🍂 ; Akhir
Author Callamelatte
Tenma Tsukasa x Kusanagi Nene
Project Sekai Fanfiction
.
.
Warning !! Fanfict ini mengandung sedikit konten eksplisit seperti adegan berdarah dan slight Nsfw, read it on your own risk!
.
.
◈ ━━━━━━ ⸙ ━━━━━━ ◈
Dalam binarmu tercemin sebuah babak akhir dari tragedi ini.
Benar, kisah kita telah sampai di sini.
Aku berdoa, jika aku menghilang
Setidaknya kamu akan melihat ke belakang
untuk yang terakhir kali.
◈ ━━━━━━ ⸙ ━━━━━━ ◈
Di bawah taburan sinar emas serta angkasa jingga itu, kulihat semua orang bersorak padaku. Bukan sorakkan kemenangan dan kebanggaan yang sebelumnya sering mereka gaungkan setiap kali pasukan kami kembali dari daerah konflik dengan wajah sumringah, justru kebalikkannya.
Aku, Tenma Tsukasa, berdiri di atas panggung ini berhadapan dengan ratusan sorot mata yang memandangiku secara hina, dengan puluhan batu kerikil yang mendarat di dekatku, serta diiringi oleh cacian yang mereka suarakan secara kompak tertuju padaku.
Aku tidak bisa membalas, suaraku dibungkam, aku pun tidak bisa menangkis batu-batu tersebut dengan sebilah pedang yang selalu kubanggakan, tanganku diikat di belakang, hanya sorot mataku yang nanar yang menghadapi mereka, tetapi untuk apa? tidak akan ada yang menyelamatkanku di sini.
Lalu aku bertemu lagi dengan manik violet yang indah nan tajam itu, dia yang duduk di sebelah seorang ditaktor yang menyeretku ke dalam situasi ini, hanya diam di sana bagai boneka porselen yang diajak menonton sirkus. Entah ada makna apa yang tersembunyi di balik ekspresi dinginnya itu, kekecewaan? kesedihan? atau penyesalan? aku tidak paham, tetapi batinku berharap, setidaknya sebulir air akan jatuh dari pelupuk matanya dibandingkan memasang sorot kosong semacam itu, rasanya mengesalkan.
Kusanagi Nene, bahkan ketika kita sama-sama tahu bahwa kisah ini tidak akan berakhir bahagia, kau tetap angkuh, huh?
Algojo tampaknya tak sabar untuk memenggal kepalaku, jadi tanpa menunggu atau menawariku untuk mengucapkan kata-kata terakhir, dia langsung saja menyeretku ke bawah alat pancung, membuatku tengkurap dan memasukkan kepalaku ke dalam lubangnya. Aku hanya bisa pasrah, toh aku juga sudah tidak peduli lagi dengan segalanya, aku tidak marah, tidak pula menyayangkan.
Aku mendongak untuk yang terakhir kali, menghadap langit senja, sorot milik para pembenci, dan juga Wanita itu, meyakinkan diri bahwa ini memang akhir yang terbaik dan tiada yang aku sesali.
Sebelum akhirnya pisau tajam di atas sana pun menghantam leherku.
Kusanagi Nene, pada kehidupan selanjutnya, kuharap kita tidak akan pernah bertemu lagi.
◈ ━━━━━━ ⸙ ━━━━━━ ◈
Yang rakyat di Negeri ini tahu, tuan Duke Barat sangat menyayangi istrinya yang cantik bagai bidadari itu. Kisah romansa mereka sudah tersebar luas di berbagai wilayah. Bagaimana tidak? Duke Barat yang terkenal diktator dan dingin kepada semua orang ternyata bisa takluk juga jika dihadapkan dengan orang yang ia dicintainya, apalagi wanita itu awalnya adalah seorang budak yang ia selamatkan dari seorang saudagar yang kejam, sehingga kisah ini terlalu diromantisasi karena melibatkan antara bangsawan dan rakyat jelata. 'Apapun statusnya, semua akan tunduk jika dihadapkan dengan cinta,' begitulah kata mereka.
Tetapi yang aku tahu diktator tetaplah seorang diktator, seorang tirani yang tak memiliki belas kasih. Coba kau pikir rakyat saja tidak diberi ruang di dalam hatinya, apalagi seorang wanita biasa yang tidak jelas asal-usulnya?
Wanita yang disebut-sebut penakluk diktator itu bernama Kusanagi Nene, sebetulnya dia dibawa ke kediaman Duke kira-kira setahun yang lalu dari bordil yang Duke kunjungi pada malam itu. Tentu saja informasi ini ditutup rapat karena bisa mengancam citra seorang Duke yang dijunjung tinggi oleh rakyat, sehingga kisah pertemuan mereka ini pun diganti menjadi seorang budak yang diselamatkan oleh Duke dari seorang saudagar yang keji.
Soal cinta juga sama saja omong kosongnya. Semenjak hari pertama Nene tinggal di sini, tidak pernah sekalipun aku menyaksiskan cinta yang benar-benar tulus antara dua orang itu. Mungkin jika sedang berada di pesta atau kunjungan, kau akan melihat mereka mesra bagai orang yang dimabuk cinta, tapi jika kau tinggal di dalam kediaman Duke, kau akan tahu bahwa faktanya Duke tidak pernah sekalipun memberikan perhatian kepada perempuan ini, aku tidak pernah mendapati pemandangan mereka berdua berjalan-jalan di taman bersama atau minum teh berdua selayak apa yang dilakukan oleh pasangan bangsawan pada umumnya.
Bahkan Duke sendiri jarang bermalam di rumah, entah bordil mana lagi yang ia kunjungi, sehingga wanita yang ia bawa pulang tersebut selalu sendiri di dalam bilik mewahnya seperti burung kenari yang diperangkap di dalam sangkar.
Mungkin saking kesepiannya, sang kenari selalu membiarkanku masuk ke dalam sangkar emasnya tanpa ragu, bahkan ia selalu membiarkan pintunya terbuka setiap malam untukku.
Setelah memastikan bahwa lorong sepi dan seluruh penghuni sudah terlelap, aku melangkah masuk ke dalam bilik itu dengan berani, kemudian kutemukan sosoknya yang berbalut gaun piyama putih di atas balkon, dia bersenandung merdu sembari menengadahkan kepalanya ke hadapan rembulan, rambut halusnya tertiup angin malam. Pemandangan itu membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya aku menghampiri wanita itu sembari melepas jubahku dari badan.
"Bukankah sudah berkali-kali aku katakan, jika kau bernyanyi di bakon malam-malam begini dengan baju setipis itu, kau bisa sakit?" bisikku tepat di dekat telinganya sembari menyampirkan jubahku pada punggungnya yang kecil tersebut.
Dia terlompat sedikit dan cepat-cepat menolehkan kepalanya padaku, kedua matanya membulat sempurna sebelum ia menyipit untuk memasang muka masam. "Bisakah kau mengetuk terlebih dahulu? Aku hampir saja memukulmu karena mengira kau adalah seorang bajingan mesum," gerutunya sebal.
"Bajingan mesum? Apakah wajah tampanku ini tampak seperti itu?" Aku menggodanya dengan pura-pura cemberut, kulingkarkan lenganku di sekitar pinggangnya serta menaruh daguku di atas pundaknya.
"Daripada bajingan mesum, wajahmu lebih mirip ke hantu yang menyebalkan karena kau selalu saja mengagetkanku setiap malam," balasanya seraya melengos. Walau kata-katanya tajam, tapi tubuhnya tidak dapat berbohong, aku bisa meradakan bahwa dia rileks dalam dekapanku, mengindikasi bahwa dia menikmati kehangatan yang kuberikan untuknya meski dia bersikap angkuh. Aku memberikannya tatapan mengejek dalam hal ini.
"Kalau begitu jadikan ini pelajaran bahwa selanjutnya kau harus mengunci pintu setiap malam. Kau seharusnya tahu bahwa memang bahaya bagi perempuan membuka biliknya lebar-lebar seperti itu," tegurku halus. "Bagaimana jika yang masuk bukanlah aku, tetapi musuh yang tidak akan pernah kita tahu?"
Dia terdiam sejenak, lalu membalikkan badannya untuk menghadapku. "Jika memang terjadi seperti itu, kau akan datang untuk menyelamatkanku, 'kan?" tanyanya sembari menarik daguku. "Bukankah itu tugasmu, Tuan Kesatria?"
Sebelum aku sempat membalas, dia sudah memutus suaraku duluan dengan menyambar bibirku menggunakan miliknya. Mataku terbelak dan punggungku menegang, namun itu tak berlangsung lama karena pada detik selanjutnya aku langsung terbuai dalam ciuman tersebut.
Aku membiarkannya menjadi pemegang kendali atas gairah kami, jadi aku hanya pasrah saja ketika ia mendorong tubuhku ke atas ranjangnya yang empuk dan menibanku tanpa melepas pagutan bibir kami, kubiarkan tangannya mengusap pangkal leherku yang menciptakan sensasi yang menggelitik sehingga desahan lembut lolos dari bibirku, kubiarkan dia bertindak sesuka hati untuk melepas hasratnya yang tidak terpenuhi dari pria itu.
Dia baru menarik dirinya ketika nafas kami habis, wajah kami sama-sama memerah, dada kami naik-turun secara seiras. Kupandangi wajahnya yang diterpa sinar rembulan dari bawah sini begitu aku membuka kedua mataku perlahan, tanganku pun meraih pipinya yang hangat serta mengelusnya pelan-pelan.
Dia sempurna, dan memanglah sempurna. Kulitnya bersih tanpa noda, manik violetnya bercahaya, rambutnya yang membingkai wajahnya sangat panjang dan halus, menyebabkanku tidak bisa menahan diri untuk tidak memelintir sehelai rambutnya menggunakan jemariku.
Sampai sekarang aku heran mengapa Duke masih saja berpergian ke luar setiap malam untuk mengencani wanita-wanita lain ketika ia memiliki perempuan sesempurna ini di rumahnya, namun sebagai sesama lelaki, aku paham rasa ingin memiliki ketika kau menemukan permata yang sungguh cantik, keinginan untuk memiliki permata itu sesutuhnya dan hanya kau saja yang bisa menikmatinya. Akan tetapi berbeda dengan Duke yang ingin memilikinya sekadar untuk pajangan yang dibanggakan, aku tidak ingin berpikir secara demikian.
Aku ingin merawat permata itu secara sungguh-sungguh, memolesnya penuh kasih, membuatnya bersinar lebih terang dengan menghujaninya kebahagiaan setiap hari. Memikirkan hal tersebut terkadang membuatku sesak, mengingat bahwa dia bukanlah milikku, melainkan lelaki tak bertanggung jawab tersebut.
"... Nene, pernakah kau berpikir untuk melarikan diri bersamaku?" tanpa sadar mulutku melontarkan pertanyaan tersebut, yang membuat kami sama-sama terkejut.
"Uh... M-maksudku, daripada kau di sini menunggu hal yang tidak pasti terus ... bukannya lebih baik keluar dari zona itu ...?" Aku meluruskan, suaraku terbata-bata karena gugup.
"Memanganya, apa yang kau mau lakukan jika kita melarikan diri?" Kukira dia akan mendampratku karena telah bertanya aneh-aneh, tapi sebaliknya dia tampak serius menaggapiku, apa ini sebuah pertanda bagus?
"Kita bisa tinggal jauh dari sini, mungkin kita dapat kabur luar negeri? Sebagai kapten pasukan khusus, aku tahu banyak berbagai orang terpercaya yang dapat membantu kita sehingga kau tidak perlu khawatir," jelasku penuh percaya diri. "Kau tahu jika kita berhasil kabur, mungkin kita bisa memiliki sebuah pondok di dalam hutan untuk menghindari keramaian yang kau benci itu, kau juga bisa menjadi penyanyi Opera sesuai impianmu. Kita bisa menjadi diri kita yang kita mau tanpa harus takut. Bukankah kehidupan semacam itu yang kau dambakan, Nene? Sebuah kebebasan?"
Dia diam, mataku tertuju padanya penuh harap, berharap ia sependapat denganku, berharap akhirnya ia menerima uluranku untuk keluar dari sangkarnya yang menyesakkan ini.
"Tsukasa." Dia membuka mulutnya, "... Kau tahu bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, bukan?"
"Apa maksudmu? Apa kau tidak percaya denganku?" tanyaku, terselip nada kekecewaan di dalamnya.
"Bukannya aku tidak percaya, tapi sejak awal aku tidak mempunyai alasan untuk kabur bersamamu," jawab Nene yang malah makin membuatku bingung.
"Mungkin kau menganggapku tersiksa di dalam sini, dan ya kau tidak sepenuhnya salah, hidupku semenjak tinggal di tempat ini sangatlah membosankan. Namun kau tahu mengapa aku bertahan?" lanjutnya. "Karena aku mencintai pria itu."
"Kau ... mencintai pria yang telah mengambil kebebasanmu?" Dahiku mengkerut, semakin dia menjelaskan, semakin membuatku tidak paham dengan kalimatnya yang saling berkontradiktif.
"Tsukasa, perlu kau tahu bahwa cinta itu rumit, dan ya, aku mencintai pria itu. Walau terdengar tak masuk akal, namun memang itulah adanya. Bagaimanapun juga, dia adalah penyelamatku, pangeran berkuda putihku yang membawaku keluar dari rumah bordil itu," balasnya datar. "Jadi sampai akhir, perasaanku akan tetap untuknya."
Aku dibuatnya tak dapat berkata-kata, mataku mencoba mencari ketulusan yang ada di wajah Nene selagi ia mengatakan hal tersebut, namun yang ketemukan adalah sorot tanpa ekspresi yang gagal kupahami. "Lalu ... Kita ini apa, Nene?"
"Kau ... dan aku, hanyalah dua jiwa yang kesepian dan bertemu hanya untuk mengisi kekosongan itu, tidak lebih," dia menjawab lagi, kini dengan nada yang lebih tegas. "Jadi kuharap kau tidak menyimpan harapan padaku dalam hubungan ini."
Hatiku terasa pilu setelah mendengar balasan Nene, tetapi aku mencoba memahami prespektif miliknya. Di mata Nene aku hanyalah pelampiasan rasa kesepiannya yang mendambakan cinta, dia pun menganggapku demikian, sehingga ia mengira bahwa aku hanya memanfaatkannya selayak ia memanfaatkanku, padahal kenyataanya tidak seperti itu.
Sisi rasionalku mengatakan bahwa alasan-alasan yang ia lontarkan itu tetaplah tidak masuk akal, bahwa mungkin saja dia sudah dicuci otaknya oleh diktator tersebut, akan tetapi begitu aku bertemu dengan sorot violetnya yang menatapku lurus, di sanalah aku tersadar bahwa aku tidak memiliki ruang untuk menjelaskan diri lebih lanjut.
"Aku mengerti ... Kau benar, kita tidak bisa lebih dari ini," ungkapku setengah hati. "... Tetapi bisakah aku tetap terus berada di sisimu, Nene?"
Bodoh, aku tahu bahwa itu adalah permintaan terbodoh yang pernah terlontar dari mulutku. Namun aku bisa apa? aku tidak pandai membohongi perasaanku, tak terpungkiri hatiku hancur mendengar pernyataanya barusan itu, tapi dengan bodohnya aku masih saja berharap bahwa masih ada kesempatan untukku, masih tersisa keinginanku untuk membuatnya bahagia walau di akhir sangat tidak mungkin bagi kami untuk melalui jalan yang sama.
Terus berada di sampingnya, hanya sekadar itu, bagiku saat ini sudah cukup.
Dan dia perlahan mengangguk, jemarinya bergerak mengelus pipiku selagi pandangannya sedikit melembut. "Tentu kau bisa, karena kau adalah kesatriaku, Tsukasa."
Kesatria.
Benar, aku adalah kesatrianya. Tugasku adalah menjaga Nene dengan segenap raga dan jiwaku, termasuk menjaga apapun yang menjadi kebahagiaanya tersebut, itulah sumpahku pada hari di mana aku dilantik menjadi kesatrianya di hadapan semua orang. Walau aku harus rela berkorban segala yang kupunya untuknya, walau aku tahu aku tidak akan pernah mendapat keuntungan dari hubungan yang tidak jelas ke mana arahnya ini ....
Ya, aku sudah tidak peduli lagi dengan kemungkinan terburuk jika kami terus mempertahankan hubungan kami maupun akhir tidak bahagia sedang menunggu kami di depan sana.
Karena sesuai ungkapan Nene, cinta memang serumit itu.
◈ ━━━━━━ ⸙ ━━━━━━ ◈
Suara sebilah pisau besar tajam yang terjatuh dari atas menyebabkan napas puluhan orang yang menyaksikan eksekusi ini tercekat, termasuk aku. Akan tetapi setelahnya mereka kembali bersorak-sorai setelah mereka mengetahui bahwa orang yang dianggap sebagai menodai negeri ini telah mati. Ketika algojo dengan bangga mengangkat kepalanya dari dalam keranjang, aku segera menutup kedua mata, aku sudah tidak ingin melihatnya lagi.
Tenma Tsukasa, seseorang yang dipercaya telah memperkosa istri tercinta Duke Barat dan mencemari nama Kesatria negeri ini, telah mati pada pukul dua belas siang. Kematiannya yang tragis disaksikan oleh banyak orang secara hina karena ia dianggap sebagai penghianat Negara.
Tidak ada satupun kata yang cocok untuk menggambarkan duniaku selain hancur. Penyesalan terus membuat dadaku terasa penuh, seharusnya aku yang berdiri di atas panggung kematian itu karena akulah yang menariknya ke dalam sangkarku, rasa egoisku-lah yang menjebaknya ke dalam hubungan kami yang rumit ini sehingga kisah ini berakhir menjadi tragedi romantis. Aku begitu naif dengan berpikir bahwa dengan mempertahankan hubungan kami yang tidak memiliki nama itu, maka aku dapat melindunginya dari potensi bahaya yang akan kami hadapi.
Namun, aku salah, salah besar.
Tenma Tukasa, kesatriaku yang sangat loyal, bahkan sampai akhir hayatnya ia rela mengorbankan segalanya untukku. Dia rela dituduh sebagai pemerkosa agar namaku tetap suci, dia rela memberikan nyawanya agar aku tetap terus hidup.
Tapi sungguh, bukan pergorbanan semacam inilah yang kumau.
Jika aku tahu bahwa perkataanku pada malam itu akan semakin membuat kami terjebak pada situasi yang semakin sulit, seharusnya aku tidak usah berbohong soal perasaanku, seharusnya saat itu aku menerima ulurannya saja dan berlari ke tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri, bersama-sama.
Dengan begitu akankah dia akan menemui akhir yang sama saja tragisnya dengan ini?
Aku tidak tahu, yang jelas sudah terlambat untuk mempertanyakan hal itu. Air mataku jatuh menangisi penyesalan tersebut, tembok yang sudah susah payah kubangun sedari tadi akhirnya runtuh.
Kuambil sebilah pedang yang kusimpan di bawah kursiku, pedang yang selalu dibanggakan Tsukasa, pedang yang selama ini telah melindungi banyak orang, pedang yang diberikannya padaku di saat-saat terakhir kehidupannya.
Tanpa satupun keraguan, aku mengayunkannya secara cepat ke leher diktator yang duduk di sebelahku, menebas wajah sumringahnya yang sangat membuatku jengkel. Seketika sorot mata di sana tertuju padaku, wajah mereka menjadi pucat pasi tatkala menyaksikan babak baru tragedi berdarah ini.
Aku tidak peduli bahwa gaun mewah serta riasanku menjadi dilumuri oleh darah diktator yang menjijikan itu ataupun kemungkinan besar kehidupanku yang akan berakhir tragis juga, setidaknya inilah hal terakhir yang bisa kulakukan untuk membalas segala kebaikan yang telah ia berikan padaku.
Aku tidak rela kematiaanya dianggap sebagai sebuah penghinaan oleh mereka, bagiku dia tetaplah seorang kesatria sampai akhir hidupnya. Kesatria yang aku cintai.
—Mungkin di kehidupan selanjutnya kita akan menemukan akhir yang lebih bahagia, Tenma Tsukasa.
[ E N D ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top