KEJUTAN YANG MENGEJUTKAN
"Suci, kamu tambah gemuk, ya?"
"Eh, iya. Padahal bulan kemarin Bude lihat badanmu masih langsing."
"Kamu harus diet, Ci. Masak kalah sama Mbak Hani yang anaknya sudah 2."
"Perawan harus jaga badan. Biar laku."
"Lihat perutmu besar gitu, hampir sama kayak Vina yang hamil tujuh bulan."
Suci diam-diam menghela napas panjang. Belum ada lima menit ia di sana, berbagai sapaan sudah menerpa. Entah siapa saja yang tadi berpeluk cium sambil mengkritik dirinya, Suci bahkan tidak terlalu mengenali mereka.
"Iya, Tante Bude, Suci baru banyak tugas di kampus. Kalau stres napsu makan Suci bertambah," jelas Suci cepat sambil mengulas senyum.
Sarah mengamati tubuh putri semata wayangnya dari atas ke bawah. Ia baru sadar, ada yang berubah pada anak gadisnya. Benar, Suci lebih berisi. Terutama di bagian perut dan pinggulnya.
"Tuh kan, Mama bilang apa. Akhir-akhir ini makanmu nggak terkontrol," timpal Sarah.
"Coba kamu ikut pilates atau yoga, Ci."
"Nah, benar kata tantemu."
Entah siapa bicara apa, semua hanya terdengar seperti dengungan lebah. Suci hanya perlu memasang senyum, dan mengiyakan saran atau kritikan mereka.
Belum juga acara pengajian dan ritual tujuh bulanan dimulai, Suci sudah merasa mual. Terlebih aroma bunga melati dan sedap malam yang menusuk hidung, semakin membuat perutnya diaduk-aduk.
Sekuat tenaga Suci menahan keinginan untuk mengeluarkan isi perut. Namun, semakin ia menekan rasa mual, semakin kuat pula dorongan dari dalam perut.
Tanpa pamit, Suci bergegas ke kamar mandi yang berada di dekat dapur. Dinyalakan air agar suara muntahnya tidak terdengar keluar. Karena tadi ia belum sempat sarapan, alhasil tak banyak yang keluar dari perut. Namun, rasanya malah lebih menyiksa, pahit dan menusuk di ulu hati.
Hampir sepuluh menit Suci berada di kamar mandi. Tubuhnya terasa lemas, pening yang teramat sangat membuatnya terus-terusan ingin muntah.
"Suci."
Ketukan di pintu membuatnya bergegas merapikan diri. Dari kaca kamar mandi, sangat terlihat lingkaran hitam dan bibirnya yang pucat. Cepat-cepat ia menambahkan bedak tabur dan lipstik tipis.
"Suci." Kembali terdengar ketukan dibarengi suara Sarah yang memanggilnya.
Setelah memastikan tampilannya di kaca sekali lagi, barulah Suci berani keluar.
"Kamu kenapa, Ci? Kok lama sekali di kamar mandi? Kamu habis muntah ya?" tanya Sarah sembari mengelus lengan putrinya.
Suci tak berani menatap mata ibunya. "Suci nggak apa-apa, Ma. Cuma mules. Mungkin kemarin salah makan waktu sama Intan," bohongnya.
"Dulu mbakyumu Vina waktu awal-awal hamil juga gitu, katanya mual sama mules. Dikiranya masuk angin, ternyata isi," timpal Wiwik seraya menyiapkan makanan ringan.
Ucapan Wiwik membuat Suci gelagapan. "Mungkin karena beberapa hari ini Suci sering begadang, Bude." Suci berdehem untuk menghilangkan kegugupannya.
"Jangan lupa istirahat, Ci. Tidak bagus terlalu memforsir badanmu. Nanti malah bisa sakit," nasehat Wiwik.
"Bener kata budemu, Ci. Kuliah ya kuliah, tapi badan tetap butuh istirahat. Bagus kalau kamu memang belajar," timpal Rusti—adik Sarah—yang sedang membantu Wiwik di dapur, "asal jangan pamitnya belajar, tapi kenyataannya malah pacaran."
"Nah, kayak anaknya Saiful, itu lho, Rus, yang rumahnya di ujung jalan. Kemarin dinikahkan bapaknya gara-gara hamil. Katanya kuliah di Bandung, eh, pulang-pulang malah sudah isi." Wiwik berkata sambil terus menata jajan pasar di tampah.
"Kalau seperti itu 'kan bikin malu orang tua. Keluarga kita jangan sampai ada yang hamil di luar nikah lah. Memalukan."
Suci seolah ditampar. Hanya karena nafsu sesaat, ia telah membuat keluarganya menanggung malu.
"Ayo masuk, acaranya sudah mau mulai," ajak Wiwik.
Suci mengekor dalam diam. Upacara tujuh bulan kakak sepupunya cukup mewah. Hiasan bunga serta gubug yang nanti akan digunakan sebagai lokasi siraman pun terlihat indah.
Bohong jika Suci tidak iri. Wanita mana yang tidak suka jika kehamilannya disambut gegap gempita, dirayakan mewah, dan dapat dibangga-banggakan oleh seluruh keluarga. Suci sangat ingin.
Namun, ia sadar. Angannya tak mungkin terkabul. Jangankan menggelar upacara kehamilan, untuk mengakui bahwa ia tengah berbadan dua pun tak ada nyali.
"Ganteng juga pacarnya si Vania. Dengar-dengar dalam waktu dekat mereka mau tunangan," bisik Rusti kepada Sarah.
"Masih muda begitu?" timpal Sarah.
Suci mendengarkan sekilas obrolan ibunya dengan Rusti. Kepala ia tundukkan agar hidungnya tak menghirup aroma menyengat. Rasa mual masih ia rasa, walau sudah tidak separah tadi.
"Dengar-dengar dijodohkan sama Mas Suryo. Yang laki-laki anak teman bisnisnya kalau nggak salah."
"Oh pantes, tapi cocok. Vania cantik, cowoknya juga tampan. Vania apa sudah lulus?"
"Sudah skripsi katanya kemarin. Yang cowok juga masih kuliah, ngambil desain interior di LaSalle College."
"Lhoh, sekampus sama kamu, Ci. Coba kamu lihat, jangan-jangan kamu kenal." Ucapan Sarah mau tidak mau membuat Suci mendongakkan kepala.
Ia mencoba mencari sosok laku-laki seperti yang digambarkan Sarah. "Yang mana, Ma?" Suci tsk dapat menemukan pria yang dimaksud.
"Itu yang pakai kemeja merah marun," tunjuk Sarah dengan dagunya.
Tepat lima belas meter di depan Suci, seorang pria tengah duduk di samping Vania sambil sesekali saling berbisik. Netra Suci nanar menyaksikan kedekatan sepupunya dengan lelaki tersebut.
Benar kata peribahasa 'dunia seluas daun kelor', Suci sudah membuktikannya. Lelaki itu—Raditya Arkaan Sadiki—pria brengsek yang telah menghancurkan hidupnya, kini tengah membangun masa depannya sendiri.
*****
Ulalaaaa ....
Ternyata oh ternyata ....
Pantesan si Yudhis nyuruh Suci aborsi ....
Ck ck ck ....
Nasib nasiiiib ....
Terima kasih
Love,
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top