5
-RAYNALDI-
Gue terbangun lebih pagi dari biasanya.
Ada dua alasan gue kayak gini; Pertama, ini bukan kamar gue. Sumpah, gue paling susah tidur di lingkungan baru. Hal seperti ini sering terjadi kalau gue dapat klien luar kota dan mau nggak mau, gue harus tidur di hotel. Kedua, di kamar ini ada aroma yang sedikit mengganggu kewarasan otak gue, aroma tubuh Flavia. Setelah bertahun-tahun malam gue selalu datar dan sepi, khusus kemarin malam ada mimpi aneh bertamu. Mimpi tentang Flavia, ranjang, dan hal gila lainnya.
Alhasil, gue terbangun di saat jarum jam masih mengarah di angka empat. Tidak mau membiarkan pikiran gila terus menguasi, gue memutuskan untuk melakukan rutinitas lari pagi lebih awal dari biasanya. Langit masih gelap, angin masih dingin menusuk kulit. Tapi biarlah daripada gue melakukan hal lebih gila dari sekedar memimpikan dia, seperti memperhatikan dia sedang tertidur di ranjang gue dengan mengenakan dress tidur bergambar hello kitty. Mungkin nggak akan berhenti di situ. Mungkin setelah itu gue mulai membayangkan tangan gue meraba kain tipis yang melindungi tubuh Flavia, menyentuh bagian yang tersembunyi di balik itu, menyusuri setiap sudut bibir Flavia dengan bibir gue. Persis seperti yang terjadi dalam mimpi gue.
Demi menghilangkan bayangan mimpi aneh bin gila itu, gue sengaja menambah waktu lari pagi ini. Biasanya gue akan berhenti tepat di menit keenam puluh, tapi khusus hari ini gue menyudahi kegiatan ini di menit kesembilan puluh.
Apakah bayangan Flavia hilang? Nggak!
Dengan langkah gontai kelelahan gue memasuki rumah. Aroma masakan menyeruak melewati lobang hidung gue. Seperti terkena hinoptis, gue berjalan mengikuti aroma masakan itu menuju tempat asalnya. Begitu sampai di dapur, tidak ada sosok gempal Bi Mar di depan kompor hanya ada Flavia.
Gue menyandarkan tubuh pada tiang pembatas antara dapur dan ruang makan. Lagi, salah satu anggota tubuh gue melakukan sesuatu di luar batas kewarasan. Mata gue memperhatikan lamat-lamat sosok wanita di depan sana. Tidak ada lagi ada dress hello kitty seperti tadi malam, rambut hitam tebalnya sudah dikuncir begitu tinggi seperti sedang ingin memamerkan betapa putih dan mulusnya tulang leher yang dia miliki. Pasti menyenangkan menenggelamkan wajah pada ceruk leher itu, mengendus dalam-dalam perpaduan aroma jeruk dan kayu cendana dari tubuh dia secara langsung.
Damn, Ray! Dia guru dari anak-anak lo, bukan wanita sewaan untuk penghilang sepi!
"Di mana Bi Mar?" Gue berusaha mengalihkan imajinasi liar gue.
Dia memutar tubuh rampingnya dengan cepat, memasang wajah terkejut yang sempurna. Mata membulat, kedua bibir tipisnya terbuka sedikit, jari-jarinya semakin kuat menggenggam sendok.
"Eh, Mas Ray... anu, Bi Mar lagi urus cucian dan gosokan di belakang. Jadi saya yang menggantikan Bi Mar memasak sarapan untuk hari ini. Ada yang bisa saya bantu, Mas?" Dia buru-buru meletakkan sendok di atas mangkok kecil.
"Tolong, sampaikan pada Bi Mar kalau saya mau dibuatkan teh tawar hangat seperti biasa dan diantar ke kantor," jawab gue tanpa mau menatap matanya.
Mata dia satu dari sekian banyak hal yang harus gue hindari dan entah kenapa, gue merasa kesal harus melakukan itu. Dan gue juga tahu, dia nggak suka cara gue membuang muka saat kami sedang beriteraksi. Seperti saat ini.
Tanpa banyak kata lagi, gue pergi meninggalkan dia dan dapur. Gue berjalan cepat menuju kantor yang bersebelahan dengan taman belakang. Bukan ruang yang besar, tapi cukup untuk menyimpan banyak buku dan tempat yang tenang saat menyiapkan berkas-berkas sidang.
Suara ketukan pintu terdengar nyaring, setelah 25 menit gue di dalam kantor. Tumben Bi Mar lama memenuhi pesanan gue, biasanya Bi Mar selalu cepat.
Pintu kantor perlahan terbuka. Dan lagi, bukan Bi Mar yang muncul. Tapi, Flavia.
"Sepertinya saya meminta Bi Mar yang mengantar bukan kamu," kata gue ketus. Anggap itu sebagai bentuk pengendalian diri, sekaligus jarak aman antara kami. Dengan gue bersikap ketus, dia akan sebal. Dan, Gue nggak akan punya kesempatan untuk melakukan hal gila. Seperti menarik dia ke dalam pelukan gue dan mendaratkan banyak ciuman untuknya.
"Maaf, Mas... Bi Mar... anu..." Dia terbata-bata, bola matanya bergerak gelisah ke sembarang arah. Dia sepertinya tidak nyaman, bahkan kedua pipinya memerah.
Gue mau bertanya apa ada yang salah, tapi gue nggak sengaja melihat ke pintu kaca lemari buku, dan gue adalah alasan dia bersikap seperti itu. Atau lebih tepatnya, keadaan gue yang bertelanjang dada.
"Ya sudah, kamu taruh saja teh-nya di meja."
Gue mundur tiga langkah, sengaja untuk memberikan dia jalan menuju meja kerja. Dia melakukan perintah gue dengan terburu-buru, sambil menudukkan kepalanya dalam-dalam. Seolah-olah lantai mamer itu menampilkan sebuah pemandangan indah yang sayang untuk dilewatkan.
Dia berhasil memindahkan cangkir dari nampan ke meja dengan selamat, lalu dia berputar cepat tanpa memperhatikan keadaan di sekitarnya, termasuk memperhatikan kalau gue sedang berdiri di belakangnya. Tanpa direcanakan, kening dia menabrak bagian tengah dada gue dengan sempurna.
Menyadari posisi ini kurang nyaman, kami berdua mundur secara bersamaan, menciptakan sebuah jarak yang membuat kami sama-sama nyaman.
"Maaf, Mas Ray. Saya nggak sengaja," ucapnya tanpa mau mengangkat wajahnya sedikit pun.
"It's okay."
"Kalau nggak ada lagi yang Mas Ray butuhkan. Saya permisi dulu, Mas," pamitnya terburu-buru.
Bayangan rona merah semakin jelas nampak menghiasi wajahnya, dadanya terlihat naik dan turun secara cepat. Menemukan dua hal itu membuat gue berspekulasi kalau dia merasakan hal yang sama, mencoba mati-matian gejolak gila akibat sentuhan tidak sengaja tadi.
Dia berjalan cepat melewati gue, menuju ke arah pintu kantor.
"Via..." Dan gue seperti orang kerasukan, karena memanggil namanya saat suasana bahaya di antara kami nyaris berakhir.
Dia memutar tubuhnya dan memberanikan diri menatap gue.
"Iya, Mas?"
Seperti terprovokasi dengan tatapan dia, gue melangkah ke tempatnya berdiri. Menghapus jarak di antara kami. Jarak kami semakin dekat. Gue mampu merasakan embusan napas dia mengenai kulit wajah gue. Dia memperdalam tatapan matanya, seakan sedang menggali alasan gue memanggil namanya. Dan sepertinya, dia berhasil menemukan alasan itu.
Rona merah pada wajah dia semakin pekat. Dia mengalihkan wajah, menghindari mata gue.
Sementara gue semakin melangkah maju melewati batasan profesional antara bos dan pekerja. Gue meraih ujung dagunya, memaksa dia untuk mau beradu pandangan lagi. Dan gue menemukan, dia pun menginginkan hal yang sama dengan gue, alasan dia masih ada di ruangan ini.
Gue semakin mendekati wajahnya, hingga puncak hidung kami saling bersentuhan.
"May I kiss you?" Pertanyaan paling tolol kedua sepanjang hidup gue!
Pertanyaan bodoh pertama gue adalah will you marry me? dan itu tertuju pada ibu si kembar, mantan istri gue.
Pupil matanya membesar, wajahnya semakin memerah dan semua rekasinya itu sungguh membuat gue semakin gila. Semakin menghilangkan arti kata sabar yang sesungguhnya.
"Kalau saya bilang nggak boleh, apa Mas Ray mau membiarkan saya pergi?"
Gue mengumpat dalam hati, tapi mengabulkan permintaannya. Gue menjauhkan tangan dari dari dagunya, dan mundur sekitar tujuh langkah agar dia bisa segera keluar dari kantor gue.
"Silakan pergi, saya nggak memaksa," kata gue setenang mungkin, sambil menaikkan kedua bahu secara bersamaan.
Kecewa? Pasti! Ini penolakan pertama gue alami setelah sekian lama berstatus duda, sebelumnya gue yang menolak ajakan para wanita untuk urusan intim, seperti berciuman.
Gue memutar badan dan berjalan menuju meja kerja. Baru saja tangan gue bersiap untuk mengambil cangkir teh. Via memanggil. Saat gue berbalik, dia sudah berada tepat di depan.
Keadaan seperti terbalik, kali ini Via yang memandang gue dengan tatapan lamat. Lalu semua terjadi begitu cepat, dia sedikit berjijit, kemudian bibir kami menyatu. Seperti mendapatkan sebuah kesempatan langka, gue mencoba untuk memanfaatkanny sebaik mungkin.
Jangan tanyakan apa yang sedang gue atau dia pikirkan. Karena akal sehat kami sedang hilang, berganti dengan letupan perasaan asing yang entah harus gue namakan apa.
Gue mengunci tubuh rampingnya dalam pelukan erat. Membalas ciuman lembutnya dengan ciuman cepat, kasar, dan tanpa jeda.
Merasa jika posisi ciuman kami seditik kurang nyaman, gue melepaskan bibir dia untuk beberapa detik, lalu mengangkat tubuh dia dan mendudukkannya di atas meja kerja gue. Seperti takut dia akan berubah pikiran dan memalingkan wajah, gue segera melumat bibirnya kembali. Kedua tangan Via terangkat walaupun dengan gerakan lambat karena ragu, gue memberi kode jika hal itu tidak masalah buat gue dengan meletakkan kedua tangan gue di pinggang dia dan mendekatkan tubuh kami. Satu tangan Via menyentuh leher gue, sementara satu lagi terselip di antara rambut, sesekali memberikan tarikan lembut yang menggoda. Semua yang terjadi memancing tindakan gue semakin berani.
Satu tangan gue menyelinap masuk ke dalam kaus dia, menyetuh secara langsung kulit punggungnya yang hangat. Gue menggeram. Ini lebih menyenangkan dari mimpi atau imajinasi gue.
Gue siap membawa keadaan ini menjadi lebih gila lagi, tapi si kembar menghancurkan semuanya.
"AUNTY IA!!" jeritan Olin dan Okan bersahutan terdengar dari luar.
Mendengar panggilan si kembar membuat Via segera melepaskan ciuman kami dan mendorong tubuh gue sekuat mungkin agar menjauh darinya.
"Si kembar... saya..." Dia seperti kesulitan menemukan kata yang tepat untuk menyudahi kegilaan kami tanpa membuatnya menjadi canggung.
Gue berjalan menghampiri dia lagi, menjulurkan tangan untuk membelai puncak kepala dan wajahnya. Setelah itu gue sengaja meletakkan kepala gue di puncak bahu kirinya, dan gue menemukan sesuatu yang dinamakan kedamaian.
"Pergilah," bisik gue, sedetik kemudian gue membantu dia turun dari meja. Begitu kakinya berhasil menampak lantai, dia segera berlari kecil sambil memasang wajah khawatir karena suara si kembar terdengar nyaris menangis di luar sana. Terutama suara Okan, ada sedikit ketakutan terdengar dari rengekan bocah laki-laki itu.
Pintu terbuka. Via menyempatkan waktu menoleh ke arah gue, dan memberikan sebuah senyum yang susah untuk gue artikan. Entah itu senyum penyesalan atau senyum kepuasan, hanya dia yang tahu.
Enjoy Ray dan Flavia...
maaf tadi belum siap publish udah keburu kepencet publish... wkwkwk... Btw, aku ramal... bagian ini pasti banyak yang comment... dasar, pada demen kalau bagian mengandung kipas...
Jangan lupa vote yang dan comment yang menggunung ya...
follow ig
flaradeviana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top