1. DUA GARIS MERAH
"Mas, Suci hamil."
Suci menunduk dalam, tak bernyali untuk menatap pria yang tengah duduk di depannya. Diremasnya ujung kemeja hingga kusut masai. Serupa dengan raut wajah yang sarat akan rasa takut, gugup, dan bingung bercampur jadi satu. Ia sadar, kabar yang dibawanya adalah sebuah aib, akibat dari kebodohan yang akan ia tanggung seumur hidup.
"Kamu yakin?" Raditya meletakkan pisau steak di samping piring.
Suci mengangguk lemah. Setelah dua kali jadwal menstruasi terlewat, pagi tadi ia memberanikan diri membeli alat tes kehamilan yang dijual di minimarket.
"Suci harus bagaimana, Mas?" Air mata mulai menggenangi netra sendunya. Sedari pagi entah sudah berapa kali Suci menumpahkan tangis, menyesali segala keputusan yang ia buat berdasar nafsu.
Suci bukanlah gadis penganut seks bebas. Jangankan bersenggama, bahkan sekali pun ia belum pernah berciuman dengan lawan jenis. Selama dua puluh tahun, ia selalu menjaga kehormatannya hanya untuk suaminya kelak.
Namun, hanya karena rayuan seorang Raditya Arkaan Sadiki, seluruh pertahanannya luruh. Dengan suka rela ia menyerahkan satu-satunya mahkota paling berharga bagi wanita.
Hanya bermodal mulut manis, Raditya berhasil memporak-porandakan masa depan Suci. Mendorongnya ke jurang nestapa.
"Terus apa hubungannya sama aku?"
Raditya menyulut sebatang rokok sembari bersandar. Nafsu makannya langsung menguap begitu mendengar berita yang Suci sampaikan.
Ucapan Radit berhasil membuat Suci mendongak, menatap laki-laki yang tengah mengembuskan asap rokok dengan santai.
"Suci hamil anak Mas Radit," lirihnya.
"Kamu yakin?" Raditya mengulang pertanyaan yang sama.
Mata Suci membulat. Sama sekali tidak menyangka laki-laki yang Suci cintai sejak pertama masuk kuliah, lelaki yang merenggut kehormatannya, pria yang telah menitipkan benih di rahimnya, tega meragukan dirinya.
Padahal selama ini Suci selalu mengagung-agungkan Raditya. Memuja pria bertubuh atletis yang merupakan kakak tingkat di kampus. Meletakkan sosok lelaki rupawan itu di dalam relung hatinya terdalam.
"Mas," tegur Suci, "Suci cuma melakukannya sama Mas Radit."
Raditya menopangkan sebelah kaki. "Who knows? Kamu punya pacar 'kan? Bisa jadi itu anaknya."
Suci menggeleng cepat. "Suci nggak punya pacar. Mas Radit juga sudah tahu. Malam itu pertama kali buat Suci."
"Pertama kali," Radit menunjuk hidung Suci, "tapi bukan yang terakhir. Bisa saja kamu tidur sama cowok lain setelah itu. Aku juga nggak tahu."
"Astaghfirullah." Istighfar tak henti ia rapal demi meredam emosi yang mulai memuncak. "Teganya Mas Radit nuduh Suci seperti itu."
Suci tak mampu menahan tangis, hancur sudah perasaannya. Ia sungguh menyesal telah menyerahkan hati dan tubuhnya pada laki-laki brengsek seperti Raditya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Di dalam rahimnya telah tumbuh janin yang tidak bersalah. Ia tidak bisa abai begitu saja.
Raditya membuang puntung lalu menginjak dengan ujung sepatu. "Aku anggap pembicaraan kita sudah selesai sampai di sini. Kamu nggak usah nyari-nyari aku lagi." Raditya beranjak.
"Mas, tunggu!" Suci memegang erat pergelangan tangan Raditya. Menahannya agar tetap tinggal. "Suci mohon, Mas."
Raditya mengembuskan napas kesal. "Maumu apa?"
"Tolong nikahi Suci, Mas." Suci tidak masalah jika harus mengemis pertanggungjawaban Raditya. Bahkan bersujud pun akan ia lakukan jika bisa membuat Radit menikahinya.
Suci bisa membayangkan semurka apa papanya jika tahu putri tunggal yang selalu beliau bangga-banggakan hamil di luar nikah. Terlebih selama ini Rahmad Suhendra selalu mewanti-wantinya untuk menjaga nama baik keluarga.
Suci pun tidak akan sanggup melihat Sarah-mamanya-menitikkan air mata. Wanita penuh welas asih itu pasti akan sangat kecewa pada Suci.
"Nikah? Yang benar saja," Raditya memutar bola mata bosan, "buat apa aku nikah sama kamu?"
"Mas harus tanggung jawab. Suci mohon dengan sangat, Mas. Tolong nikahi Suci demi bayi kita." Suci tidak peduli jika seluruh pengunjung kafe menjadikannya tontonan.
Raditya tertawa lepas. Sedetik kemudian tawanya lenyap, digantikan dengan tatapan tajam. "Kamu jangan bercanda! Aku nggak mungkin nikah sama cewek kayak kamu." Raditya menepis cekalan tangan Suci.
"Tapi waktu itu Mas Radit bilang-"
"Makanya, jadi cewek jangan bego. Baru dikasih perhatian, dibaikin dikit langsung percaya." Raditya maju, berbisik tepat di telinga Suci. "Aku cuma penasaran, bagaimana rasanya tidur sama perawan."
Raditya kembali tertawa tanpa beban, sama sekali tidak peduli akan nasib Suci. Baginya menjamah wanita adalah suatu hiburan. Terlebih seorang gadis seperti Suci, Raditya merasa tertantang untuk menaklukkannya.
Suci terduduk lemas di lantai, kakinya tak lagi mampu menopang beban tubuh. Ia hanya mampu meratapi nasib akibat kesalahannya sendiri. Namun, ia tidak boleh menyerah. Suci memegang kedua lutut Raditya, memeluknya erat.
"Apa yang harus Suci lakukan supaya Mas Radit mau menikahi Suci? Apa pun akan Suci lakukan. Suci janji, Mas."
Raditya menunduk. "Sampai mati pun aku nggak sudi nikah sama cewek kayak kamu."
Memang selama ini gadis yang selalu bersama Raditya adalah cewek-cewek modis, yang kebanyakan adalah model. Oleh karena itu saat Raditya mendekati Suci, tanpa berpikir dua kali gadis itu takluk. Ia tidak bisa melewatkan kesempatan untuk bersanding dengan lelaki pujaan hatinya.
"Suci mohon, Mas. Bukan demi Suci, tapi demi bayi ini."
Raditya mencoba membebaskan kaki. "Jangan goblok-goblok lah jadi perempuan! Gugurkan kandunganmu. Beres semua masalah." Raditya menendang lutut Suci hingga tersungkur.
"Mulai sekarang jangan cari aku lagi!" desis Raditya sebelum pergi meninggalkan Suci.
Dunia Suci hancur. Lelaki yang digadang-gadang menjadi imamnya kelak, ternyata hanyalah seorang bajingan. Suci tak tahu lagi mesti berbuat apa. Harapan satu-satunya telah pergi, meninggalkan berbagai masalah yang harus ia tanggung seorang diri.
Bagaimana caranya hidup menanggung aib? Bagaimana ia bisa menghadapi dunia? Mati terdengar lebih baik ketimbang hidup berkalung noda.
Dengan kekuatan yang tersisa, Suci bangkit lalu mengambil pisau di meja. "Lebih baik aku mati."
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top