6
-Flavia-
Flavia, kenapa itu terjadi?
Apa yang kamu lakukan itu bisa membuat semuanya kacau!
Kenapa kamu tidak menghindar? Kenapa kamu mendatangi saat dia sudah menjauh?
Begitu kira-kira omelan dan pertanyaan yang hilir mudik di otakku dengan tema yang sama, ciuman-di-kantor-Ray.
Aku berusaha melewati sisa pagi hari ini dengan baik, menenangkan si kembar yang terlihat begitu ketakutaan aku pergi saat mereka tidak menemukan kehadiranku, membuatkan mereka susu, memanggang roti untuk mereka sebagai sarapan pembuka sembari menemani mereka menonton acara High Five, memandikan mereka, merapikan kamar. Semua aku lakukan dengan bayangan ciumanku dan Ray, membuat usahaku terlihat baik menjadi sangat sulit, terutama jatungku yang berdegup sangat kencang hingga membuatku nyeri. Ciuman tadi, memang bukan ciuman pertamaku. Tapi entah kenapa, efek ciuman itu lebih besar daripada ciuman pertamaku.
Aku membawa si kembar menuju ruang makan. Aku berdoa dalam hati, meminta Ray melewatkan sarapan bersama anak-anak seperti yang terjadi selama minggu lalu. Tapi harapanku pupus saat Olin melepaskan gandengan tanganku dan berlari sambil meneriakkan kata Papa. Aku panik, tidak tahu harus bersikap seperti apa setelah adegan ciuman kami. Sungguh hal yang terjadi tadi adalah kesalahan parah, tapi sialnya, aku tidak menyesali. Justru sebaliknya, sisi jalangku menginginkan bibir Ray, lagi, lagi, dan lagi... seperti sedang kehausan dan minta untuk dipuaskan.
Dia duduk di kursi paling ujung, makanannya masih untuh. Tangannya sibuk melipat koran hari ini dan bersiap untuk menyambut kehadiran anak-anak. Dia nampak biasa, seperti tidak ada hal penting terjadi di rumah ini. Bahkan saat pandangan kami bertemu, dia hanya menampilkan ekspresi wajah datar, seperti biasanya.
Aku bejalan mendekati anak-anak, menyeret dua kursi, dan memerintahkan keduanya segera duduk, "Olin... Okan... ayo duduk."
Tanpa diminta dua kali, si kembar duduk berjejer pada sisi kanan Ray. Aku langsung melakukan tugasku menyiapkan sarapan untuk mereka, nasi dan sayur sop kembang tahu buatanku.
"Aunty Ia, Olin mau wortel aja. Nggak mau ada ayam dan hijau-hijaunya," pinta Olin saat melihatku menuangkan sop ke mangkuk nasinya.
Aku mengangguk.
"Okan mau wortel dan kembang tahunya." Lagi, aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Kentangnya juga ya, Okan," kataku, sambil meletakkan satu kentang di dalam mangkuk Okan. Aku mengintip dari balik bulu mataku, menemukan Okan tengah menatapku dengan senyum merekah sebagai bentuk persetujuan.
Aku meletakkan mangkuk di depan anak-anak, seperti biasa saat makanan sudah siap mereka segera mengambil posisi berdoa, mengucap syukur sebentar atas makanan yang ada, kemudian makan sendiri tanpa merengek minta disuapi. Aku duduk di samping mereka, mengawasi kalau-kalau mereka kesulitan memotong sayuran atau butuh batuan untuk membersihkan dagu mereka dari kuah yang tumpah.
"Kamu nggak makan?" tanya Ray tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah piringku yang kosong.
"Saya tidak biasa sarapan dengan makanan berat, hanya minum susu."
Ray mengangguk, menurunkan telunjuknya, mengambil garpu, kemudia dia sama sibuknya dengan anak-anak. Melahap makanan dari piringnya, sesekali berganti menyesap teh tawarnya.
Aku memperhatikan Ray, tidak percaya dia akan memakan masakanku selahap itu. Tapi masalahnya apa dia tahu, kalau omelet, sosis goreng, bahkan roti panggang lapis nutella adalah buatanku.
"Omeletnya enak, tidak asin seperti buatan Bi Mar," katanya. "Terima kasih sudah mau membuatkan omelet ini." Dia tahu! Dia tahu, kalau itu buatanku!
Entah kenapa aku merasa sangat senang untuk hal seremeh ini. Ya—dia tahu dan mengucapkan terima kasih. Aku pernah membuatkan sarapan untuk seorang pria, tapi tidak pernah mendapatkan ucapan terima kasih. Ray yang pertama melakukannya.
"Sop Aunty Ia juga enak, Papa mau?" Okan mendadak masuk dalam pembicaran kami.
Ray menggeleng. "Sop buatan Aunty Ia harus kalian habiskan, biar sehat dan cepat besar."
"Wortel itu buat mata, Pa," kata Olin, seakan tengah mengoreksi pernyataan Ray sebelumnya. Padahal, tidak ada yang salah dengan kalimat Ray.
"Iya, makanya makan wortelnya yang banyak. Oke?"
Okan dan Olin mengangguk secara bersamaan, lalu melanjutkan kegiatan makan mereka lebih antusias.
Ray menyelesaikan sarapannya lebih cepat dari anak-anak, dia mengambil dasi berwarna navy dari atas meja, bersiap untuk memakainya. Aku memperhatikan pakaian yang dia gunakan, pakaian resmi? Dia mau bekerja? Bukannya ini hari minggu? Di saat pertanyaan itu mucul, Ray menyadari kalau aku sedang mengamatinya. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku pada si kembar, dan terlihat sibuk membantu proses makan si kembar.
"Via."
"Ya?" Aku tersentak sekaligus panik, karena dia memanggil namaku.
"Kamu bisa pasang dasi?" Tangan kanannya mengangkat dasi itu ke udara.
"Bisa."
"Tolong, pakaikan dasi ini untuk saya."
"Hah?"
"Saya tidak bisa memakai dasi, biasanya Bi Mar yang membantu saya, dan saat ini Bi Mar sedang pergi ke pasar."
"Tapi..." Aku menghela napas, membantah tidak akan mengakhir apapun.
Aku bangun dari kursi dan berjalan mendekati Ray, tangannya menjulurkan dasi dan aku mengambilnya. Ray memiringkan posisi duduknya, membuat kami saling berhadapan. Dan aku tertarik masuk dalam sorot matanya yang tajam. Melihat bayangku ada di dalam mata Ray, membuat jantungku kembali berdebar sangat kencang. Saking kencangnya, aku sampai khawatir Ray akan mendengarnya.
"Ini kan hari minggu, Mas... memang kantor buka?" tanyaku basa basi untuk menyembunyikan debaran dadaku.
"Kantor tutup. Saya harus menghadiri acara ulang tahun klien dan reuni SMA."
Aku mulai memakaikan dasi seperti permintaan Ray. Aku berusaha menjaga kewarasanku, tapi tatapan Ray dan pemandang bibirnya membuat semuanya menjadi sangat sulit untukku.
Ditambah dengan kepergiaan si kembar dari ruang makan. Mereka berhasil menghabiskan makanan dengan baik, sudah pula membawa mangkuk bekas makan mereka ke wastafel cuci piring. Menurut mereka, sudah tidak ada hal lain yang bisa dilakukan di ruang makan ini. Jadi mereka bilang, mau menonton disney channel di ruang tengah. Aku mau menahan mereka, setidaknya sampai aku selesai. Tapi mereka berlari sangat kencang, dalam hitungan menit hanya tersisa kami berdua dalam posisi yang berbahaya, saling berhadapan, saling menebak apa akan ada kejadian penting kedua yang terjadi.
Aku berusaha untuk menyelesaikan simpul dasi ini dengan cepat, tapi ternyata rasa hati mendustai pikiranku. Aku panik, mengakibatkan tanganku bergetar kecil karena berjarak sedekatan ini dengan Ray untuk kedua kalinya. Bayangan ciuman kami lalu lalang, setiap kali mataku tak sengaja memandang bibirnya.
Ray tahu aku panik, dia sengaja membawa satu tangannya pada tanganku yang bergetar. Ibu jarinya mengusap punggung tanganku dengan sangat lembut, seakan-akan cara yang dia pakai mampu menenangkanku. Sayangnya, aku tidak juga tenang. Kepanikanku kini berkawan dengan kegugupan.
Aku mengembuskan napas lega, saat simpul dasi berhasil aku selesaikan dengan baik. Cepat-cepat aku menegakkan tubuhku, menarik mundur tanganku dari usapan ibu jari Ray. Aku bersiap untuk melangkah pergi, tapi tangan Ray berhasil menangkap pinggangku dan memaksaku untuk duduk di atas pangkuannya.
"Mas Ray..." Aku kehilangan suara untuk melancarkan protes. Dia melingkarkan kedua tangannya dengan lembut di pinggangku, seolah takut kehilangan arah kalau aku tetap memaksa pergi. "Ada anak-anak, Mas. Nggak enak juga, kalau Bi Mar tiba-tiba pulang."
Ray menyandarkan kepalanya pada punggungku. "Lima menit, Flavia... lima menit..." Aku memejamkan mendengar suara berat Ray mengalun begitu pelan. Aku menahan napas untuk persekian detik, karena sadar jarak kami begitu dekat.
Ini sudah terlalu jauh melewati batas.
Kami tidak bertindak selayaknya bos dan karyawan pada umumnya. Aku sudah terjerat pusaran terlalu dalam, aku tersesat, tidak tahu harus melakukan apa setelah ini. Dan ketakutanku akan hal buruk muncul.
Lima menit yang Ray minta berakhir, kedua tangannya melepaskan pelukan secara perlahan.
"Terima kasih sudah mengurus anak-anak dengan sangat baik," katanya. "Mereka jauh lebih baik dan pintar sejak kamu datang ke rumah ini, padahal baru seminggu tapi perubahan mereka sangat banyak." Dia meminta badanku berputar. Pandangan kami bertemu. Kedua tangannya masih berada di pinggangku dan aku masih ada di pangkuannya
"Mengurus anak-anak sudah jadi bagian dari pekerjaan saya, tapi saya nggak yakin kalau yang kita lakukan sekarang juga bagian dari pekerjaan."
Kedua tangan Ray terlepas dari pinggangku, jatuh ke sisi tubuhnya, ekspresinya tidak bisa aku artikan.
"Pekerjaan?" Ray mengangguk. "Saya lupa, bagi kamu semua yang ada di rumah ini hanya sebatas pekerjaan."
Aku tidak yakin, tapi aku mendengar intonasi nada Ray kecewa dan itu membuatku sedikit sedih. Aku melirik pada jalan masuk menuju ruang makan, sayup-sayup aku mendengar suara kartun favorit anak-anak, bersahutan dengan tawa mereka. Lalu aku bertanya pada diriku sendiri; kalau ini hanya sebatas pekerjaan, kenapa aku sebahagia ini saat mendengar anak-anak tertawa? Padahal, aku mendengar tawa bukan melihat langsung mereka tertawa.
Entah dari mana datangnya keberanian ini, aku mencodongkan badan ke depan dan kedua tanganku menangkup wajahnya. "Tidak semua hal di rumah ini hanya sebatas pekerjaan, ada hal-hal lain yang tidak masuk dalam batas pekerjaan tapi saya suka melakukannya." Kedua ibu jariku bergerak ke kanan dan ke kiri, di atas kulit pipinya. "Seperti sibuk memikirkan makanan apa yang harus mereka makan, baju apa yang harusnya mereka pakai, bahagia kalau mereka bahagia..."
Aku melepaskan wajah Ray dan beranjak dari pangkuannya.
"Dan sepertinya Mas Ray harus mencari sosok yang benar-benar full time seumur hidup memperhatikan hal-hal itu." Aku mengatakan itu tanpa berani memandang dia. Aku sadar ini terlalu lancang, yang aku bicarakan sudah masuk urusan pribadi Ray. Tapi aku harus mengatakan ini, anggap saja aku sedang menyadarkannya kalau anak-anak butuh satu sosok tetap yang mengurus mereka. Dia butuh sosok untuk berbagi hal-hal intim, rumah ini butuh orang yang mau dan bisa mengatur agar semua tetap dijalurnya. "Nggak selamanya Mas Ray terus membayar orang agar anak-anak bisa terurus, dan nggak selamanya Bi Mar bisa bekerja di sini untuk mengurus semua keperluan Mas Ray." Aku menyibukkan diri dengan merapikan piring bekas makan Ray, sebelum aku mengangkat piring itu dan membawanya pergi. Aku kembali membalas tatapan Ray. "Nggak selamanya juga Mas Ray bisa berpindah dari satu wanita lain ke wanita lain demi kehangatan sementara."
Aku berjalan menuju wastafel cuci piring, seraya mengutuki kelancangan mulutku. Bagaimana bisa aku berbicara tanpa memikirkan efek selanjutnya? Bagaimana jika Ray marah dan memecatku? Demi apapun yang ada di dunia ini, aku masih membutuhkan pekerjaan ini. Bukan hanya tentang angka, tapi... hatiku sudah jatuh pada anak-anak.
Aku meletakkan piring pada tempat cucian piring, lalu mengambil dan membawa kain lap microfiber ke meja makan. Aku menduga Ray sudah pergi, karena aku mendengar bunyi kursi berderit tidak lama setelah aku berhasil mencapai sisi wastafel.
Tapi Ray belum pergi, dia masih di ruang makan. Berdiri di samping kursi, terlihat menyiapkan diri untuk pergi. Tangan kirinya terdapat jas, sementara satu tangan lain menggenggam kunci mobil.
Aku mengabaikan kehadirannya di ruang ini, tapi sepertinya dia tidak bisa mengabaikan keberadaanku. Dia berjalan mendekatiku dan berhenti di samping kananku.
"Kalau saya pulang hingga larut malam, bukan berarti saya sedang menghangatkan diri dari satu wanita ke wanita lain." Aku menghentikan aktivitas mengelap meja makan. "Sejak bercerai, baru satu kali saya merasakan bibir wanita lagi..." Aku memandang Ray dengan cemas. "Tadi pagi, di kantor saya."
Setelah mengatakan itu Ray berjalan keluar dari ruang makan dan menghilang.
UPDATE SETELAH SEKIAN ABAD...
MASIH PADA NUNGGUIN NASKAH INI???
JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT YA...
LOVE, Fla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top