4

Selamat membaca

*

*

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, Gaes.

*

*

SEJAM kemudian aku sudah di lobi kondominium menunggu Bastian menjemput. Aku lupa mengeluarkan kartu akses dari dompet serta memisahkan kunci unit dari kunci mobil. Untungnya Bastian belum tidur, atau sudah tidur tetapi terbangun karena teleponku. Dia tidak pernah mengaktifkan mode sunyi kalau di rumah, dan sangat mudah dibangunkan oleh suara sekecil apa pun.

Untungnya lagi, satpam dan petugas resepsionis hafal wajahku. Kalau tidak ... dengan penampilanku seperti ini, rasanya masuk ke lobi pun aku tidak bakal diizinkan.

Sambil menunduk dan melengkungkan ujung jemari kakiku—menahan dingin yang menggerogoti badanku, sekaligus menghidari tatapan dari siapa pun, aku memeluk diri sendiri dan memaju-mundurkan badan dengan pelan. Kemudian, aku menghitung satu sampai sepuluh, menyanyikan lagu Adelle-All I Ask dalam hati, mengingat cerita Via tentang anak kecil penggerutu yang katanya mirip denganku, omelan Rissa setiap melihat aku merokok, keluhan Dela tentang kebiasaanku memutar mata saat kesal, apa saja yang melitas—kupikirkan.

Apa pun, asal bukan alkohol.

Sialan, aku juga lupa bawa obat tidur.

Kenapa sih, Ra, kenapa lo selalu nggak becus begini?!

"Nora?"

Aku mendongak, menatap si pemilik suara yang terlihat kaget setengah mati. Tanpa memedulikan di lobi ada beberapa pasang mata sedang mengawasi, Bastian melepaskan kaus abu polos dari badannya, lalu memakaikan benda itu kepadaku. Ada kekesalan tersirat dari cara dia mengalungkan kaus dan mengangangkat tanganku bergantian secara paksa, seperti saat Mama sebal aku tidak mau memakai baju pilihan beliau.

"Pamer six pack di tivi dan Instagram nggak cukup? Perlu juga di real life begini?"

Bastian tersenyum kecil, dengan tatapan suram yang membuatku semakin ingin mencari minuman beralkohol. Supaya malam ini berlalu cepat tanpa teriakan Papa yang berputar di otakku seperti kaset rusak, tangisan palsu si perempuan sialan, rumah masa kecil, kepergian Mama ....

"Bas ...."

"Ya?"

"Nggak kedinginan?"

"Dingin. Makanya, sekarang lo berdiri, terus kita ke atas," sahutnya, sambil membimbingku berdiri lalu memakaikan sandal yang tadinya dia pakai.

Dia menggandengku menuju lift tanpa mencari tahu kenapa aku kembali ke tempat ini dan berantakan. Sangat berantakan. Tanpa alas kaki, bagian atasku cukup terbuka untuk pergi tengah malam, banyak rambut yang terlepas dari ikatan.

"Bas," panggilku saat kami sudah di dalam lift.

"Hm?"

"Thank you."

Dia memelukku erat-erat dari samping dalam diam. Seolah tahu, bertanya pun akan buang-buang waktu saja. Aku pasti memilih cerita lain keluar dari mulutku dan menyimpan rapat-rapat cerita gelap sesungguhnya. Cerita menyakitkan yang tidak diketahui siapa pun termasuk tiga sahabatku, cerita yang tidak ingin kubagi kepada siapa pun.

Begitu sampai di unit, Bastian buru-buru memaksaku duduk di sofa ruang depan. Dia tidak masuk ke kamar untuk mengambil baju bersih dan memberi kehangatan yang layak ke badannya, dia menuju service area yang biasa dimasuki petugas bersih-bersih mingguan. Tidak sampai lima menit, dia keluar dan menenteng satu ember hitam ukuran kecil.

Bastian sempat berhenti sebentar dan berkata, "Jangan coba-coba berdiri, atau gue ikat." Dia menggunakan nada jenaka, tetapi matanya menyirat keseriusan yang enggan kubantah.

Kemudian, dia berlari kecil menuju kamar mandi. Kira-kira lima atau sepuluh menit, dia muncul lagi sambil membawa ember tadi secara hati-hati dan menyampirkan handuk kecil di bahu.

Sebelum aku sempat mengomentari kesibukan dia, atau menolak lanjutan dari aksi barusan, Bastian lebih dulu berjongkok dan menaruh ember hitam itu di dekat kakiku.

"Jangan nolak," pinta Bastian, seraya memasang ekspresi bagai anak kecil sedang memohon dibelikan mainan favorit. Persis seperti kali pertama kami berciuman. Bedanya hari itu Bastian bilang; jangan marah.

Aku menurut dan membiarkan dia melakukan yang diinginkan.

Dengan sangat hati-hati, dia merendam kedua kakiku di ember berisi air hangat. Mengusap lembut punggung dan telapak kakikku, lalu bergumam, "Ra, Ra, bisa-bisanya pergi nggak pakai sandal. Ada luka, nih. Perih nggak?"

Kalau dia tidak bilang, mungkin aku perlu waktu lebih lama untuk sadar bahwa kedua telapak kakiku lecet.

"Ra?"

Aku menggeleng, dan Bastian menghela napas. Dia lanjut membersihkan kakiku, sementara aku mulai sibuk berperang dengan diri sendiri; sebagian dari aku mau menghentikan Bastian—merasa terganggu dengan satu lagi sinyal yang dia kirim untuk mengubah status dari teman tidur jadi lebih serius, sebagian lagi memintaku bertahan—ingin merasakan lebih lama kasih sayang dari Bastian.

Aku menunduk dalam-dalam, sementara telapak tanganku mulai berkeringat.

Tiba-tiba saja aku ketakutan pada kemungkinan Bastian memintaku memilih; menamai atau mengakhiri hubungan kami. Aku tidak bisa membayangkan Bastian jadi pasanganku, tetapi aku juga tidak berani membayangkan hari-hari tanpa dia.

Aku tidak mau dia berperan jadi pacarku, tetapi aku butuh dia buat melupakan sebentar hidupku yang semakin memuakkan dari hari ke hari. Kegiatan ranjang kami membantu otakku yang selalu berisik, hening sejenak. Ciuman, sentuhan, semua aktivitas Bastian saat di ranjang mengusir sebentar rasa hampa dan kesendirian yang menyiksaku.

Sial!

Dengan sedikit gemetar, aku mencondongkan badan dan merengkuh wajah Bastian. Dia sempat melebarkan mata, mungkin juga sudah siap menahan dengan alasan; waktunya nggak oke, Ra. Namun, begitu jemariku menyelinap ke belakang leher dan mendorong maju kepalanya, Bastian tidak mengelak. Dia mengizinkan bibirku menyapa bibirnya, lalu dia memperdalam ciuman kami.

Sekali lagi, aku mematikan rasa peduli pada rasa-rasa yang ada di hati Bastian.

Satu malam lagi berlalu tanpa ingatan tentang aku yang diam-diam memelihara banyak hal menyakitkan.

Satu hari lagi aku memilih kabur, daripada menghadapi atau mencari solusi dari masalah dalam diriku. Meminta hal-hal menyakitkan itu melepaskanku sejenak di malam hari, lalu di pagi hari aku menyerahkan diri lagi.

Sesadar apa pun aku bahwa ini salah, aku selalu merasa aku tidak punya pilihan.

Dan membiarkan lingkaran setan terulang terus, terus, terus ....


****

JAM ENAM PAGI aku memutuskan berangkat ke kantor, tidak menunggu Bastian bangun atau berpamitan dengan layak setelah kegiatan gila-gilaan kami sepanjang malam, tidak juga memberi pesan singkat seperti; aku pergi kerja. Maaf nggak pamitan secara benar karena aku lihat kamu capek. Terima kasih sudah mengizinkan menginap semalam. Atau, sesuatu yang biasanya dilakukan pasangan.

Bahkan, cara aku keluar dari unit Bastian seperti perempuan habis melakukan kegiatan cinta satu malam dengan lelaki random. Tidak memedulikan keletihan, mengendap-endap. Seolah, takut tertangkap basah oleh si lelaki dan menghadapi kecanggungan setelah saling memuaskan.

Aku. Selalu. Begini.

Selama bersiap pergi, aku mati-matian memelankan sekaligus mempersempit alur kegiatanku. Kalau biasanya aku berlama-lama berdiri di depan lemari untuk berpakaian, hari ini aku mengambil asal yang penting layak. Aku juga memutuskan berdandan di kantor.

Walau setelahnya, aku mentertawakan diri sendiri. Karena sepelan apa pun gerakanku, ujung-ujungnya Bastian bangun juga. Hanya saja dia memilih berpura-pura tidur, dan membiarkan aku melanjutkan tingkah; fun's over, it's time to get back to reality.

Bastian: Kalau pulang kantor mau dijemput, kabarin. Gue free hari ini.

Aku baru saja keluar unit, dan pesan darinya masuk.

Dia. Selalu. Begitu.

Terkadang aku berharap dia memperlakukanku seperti dia memperlakukan perempuan-perempuan lain yang pernah berbagi ranjang dengannya. Bersenang-senang semalaman, lalu bersikap tak acuh di lain hari. Mungkin, rasanya akan jauh lebih ringan bila kami memiliki pandangan yang sama. Saling menganggap kebersamaan kami adalah tempat istirahat sebelum kembali menjalani hidup yang brutal.

Bastian : Udah dapat taksi online? Mau diantar aja? Gue nggak bisa tidur lagi.

Pesan kedua masuk, dan taksi online yang kupesan sudah terlihat.

Aku mengirimkan foto mobil yang menjemputku sebagai jawaban, lalu mengabaikan beberapa pesan lanjutan dari Bastian. Selain aku malas menjawab pesan-pesan yang semakin mengisyaratkan; hei, gue bisa jadi pacar yang baik loh. Aku tidak suka melihat gadget di perjalanan. Menambah kepusinganku. Lebih baik mengamati kondisi jalan yang tidak beda jauh dengan keadaan otakku. Banyak yang berdesakan dan belomba untuk menguasai ruang kosong yang tersisa. Mobil berhenti di lampu merah pertama, dan satu motor berhenti di sebelahku. Aku ingin segera membuang muka, tetapi pemandangan di luar sana menahanku. Seorang anak beseragam SD memeluk mesra pinggang sang bapak, sementara di belakang sang ibu memegangi satu bahu si Bapak. Dari dalam sini aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi cara Bapak dan anak itu tertawa bersama ....

Spontan, aku melipat kedua tangan di depan perut dan menekan bagian itu. Aku berusaha menghalau gulungan kesedihan yang tiba-tiba menghantam, tetapi terlambat rasa itu menyebar cepat ke sekujur tubuhku lalu berubah jadi kemarahan. Beruntung lampu merah sudah berakhir dan mobil kembali melaju.

Selama sisi perjalanan aku menggambar sebuah rumah lantai dua berkonsep Light Modern di otakku. Aku memakai satu warna saja di rumah itu, putih, supaya mudah menciptakan ruangan yang menyenangkan dan timeless. Aku juga menggambar berbagai furniture dengan warna kayu agar suasana hangat terasa di setiap ruangan.

Bagus.

Turun dari mobil ini, aku harus langsung ke ruangan dan menggambar semuanya di komputer.

Aku sampai di kantor jam tujuh kurang lima. Keadaan bangunan itu masih sepi dan gelap. Tiga petugas kebersihan baru datang jam delapan nanti. Wajar, dua satpam yang berjaga malam terkaget-kaget melihat aku yang biasa datang lima menit sebelum jam sembilan muncul di depan mereka.

Mereka tidak berani bertanya, aku merasa tidak punya keharusaan menjelaskan kenapa aku datang sangat pagi.

Aku menaiki tangga dengan tergesa, tetapi alih-alih menuju ruanganku di lantai tiga—area para desainer interior dan landscape berkumpul. Aku justru menyusuri area lantai dua. Tempat staf arsitek dan perencana sipil bekerja.

Entah bagaimana, seluruh rencanaku untuk mengurung diri di ruangan dan bekerja hilang.

Meski aku tahu tidak akan menemukan Dela di ruangannya, aku tetap berjalan menuju ruangan kosong di ujung sana. Tinggal beberapa langkah lagi, aku dipaksa berhenti dengan kemunculan orang di sisi kananku dari lorong kamar mandi dan nyaris menabrakku.

Semua makian yang sudah aku siapkan tertelan saat orang itu mendongak dan memberikan tontonan menarik. Tidak ada ekpresi terkejut sama sekali dari dia, apalagi takut walaupun aku sudah memelototinya. Dengan menggunakan ujung handuk yang terkalung, dia mengeringkan rambut basah di bagian belakang. Padahal, lebih banyak air menetes dari ujung rambut bagian depan. Belum lagi ketelanjangan bagian atas badannya. Seharusnya dia tidak menaruh handuk di leher, tetapi melilitkan benda sialan itu di perut rata dengan—setop, Nora!

Wah.

Nora, fokus ke mata! Jangan coba-coba lihat ke arah lain—fuck!

Tebakkanku tentang dia rajin berolahraga 100% benar. Tidak sekeras dan sejadi milik Bastian, tetapi dia memiliki garis-garis otot yang—aku buru-buru menunduk sebelum memandanginya dengan cara yang lebih konyol.

Namun, dia ... dari sapaannya yang riang sepertinya menikmati kebisuaanku kali ini.

Menyebalkan!

"Pagi, Nora."

"Sejak kapan kantor ini berubah jadi penampungan?" Aku menguatkan diri untuk memandangannya lurus-lurus, dan bibir yang penuh serta menggiurkan itu menyunggingkan senyum sangat lebar sampai lesung pipinya menyapaku.

Aku mengernyit. Menggiurkan. Apa ini efek lanjutan dari kekesalan di mobil tadi?

Sambil memegangi kedua ujung handuk di depan dada, dia maju selangkah. "Dengar-dengar semua pendiri Helio suka banget sama orang-orang gila kerja yang suka lembur, sampai fasilitas di sini mendukung banget. Banyak sofa bed di sini, kamar mandi super bersih plus water heater, sabun-shampo disediain."

Dia maju selangkah lagi, lalu menunduk sedikit untuk menjajarkan wajah kami. Butuh usaha kerasa dariku agar tetap berdiri tegak, mengendalikan diri dari keinginan menyentuh bagian mana pun dari orang ini untuk dua alasan utama.

1. Aku sudah lama meninggalkan kebiasaan bersenang-senang dengan sembarang lelaki, hanya karena orang itu punya visual yang menarik.

2. Ini kantor dan CCTV terserbar di setiap sudut. Belajar dari pengalaman, bahwa berita sekecil apa pun bisa menyebar secepat api. Lebih baik bercitra sebagai penyihir daripada perempuan yang mudah terpesona.

"Gue habis lembur," katanya, seraya mengangkat kedua bahu. "Cuma memperjelas aja, gue menggunakan fasilitas kantor buat tujuan benar bukan numpang tidur." Dia kembali terseyum, tidak selebar sebelumnya. "Siapa tahu kerja keras gue jadi pertimbangan buat lo suka sama gue."

Oh, wow, dia sedang berusaha menjilatku?

Aku memutar bola mata, lalu berbalik. Lupakan keinginan bergelung di sofa bed ruangan Dela, langsung saja ke ruanganku.

"Adnan," serunya, saat aku berhasil menciptakan tiga langkah menjauhinya. Aku berhenti, tetapi tidak berbalik. "Kata Arka lo punya kebiasaan malas menghafal nama orang kecuali orang itu satu tim sama lo. Jaga-jaga. Siapa tahu kita satu tim."

Saat aku menoleh, dia sudah berada sangat dekat denganku. Matanya terlihat bersinar saat kami bersitatap, seolah aku dan dia pernah melakukan kegiatan menyenangkan bersama, dan dia sudah tidak sabar untuk mengulangnya.

Konyol!

*

*

Terima kasih sudah membaca, sudah mau memberikan cinta untuk Nora

follow ig :

Flaradeviana

atau

Coretanflara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top