampingku. Walau ada enam arsitek lain di firma ini, aku cuma bekerja bersama mereka. Berganti-gantian. Tim interiorku pun sangat jarang berubah. Kalaupun ada yang baru, aku tidak sudi melepaskan yang lama. Aku tidak suka mengulang fase menyesuaikan diri. Tidak nyaman bila bekerja tetapi otakku dipenuhi pertanyaan; Berapa persen kemungkinan orang ini bakal mengkhianati gue? Apa dia bakal menambah omongan jelek tentang gue? Tanpa sadar, aku sudah menggigit ujung ibu jari kiriku, sementara tangan kananku sibuk menabrakkan ujung pensil ke pinggiran buku sketsa.

"Benar, kan, kita satu tim."

Kalimat itu seperti jaring yang berhasil menangkap dan menarikku keluar dari ruang tanpa gravitasi. Aku mengerjap, lalu menemukan si pemilik suara sedang memamerkan senyum lebar dan mata berseri-seri.

"So, mau berangkat besok atau Sabtu?" tanyanya.

"Lo tahu tentang proyek ini dari jauh-jauh hari. Alias, Arka udah minta lo megang sebelum kalian membicarakan ini sama gue. Betul?" Aku memang sudah mengiyakan permintaan secara tak langsung Arka tentang bersikap baik, tetapi sikap permusuhan menyelinap keluar begitu saja.

Dan orang ini juga menerima tiket permusuhan yang kusodorkan secara sukarela. Dia mencondongkan badan dan bertopang dagu. Seolah membiarkan aku menyerang lebih dulu, sementara dia mengumpulkan peluru untuk membalasku.

"Lo juga udah tahu klien maunya gue yang megang interior," lanjutku semakin menuntut. "Jadi karena dua hal itu lo bersikap sok manis setiap kali ketemu gue. Supaya gue nggak protes ke Arka dan proyek ini tetap jadi milik lo." Aku mengangguk kecil. Ternyata dia memang sama seperti yang lain, coba mendekatiku karena tahu di saat-saat tertentu suaraku pasti didengar Arka. "Wajar lo ngebet, proyek gede begini komisinya memang menggiurkan."

Dia tertawa, dan tidak ada tanda-tanda ketersinggungan di sana. "Munafik kalau gue bilang nggak tertarik sama komisinya. Udah kebayang komisinya se-oke apa. Tapi yang buat gue ngajuin diri megang proyek ini, selain karena pengalaman, ya lo ...."

Satu alisku melesat naik, dan dia tersenyum lebar. Jadi Arka tidak menunjuk orang ini, tetapi dia sendiri yang mengajukan diri ke Arka. Wah. Bertahun-tahun bekerja di sini, aku belum pernah melihat ada yang berani mengajukan diri satu tim bersamaku. Selalu Dela atau Arka yang datang membawa proyek ke ruanganku, sementara sisa arsitek yang ada keluar-masuk ruangan tiga ketua tim interior lainnya.

"Gue nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas kerja bareng desainer interior andalan Helio."

Aku terkejut sampai terdiam selama beberapa detik, kemudian menggeleng kecil. Aku banyak memegang klien, tetapi bukan karena andalan kantor ini. Biasanya yang datang ke sini dan mencariku adalah orang-orang yang tahu aku anak dr. Fredy Alexander, Sp. S.

Contohnya Om Djoko. Beliau pengusaha kaya raya yang kebetulan diselamatkan hidupnya sama Papa. Walau Papa sering meremehkan profesi yang kupilih, beliau tetap tidak mau melewatkan momen memamerkan aku di depan orang-orang.

"Gue nggak punya kewenangan naikin gaji atau jabatan di sini, percuma menjilat gue," tegasku. "Oh ya, selamat lo jadi orang bego pertama yang sukarela masuk ke neraka. For your information, gue bukan andalan Helio. Gue, Voldemort-nya Helio. Gue nggak segan nyiksa orang yang memperlambat pekerjaan gue."

Dia tertawa lebih keras dari sebelumnya, lalu dengan gerakan santai dia berdiri sambil memasukkan satu tangan ke saku jins. "Gue juga nggak suka kerja lambat. Satu kecocokan di antara kita. Ceklist. So, Jumat atau Sabtu?"

"Jumat. Jam enam pagi. Ketemu di sini. Jangan telat. Satu detik aja nggak boleh. Mobil—" Aku mengernyit. Biasanya setiap kunjungan proyek, selalu memakai mobilku. Namun, mobilku—

"Bawa mobil gue aja," ucapnya.

"Seharusnya begitu, kan, lo yang nyetir. Oh ya, lo juga yang turun ke lantai 1, ketemu Rima buat atur penginapan di sana."

"Siap," sahutnya, seakan tidak memedulikan nada memerintah yang biasanya mampu membuat banyak orang kesal.

Kemudian, dia menyingkir dari pandanganku.

Aku mengembuskan napas lambat-lambat. Lega bukan main akhirnya aku bisa sendirian untuk beberapa saat.

"Nora."

Astaga, apa susahnya sih melewati pintu ruangan ini?! Kenapa orang ini tidak mengerti juga bahwa mencari muka depanku tidak ada untungnya?!

Meski enggan, aku menoleh ke arahnya. Dia berdiri di belakang kursi yang tadinya diduduki Arka, di ujung meja panjang ini. Bibirnya berkedut sedikit. Saat menyaksikan dia tidak tersenyum untuk kali pertama, aku meyakinkan diri sendiri bahwa gejolak diperutku bukan kekecewaan.

"Congrats desain furniture lo menang GDI of the year."

Aku berupaya menahan rahangku tetap rapat, tetapi gagal.

Tidak ada yang tahu aku mengikuti lomba kecuali Dela, Arka, dan Om Bayu—pemegang lisensi firma ini. Apa itu artinya dia mencari tahu tentangku?

|
|

*GDI atau Good Desain Award : ajang penganugerahan berskala nasional yang diberikan kepada karya-karya desain terbaik di Indonesia.

————————

Terima kasih sudah membaca 💜
Jujur, walau nggak sebanyak The Tease atau The Tisk yang baca, tapi aku benar2 hepi masih ada yang mau meluangkan waktu membaca ini. Apalagi, kalau aku baca komen2 kalian. Ehehehe

Love, Fla.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top