4. PENOLAKAN 2
"Papa setuju dengan Raditya."
Komentar Yudhistira-ayah Raditya-yang tiba-tiba muncul membawa angin segar bagi Raditya. Namun, sebaliknya untuk Suci.
"Astaghfirullah, Pa," tegur Sabiya.
Yudhistira yang sedang berada di ruang kerja, merasa terusik akan ribut-ribut di ruang tengah. Meski ia tidak sepenuhnya mendengar secara lengkap, tapi sedikit banyak dapat menyimpulkan pokok persoalan yang terjadi.
Yudhistira menempati kursi kosong sembari bersandar. "Berapa umurmu?" tanyanya tanpa memedulikan protes istrinya.
"Dua puluh, Om."
"Kalau kamu punya anak, apa yang akan kamu lakukan?" Yudhistira memberi jeda, membiarkan Suci untuk menjawab. "Menikah, merawat anak, menjadi ibu rumah tangga. Sudah itu saja."
Dalam hati Suci pun mengiyakan jawaban Yudhistira. Sebagai seorang istri, sudah menjadi kewajibannya untuk melayani suami. Terlebih setelah bayinya lahir, waktunya hanya akan habis terbuang untuk mengurus keluarga.
"Masa depanmu berhenti sampai di sini. Semakin besar perutmu, tentu sudah tidak mungkin lagi untuk melanjutkan kuliah. Apalagi kalau bayimu lahir. Apa yang akan kamu hadapi? Hanya urusan rumah tangga. Pembantu lulusan SD juga bisa kalau cuma bersih-bersih rumah.
"Apa kamu tidak merasa rugi? Sudah susah-susah kuliah. Berhenti di tengah jalan. Dan, yah, masa depanmu hancur."
Suci tidak menyangka, laki-laki berpendidikan seperti Yudhistira memiliki pemikiran sedanhkal itu terhadap ibu rumah tangga. Bukankah istrinya juga hanya di rumah? Atau jangan-jangan Sabiya itu mantan asisten rumah tangganya?
Ingin sekali Suci menjawab perkataan Yudhistira, tapi semua harus ia telan lagi. Suci tidak ingin memperkeruh suasana.
"Tapi, Pa, janin itu calon cucu kita." Sabiya masih berusaha mempertahankan kehamilan Suci.
"Besok kalau Raditya sudah menikah, kita bisa punya cucu sebanyak yang kita mau. Lagian apa Mama mau kalau anak kita putus kuliah? Mau jadi apa lulusan SMA? Kuli pasar? Mau dikasih makan apa anak istrinya?
"Sudahlah, gugurkan saja. Nanti Om carikan dokter spesialis yang bagus, jadi kamu tidak perlu khawatir. Lagipula Om yakin, orang tuamu juga pasti tidak akan setuju kamu mempertahankan kehamilan."
Sabiya hanya mampu terdiam. Mana mungkin ia berani melawan keputusan sang kepala rumah tangga, walau sebenarnya ia tidak setuju.
Sedangkan Raditya, jangan ditanya, dia duduk dengan jumawa seolah berada di atas angin. Memandang kedua gadis di depannya dengan tatapan menghina dan meremehkan. Ia seolah berkata, "Lihat, apa kataku!"
Suci tersenyum miris. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Akhirnya ia bisa tahu dari mana asal ketidakpedulian Raditya, ternyata ia setali tiga uang dengan ayahnya.
"Tapi, Om-"
Suci meremas tangan Intan, mengode untuk tidak melanjutkan pembicaraan. "Ya, Om. Akan Suci pikirkan lagi saran Om."
"Ci!" bentak Intan.
Suci menggeleng sembari berucap, "Sudah, kita pulang saja."
"Secepatnya kamu kasih kabar, nanti Om buatkan jadwal untuk ketemu dokter kandungan yang bagus."
Suci menelan ludah. "Terima kasih, Om, Tante. Suci undur diri dulu."
Suci segera mengajak Intan untuk hengkang dari rumah terkutuk itu. Dalam hati, Suci bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya lagi di sana.
Ia tak akan sudi membiarkan anaknya diasuh, dididik, dan dibesarkan seperti Raditya. Tidak. Lebih baik ia menjadi orang tua tunggal yang akan merawat anaknya seorang diri.
"Ci! Kamu itu kenapa? Kamu mau nuruti Om Yudhis untuk aborsi?" sembur Intan begitu mereka berada di mobil Intan.
Jika tadi di dalam Suci penuh semangat dan keyakinan, setelah kesadarannya pulih ia kembali tak tahu arah.
"Suci tidak tahu, Ntan." Suci memicing sembari menyandarkan kepala ke jok kursi.
"Kamu gila! Harusnya tadi kita paksa Radit untuk nikahin kamu. Kamu berhak menuntut tanggung jawabnya, lho, Ci. Bukannya malah pergi begitu aja kayak gini," sembur Intan tak terima atas keputusan Suci.
"Suci bisa apa, Ntan? Kamu lihat sendiri gimana tanggapan Om Yudhis. Sedari awal dia sudah nyuruh Suci untuk aborsi. Bahkan Tante Sabiya saja tidak bisa membujuknya. Terus apa yang bisa Suci lakukan?
"Memohon? Menyembah? Kamu yakin kalau Suci mencium kaki Om Yudhis, dia bakal mengubah keputusan? Terus semisal Om Yudhis mendukung kita, dia bisa maksa Mas Radit untuk nikahin Suci, apa kamu pikir Suci bisa bahagia? Kamu lihat sendiri bagaimana sikap Mas Radit ke Suci.
"Suci tidak sanggup, Ntan. Suci tidak bisa." Tangis kembali tertumpah. Suci sudah terlalu lelah menghadapi permasalahan ini seorang diri. Ia butuh sandaran, tapi sayang orang yang seharusnya berada di sisinya untuk menguatkan malah lari.
Intan mengambilkan Suci selembar tisu. Ia membiarkan sahabatnya menumpahkan gundah.
"Terus rencanamu apa?" tanya Intan setelah tangis Suci mereda.
Suci menggeleng lemah, matanya menerawang. Perlahan diusapnya perut yang masih rata. Jika menurut hitungan yang suci baca di google, saat ini kandungannya masuk minggu ke sebelas. Masih sangat kecil, tapi sudah mulai terbentuk.
Jika keluarga Raditya menolak untuk bertanggung jawab, pilihannya hanya dua. Menggugurkan kandungan atau mengatakan yang sebenarnya pada mama papanya, dengan konsekuensi yang tidak ringan tentu.
Membesarkan anak seorang diri tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi cibiran masyarakat yang menganggap hamil tanpa suami adalah suatu aib. Dan jika anaknya lahir, yang ia takutkan adalah label anak haram yang akan tertempel seumur hidup padanya.
Namun, apakah ia sanggup untuk membunuh janin yang perlahan mulai tumbuh di dirinya? Janin tak berdosa yang tercipta dari kebodohannya.
Suci memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran yang ruwet, saat ponselnya berdering. Memberitahu dengan lantang adanya panggilan dari seseorang di seberang sana.
"Siapa?" tanya Intan karena melihat Suci hanya terdiam menatap layar ponsel hingga suara dering tak terdengar lagi.
Namun, tak sampai semenit, ponsel Suci kembali berdering. Lagi-lagi Suci ragu untuk menjawab.
"Diangkat, Ci. Siapa sih?"
"Mamaku." Suci mengambil napas panjang sebelum akhirnya menggeser tombol hijau. "Assalamualaikum, Ma" Suci bedehem agar suara seraknya mereda.
"Waalaikumsalam. Ci, kamu nanti malam pulang 'kan? Besok kita ke rumah Vina pagi-pagi sekali. Lagian tumben kamu nginap di rumah Intan sampai 2 malam. Nggak enak ah, sama keluarganya."
Suci memicing, hampir saja ia lupa. "Besok jam berapa, Ma? Suci harus ikut, ya?"
Malas rasanya memasang wajah bahagia di saat hati gundah gulana. Terlebih di sana Suci harus tampil sempurna, tanpa cela baik dari penampilan maupun sikap. Sekali saja ada kesalahan, pasti akan jadi bahan pergunjingan.
Suci tersenyum miring. Bagaimana kalau saudara-saudara papanya tahu bahwa ia tengah berbadan dua? Membayanhkan saja sudah membuatnya mual.
Sungguh ironi,di saat banyak pasangan yang selama bertahun-tahun mendambakan keturunan-seperti Vina. Di lain pihak, ada pula yang diberi titipan dengan mudah, tapi disia-siakan. Seperti dirinya dan Raditya.
"Jam 7-an kita berangkat. Kamu harus ikut, nggak enak sama Bude Wiwik kalau sampai ijin. Ya, sudah, pulang sekarang. Mama tunggu."
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top