MEMBUNUH ATAU DIBUNUH
"Kamu gila, Ci!" Intan mendamprat gadis yang kini tengah duduk di lantai kamarnya.
Suci menatap sahabatnya lelah. "Suci sudah tidak tahu harus bagaimana, Ntan. Mas Radit terus-terusan mengancam Suci. Kalau Suci mempertahankan kehamilan ini, Papa Mama juga pasti tanya siapa ayahnya. Mana mungkin Suci tidak jawab. Kalau Suci jujur, entah apa yang bakal Mas Radit lakukan."
Intan mengembuskan napas panjang. "Kamu yakin? Aborsi bukan hal sepele, Ci."
Suci bukannya tidak tahu akan hal itu. Berbagai kemungkinan terburuk dari proses aborsi sudah ia rinci. Mulai dari akibat bagi tubuhnya, bisa jadi ia akan mengalami pendarahan, ia pun bisa kehilangan kesempatan untuk mengandung jika prosesnya kurang steril, atau yang lebih mengerikan adalah kematian.
Belum lagi akibat ke kondisi kejiwaannya. Apakah ia siap menanggung rasa bersalah seumur hidup? Selalu terbayang akan rupa darah dagingnya yang dengan paksa ia keluarkan dari rahim.
Terlebih dosa besar yang tidak mungkin diampuni lagi. Semua sudah ia pikirkan. Namun, jika tetap mempertahankan bayinya, tak sedikit yang harus ia korbankan. Hal terbesar yang memberatkan tentu saja pada orang tua.
"Suci pasrah, Ntan," ucapnya penuh keputusasaan.
Untuk sesaat hanya terdengar alunan lirih lagu Lose You to Love Me dari Selena Gomez.
I gave my all and they all know it
You turned me down and now it's showing
In two months, you replaced us
Like it was easy
Made me think i deserve it
Suci menertawai dirinya sendiri, entah mengapa lagu itu terasa seperti menyindirnya. Ya, dia sudah menyerahkan segala yang dimiliki, tapi dengan mudahnya Raditya pergi, seolah tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka.
"Coba kamu ngomong ke Tante Sarah, Ci. Aku yakin mamamu pasti lebih bijak mengambil keputusan," usul Intan.
Suci menggeleng. "Suci tidak mau bikin Mama sedih."
Intan menggeram frustasi. "Ya, tapi perutmu itu lama-lama juga tambah besar. Cuma nunggu waktu sampai semua terbongkar, Ci, bedanya cuma sekarang atau besok aja 'kan?"
"Makanya tadi Suci bilang gugurkan saja. Itu yang terbaik, Ntan."
"Terus kalau ada apa-apa sama kamu gimana? Kamu pikir mama papamu bakal seneng, happy karena anaknya tidak berhasil mencoreng nama baik mereka, gitu?"
"Om Yudhis janji bakal mencarikan dokter yang ahli, Ntan."
"Temen papaku dokter jantung, Ci, udah profesor malah. Kamu tahu matinya kenapa? Sakit jantung! See ... nggak bisa jadi patokan."
"Terus Suci harus gimana? Kalau menuruti ego, Suci maunya mempertahankan bayi ini. Suci bakal besarkan, Suci bakal buktikan ke Mas Radit dan keluarganya kalau Suci mampu. Suci bakal membesarkan anak ini sampai jadi orang sukses, Ntan. Biar mereka menyesal sudah membuangnya!"
"Kalau gitu buktikan, Ci. Tunjukkan ke orang-orang sombong itu kalau kamu mampu." Intan terus menyemangati Suci agar terus berjuang.
Ia tidak ingin Suci mengalami nasib yang sama seperti Gadis—kakak pertamanya—yang harus meregang nyawa saat berusaha menggugurkan kandungannya. Masih teringat jelas di ingatan, bagaimana menyesalnya orang tua Intan saat kabar bahwa Gadis meninggal dunia. Bahkan hingga saat ini mereka masih merasa bersalah sudah menyuruh Gadis untuk Aborsi. Itulah alasan mengapa Intan sangat membenci Raditya dan Fathur. Dan ia begitu menentang keputusan Suci untuk aborsi.
"Suci takut," lirihnya.
"Kamu takut? Apa kamu nggak takut sama murka Allah? Apa pas kamu tidur sama Radit, kamu juga takut? Waktu itu kamu nggak takut, kamu juga nggak malu sama Allah. Jadi jangan ngomongin malu sama takut sekarang. Semua sudah terlambat! Sorry, Ci, aku terpaksa ngomong gini. Aku sayang banget sama kamu, Ci, aku nggak mau kamu kayak Mbak Gadis."
Ucapan Intan terasa seperti tamparan keras bagi Suci. Ya, dua bulan lalu—saat malam terkutuk itu—Suci bahkan tak mengingat akibat dari nafsu sesaatnya.
Nasehat Intan masih terus terngiang, berulang kali terputar otomatis di otaknya. Namun, semua keputusan ada di tangan Suci. Sebanyak dan sesering apa pun Intan memberi masukan, jika Suci masih tetap bertahan pada keyakinannya pun percuma.
Pertanyaannya, sanggupkah Suci membesarkan anak tanpa suami. Yang perlu Suci lakukan adalah banyak-banyak mencari info seputar orang tua tunggal. Entah itu dari artikel, berita, kolom curhat, maupun cerita yang bertebaran di platform kepenulisan.
"Beneran kamu mau pulang sendirian? Aku anterin aja, ya, Ci," paksa Intan.
"Tidak usah, Ntan. Masih sore gini, kok. Lagian Suci pengin beli lapis legit di depan sana, kalau kamu antar pakai mobil malah susah parkir," tolak Suci sembari memakai sepatu kets.
"Begitu sampai rumah, kabari aku," pesan Intan.
Walau sudah memasuki bulan November, langit Jakarta masih terlihat cerah. Hujan pun baru sekali dua kali turun. Cuaca hari ini terasa nyaman untuk mencari udara segar. Masih terang, tapi tidak panas.
Suci memutuskan berjalan kaki sebentar lagi. Ia sengaja mengambil jalur hijau yang rindang dan tidak terlalu ramai. Dua kantong lapis legit kesukaan Sarah sudah dibawa. Sudah lama ia tidak makan cemilan sambil menonton film bersama Sarah. Ia terlalu sibuk memikirkan diri sendiri.
Suci memperlambat langkah, entah mengapa sepertinya ada seseorang yang mengikuti. Sejak keluar dari rumah Intan, ia sudah merasa diawasi. Suci menghentikan langkah lalu melihat ke belakang, mencari apakah ada orang yang terlihat mencurigakan. Namun, ia tak menemukan siapa pun.
Mungkin hanya perasaan Suci saja. Ia kembali melangkah. Akan tetapi, rasa itu kembali hadir. Suci memutar tubuh dengan mendadak, tapi lagi-lagi tak ada orang lain di sana.
Suci memutuskan untuk naik taksi online. Ia beralih ke bahu jalan sembari sibuk memesan lewat aplikasi ojek online. Matanya terlalu fokus pada layar gawai, hingga tak sadar saat sebuah motor berlari kencang menuju arahnya.
Semua terjadi begitu cepat. Sepeda motor yang seharusnya tidak melewati trotoar, entah kenapa malah dipacu sekencang mungkin. Suci tak sempat menghindar saat roda depan dan setang motor menyenggol tubuhnya.
Suci terpelanting kencang, tubuhnya membentur jalan beraspal cukup keras, hingga tersungkur di tanah. Teriakan dari orang di sekitar tak dapat menghentikan si pengendara motor.
Sekilas Suci melihat pria berjaket hitam dengan helm menutupi seluruh wajah itu sempat menengok ke arahnya. Namun, hanya sepersekian detik sebelum akhirnya ia tertelan ramainya jalan ibukota.
Sakit. Perutnya terasa begitu nyeri. Suci tak peduli pada luka lain di tubuhnya, yang ia pikirkan adalah bayinya. Orang-orang berkerumun di sekitarnya, bersahut-sahutan menanyakan keadaannya.
Perut bawahnya begitu nyeri. Rasanya tak tertahankan.
"Mbak ... Mbak Suci."
Di sisa kesadaran, Suci mendengar namanya disebut.
"Tolong, Pak. Tolong bayi saya," lirihnya sebelum semua menjadi gelap.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top