🍂 ; Rain

tangis cakrawala di waktu fajar

menciptakan percikan, membawa rindu yang menjalar

air tergenang, merefleksikan kenangan

apa arti kehidupan kala kamu tak jadi pilihan

Rain

[ Dazai Osamu × Reader ]

By: azure_lullaby

Warning!

- Angst 4 life

- Typo sewaktu-waktu

- OOC? Jelas

- Suicidal content

🌧

Satu tahun yang lalu, kala bumantara bermuram mengeluarkan tangisan. Genangan air di jembatan membasahi setiap langkah yang diambil dengan tergesa-gesa, mengeluarkan suara percikan dengan tempo pendek. Payung bertengger di atas kepala, digenggam erat sambil melalui bunyi hentakan ringan air dari langit yang suram.

Tidak ada yang menyukai hujan.

Meskipun orang bilang mereka suka hujaman beribu tetes air itu, tak pernah mereka berjalan santai di bawahnya sebagaimana orang-orang itu berjalan di bawah matahari. Sekalipun bibir berkata hujan adalah ketenangan, matahari cerah tetap menjadi pilihan.

Langkah wanita itu kini terhenti, tediam di atas jembatan. Helaian gelap panjangnya tak lagi bergoyang tiap hentakan kaki. Payung yang dia genggam diangkat sedikit, demi melihat pemandangan yang ada di depannya dengan lebih jelas. Satu detik pemandangan itu berlangsung, payung sang wanita terjatuh, begitu pula dengan rahang yang tadinya terkatup. Mendapati sosok jangkung berjas cokelat muda memproses dirinya sendiri untuk melompat.

Tanpa pikir panjang, kakinya melangkah lebar, tergesa. Ia gapai mantel cokelat muda tersebut, lalu dengan cepat menariknya kembali kepada pijakan tanah. Berat, namun akhirnya dia berhasil. Sayang sekali, tenaga yang ia keluarkan terlalu banyak sehingga tubuh mereka terjatuh ke atas aspal, membuat pakaian keduanya menjadi semakin basah.

Tepat sebelum sang wanita berbicara, decihan

serta rengekan bagai anak kecil yang tidak mendapat mainan memasuki gendang telinganya.

"Cih, padahal aku hampir berhasil pergi dengan indah," ujarnya dengan wajah cemberut dengan alis bertaut yang menyebalkan. Akan tetapi, semua itu seketika terhapus oleh senyum jenaka tanpa dosa. "Oh, halo, nona. Apa yang dilakukan wanita cantik sepertimu dalam hujan ini?"

'Apa-apaan orang ini ... ?'

Jelas-jelas dia yang menolong pria itu barusan. Kenapa pula dia bertanya? Siapapun akan merasa kesal kala mendapat respon santai seperti itu setelah diselamatkan dari kematian, termasuk [Name].

Lantas, wanita tersebut berdiri. Percakapan emosional yang biasa terjadi sepertinya tidak akan terjadi dengan orang ini. Rasanya, sia-sia saja [Name] mengeluarkan banyak tenaga untuk menyelamatkannya.

Saat itulah, kala ia berdiri, sebuah tangan meraih miliknya, menggenggam erat bagai seseorang yang tengah melamar. Romantis? Tidak, mereka baru bertemu. Jika ada kata yang cocok, maka itu adalah 'menjijikkan'. Itulah yang [Name] pikirkan.

"Kebetulan sekali. Di bawah hujan gerimis yang indah ini, aku bertemu wanita secantik dirimu. Inilah takdir yang menjumpai kita berdua. Nona, kecantikanmu bagai matahari yang akan menyinari hari berawan ini, sorot tajammu membuat siapapun terjatuh dan terpesona. Maka dari itu, maukah kau pergi denganku ke kehidupan selanjutnya dan membangun kematian bersama?"

Hening.

Sosok yang ditawari 'lamaran' itu membeku. Hujan yang ia benci pun tidak terasa lagi. Kala kalimat terakhir disebutkan ─terlepas dari gombalan murahannya─, sorot datar itu akhirnya melembut. Seolah menyadari sesuatu. Tangannya tak dia lepaskan. Malah, [Name] menggenggam balik tangan tersebut lembut.

Dia akhirnya bertanya. "Tuan ... apa kau baik-baik saja?"

Saat itu, harusnya [Name] tidak pernah bertanya.

Saat itu, harusnya [Name] tidak penasaran.

Saat itu, harusnya [Name] tidak merasakan simpati.

Karena pertanyaan itu akhirnya meninggalkan hening berkepanjangan, disertai keterikatan yang terbentuk dari waktu ke waktu. Menciptakan suasana lama yang terbangun kembali. Dimana wanita itu adalah hujan yang tersirat kalah dari matahari.

🌧

Enam bulan kejadian itu berlalu, dimana ajakan bunuh diri ganda disebutkan bagai lamaran. Benar, lamaran kematian. Tidak ada yang mau menerimanya kecuali wanita yang dia ajak cukup gila.

Enam bulan pula wanita itu telah menjadi anggota Agensi Detektif Bersenjata. Hanya seorang yang biasa, lulus bersekolah lalu pergi ke Yokohama untuk menyambung hidup yang sebatang kara. Entahlah bagaimana dia bisa begitu saja menerima ditawari pekerjaan berbahaya sebagai detektif bersenjata. Yang pasti, sosok jangkung bernama Dazai Osamu membawanya ke organisasi ini. Entah apa pula alasan yang pria itu buat agar dia bisa diterima. [Name] tidak mau tahu, dia juga tidak akan pernah tahu. Sejak misi pertama mereka,

[Name] menyadari bahwa Dazai bukanlah orang biasa.

Langit biru mewarnai kota, matahari bersinar terik menciptakan peluh bercucuran di seluruh badan. Satu bagian dari Yokohama rusuh, seorang pencuri elit meresahkan warga, menimbulkan misi baru untuk agensi yang harus ditangani Dazai dan juga [Name].

Misi itu selesai. Karena Dazai, tentunya. Namun, bukan berarti si Maniak Bunuh Diri itu bersikap 'normal'. Di saat masih banyak urusan yang dilakukan, dia malah menghilang. [Name] menepuk dahi lalu menghentakkan kaki kesal, membuat orang di sekitarnya segera menjauh dari aura gelap yang dikeluarkan.

"Dasar maniak perban sialan!" Wanita itu bergumam. Hatinya mengutuk perilaku partner kerjanya hari ini. Walaupun tak bisa dipungkiri, Dazai adalah orang yang membuat misi ini jadi lebih cepat untuk diselesaikan.

[Name] mulai berjalan lagi. Sudah setengah jam dia mencari lelaki yang ada di pikirannya. Sudahlah, dia tidak peduli lagi. Hari semakin panas, lebih baik ia kembali ke kantor, setumpuk laporan menunggu untuk dikerjakan.

Baru beberapa detik dia berjalan, suara manis penuh tipuan yang sangat familiar terdengar sepuluh meter dari tempatnya berpijak. Lagi, sosok bersurai gelap itu menghela nafas, berusaha agar tidak kehilangan kesabaran. Kakinya melangkah cepat menuju suara itu. Kala jarak mereka hanya satu jengkal, tangan [Name] terangkat dan tanpa ragu menghantam bagian belakang kepala si pelaku yang tak lain dan tak bukan adalah Dazai Osamu.

Dazai, dengan tidak elitnya terjatuh ke tanah, meninggalkan ekspresi terkejut dari sosok wanita lain yang tengah digoda oleh si Bandage Waster.

"Ow! [Name]-chan kejam sekali. Padahal aku sedang mencari teman hidupku saat ini!" Dazai bangkit, ekspresinya menunjukkan dia tengah kesakitan. Namun senyumnya seolah mengatakan bahwa dia menikmati pukulan itu.

"Maksudmu teman mati?" balas [Name], tajam. Ia kemudian menarik bagian belakang kerah Dazai lalu menoleh pada wanita asing yang hampir saja mendengar ajakan bunuh diri ganda. "Mohon maaf atas perilakunya yang aneh dan gila. Saya harap, Anda bisa memaafkan kami."

"Hey, siapa yang-"

Sebelum pria ini menyelesaikan kalimatnya, [Name] membungkukkan badan lalu menyeret Dazai menjauh dari kerumunan, masih dengan tanganmenggenggam erat kerah mantel cokelat muda. Gadis berusia 20 tahun itu mungkin lebih pendek dari pria brunette ini, namun bukan berarti tenaganya tidak mampu menyeret beban seberat 67 kilogram setelah banyak usahanya mencegah Dazai melompat ke sungai.

"[Name]-chan cemburu, ya?" Dazai tiba-tiba bertanya dengan nada jahil khasnya sambil terus membiarkan langkahnya terseret oleh wanita di hadapannya.

Orang yang ditanyai tiba-tiba berhenti di trotoar yang cukup sepi, lalu menghela nafas berat untuk ke sekian kalinya. [Name] melepaskan genggamannya dari kerah Dazai lalu berjalan lebih pelan sambil menjawab pendek, "Tidak. Kenapa aku harus cemburu?"

"Kau selalu bereaksi seperti itu kalau aku menggoda wanita lain," jawab pria tersebut sambil mengangkat bahu dan mengikuti [Name] dari belakang, lalu terkekeh pelan. Sebuah kekehan yang sialnya bisa disadari kepalsuannya oleh seorang gadis bermarga Nagasawa.

Hatinya terasa diremas oleh sulur berduri kala mendengar dan melihat semua tawa serta senyuman itu, entah apa alasannya. Menyadari bahwa semua itu hanya ketulusan palsu untuk menutupi kegelapan. Wanita tersebut tidak tahu apapun tentang Dazai, tidak ada yang tahu. Kendati demikian, tingkahnya yang menyebalkan bagaikan badut terkadang retak menunjukkan sorot gelap yang tak akan pernah tergapai. Namun, [Name] kemudian menggelengkan kepala pelan lalu berkata dengan nada tegas seperti yang biasa dia lakukan sambil berjalan.

"Itu karena aku tidak mau melihat para wanita terganggu oleh gombalan murahanmu itu!"

Dazai tersenyum lebar, lalu mulai berjalan di samping [Name]. "Bilang saja yang sejujurnya. Ayolah~."

"Aku tidak cemburu."

"Apa benar?"

"Iya."

"Serius?"

"Iya."

"Masa, sih?"

"Iya."

"Hmmm?"

"Astaga, Dazai-san! Aku serius!"

Lagi, Dazai terkekeh. Lucu melihat gadis yang dikenal pendiam dan penyabar ini mengeluarkan nada tinggi karenanya. Mungkin, hanya si Maniak Bunuh Diri inilah yang mampu membuat [Name] memijit kepala dan kewalahan karena kegilaan yang harus ia hadapi.

Pria tersebut lalu melangkah lebih depan, lalu tiba-tiba berhenti di depan [Name] sambil menghadap ke arahnya. Tubuhnya dia bungkukkan, demi berada pada level tinggi yang sama. Manik hazel dengan garis mata tajam tertuju pada mata sang wanita. Satu alis [Name] terangkat, kebingungan.

"Apa?"

Masih dengan senyum yang sama, Dazai akhirnya menjawab, "Kau tahu, [Name]-chan? Aku menyukaimu."

"Aku tidak." [Name] membalas pendek.

"Eeh? Tapi aku menyukaimu!" ujar Dazai, hampir seperti merengek mendengar penolakan yang dingin.

Tidak tahu untuk ke berapa kalinya perempuan muda itu menghela nafas, dia akhirnya lelah menanggapi orang seperti ini. Pada akhirnya, [Name] hanya memutar bola mata lalu menggeser Dazai untuk menyingkir dari jalannya. Meninggalkan Dazai di belakang dengan kalimat dramatisnya seolah-olah dia telah diputuskan dari suatu hubungan secara sepihak. Biarkan saja orang-orang memandanginya. Dazai, 'kan, sudah tidak punya urat malu.

Bukan kali pertama Dazai mengatakan kalimat itu. Kalimat yang disusun untuk menyampaikan kata suka. Sebuah perasaan antar dua insan berbeda gender, entah berbalas atau tidak. Kata ajaib yang membuat seseorang tersipu malu dengan pipi merah dan senyum merekah. Sebuah kalimat dimana ... Nagasawa [Name] tidak akan bisa mempercayainya jika itu datang dari seorang pria rupawan berperban. Bukan karena dia penggoda, namun karena wanita itu memiliki firasat. Firasat bahwa dia tak akan pernah jadi pilihan pertama.

Bukan pertama kalinya Maniak Bunuh Diri itu mengatakan dua kata ajaib. Bukan pertama kalinya seorang yang dengan bangga memperkenalkan dirinya sebagai anggota Agensi Detektif Bersenjata mengajaknya dalam suatu hubungan. Bukan pertama kali. Namun, bukan berarti hal tersebut jadi alasan bagi [Name] untuk berhenti mengusap wajahnya demi menghilangkan rona merah muda di seluruh wajah setiap kali Dazai mengatakan bahwa dia menyukainya. Terlepas dari palsu atau tidaknya kalimat itu, [Name] tidak bisa jika tidak merona.

🌧

"Sayang sekali, ya. Salah satu warga yang ingin hidup harus kehilangan jiwanya di kasus kali ini." Awan kelabu mulai menutupi langit biru. Perlahan namun pasti, membuat sinar mentari tersamar tergantikan oleh gelapnya gumpalan air yang akan terjatuh berbentuk tetesan demi kelangsungan hidup bumi. Guntur menggelegar samar dari suatu tempat, disusul cahaya satu detik bernama kilat, tanda bahwa hujan akan turun.

Wanita tersebut tak menjawab, ia hanya melihat langit untuk sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Hening sejenak. Dua insan itu membiarkan udara dingin beserta angin sore menyapu helaian rambut mereka. [Name] tak ada niatan untuk berbicara. Lagipula, tidak ada respon yang sesuai untuk kalimat yang diucapkan Dazai.

"Aku berharap bisa menggantikan posisi wanita itu." Dazai berkata lagi, dengan nada santai dan kedua tangannya berada di dalam saku. Seolah perkataan itu adalah perkataan yang biasa diucapkan orang pada umumnya.

Bola mata [Name] berpindah ke sudut mata, melirik pria di sampingnya. Hanya untuk sejenak, dia bisa melihat tatapan tanpa cahaya yang menatap lurus ke depan. Bukan ke jalanan, bukan pula ke orang-orang yang ada di depan. Akan tetapi, ke tempat yang tak akan pernah bisa digapai. Tidak ada kata yang bisa diucapkan untuk mencegah kata itu keluar. Tidak ada kalimat yang bisa disebutkan untuk menyampaikan betapa berartinya hidup Dazai bagi anggota Agensi terlepas betapa menyebalkannya dia. Tidak ada prosa yang bisa diutarakan untuk meringankan beban kesepian yang terpatri untuk sekian detik dalam matanya.

Satu tahun mengenal seorang Dazai Osamu, itulah yang [Name] pikirkan. Lalu, entah mengapa hal ini terasa seperti setiap kali perempuan muda itu mempelajari hal baru darinya, jarak Dazai selalu bertambah. Setiap hari, setiap jam, berangsur menjadi setiap detik, Dazai melangkah jauh dari semua orang. Selalu ada yang pertama dalam hidupnya, namun orang lain tidak tahu itu siapa dan apa. Selalu ada prioritas dalam aksinya, namun tidak ada yang tahu apa dan siapakah prioritas itu sehingga Dazai masih bertahan.

Dalam diam, mereka berjalan. Menuju ke rumahnya masing-masing. Tapak kaki [Name] mengikuti setiap langkah Dazai, bagaikan anak ayam mengikuti ibunya. Tidak ada yang bertanya mengapa, bahkan Dazai sendiri tidak bertanya. Wanita ini sendiri tak yakin jawabannya apa.

Hening. Hanya gemerisik daun pohon dan semak belukar yang bergesekan membuat irama alam.

"Dazai-san, kenapa kau ingin mati?"

Tanpa aba-aba, tanpa peringatan. [Name] bertanya. Nadanya serius, namun lembut dan berhati-hati, tak ingin menyentuh bagian paling gelap dan sensitif dari kedalaman hati pria berperban.

Di sisi lain, lelaki itu sendiri sudah terbiasa dengan pertanyaan itu. Sambil terus melanjutkan jalan mereka, dia akhirnya menjawab, "Apa [Name]-chan berfikir ada alasan di balik kehidupan ini? Manusia pada akhirnya akan mati, bukan? Kita hidup untuk mati."

Jawaban yang tak sepenuhnya jawaban. Ada banyak pertanyaan dalam benak [Name]. Ada banyak kata yang ingin diutarakan [Name]. Tentang apa yang membuatnya berfikir seperti itu, tentang apa yang membuatnya bekerja di Agensi Detektif Bersenjata, tentang apa yang mendorongnya untuk melakukan kebaikan meski pria itu sendiri lelah. Namun, ia ragu. Keraguan yang semakin menjadi setiap kali [Name] mengetahui satu hal tentang Dazai Osamu. Maka dari itu, dia tak bertanya kembali.

Pria itu menghela nafas, terdengar berat. Baru kali ini dia menunjukkan beratnya beban yang ia pikul di depan seseorang, seorang wanita. "Aku telah melakukan banyak dosa. Dosa yang tidak termaafkan, bahkan oleh nyawaku sekalipun."

"Tidak peduli di sisi mana kita berada, tidak peduli seberapa banyak kita memilih antara gelap atau cahaya, semuanya sama saja. Orang yang kesepian akan kesepian. Orang yang mati tak akan pernah hidup kembali." Nada Dazai terdengar sendu, angin pertanda hujan seolah mendukung momen langka di mana sorot Dazai melembut. Bukan dalam artian bagus, bukan pula dalam artian buruk. Hanya seperti seseorang yang menangis berteriak lelah akan kehidupan dan dunia. Akan tetapi, tidak dengan air mata.

[Name] tak sanggup. Ia memalingkan muka. Egois, benar. [Name] egois, dia tidak ingin menampung semua kegelapan itu karena dia tak mampu.

"Tapi, kau tahu? Berada di sisi yang baik dan penuh cahaya itu jauh lebih indah," ujarnya lagi, nada sendu tadi entah pergi ke mana. Tergantikan oleh senyum ceria yang masih palsu. "Itu yang temanku katakan," lanjutnya pelan, lalu kembali berjalan.

[Name] tak mengatakan apa-apa. Ia hanya mendengarkan, sambil menyetarakan langkah dengan lelaki di sampingnya. Asrama agensi sudah dekat, langit semakin menggelap, setitik air menetes membasahi bumi.

Satu langkah menuju gerbang asrama, tiba-tiba, [Name] akhirnya buka suara. Memanggil nama yang selalu terngiang di pikirannya.

"Dazai-san."

Tepat sebelum Dazai memasuki area asrama, ia menoleh, "Hm?"

Ragu, sungguh ragu [Name] untuk mengatakan ini. Sungguh tak yakin dia untuk mengutarakan ini. [Name] tak pandai bicara, perasaannya tak jarang tak tersampaikan. Namun, sekali saja. Sekali ini saja, biarkan dia memukul titik sensitif dari kedalaman hati Dazai. Kedalaman hati yang tak akan pernah tergapai. Kecuali oleh sosok utamanya, temannya yang dia ceritakan.

"Aku tahu, aku tidak punya hak untuk mengatakan ini. Keputusan adalah milikmu. Tapi, tolong. Tolong jangan meninggalkan dunia ini sebelum kau merasa cukup ...."

Tidak ada jawaban. Hening sekali lagi menyerang. Dazai masih di sana, dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Entah terkejut, terharu, atau kesal. Atau bahkan mungkin tidak ketiganya. Tangannya mengepal untuk sejenak. Sebelum akhirnya, tanpa aba-aba, menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. Satu tangan terangkat, mengusap kepala [Name] sambil sesekali memain rambutnya.

Seolah tidak peduli dengan pekikan terkejut yang tertahan dan rona yang memerah kian detik, Dazai menyandarkan kepalanya di antara leher dan bahu perempuan dalam pelukannya. Dalam hening yang terasa panjang, akhirnya Dazai menghancurkan keheningan tersebut dengan intonasi yang lembut bagai penghipnotis handal.

"[Name]-chan, aku serius sekarang. Berpacaranlah denganku."

Dan untuk pertama kalinya, [Name] bisa melihat sebuah senyuman tulus yang datang dari bibir berbingkai surai cokelat.

Setetes air terjatuh kembali, disusul tetesan lainnya. Untuk ke sekian kali, hujan seolah menjadi momen khusus mereka.

"Satu lagi. Jangan terlalu khawatir padaku," ucapnya tiba-tiba dengan senyum jenaka.

[Name] hanya tersenyum. Sebagian dari dirinya merasa malu. Siapa sangka bahwa Dazai menyadari alasannya berjalan mengikuti sampai ke asrama padahal apartemennya memiliki arah berlawanan?

Benar, sosok bermarga Nagasawa itu memiliki kebiasaan untuk memastikan bahwa Dazai baik-baik saja setelah pria tersebut mengatakan sesuatu tentang kematian.

🌧

"[Name]-chan cantik!"

"Aku suka rambutmu."

"Tuan putri, tenang saja, kau selalu yang pertama bagiku."

Bohong. Semua itu bohong. Dia tahu dengan jelas. Semua itu hanya ungkapan kalimat kecil semata-mata untuk membuatnya bertahan dalam hubungan ini. Padahal, [Name] mengetahui itu dengan jelas. Dia bukan yang pertama, dan tak akan pernah jadi yang pertama. [Name] bukan prioritas, dan tidak akan pernah jadi prioritas. Sebuah hal yang lucu jika ia mengharapkan kata 'satu' dalam hubungannya dengan Dazai.

Perasaannya yang hancur tidak akan sebanding dengan Yokohama yang luluh lantak. Jika ada pilihan antara nyawanya dengan nyawa 4 juta manusia, nyawa [Name] adalah apa yang akan dibuang. Dia tahu, dan tak bisa menyalahkan siapapun. Bahkan tidak dengan Dazai sekalipun. Pria itu hanya menjalankan alasan hidup satu-satunya, menjalankan pesan untuk menolong banyak orang dan membuang egoismenya.

Berapa kalipun kau memberitahu wanita tersebut, dia tak akan pernah menyalahkan Dazai. Tidak akan.

Keringat menetes menyusuri pelipis, nafas masih memburu mencoba mengambil oksigen. Seluruh wajahnya merah, entah karena lelah atau marah. Tidak ada yang berbicara. Diam yang canggung jadi pengisi udara. Tangan [Name] mengepal, cara duduknya kaku, hatinya terasa remuk. Tak pernah ia bayangkan hal seperti ini akan terjadi. Tak pernah ia bayangkan perasaan seperti ini akan menjadi. Sekalipun, [Name] tak pernah berfikir bahwa hal ini kemungkinan besar terjadi. Padahal, seharusnya ... dia tahu.

"[Name] ...." Dazai memanggil, lembut. Tangan yang masih terinfus menggapai kepala kekasihnya namun segera diletakkan kembali oleh [Name]

"Dazai-san, kau sedang terluka," ucapnya, berusaha selembut mungkin walaupun auranya tetap mendingin kian waktu berjalan.

"Tunggu, dengarkan aku dulu─"

"Jangan berbicara!"

Dazai terdiam, lalu menghela nafas. Kali ini, pria itu keluar dari batas. Tak seharusnya dia berharap [Name] akan mendengarkan. Setelah apa yang Dazai lakukan, tak pantas ia berharap [Name] akan menatapnya dengan sama lagi.

Kekasihnya itu tidak bodoh. Setelah mendengar permintaan suster itu padanya, [Name] yang baru saja datang dengan tergesa penuh luka dan keringat tahu apa tengah terjadi. Dazai adalah orang yang brengsek dan dia tahu itu. Seorang yang bahkan tak pantas menerima perhatian dari gadis baik-baik seperti [Name] namun masih tetap mengajaknya masuk dalam suatu hubungan.

Dazai tidak akan mencegah [Name] mengajaknya putus, membencinya, dan memperlakukannya bagai kotoran. Tidak akan, karena itupun terlalu baik untuknya. Terlalu baik setelah menghancurkan hati yang tulus untuk memahami dirinya.

"Kau baru selesai operasi, Dazai-san. Kenapa ... ?" Nafas wanita itu bergetar, pun suaranya ikut bergetar dengan nada pelan. Tidak, bukan itu yang ingin dia katakan, bukan itu yang ingin dia tanyakan. Bukan itu kata yang benar untuk menyuarakan hatinya yang berteriak marah, kesal, sesak, dan sakit. Namun, untuk beberapa alasan, satu hal lagi yang membuat [Name] marah adalah karena Dazai masih terluka. Tak seharusnya dia banyak bergerak.

Lagi-lagi, pria itu tertegun. Dia tahu bukan itu yang ingin [Name] katakan. Bukan itu yang ingin [Name] ucapkan. Bukan itu. Namun, biarkanlah dia bertanya untuk memastikan.

"Apa kau masih mencintaiku?"

Pertanyaan yang brengsek, Dazai tahu itu.

Tak sepantasnya Dazai bertanya tentang hal itu setelah memiliki tindakan meletakkan kekasihnya sendiri di akhir. Tidak sepantasnya walaupun dia tahu [Name] akan mengerti. Dia akan mengerti jauh daripada apa yang orang lain bayangkan. Dia akan mengerti tujuannya bukan sekedar nafsu semata, namun demi menyelematkan banyak orang seperti yang temannya katakan. Benar, menyelamatkan banyak orang dengan mengorbankan orang yang berusaha menggapai dirinya.

"Bukankah itu sudah jelas?"

Wanita itu tak pernah mengatakannya. Namun, perasaannya adalah kebenaran. Tidak mungkin [Name] tidak jatuh dalam pesona pria ini. Tidak mungkin [Name] tidak memiliki perasaan setelah terlalu lama memperhatikannya. Tidak mungkin [Name] tidak mencintainya jika suaranya saja bergetar menahan emosi pribadi yang ingin meledak kapan saja.

Lantas, dia bangkit dari kursi, merendahkan pandangannya untuk bertemu kelereng hazel dengan sorot yang tulus. Sorot yang lembut, sorot yang menenangkan. Tulus. Tatapan itu tulus, dan [Name] membencinya. Ia membencinya karena hal itu akan membuatnya kesulitan untuk membenci keseluruhan dari Dazai.

"Nyawaku tak seberharga itu, Dazai-san. Sebagai manusia, aku mengerti bahwa kau melakukan itu bukan karena keinginanmu sendiri. Menyelamatkan banyak orang adalah prioritasmu. Aku mengerti." [Name] menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluarkan air mata. "Namun, sebagai seorang wanita yang menjadi kekasihmu, aku tidak bisa bertahan. Tidak, ini bukan salahmu. Aku tidak akan menyalahkanmu, tidak akan pernah. Tapi, aku tidak akan bisa terus bertahan jika aku hanyalah sandaran ketika kau hancur, sungguh. Maafkan aku karena aku egois. Tapi, mari kita akhiri di sini."

Nagasawa [Name] adalah hujan yang diberitahu bahwa suramnya dicintai namun secara tersirat dikalahkan oleh cerahnya mentari.

🌧

Kilat menyala, menyambar hamparan biru mengalirkan listrik. Guntur menggelegar, disertai polesan kelabu yang mulai mengotori langit cerah juga cahaya hangat dari matahari. Bunyi ombak pecah menabrak bebatuan laut, riak air ramai mengisi udara, seolah siap memeluk tangis cakrawala.

Entah sudah berapa lama mereka mengakhiri hubungan yang terjalin dengan senyuman. Entah sudah berapa lama sejak hatinya remuk dimakan sakit. Entah sudah berapa lama sejak mereka terakhir berbicara.

Lantas, mengapa pria ini menyeretnya ke sini? Ke sisi tebing di atas lautan biru kusam? [Name] tidak menolak, dia tidak ingin membuat situasi mereka canggung hanya karena putus hubungan. Dazai adalah bagian dari Agensi, bagian dari keluarganya, bagian dari temannya, bagian dari partnernya. Satu hal yang berubah kini hanyalah mereka adalah mantan kekasih.

Hening sejenak, burung camar berkicau bersahutan, seolah menyuruh mereka untuk buka suara.

"Hujan itu unik, ya?" [Name] tiba-tiba berbicara. "Mereka dicintai, namun orang-orang memakai payung saat mereka datang."

Mendengar itu, Dazai tersenyum tipis, mengerti. Entahlah itu tulus atau tidak, namun [Name] bisa melihatnya. Memori tentang dia yang secara terpaksa mengkhianati janji pasti tengah berputar dalam kepalanya.

Pria itu menengadah, menatap langit dengam kumpulan awan hitamnya, masih dengan senyum tipis yang sama. "Benar. Hujan itu unik. Mereka bilang, mereka lebih memilih hujan daripada mentari namun menutup diri mereka kala hujan datang. Hujan itu dicintai, namun tak dipilih."

"Hujan itu indah. Mereka air, sumber kehidupan, sesuatu yang dibutuhkan namun dilupakan." Dazai melanjutkan. Tangannya terangkat, menangkap setetes air hujan sambil berjalan maju mendekati lautan.

[Name] diam di tempat, tidak berniat untuk maju, pun untuk berbicara. Dia tak paham dengan tujuan Dazai membawanya ke sini. Tidak ada poin bagi mereka untuk melakukan percakapan emosional, sebuah percakapan di mana topengnya retak menunjukkan seorang anak yang ingin menangis tersedu.

"[Name]-chan benar. Aku hanya menggunakanmu saat aku hancur. Aku hanya membutuhkanmu sebagai sandaranku. Seperti halnya sebuah benalu yang memerlukan air di hari yang panas." Pria itu masih tersenyum, tatapannya melembut. Bukan dalam artian bagus, bukan pula dalam artian yang buruk. Auranya gelap, namun tenang. Semuanya terasa berat, terasa canggung, namun senyum Dazai seolah ingin membuat percakapan ini berlangsung.

Dazai tak merasa pantas untuk meminta maaf. Tak pula untuk meminta [Name] kembali. Kekecewaan orang yang telah berusaha memahaminya tak bisa dibayar dengan apapun, bahkan nyawanya sendiri.

Saat itulah, Dazai menoleh. Tersenyum lembut.

Senyum yang tulus, tanpa topeng, tanpa kepalsuan. Sekali lagi, wanita itu melihat senyuman yang asli. Senyuman yang harusnya [Name] sadari.

"Aku ... tidak pantas untuk mengatakan ini." Pria itu melangkan mundur. Suara ombak menghantam bebatuan semakin keras, mengikis lapisan tanah sedikit demi sedikit. Seperti halnya hati dua insan yang diiris. "Tapi, maafkan aku, [Name]-chan. Maaf karena aku tidak menyadari usahamu untuk menggapaiku. Maaf karena aku masih mengharapkan cintamu dan perhatianmu. Maaf karena aku telah mengkhianati perasaanmu."

Saat itu, harusnya [Name] sadar.

"Satu hal yang harus kau ketahui. Kau dicintai. Kau dipilih. Seandainya dosaku terhapus, aku ingin menjadi laut yang menampung hujanmu. Bukan manusia yang menutup dengan payung saat kau datang untuk kehidupan."

Saat itu, harusnya [Name] tahu.

Dazai bukan orang yang akan mengatakan kata 'maaf' sebanyak itu dengan mudah.

Kala [Name] sadar, semuanya terlambat. Kakinya melangkah lebar, seperti halnya hari di mana mereka pertama kali bertemu. Tangannya berusaha meraih mantel cokelat itu, hal yang sama yang dia lakukan di atas jembatan. Suaranya serak berusaha memanggil nama yang selalu bergema dalam pikirannya.

Namun, terlambat adalah terlambat. Tubuh tinggi kurus itu melayang tanpa pijakan, gravitasi menariknya menuju ombak liar yang mulai memeluk hujan. Pandangan [Name] memburam, matanya terasa panas, pipinya basah karena air mata. Tubuh Dazai ditelan laut, dihantam ombak menuju bebatuan keras yang dapat membuat tulang manapun patah.

Dazai tidak mengkhianatinya, dia hanya menjalankan alasan hidupnya.

Dazai tidak membuangnya, dia hanya melaksanakan tugasnya.

Dazai mungkin menghancurkan hubungan mereka, namun [Name] tak pernah berharap pria itu akan menghancurkan tubuhnya sendiri.

Dazai Osamu menyatu dengan laut, bersama biru kusam yang akan selalu mendekap hujan.

End.

Eyyoo!

Pungut akhirnya kembali setelah sekian lama! Tema kali ini adalah Second Choice dimana kamu cuman jadi pelampiasan doang. Yah, walaupun di sini first choicenya Dazai bukan mantannya, tapi Oda. Aku punya pikiran kalo Dazai bakal ngorbanin apapun demi mencapai tujuannya (memang iya), dan di sini diceritain termasuk perasaan pacarnya juga. Hehe ♡. (Kangen Oda ಥ_ಥ)

Panjang, weyy. Udah lama ga nulis, malah kebablasan:D.

Btw, buat yang ga ngerti sama bagian Dazai di operasi, waktu di S3 (kalau ga salah), Dazai perlu HP-nya tapi suster ngelarang dia. Akhirnya, ya ... Dazai pake cara iyh begitulah ke si suster buat dapetin HP. Secara dia ganteng dan berpengalaman sama cewek. Sebenernya belum

pasti, tapi susternya minta nambah. Jadi yha ... haha ('༎ຶ ͜ʖ ༎ຶ). Ini cuman ada di manga, btw.

Patah hati gak? Patah hati gak? YA PATAH HATI.

Makanya aku pake itu biar kita menderita bersama.

Iya, sama-sama.

Oke, deh. Bye bye!

Ketemu lagi nanti, yaww <3.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top