ANCAMAN
Raditya memandang sekeliling sambil sesekali menanggapi cerita Vania tentang keluarga besarnya. Jika bukan karena paksaan Yudhistira, ia tak akan mau datang ke acara tidak bermutu seperti ini.
Pertama, Raditya bukan-belum-menjadi bagian keluarga Vania. Mereka baru dijodohkan sebulan lalu, masih terlalu dini untuk masuk terlalu dalam ke keluarganya.
Kedua, Raditya bukan orang yang menyukai acara penuh basa basi busuk seperti ini. Harus mendengarkan ceramah dan bacaan surat-surat yang seumur-umur tak pernah ia kenal, membuat rasa enggannya bertambah. Dia lebih memilih tidur atau berkumpul dengan teman-teman di kafe.
Jika bukan karena memikirkan nasib perusahaan papanya yang di ujung tanduk, Raditya tidak akan mau dijodohkan dengan Vania. Bukan karena Vania jelek. Gadis itu cantik, badannya bagus, dan pembawaannya ceria, selalu saja ada hal yang bisa dijadikan bahan pembicaraan jika bersama Vania.
Namun, Raditya masih belum mau terikat. Ia masih suka kebebasan. Bagi Raditya, semenarik apa pun Vania jika harus selalu bersamanya akan membuatnya bosan. Buat apa setia pada satu wanita, jika ia masih bisa mendapatkan gadis mana pun yang ia mau. Raditya tidak mau repot dengan segala keribetan wanita.
Sudah sedari tadi Raditya merasa bosan, ia ingin keluar sekadar untuk merokok. Namun, Vania terus-terusan bicara ini itu tanpa henti, membuatnya kesusahan untuk menginterupsi.
Mengedarkan pandangan ke seantoro ruangan, sekilas Raditya melihat sosok Suci. Dikerjapkan matanya sekali lagi, mungkin hanya seseorang yang mirip. Akan tetapi, gadis itu benar-benar bagai pinang dibelah dua dengan Suci.
"Kenapa, Dit?" Vania melihat keanehan pada Raditya. Diikuti arah pandang lelaki di sebelahnya. "Kamu kenal Suci? Dia sepupuku."
Raditya mengeratkan rahang. Tatapannya kini bertubrukan dengan netra milik Suci. "Sepertinya pernah lihat," jawab Raditya asal.
"Bisa jadi. Dia kan sekampus sama kamu." Vania kembali menceritakan silsilah keluarganya.
Sialan! Cewek itu ngapain ada di sini? Bisa runyam kalau dia sampai buka mulut. Raditya memutar otak, mencari cara agar Suci bungkam. Ia tak mau rencana papanya menjalin kerja sama dengan perusahaan Vania gagal. Bisa-bisa hidupnya melarat karena bangkrut.
Ia harus bergerak cepat. Sambil pura-pura mendengarkan ocehan Vania, Raditya menghubungi seseorang.
Raditya
Lo harus bantuin gue.
09.35
Penting!
09.36
Alunan musik mengiringi para tamu menikmati hidangan yang telah disediakan. Setelah mengambil makan dan minum, Suci memilih kursi di taman. Ia butuh makan, udara segar, dan ketenangan. Terlebih ia harus bersembunyi agar tidak bertemu dengan Raditya.
Namun, pilihannya salah. Baru saja ia akan menyuapkan makanan, dengan kasar tangannya dicekal seseorang hingga sendok yang dipegangnya terjatuh.
"Mas Radit," pekik Suci terkejut. Ia tak mengira Raditya berani menghampirinya.
"Ikut aku sekarang juga!" Raditya menarik Suci, menyeret dengan paksa ke sudut taman yang tertutup pohon rindang.
"Sakit, Mas. Tolong lepaskan tangan Suci." Suci berusaha melepaskan cengkeraman tangan Raditya.
"Diam!" Raditya menengok ke sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka. Dimajukannya wajah hingga berhadapan langsung dengan Suci.
"Aku peringatkan sekali lagi, jangan pernah bicara apa pun tentang aku. Bisa aku pastikan hidupmu akan sengsara kalau sampai berani membocorkan siapa ayah bayimu!" desis Raditya sarat akan ancaman.
Suci menelan ludah dengan susah payah. "Kenapa? Mas Radit takut? Dasar pengecut."
Raditya hampir menampar Suci, tangan kanannya sudah melayang ke arah perempuan di depannya.
"Tampar, Mas! Pukul Suci. Biar mereka tahu kelakuan Mas Radit sebenarnya," gertak Suci.
Raditya mengurungkan niat. Ia harus menjaga nama baik sampai perusahaan papanya dinyatakan aman.
"Dengar." Raditya bergerak maju, membuat Suci memundurkan tubuhnya. Yang tidak pernah Suci siapkan adalah ketika jemari Radit bersarang di kedua pipinya. Menekan dengan keras, membuatnya langsung dilesap oleh ketakutan.
Raditya mencengkeram erat kedua pipi Suci dengan jemarinya, hingga dirasa sakit akibat tekanannya. Pipi Suci makin tirus dibuatnya. Tidak sampai di situ, Raditya sedikit mengangkat wajah Suci agar bersitatap. Di bawah sorot dingin mata Raditya, tekanan itu makin membuat Suci ketakutan.
"Jangan pernah ... jangan pernah sesekali kamu bicara," desis Raditya tepat di telinga Suci. Nadanya begitu dominan, penuh ancaman. Baginya semakin Suci terpojok, semakin ia puas.
"Ingat itu!" Raditya melepaskan cengkeramannya dengan kasar, hingga membuat tubuh Suci terhuyung menabrak batang pohon.
Setelah memastikan situasi aman, tidak ada yang memperhatikan mereka, Raditya keluar dari balik pohon. Sebelum meninggalkan Suci, ia masih sempat mengacungkan jari telunjuk. Sekali lagi memperingatkan Suci untuk tutup mulut.
Sepeninggal Raditya, Suci menyandarkan tubuh pada batang pohon. Wajahnya seputih kapas, bibir bergetar, tangan gemetar, dan kaki yang terasa kebas. Bohong jika ia merasa baik-baik saja. Suci begitu terkejut.
Dengan tremor yang masih tersisa, dicarinya telepon genggam dari dalam tas. Dengan cepat dikirimnya pesan kepada Intan.
Suci
Ntan, sepertinya Suci akan menerima saran Om Yudhis untuk aborsi.
11.31
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top