2. PUTUS ASA

"Mbak ... Mbak, baik-baik saja?"

Teguran pelayan kafe membawa Suci kembali ke kenyataan. Hampir saja ia melakukan hal bodoh sekali lagi. Dengan tangan gemetar, diletakkannya kembali pisau di meja. Mati bukanlah pilihan yang tepat, malah semakin membuat orang tuanya kehilangan muka.

Setelah tremor di tubuhnya mereda, Suci menguatkan diri untuk beranjak dari sana. Tak ada gunanya menjadikan diri sebagai tontonan gratis lebih lama lagi.

"Maaf, Mbak," gumam Suci sembari sedikit membungkuk. Ia terlalu malu untuk sekadar menegakkan tubuh.

Suci segera angkat kaki dari kafe, tak peduli ke mana pun langkah membawanya pergi. Ia butuh udara segar untuk meloloskan sumpalan di rongga dada. Namun, percuma. Seberapa pun banyaknya oksigen yang masuk, rasa sesak itu masih bersarang.

Hamil sama sekali tidak ada dalam daftar rencana hidupnya dalam waktu dekat. Terlebih hamil tanpa ikatan pernikahan. Suci sama sekali tidak pernah memimpikannya.

Bagi orang yang terbiasa hidup teratur dan terencana-seperti Suci-adanya kejadian di luar kendali tentunya membuat otak bekerja lebih keras. Seluruh rancangan program yang ia susun di kepala menjadi semrawut.

Seperti halnya file di komputer yang terkena virus, tentunya dibutuhkan anti-virus yang tepat agar seluruh data bisa terselamatkan. Begitu pun dengan Suci. Ia butuh seseorang yang bisa membantu memberi solusi.

Memikirkan segala sesuatu seorang diri, membuat Suci kehilangan kewarasan. Seperti tadi, saat terbersit keinginan untuk mengakhiri hidup. Ya, mungkin dengan bunuh diri semuanya akan kembali seperti semula. Ia tidak akan hamil tanpa suami. Pun tak perlu lagi memikirkan masa depannya dan bayi di kandungan yang belum jelas.

Ide bodoh yang kembali menyerang untuk menabrakkan diri ke truk, sempat menjadi pilihan. Namun, ingatan akan dosa membawanya kembali sadar.

Dengan bunuh diri, bukan hanya nyawanya yang melayang, ia pun mencabut kesempatan bayinya untuk hidup. Dosa yang bakal ia tanggung tentunya berkali-kali lipat.

Suci menghentikan langkah, demi mencari telepon seluler di dalam tas. Ia harus menghubungi Intan. Suci percaya, sahabatnya dapat membantu mencari jalan keluar.

Setelah dering kelima, baru terdengar sapaan dari ujung telepon. Tanpa basa-basi Suci menanyakan lokasi Intan saat ini.

"Aku di rumah. Kenapa, Ci?"

Suci bersyukur Intan tidak pergi ke mana-mana. Ia butuh tempat yang tenang untuk berbagi, dan ia tidak ingin menjadi tontonan lagi.

"Suci ke sana, ya, Ntan."

Setelah mendapat persetujuan dari empunya rumah, Suci bergegas menyetop taksi yang melintas.

"Astaga! Ada masalah apa, Ci?" tanya Intan terkejut begitu melihat wajah Suci di depan pintu rumah. "Udah yuk, masuk dulu."

Intan segera mengajak Suci ke ruang keluarga. "Mama Papa baru kondangan. Kamu santai aja di sini. Bentar, aku bikinin minum dulu, ya."

"Kamu baik-baik aja, Ci? Ada masalah apa?" Intan duduk di samping kanan Suci, setelah meletakkan segelas jus jeruk di meja.

Suci menggeleng berulang kali. Tangisnya tak dapat lagi terbendung. Segala ganjalan yang ia tahan meledak begitu saja, menyemburkan segala emosi.

"Suci hamil," lirihnya terbata-bata di sela isak tangis.

Napas Intan tercekat mendengar pengakuan sahabat kentalnya. "Astaga, Ci."

Intan segera memeluk Suci, membiarkannya menangis sebanyak yang ia butuhkan. Sesekali ditepuk-tepuk pelan bahu Suci untuk sekadar memberinya ketenangan.

"Suci harus gimana, Ntan?" tanya Suci begitu tangis mereda, tinggal menyisakan isak yang jarang.

"Siapa, Ci?" Intan balik bertanya. Ia harus tahu siapa laki-laki yang membuat sahabatnya hancur.

"Mas Radit."

Bahu Intan melorot, ia menghela napas panjang. Sudah berkali-kali ia melarang Suci untuk dekat dengan Raditya. Intan tahu bagaimana sepak terjang pria itu. Intan pun tak pernah menutup-nutupi fakta akan kebejatan Raditya, tapi Suci seolah tak percaya. Akal sehatnya tertutup oleh ketampanan semu seorang Raditya.

Mendengar nama Raditya, Intan sudah dapat menebak akhir dari permasalahan Suci. "Kamu harus memaksa dia tanggung jawab, Ci," ucap Intan tegas.

"Udah, Ntan, tapi dia nggak mau."

Intan memicing sesaat, sesuai dugaannya. Bukan setahun dua tahun Intan mengenal pria yang merupakan sepupunya itu.

"Tadi Suci ribut sama Mas Radit di Kafe Lan Steak. Dia bahkan nggak mengakui kalau ini bayinya. Dia nuduh Suci tidur sama cowok lain."

"Bajingan! Brengsek bener itu cowok!" Emosi Intan sudah di ujung kepala.

"Suci bingung, Ntan. Kalau Mas Radit lepas tangan, Suci harus bagaimana? Papa pasti ngamuk."

"Jelas ngamuklah. Kamu juga sih, udah aku bilang ...." Intan menghela napas panjang. "Udahlah, yang udah terlanjur nggak perlu kita bahas lagi. Sekarang kita cari cara biar Radit mau tanggung jawab."

"Kalau minta tolong sama Mas Fathur gimana, Ntan?" usul Suci.

Intan langsung menepis usul Alina. "Dia nggak beda jauh sama Radit. Nggak bakal mau bantuin kita."

Fathur-kakak laki-laki Raditya-pun terkenal gemar mempermainkan wanita. Seringkali Sabiya mengadu pada orang tua Intan akan ulah kedua putranya.

Intan menggeser duduk, meraih gawai lalu membuka daftar kontak, membuat janji temu dengan Sabiya. "Besok kita ke rumah Tante Sabiya. Biar mamanya yang maksa Radit untuk tanggung jawab."

*****

Nthor ... Nthor .... Intersection Love belum selesai, udah ngelempar judul baru ....
😁😁😁

Nyoba nulis 2 cerita dalam 1 waktu, moga-moga bisa ....

Nthor baru belagu ceritanya ....
🤣🤣🤣

BeTeWe, minta krisan and vote, yaaa ....

Love,
Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top