MAAFKAN MAMA, NAK

"Gugurkan!"

Suci menatap nanar pada Rahmad. Ia tak menyangka papanya akan mengusulkan untuk menggugurkan kandungan.

"Pa, bahaya." Sarah terdengar tidak menyetujui usul suaminya.

"Banyak dokter ahli. Bagaimana pun janin itu harus digugurkan. Papa tidak mau punya cucu hasil zina." Rahmad menatap tajam ke arah dua wanita di depannya. "Tidak ada garis keturunan kita yang mempunyai aib seperti ini. Pokoknya kamu harus nurut kalau masih mau jadi anak Papa," ucap Rahmad sebelum berjalan ke luar kamar, meninggalkan Sarah dan Suci yang terdiam mematung.

Hanya suara dengungan mesin pendingin ruangan yang mengisi kehampaan di dalam kamar. Tak ada dari seorang pun di antara mereka yang berani memulai percakapan. Sarah sadar, keputusan suaminya sudah bulat. Dan hanya itu satu-satunya solusi terbaik. Namun, ia pun tidak tega jika harus membunuh bakal calon cucunya.

Kata dokter, kandungan Suci sudah memasuki minggu ke-11, dimana janin sudah mulai terbentuk. Bagaimana Sarah bisa membiarkan dokter atau siapa pun nanti mengoyak tubuh bayi tak berdosa itu. Ia akui, putrinya telah melakukan kesalahan fatal. Sarah pun tidak bermaksud melindunginya, tapi dosa orang tua tidak seharusnya dilimpahkan pada anak yang bahkan belum menghirup udara dunia.

"Suci takut, Ma," lirih Suci akhirnya. Ia tak tahan berdiam-diaman terlalu lama dengan sang Mama. Terlebih kegamangan yang dirasakannya perlu dinetralkan.

Sarah menepuk-nepuk punggung tangan putrinya. "Mungkin ini yang terbaik, Nak. Mama sebenarnya juga tidak tega, tapi masa depanmu lebih penting."

"Kalau Suci nekat mempertahankan kandungan ini bagaimana, Ma?"

Sarah mengerutkan dahi. "Apa kamu yakin mau punya anak tanpa suami? Apa kamu sanggup membesarkan anak sendirian, Suci? Kalau Mama tidak mungkin sanggup mendengar omongan keluarga dan orang-orang, Nak. Terlebih papamu pasti juga tidak setuju. Punya anak itu bukan hal gampang, apalagi kamu masih kuliah. Kamu nurut sama Papa saja ya, Nak."

Suci menghela napas panjang. "Suci takut dosa, Ma."

"Lebih takut mana kalau kamu malah membiarkan anak itu tidak punya ayah? Dia bakal dihina seumur hidup. Mama mohon, turuti perintah Papa."

Suci memalingkan wajah, menyembunyikan kekecewaan yang teramat sangat. Sebenarnya bukan masalah besar jika ia harus jadi buah bibir bahkan bahan olokan seumur hidup. Toh itu memang balasan yang harus diterima karena telah melanggar norma sosial. Yang ia butuhkan hanya dukungan moral dari Rahmad dan Sarah. Cukup dengan kasih mereka, Suci yakin bisa menjalani ujian dengan baik. Namun, harapannya tak membuahkan hasil. Menggugurkan kandungan adalah solusi yang harus ia jalani.

"Maafkan Mama, Nak. Mama tahu, perbuatan Mama sama sekali tidak bisa dimaafkan. Namun, mungkin ini yang terbaik untukmu," ucap Suci dalam hati.

Suci mengusap perut bawah yang terasa kencang, terasa sedikit nyeri hingga menembus pinggang. Mungkin janin di rahimnya mengetahui kebimbangan dalam benak Suci.

***

Suci menatap ngeri pada peralatan yang ditata sedemikian rupa di atas meja. Segala macam pisau—entah apa saja kegunaannya—tersusun rapi mulai dari yang terkecil hingga besar. Ada pula alat seperti tang, tapi lebih panjang dan kecil dengan ujung pisau tajam.

Suci menelan saliva berkali-kali, diremasnya ujung baju operasi berwarna hijau yang telah ia kenakan. Suci tak bisa membayangkan alat-alat itu akan dipakai untuk mengeluarkan calon bayinya. Terbersit keinginan untuk angkat kaki dari ruang praktek dokter, yang menurut papanya sudah profesional untuk melakukan aborsi.

Ujung-ujung jarinya terasa sedingin es, ditambah dengan suhu ruang yang sangat rendah, membuat tubuhnya menggigil. Disentuhnya permukaan tempat tidur yang akan menjadi lokasi penjagalan janinnya.

"Sudah siap 'kan?" Seorang wanita berpakaian serba putih dengan masker wajah dan penutup rambut menepuk pundak Suci. "Tenang saja, mama papamu menunggu di luar. Sekarang, kamu naik ke kasur."

Tidak. Suci sama sekali tidak siap. Namun, wanita—yang Suci tebak sebagai dokter—itu perlahan mendorongnya untuk menaiki ranjang. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Suci menuruti detail perintah sang dokter. Hingga tanpa ia sadari kedua kakinya sudah terangkat tinggi, mengangkang lebar dengan ditopang alat yang ada di kanan kiri tempat tidur.

Suci dapat merasakan detak jantungnya meningkat. Terlebih saat dokter itu mulai memakai sarung tangan karet.

"Kamu takut, ya?"

Benar-benar pertanyaan retoris. Wanita mana yang baik-baik saja jika berada di posisi Suci.

"Santai saja. Nggak akan terasa sakit. Nanti saya resepkan obat penghilang nyeri. Tidak sampai setengah jam juga janin di kandunganmu sudah keluar. Nanti saya kasih bius lokal, jadi tidak akan terasa sakit."

Bukan rasa sakit yang Suci takutkan. Namun, ia yakin tak akan dapat membendung perasaan menyesal dan bersalah telah mengakhiri hidup buah hatinya.

"Kita mulai, ya. Tarik napas panjang. Mungkin agak tidak nyaman saat saya menarik paksa potongan tubuh bakal bayimu."

Suci mengangkat sedikit kepala guna melihat apa yang tengah dilakukan dokter itu padanya. Suara denting benda logam terdengar begitu memekakkan telinga, membuat sekujur tubuh Suci meremang. Saat dokter mengambil benda kecil berbentuk seperti peluru, ketakutan Suci bertambah berkali lipat.

Suci tidak sanggup melakukannya. Tepat saat jemari dokter menyentuh permukaan kulit paha dalamnya, secepat kilat Suci menurunkan tungkai.

"Tidak, Dok!" Suci berguling ke kanan lalu bergegas turun dari tempat tidur. "Saya tidak mau menggugurkan janin ini, Dok."

Suci memeluk erat perutnya. "Saya tidak mau jadi pembunuh, Dok." Suci berbalik menuju ruang sebelah untuk berganti pakaian.

Tanpa Suci ketahui, sang dokter tersenyum lega sembari membereskan peralatannya. Tak pernah sekali pun ia merasa senang, setelah dengan terpaksa membunuh puluhan jabang bayi yang tidak berdosa. Bahkan mimpi buruk kerap menghampirinya di malam hari. Setiap kali ada perempuan yang membatalkan niat untuk menggugurkan kandungan, ia selalu mengucap syukur.

***

"Apa maumu, Suci?" Rahmad menggebrak meja di ruang keluarga, hingga cangkir teh di atasnya terguling.

"Suci tidak mau jadi pembunuh, Pa! Kalau Papa malu, tidak mau lagi menganggap Suci sebagai putri Papa, Suci ikhlas kalau harus keluar dari rumah ini." Suci duduk tegak tepat di hadapan Rahmad.

Tekad Suci sudah bulat. Ia akan tetap mempertahankan kehamilannya, tak peduli jika Rahmad murka.

"Anak kurang ajar! Ini balasanmu pada orang tua yang sudah membesarkanmu, hah? Bisa-bisanya kamu mencoreng arang di muka Papa!"

"Suci tahu sudah berbuat salah, Pa, karena itu Suci tidak mau menambah kesalahan lagi yang akan Suci sesali seumur hidup. Suci bisa pergi dari kota ini, Suci bisa sembunyi di desa atau di mana saja tempat yang tidak ada seorang pun yang kenal sama Suci."

"Kamu pikir kalau kamu keluar dari rumah ini, lalu semua masalah selesai?" Rahmad menopangkan kedua siku di paha. "Cepat atau lambat, orang-orang akan tahu kalau kamu, putri dari Rahmad Suhendra, hamil tanpa suami. Itu yang kamu mau?"

Suci menggeleng cepat.

"Bagaimana kalau Suci kita titipkan dulu di rumah Bulik Sri di Jombang, Pa? Setelah Suci melahirkan, kita bisa cari orang yang mau mengadopsi bayi itu," usul Sarah. Sri—mantan asisten rumah tangga mereka dulu—pasti dengan senang hati menampung Suci untuk sementara.

"Tidak mau, Ma! Tolong jangan pisahkan Suci sama anak ini." Walau belum lama mengetahui kehadiran kehidupan baru di rahimnya, rasa kasih dan sayang alami seorang ibu terhadap anaknya telah tumbuh subur di hati Suci.

"Lihat kelakuan anakmu itu. Benar-benar tidak tahu terima kasih!"

"Bukan seperti itu, Pa. Suci selalu menyayangi, menghormati, dan sangat berterima kasih pada Mama Papa, tapi Suci juga sayang sama anak ini." Suci menoleh pada Sarah. "Mama pasti juga tidak mau kan kalau harus pisah sama anak Mama?"

"Beda, Suci! Mama punya papamu sebagai suami Mama."

Rahmad terlihat menautkan kedua alisnya. Sesaat ia memikirkan kemungkinan adanya solusi lain.

"Kalau kamu tetap mau mempertahankan janin itu, kamu harus mau menerima siapa pun yang Papa pilihkan sebagai suamimu."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top