4
-FLAVIA-
Aku menatap penuh kekaguman ke arah wajah si kembar. Keduanya sibuk menguyah makaroni schotel buatanku. Sesekali mereka mengintip ke arahku dan memastikan kalau aku masih setia memperhatikan kepintaran mereka melahap makanan.
"Aunty Ia, ini enak," puji Okan dengan ibu jari terarah kepadaku.
Olin tidak memujiku, gadis kecil itu terlalu sibuk membersihkan sisa-sisa terakhir makaroni di dalam piringnya. Sesekali Bi Mar - pengurus rumah ini, membantu Olin mengumpulkan potongan kecil, dan membiarkan Olin menyedoknya.
Aku sudah seminggu kerja di rumah ini. Sejauh ini semua berjalan menyenangkan, semua waktu yang kuhabiskan bersama si kembar tergolong sempurna. Yah, walaupun ada saja kejadian menyebalkan datang setiap kali keadaan harus memaksakanku berurusan dengan Ray. Tapi sikap menyebalkan Ray tidak terlalu menganggu karena kami jarang bertemu, dia berangkat kerja pagi hari dan pulang saat langit sudah menghitam.
Jadi, hampir 99% hariku diisi kejadian menyenangkan bersama dengan si kembar.
Awalnya, aku hanya melakukan pekerjaanku sebagai guru. Menyusun bahan pelajaran, memberikan pengajaran untuk si kembar, mencari metode pengajaran terbaik agar si kembar tidak tertinggal dengan anak lain yang menempuh pendidikan sekolah umum. Tapi ada insting asing yang mendorongku untuk mengambil alih semua hal yang berhubungan dengan si kembar. Mulai dari hal kecil, seperti; memandikan, menyiapkan baju, memasak makanan, dan hal lainnya yang berhubungan dengan si kembar.
Tidak ada yang protes ketika aku melakukan hal itu, mulai dari Ray hingga Bi Mar.
Tentu saja Bi Mar tidak akan keberatan, karena membantu mengurus si kembar = mengurangi pekerjaannya.
"Aunty Ia, Olin mau lagi." Olin menyodorkan piring bergambar barbie ke arahku, aku sengaja memasang wajah berpikir.
"Olin masi lapar?" Olin mengangguk cepat, aku memainkan jari-jariku ke atas meja makan. "Ada sih, tapi itu buat papa," kataku sedikit menyesal.
Olin memajukan tubuhnya, menunjukkan wajah penuh harap, sesekali gadis kecil itu memainkan matanya ke arahku.
"Papa nggak usah dikasih." Ada kilatan menggoda saat Olin mengatakan itu.
"Iya, Aunty Ia. Papa kan nggak tahu." Kali ini Olin didukung oleh Okan. "Nanti bagi dua yah, Lin. Jadi Olin dapat, Okan dapat."
Aku menggeleng sebagai tanda tidak setuju, melipat kedua tanganku sebagai bentuk protes karena keduanya punya pemikiran seperti itu.
"Eh, nggak boleh kayak gitu. Itu namanya curang, kalian kan udah makan masing-masing dua makaroni. Kalau kalian ngambil punya Papa tanpa bilang-bilang itu nggak baik, walaupun Papa belum tahu kalau itu makaroni itu untuk Papa."
Keduanya menatapku sedih dan aku masih mempertahankan wajah tegas.
"Wah, ada pembicaraan serius apa ini?" Aku dan si kembar menoleh ke arah sumber suara.
Sepertinya yang dibicarakan oleh kami sudah kembali ke rumah setelah seharian bekerja. Aku melirik jam yang ada di salah satu sudut dinding ruang makan. Perasaan heran datang begitu saja. Jarum jam masih mengarah di angka delapan dan Papa si kembar alias Ray sudah pulang, biasanya dia pulang setelah jam melewati angka sebelas.
Si kembar loncat dari kursi secara bersamaan lalu berlari ke arah Ray, seakan tahu adegan apa yang akan terjadi selanjutnya Ray sudah siap dengan merentangkan kedua tangannya.
"Pa, Aunty Ia masak makaroni enak sekali." Olin mulai mengoceh.
"Iya, Pa. Enak." Okan berusaha untuk meyakinkan Ray.
"Terus?"
"Olin masih mau."
"Okan juga mau."
Ray menggedong keduanya secara bersamaan tanpa merasakan keberatan, menurunkan si kembar kembali pada bangku masing-masing. Mata kami bertemu untuk beberapa detik, Ray mengulum senyum, sekaligus melirik satu slide makaroni schotel berukuran sedang yang sengaja kupisahkan. Dia memang tidak pernah meminta untuk dibuatkan makanan olehku, tapi aku selalu berpikir membuatkan untuk anak-anak harus menyisakan untuk Papa-nya.
"Itu buat saya?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. Ray kembali menatap si kembar yang terlihat masih berharap bisa medapatkan makaroni itu. Ray tersenyum lalu mengambil makaroni bagiannya lalu memotong makaroni itu menjadi dua. Satu bagian Ray berikan pada piring Olin dan satu bagian lain pada piring Okan.
Tentu saja keputusan Ray untuk membagi makaroninya menjadi dua bagian disambut baik oleh si Kembar. Keduanya melirik ke arahku dengan penuh kemenangan, sementara aku terlalu fokus memperhatikan betapa lembut dan pengertiannya sosok Ray pada si kembar. Selama aku tinggal di sini, aku cukup mengagumi cara Ray memperlakukan si kembar. Terlihat sangat jelas si kembar adalah pioritas utama dalam hidupnya dan entah kenapa dengan semua alasan itu membuat Ray menjadi lebih mengagumkan dan menggoda... ah, menggoda. Sepertinya aku salah memilih kata itu untuk menggambarkan Ray.
Tawa renyah si kembar berpadu sempurna dengan tawa berat milik Ray, yah, setelah membagi makaroni itu. Ray tidak langsung pergi dari area ruang makan ini, sesekali menggoda si kembar dengan mendaratkan ciuman pada pipi si kembar secara bergantian. Dan ciuman seperti itu selalu berhasil membuat si kembar tertawa karena merasa geli. Tanpa aku sadari, tangan kananku menyentuh bagian dada. Meremas kaus bagian dadaku, debaran di dalam sana begitu kencang, susah untuk kukendalikan.
"Oke!" Aku menghentikan adegan tertawa mereka secara mendadak. "Bercandanya sudah cukup, karena semakin lama kalian tertawa semakin besar potensi kalian akan menangis nanti malam." Beruntung aku menemukan alasan tepat untuk menghentikan adegan yang kelewat manis itu dan sepertinya Ray juga setuju. Ray pasti sudah paham kalau si kembar akan sangat menyebalkan jika semalam suntuk menangis akibat terlalu banyak tertawa.
"Selesai makan, kalian langsung gosok gigi, cuci muka, tangan, dan kaki. Oke?"
Si kembar mengangguk.
"Hari ini Olin bobo sama Papa, yah?" Olin menghentikan aktivitasnya, mengalihkan pandangannya ke arah Ray.
"Okan juga mau bobo sama Papa." Okan menambahkan.
"Terus Aunty Ia harus bobo sendirian?" tanyaku seraya memasang wajah sedih. Aku senang menggoda mereka, terutama Okan. Bocah pria itu tidak akan pernah sanggup melihatku sedih, jika dia menemukanku dengan ekspresi sedih. Dia cepat-cepat berusaha menghiburku.
"Aunty Ia gak bobo sendiri, Aunty Ia ikut bobo di kamar Papa," jawab Okan dengan wajah polos. Dia tidak tahu jika jawabannya itu memberikan efek tidak biasa untukku ataupun Ray, kami melongo, saling bertukar pandang, bersiap untuk menolak ide itu secara mentah-mentah.
"Setuju," teriak Olin sebelum aku atau Ray berhasil menyuarkan penolakan kami. "Papa, Aunty Ia boleh ikut bobo sama kita yah? Kalau gak dinyanyiin Aunty Ia, aku gak bisa bobo."
"Iya, Pa. Suara Papa jelek, suara Aunty Ia bagus," seru Okan.
Keduanya kompak mengeluarkan suara merengek, bahkan kedua tangan kecil si kembar beraksi dengan menggerakkan kedua tangan Ray. Satu menggerakkan tangan kiri, satu lagi menggerakkan tangan kanan.
Aku memandang Ray, berharap pria itu akan menolak secara halus ide tentang tidur bersama.
"Oke," ucap Ray secara tiba-tiba. Berhasil menghentikan rengekan si kembar sekaligus berhasil membuatku nelangsa membayangkan suasana 'tidur bersama' Raynaldi.
Ray mengedikkan kedua bahu ke arahku, seakan berkata, 'saya tidak bisa berbuat apa-apa.'
Begitu-lah Ray, dia memang ayah yang baik. Terlalu baik bahkan selama seminggu aku bekerja, aku belum pernah mendengar Ray mengatakan kata tidak kepada si kembar. Seperti yang aku bilang sebelumnya, Ray selalu mengutamakan keinginan si kembar.
Butuh waktu sekitar 45 menit untukku menyiapkan si kembar dengan baju tidur mereka, begitu mereka siap. Mereka segera berlari keluar kamar dan memasuki kamar Ray, kebetulan kamar si kembar dan kamar Ray bersebelahan jadi aku tidak perlu melakukan adegan mengantar. Aku tidak langsung menyusul si kembar, aku memilih duduk di tepi tempat tidur dan menyiapkan hatiku. Hampir 15 menit aku hanya diam, aku mencoba memikirkan cara untuk mengalihkan perhatianku dari Ray. Oh ayolah, aku ini wanita berumur 26 tahun sudah cukup dewasa. Dan aku masih normal. Untuk ukuran wanita normal, Ray merupakan pria berbahaya. Saat aku tengah berpikir, Okan muncul dari balik pintu.
"Aunty Ia... Kenapa lama sekali?" Aku tergagap tidak mampu menjawab pertanyaan Okan, seharusnya aku bisa mencari alasan seperti mendadak sakit perut atau alasan lain yang mampu membuatku tidak jadi 'tidur bersama Ray'. Tapi melihat Okan mengharapkanku, otak cerdasku dalam mencari alasan lenyap begitu saja.
Aku bangun dari tepi tempat tidur, "Aunty baru saja mau keluar, eh, Okan udah jemput. Yuk.."
Aku dan Okan keluar dari kamar secara bersamaan, tangan kami bergandengan menuju kamar Ray. Sebelum kakiku benar-benar masuk ke kamar Ray, aku menghela napas sekencang-kencangnya. Aku masuk ke dalam tahap grogi akut, terutama saat pandanganku menemukan Ray sedang berpelukkan di atas tempat tidur bersama Olin. Jatungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Okan melepaskan genggaman tanganku, berlari, dan loncat ke atas tempat tidur.
Sementara aku masih terpaku.
Ini pertama kalinya aku memasuki kamar Ray dan suasana kamar ini terlihat sangat mengesankan, terutama sang pemilik kamar.
"Aunty Ia, sini..." Olin memberi kode agar aku segera bergabung dengan mereka di atas tempat tidur.
Aku menatap Ray, dan pria itu menghindari tatapanku.
Dengan keadaan jantung tidak stabil, aku melangkahkan kaki menuju tempat tidur berukuran alaska king milik Ray. Sedikit ragu, akhirnya aku berhasil mendaratkan bokongku ke tepi ranjang.
"Oke, kids. Time to sleep." Ray melepaskan pelukkannya dari Olin, meneggakkan tubuhnya pada sandaran tempat tidur. "Siapa yang pimpin doa hari ini?"
"Okan," jawabku dan Olin secara bersamaan.
Dari sekian banyak kebiasaan si kembar, ini menjadi kebiasaan favoritku. Ray berhasil mengajarkan kedua anaknnya mengenal Sang Pencipta sejak kecil, dan itu membuatku kagum pada Ray.
Okan segera membentulkan posisi duduknya diikuti Olin, tanpa perlu aba-aba atau perintah dari Ray. Si kembar sudah siap dengan posisi tangan terlipat dan mata terpejam, aku melakukan hal yang sama, begitupun Ray.
"Selamat malam Tuhan. Okan, Olin, Papa dan Aunty Ia mau bobo. Jaga dengan malaikat- Mu, jauhkan kami dari mimpi buruk. Amin."
Doa yang si kembar ucapkan setiap malam memang tidak panjang tapi itu saja sudah membuatku merasa bahagia, karena namaku selalu ada di doa mereka. Setiap kali aku mendengar namaku keluar dari bibir mungil mereka, aku merasa seperti si kembar sangat memetingkan aku. Dan aku tersentuh akan hal itu
Setelah doa selesai, Ray mendaratkan kecupakan pada kening si kembar secara bergantian. Puas dengan ciuman, keduanya segera masuk ke dalam selimut. Okan memeluk bagian pinggangku dengan cepat, sejak hari pertama aku tidur di rumah ini, sejak saat itu juga Okan selalu tidur dengan memelukku.
"Aunty Ia, nyanyi," pinta Olin setelah dia siap dengan posisi tidur memeluk boneka hello kitty kesayangannya.
Aku menatap Ray, pria itu mengedikkan dagunya sebagai bentuk pemberian izin dengan polusi suara yang mungkin akan aku lakukan.
"Jesus loves me.. This I know,.. For the Bible tells me so... Little ones to Him belong.. They are weak, but He is strong." Tangan kiriku bergerak mengusap punggung Okan dengan lembut, sementara tangan kananku berusaha mengusap kening Olin. Beruntung jarak tidur mereka berdekatan seperti biasanya. "Yes, Jesus loves me.. Yes, Jesus loves me... Yes, Jesus loves me... The Bible tells me so... Jesus loves me! This I know.. As He loved so long age..Taking children on His knee.. Saying, Let them come to Me"
Tidak sampai 20 menit, si kembar telah pergi ke alam mimpi.
Aku mendekatkan wajahku pada puncak kepala Okan, mendaratkan kecupan singkat di sana. "Jesus love you so much and Aunty Ia love you too," bisikku, tentu saja aku mengucapkan itu bukan hanya pada Okan. Aku juga mengatakan itu pada Olin, mendadak aku lupa bahwa masih ada sepasang mata tengah memperhatikanku.
Aku tersenyum canggung saat kesadaranku sudah kembali, aku refleks menggigit bibir bawahku efek gugup karena tatapan Ray.
"Suaranya lumayan," kata Ray tanpa ekspresi.
Aku meringis mendengar ucapannya dan ku anggap itu sebagai pujian.
Ray menyingkirkan selimut yang sejak tadi menutupi bagian pinggang ke bawah, tidak berapa lama dia bangun dari tempat tidur.
Aku mencoba untuk tidak melongo saat melihat penampilan rumah Ray, hanya kaus V neck putih dan celana pendek hitam di atas lutut. Tapi sepertinya aku gagal, mulutku terbuka sedikit. Aku memperhatikan tatto dan otot Ray, keduany menyatu menjelma bagaikan sebuah masterpice yang menggiurkan.
Aku menelan saliva kasar sekaligus menggelengkan kepalaku, mencoba menghilangkan pikiran kotor dalam otakku.
Beruntung Ray tidak melihat betapa bodohnya wajahku sekarang, dia berjalan menjauhi tempat tidur menuju pintu kamar. Secara perlahan Ray membuka pintu kamar, sebelum keluar pria itu memutar tubuhnya untuk melihatku.
"Kamu tidur di sini temani anak-anak, saya tidur di kamar sebelah," katanya tegas.
"Tapi—"
"Kamu mau saya tidur di sini? Kalau begitu kamu harus siap membuka kaki untuk saya, karena saya ini masih pria normal, Via." Ray menggeram, menunjukkan dia telah menahan sesuatu sejak tadi. Matanya menggelap melihat ke arahku, terutama pada bagian tubuhku yang tertutupi dress tidur berkain tipis dengan motif hello kitty besar yang menghalangi bagian dadaku terlihat jelas.
Dengan cepat aku menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, sementara Ray langsung mengalihkan pandangannya dan pergi meninggalkanku di kamar ini–kamarnya.
Enjoy Ray-Via
jgn lupa vote dan comment ya say...
Terima kasih sudah membaca...
Love, Fla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top