13
Selamat membaca
•
•
Jangan lupa taburan bintang dan komennya
•
•
ADNAN MEETING di luar kantor, Dela juga begitu.
Sejenak aku merasa sedikit terbebas dari kekhawatiran yang menghantui sejak meninggalkan rumah Adnan, tentang kemungkinan Dela bakal merusuhiku sepanjang hari dengan banyak pertanyaan; lo ke rumah Mas Adnan semalam? Lo beneran mau tinggal di sana? Kenapa nggak milih rumah gue? Sejenis itu. Walau Dela pencetus ide; Ayo, kirim Nora ke rumah Adnan, firasatku mengatakan dia tidak akan melepasku semudah itu.
Dan Adnan ... meski memintaku jangan tergesa dan memikirkan baik-baik, bahkan bilang tidak mempermasalahkan bila pada akhirnya tidak menyewa kamar itu, aku tetap merasa terbebani. Kalimat yang dia ucapkan ditangga; gue terlalu happy, mengundang banyak perasaan yang jarang kurasakan memenuhi hatiku, perasaan hangat yang penyebabnya sulit kupahami.
"Pikirin pelan-pelan aja, Nora. Pastiin lo memang mau, bukan karena nggak enak sama gue, apalagi males dibawelin Dela." Begitu ucap Adnan, sebelum aku pergi bersama taksi online.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu memusatkan fokus pada pekerjaan.
Ketika jam digital di komputerku menunjukkan Pk. 15.45, pintu ruanganku terketuk—memecahkan berjam-jam konsetrasi yang kubangun demi membereskan lanjutan desain proyek rumah tinggal yang kukebut. Saat aku memindahkan mata dari layar komputer, Arka tengah melintasi ruangan bersama ... Bastian?!
Aku berusaha tidak tersedak ataupun menyemburkan kopi, duduk tegak di kursi sembari menekan kedua tangan yang berkeringat ke paha. Bertahun-tahun aku kerja di Helio, ini kali pertama Bastian menginjakkan kaki di sini. Tidak seperti empat teman dekat Arka yang berkali-kali datang ke sini, Bastian terkesan menghindar. Mungkin malas terjebak pada situasi canggung denganku, atau ada alasan lain, entahlah aku juga tidak berniat mencari tahu.
Tanpa mengucapkan sapaan basa-basi, Bastian mengangguk kecil kepadaku lalu duduk di samping Arka yang lebih dulu menempati kursi persis di hadapanku.
Mendapati diriku di tengah situasi yang tidak pernah terpikir sebelumnya, membuat kata-kata yang biasa aku keluarkan tiap kali Arka datang—"Kenapa? Mau apa?"—nggak satu pun meluncur dari bibirku.
Aku mematung, kesusahan memindahkan mata dari Bastian yang berpenampilan 'rapi'. Rambut hitamnya terkuncir kencang, wajahnya bersih tanpa rambut-rambut halus. Sejenak, aku mengadu mata kami, berharap menemukan alasan masuk akal dan meredam pikiran-pikiran gila yang mendadak memenuhi otakku. Salah satunya, dia memaksakan diri datang karena aku tidak membalas satu pun pesannya.
Kemudian, Arka mengulurkan clear holder navy berlogo Helio ke arahku.
Perhatianku teralih, lalu keningku mengerut. Ini khusus berkas klien.
Klien?
Bastian datang sebagai klien?!
Aku mengambil dan membuka clear holder tersebut. Melakukan yang biasa kulakukan setelah disodorkan berkas. Mati-matian bersikap professional, meski kepanikan kian besar tiap detiknya. Untuk kesekian kalinya, aku tertegun menemukan foto-foto ruko tiga lantai di Gading Serpong—dalam keadaan kosong—dari berbagai sisi. Ruko ini ... Bastian pernah mengajakku ke sini, meminta pendapatku; layak dibeli atau tidak.
"Bastian mempercayakan Helio buat desain and build coffee shop. Tadi gue udah nunjukin portofolio semua desainer interior Helio, dan dia ngerasa paling cocok sama hasil kerjaan lo."
Saat mendengar ketegasan di suara Arka, aku tersadar lelaki itu tidak berniat memberikanku pilihan; terima atau tolak. Seolah-olah Arka berkata, "Gue nggak peduli urusan pribadi kalian, tapi dia ke sini buat bisnis, Ra!" Dan aku, semakin sulit menarik keluar sisi profesionalku dari persembunyiaan. Maksudku, aku pernah mengatur interior buat Bastian—tempat tinggalnya sekarang aku yang urus tetek bengeknya. Tetapi kenapa hari ini dia datang ke Helio, kenapa—
"Nora?" Aku menutup file dan mendongak ke Arka. Dilihat dari raut wajah yang kian tegas, Arka seperti tahu aku bakal berusaha menghindar. Apa yang lo harapkan, Nora? Sudah tahu untuk masalah pekerjaan Arka sulit dibantah.
"Kita cocokin jadwal dulu," sahutku, memandang bergantian Arka dan Bastian seprofesional yang bisa kuusahakan. "Kira-kira ..." Aku berheti sejenak, kebingungan harus bersikap formal atau—astaga! "Gue bicara non-formal aja, ya? Nggak apa-apa kan, Ka?"
Aku melirik Arka, dan lelaki itu tiba-tiba berdiri serta mengangguk.
"Senyaman kalian aja." Aku berkedip cepat sembari mencengkeram pinggiran holder, sementara Arka meremas pundak Bastian. Apa-apaan? Arka mau ninggalin aku? Ya, aku paham ini berjalan seperti biasa. Arka mengantar kenalannya yang memilihku, lalu aku sendiri yang bernegosiasi tentang segala macamnya, tetapi— "Kayak biasa, Ra. Kabarin gue kesepakatan akhirnya kayak gimana."
Kemudian, Arka meninggalkan ruangan dengan mantap sebelum aku berhasil mengoperasikan otakku dalam mode bekerja. Apa dia tidak khawatir meninggalkanku berdua saja bersama Bastian? Untung Dela sedang di luar, kalau—tunggu! Apa Arka sengaja mengantar Bastian ke ruanganku saat Dela tidak ada? Jangan berlebihan Nora!
Kerja saja. Nggak usah mikir aneh-aneh! bentakku dalam hati.
Aku berdeham, dan Bastian memajukan badannya yang dibalut kaus polo hitam lengan pendek. Dia melipat kedua tangan di pinggiran meja, memiringkan kepala sedikit ke kanan. Bibirnya tetap terkunci, seakan-akan aku yang memiliki segudang hal yang perlu diucapkan—bukan sebaliknya.
Aku mengalihkan pandangan dari Bastian ke layar komputer, membuka kalender yang bulan ini sudah penuh titik warna-warna dari klien-klien terdahulu.
"Kayak yang gue bilang, kita harus cocokin jadwal," kataku membuka pembicaraan lebih dulu. "Lo punya target khusus kapan coffee shop ini harus beres?"
"Are you okay?" Alih-alih menjawab, Bastian mengajukan pertanyaan.
"Kayak yang lo lihat," sahutku. "Oke, target coffee shop?"
"Gue khawatir, Ra." Meski berusaha disamarkan, aku masih menemukan kegetiran di suara Bastian. "Lo belum pernah sama sekali kayak gini. Nggak balas WhatsApp. Nggak angkat telepon."
Aku menjauhkan tangan dari mouse. Mendadak badanku dipenuhi kesakitan sekaligus kebutuhan yang kuabaikan, tetapi aku tidak tahu harus bagaimana merespon kalimat itu. Jadi menjalankan kalimat di seputaran pekerjaan, pilihan terbaik yang bisa kuberikan padanya.
"Kalau lo punya target pendek, gue bisa mengusahakan presentasi mood board dan pengerjaan desain di bulan ini. Dengan catatan, apa pun yang ada di otak lo dikasih ke gue secara rinci. Referensi. Tema. Poin-poin penting apa yang lo mau di tempat itu," jelasku, mengabaikan cara Bastian menatapku semakin personal—seperti seorang yang merindukan kekasihnya. Haduh. "Oh ya, buat urusan desain masih bisa gue bantu. Tapi tukang dan bengkel furnitur, gue perlu confirm lagi. How?"
"Ra ...."
"Bas, lo ke sini sebagain klien. Fokus kerjaan dulu. Oke?"
Entah bagaimana tatapan penuh harap Bastian terasa menyakitiku. Seolah aku sedang melihat dia berdarah-darah memukuli tembok yang kubangun di antara kami. Dia tahu sedari awal aku nggak pernah menginginkan sesuatu yang lebih dari kegiatan ranjang, jadi mengapa dia berususah payah seperti ini?
Lama dia berdiam, membentuk keheningan pekat dan kelam. Lalu mengangguk, dan berkata, "Gue punya target launching akhir tahun, mumpung musim liburan. Untuk konsep gue mau yang artsy dan unik, lo tahulah yang bisa dishare di media sosial. Thematic. Gue mau pakai lantai satu dan dua aja, lantai tiga rencananya buat karyawan."
Dengan serius, dia menjabarkan bagaimana nuansa yang ingin ditonjolkan dari coffee shop itu, warna-warna yang mendominasi di sana. Dia juga menyodorkan ponselnya, menunjukkan referensi yang dia suka. Menginformasikan budget yang dia siapkan buat renovasi proyek ini. Ketika penjelasannya mencapai titik, dan aku beres mencatat poin-poin penting. Aku langsung mengajaknya diskusi soal kapan harus mempresentasikan ide awal kepadanya, mencocokan jadwal dengan pekerjaannya.
"Beres," katanya, saat kami sepakat menetukan deadline awal buatku.
Dan aku, tidak punya lagi alasan buat menghindar.
"Akhir minggu lalu gue ke Bandung, ada proyek baru di sana. Pulang, gue langsung nge-deadline." Aku menyampingkan layar i-Mac, supaya dia tahu aku berusaha keras mengusahakan hari-hariku tetap sibuk. Tidak ada satu pun tanggal tanpa titik berwarna, kecuali Minggu. "Gue juga lagi malas banget buka handphone. Gue nggak angkat telepon atau balas pesan dari siapa pun, kecuali kerjaan."
"Rumah? Aman?"
"Gue mutusin out dari rumah." Bastian terbelalak, sepertinya sejak hari terakhir kami bertemu sampai diantar ke sini, Arka nggak memberikan informasi apa pun. "Jadi sepulang kerja, gue survey apartemen."
"Kenapa harus cari tempat baru? Ra,—"
"Don't say anything, Bas. Please." Ketika menyanggah ucapan Bastian, perutku mencelus dengan cara yang menyakitkan. Aku tahu dia bakal bicara seolah-olah tempat tinggalnya bebas kutinggali, memaksudkan bahwa ini waktu yang tepat buat mengubah hubungan kami. Tetapi bagiku, serasa alarm buat mengakhiri pertemuan tak terencana kami. "Kalau nggak ada tambahan soal coffee shop, boleh kita akhiri diskusinya? Sori, gue nggak bermaksud kurang ajar, tapi dua puluh menit lagi gue harus meeting sama tim."
Aku tersenyum kaku, lalu dengan gerakan ringan Bastian meraih satu tanganku. Ibu jarinya bergerak lembut di punggung tanganku, dan aku lega pada keputusanku menurunkan semua tirai di ruangan setelah makan siang.
"Sekali ini aja, gue nggak mau nurut sama lo," katanya lirih. "Gue tahu kenapa lo kesulitan buka hati buat gue, susah percaya sama gue. Gue tahu penyebab lo sering nangis saat tidur. Bahkan, luka-luka yang lo sembunyikan—gue tahu, Ra."
Ketika Bastian sengaja mengambil jeda, rasa nyeri dalam diriku semakin jelas terasa. Seharusnya aku menarik diri secara kasar darinya, tetapi sebagian besar diriku gagal kabur dari rasa bersalah kepadanya.
"Lo tahu dari awal gue nggak pernah sekalipun menganggap lo sekadar teman tidur, kalau gue selalu menganggap lo spesial sedari SMA," lanjutnya dengan tenang. "Selama ini gue cuma ada di ruang gelap yang lo ciptain, mastiin jarak kita aman, lo aman ... tapi gue mau keluar dari sana. Gue mau jalan ke arah lo, selangkah demi selangkah. Gue mau berdiri di samping lo, Ra."
•
•
Tahu nggak pas nulis dialog Bastian, aku berkaca-kaca. Hahahaha. Lagi cengeng emang. 😂🤏🏻
•
•
Btw, follow IG aku ya, gaes : Flaradeviana. Buat informasi soal naskah-naskah aku.
Love, Fla.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top