2
-Flavia-
"Kamu bisa mulai bekerja hari ini," perintahnya begitu saja saat aku berhasil menutup pintu kamar si kembar tanpa suara. Aku memandang aneh ke arah Ray, "Kalau kamu tunda, anak-anak pasti akan menanyakan kamu. Dan saya tidak telalu suka menjawab pertanyaan yang menjurus rengekan, terutama Okan." Aku menaikkan satu alisku. "Kamu bisa lihat sendiri, dia hanya mau tidur bersamamu. Saya yakin malam ini dia tidak akan bisa tidur malam tanpa ditemani oleh kamu." Dia benar setelah bermain bersama selama satu jam, Okan merengek minta tidur bersamaku. Tapi tetap saja, langsung masuk bekerja ke rumah ini suatu kemustahilan. Malam ini aku masih wajib masuk bekerja di restoran.
"Saya nggak bisa masuk hari ini," jawabku.
"Kenapa?"
"Karena saya masih bekerja di tempat lain, kalau saya mengundurkan diri secara tiba-tiba pasti—"
"Hari ini atau nggak sama sekali."
Aku melirik Dela, berharap wanita itu mau membantuku berbicara. Oh, ayolah! Kenapa pria ini begitu menyebalkan? Apa salahnya menunggu beberapa hari?
"Tapi saya nggak ada persiapan apa-apa? Saya nggak bawa baju atau keperluan saya yang lain," cicitku mencari alasan. Aku menggosok tengkuk leherku, berusaha mengurangi rasa tidak nyaman karena tatapan tajam dari Ray. Sumpah pria itu dan tatapan mengitimidasinya, membuatku jengkel sekaligus salah tingkah.
"Saya bisa mengantar kamu untuk mengambil semua barang kamu, tunggu disini. Saya butuh waktu lima menit untuk mengganti baju." Dia mengucapkan kalimat bernada perintah untuk kedua kalinya, lalu pergi dari hadapanku dan memasuki kamar yang bersebalahan dengan kamar anak-anak.
Aku menatap nanar ke arah pintu yang tertutup, tidak berapa lama aku bisa mendengar suara tawa Dela. Dia yang memberikan semua masalah ini tapi aku tidak menemukan tanda-tanda dia menyesalinya. Aku menoleh ke arahnya dan memberikan tatapan nyalang.
"Stop tertawa, Fidela! Atau aku akan senang hati menggaruk wajah polosmu itu," ancamku.
Dela mendaratkan kedua tangan ke atas bibirnya lalu dalam hitungan detik wanita itu berlindung di balik punggung Arka. Arka tidak tertawa sekeras Dela, tapi aku tahu dia geli dengan keadaanku saat ini. Yah, setidaknya dia lebih manusiawi karena tidak tertawa sekeras Dela menentertawakanku.
"Ingat si kembar saja, mereka butuh sosok guru seperti kamu. Jangan ingat bapaknya, nanti urusannya panjang." Arka membuka suaranya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Cara Arka tersenyum sedikit mirip dengan senyum Dela, meneduhkan. "Ray aslinya baik. Yah, keadaan saja sudah membuat dia sedikit kaku dan dingin."
What? Segitu dikit? Terus yang banyak kayak gimana bentuknya?
Aku menghela napas panjang bertepatan dengan keluarnya Ray dari kamar, dia telah bergati baju dengan kaos hitam dipadu jaket jeans dan celana jeans. Aku mencoba untuk tidak melongo karena terlalu terpesona tapi sia-sia, astaga, itu bukan kaos hitam yang ketat tapi tetap saja aku bisa membayangkan ada otot-otot menggoda di dalam sana.
"Ayo," ajaknya. Mengabaikan jika setengah kewarasanku telah hilang karena dirinya. "Kalian langsung pulang ke Jakarta atau ikut kita?"
"Gue sama Dela langsung cabut," jawab Arka.
Dela menghampiriku, memimpin tubuhku untuk menuruni tangga bersama dengan kedua pria yang lebih dahulu turun. Aku tidak mengatakan apapun pada Dela, dalam hati aku mencoba merangkai kalimat obrolan di dalam mobil. Perjalanan Alam sutera – Binong cukup panjang dan aku tidak mau keadaan di dalam hening, sehingga memberikan kemampuan pada telinga Ray untuk mendengar degup jantungku.
Ya–jantungku berdegup kencang karena pria dingin itu.
"Titip Via," kata Dela. Aku memutar kedua mataku dengan malas sementara Ray mengangguk kecil, tidak berapa lama mobil Arka menghilang dari pandangan kami.
Kini giliran aku dan Ray yang memasuki mobil, suasana di dalam mobil tidak berbeda jauh dengan pemiliknya. Dingin, kaku. Aku tidak tahu apa bisa aku bertahan bersama dengan Ray lebih lama dari hari ini, aku tidak menemukan sedikit keramahan pun dalam diri Ray. Tapi aku juga tidak bisa memungkiri pekerjaan darinya sangat menggiurkan.
"Pak, saya—"
"Nama saya Raynaldi, panggil saja Ray. Tanpa embel-embel bapak, apa saya terlihat seperti seorang pria berumur 40 tahun."
"Tapi.."
"Saya dan Dela itu seumuran, setahu saya kamu juga seumuran dengan Dela. Artinya nggak ada keharusan kamu memanggila saya dengan Pak."
"Iya sih, seumuran. Tapi kalau saya jadi bekerja di rumah, Pak Ray. Jadi rasanya tidak etis..." Ray menatapku dengan tajam. "Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada yang salah? Memang benar kan status saya nanti pekerja dan..."
"Kalau jadi?" tanyanya penuh penekanan.
Aku memiringkan kepalaku. "Iya, saya tadi sudah bilang. Saya belum ada persiapan untuk berhenti bekerja, saya belum berpamitan kepada tempat saya bekerja. Kalau saya berhenti mendadak, saya jamin 100% atasan saya yang sekarang akan menolak dan kalau saya nekat gaji saya bulan ini tidak akan dibayar. Sementara, saya itu butuh gaji saya bulan ini."
"Saya akan ganti gaji kamu bulan ini dua kali lipat, nggak usah pamit segala, repot! Hubungi lewat telepon, bilang kamu mau pindah rumah jadi nggak bisa bekerja lagi lalu semua selesai."
"Apa?" Dia mau ganti gaji aku dua kali lipat? Aku memajukan tubuhku, sekaligus menatap dia dengan tatapan menyelidik.
"Saya tidak pernah melanggar kata-kata yang sudah saya keluarkan, nggak perlu menatap saya dengan tatapan seperti itu."
Aku memundurkan tubuhku pada sandaran kursi. "Terserah, Bapak R—"
"Ray!"
"Mas Ray."
"Flavia..." Dia menggeram menunjukkan ketidaksukaannya atas panggilan yang kuberikan.
"Mas atau Bapak, itu saja pilihannya." Aku tersenyum puas dalam hati. Ah, memang dia saja yang bisa memaksakan kehendak. Aku juga bisa dan sepertinya dia mengalah, terbukti dia tidak membalas perkataanku lagi. "Itu rumah saya, Mas."
Ray mendengus, seraya menepikan mobilnya di depan rumahku yang sangat sederhana. Aku sangat sadar, dia masih kesal dipanggil Mas. Tapi aku mengabaikannya, lagipula apa salahnya memanggil Mas? Dia memang atasanku dan aku merasa memanggil namanya bukan bentuk profesional kerja.
Saat kaki melangkah turun dari mobil, aku mendapati beberapa pasang mata tetangga sebelah rumahku mulai mengawasi. Tentu saja mereka akan curiga, sejak kapan aku pulang menggunakan mobil mewah, ditambah ada seorang pria ikut turun. Iya, Ray tidak menunggu di mobil. Setelah aku turun, dia ikut turun.
Tanpa risih atau terganggu dengan semua pandangan itu, Ray tetap berjalan memasuki teras rumahku. Di saat aku sibuk mencari kunci rumah, dia membungkuk, tangannya mengambil satu amplop putih.
"Sepertinya kamu terkenal." Ray menegakkan tubuhnya, menggoyangkan amplop di udara. "Di kalangan tukang tagih."
Aku tersenyum kecut, dan mengambil secara kasar amplop putih yang dipegang Ray.
"Ya, saya terkenal. Karena dari itu, pekerjaan di tempat Mas Ray sangat menggiurkan." Aku berhasil membuka pintu, membukanya lebar dan masuk lebih dulu. Entah karena pondasi rumah ini terlalu pendek atau memang tubuh Ray terlalu tinggi, karena saat dia melewati pintu masuk. Ray harus menekuk lehernya cukup rendah agar tidak terbentur kusen pintu. "Mas bisa tunggu di sofa, saya membereskan barang-barang dulu."
Tanpa menunggu persetujuan, aku berjalan masuk ke dalam kamarku. Mulai memilih mengambil baju mana saja yang ingin kubawa, setelah yakin semua baju sudah masuk ke dalam koperku. Setelah semua selesai aku mengambil figura foto Bapak dan Ibu, foto keluarga terakhir kami, sebelum Bapak meninggal.
Merasa sudah terlalu lama di dalam kamar, aku segera bergegas keluar. Berharap aku tidak menemukan Ray tengah memasang wajah galak karena terlalu lama menunggu dan sepertinya dugaanku meleset sangat jauh, alih-alih menemukan dia mata dengan mata melotot justru aku menemukan dia dengan mata terpejam. Ya–Ray tertidur di sofaku, dan terlihat sekali kalau Ray tidak terlalu nyaman. Sofaku berukuran kecil, sementara tubuh Ray tergolong besar.
Aku mendekat berniat untuk membangunkannya tapi bukannya membangunkan, aku teralihkan oleh kesempurnaan wajah Ray.
Tulang pipi Ray terlihat kuat, tercetak begitu pas dan proposional.
Bulu mata-nya terlihat cukup lentik, bahkan bulu mataku tidak sebagus miliknya.
Tulang hidungnya tinggi layaknya artis yang ada di televisi.
Alisnya tebal ala ulat bulu, pantas saja dia memiliki tatapan 'menghanyutkan'.
Aku menahan napas saat pandanganku jatuh pada bibir Ray, bibir Ray tergolong 'penuh' dan seksi. Seketika aku membayangkan jika bibir itu menyentuh bibirku, pasti rasanya akan luar biasa.
Merasa otakku sudah kelewatan, aku cepat-cepat melakukan tujuanku berada di dekat Ray. Membangunkannya dengan cara menggoyangkan puncak bahunya.
"Mas Ray.."
Hanya dalam hitungan detik, mata cokelat Ray terbuka dan aku kembali merasakan sesuatu yang asing mengganggu pikiranku.
"Saya pikir, kamu akan terus menatap saya dengan pandangan mesum kamu itu."
What?? Mesum? Tunggu. Jadi daritadi dia tidak tidur, dan dia tahu aku memandanginya.
Blushing. Aku bisa merasakan wajahku memanas.
Aku memundurkan tubuhku dari Ray, berdiri dengan tegak dan sebisa mungkin memasang wajah innocence.
Ray bangun dari sofa bututku lalu mengambil alih koper yang kuletakkan di sampingku, sepertinya dia juga tidak terlalu mau membahas masalah adegan tatap menatap, masih dalam keadaan diam Ray membawa koper ke luar meninggalkan dengan keadaan masih panik karena tertangkap basah.
Ketika aku sudah merasa sudah cukup normal untuk kembali berhadapan dengan Ray, aku memutuskan untuk menyusul pria itu keluar sekaligus menutup rumah ini kembali.
Suara bagasi tertutup membuatku nyaris menjatuhkan kunci dari tanganku, Ray kembali ke hadapanku. Seperti menunggu apa ada hal lain yang ingin kulakukan, dia berdiri dengan berkacak pinggang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Sementara aku memutuskan untuk membisu, menikmati Ray dengan segala hal yang dia miliki.
Pandangan kami bertemu. "Butuh berapa lama lagi?"
"Hah?"
"Kita sudah meninggalkan rumah selama dua jam, kemungkinan anak-anak sudah bangun dan saya tidak mau membuat mereka menunggu terlalu lama."
Aku mengerjap layaknya orang bodoh, sebelum akhirnya kembali menemukan kemampuanku dalam berbicara.
"Kita bisa pergi sekarang." Ray terlihat sedikit lega lalu memutar posisi tubuhnya begitu saja, aku memperhatikan punggung lebarnya. "Mas Ray..."
Ray kembali melihat diriku, dan kebingungan memenuhiku. Aku sendiri tidak tahu untuk apa aku memanggilnya, aku hanya suka memanggil namanya.
Ya Tuhan, aku belum masuk ke dalam rumahnya tapi aku sudah bertingkah bagaikan wanita jalang kehilangan akal. Seakan aku sedang menggodanya.
"Kamu punya handphone?"
"Hah?" Kenapa aku selalu mengucapkan kata 'hah' setiap kali dia mulai bicara denganku? Menyebalkan, Via.
Tangan kanan Ray terjulur ke arahku, mengerti maksudnya dengan cepat aku mengeluarkan handphone dari tas dan meletakkannya di atas telapak tangan Ray. Ray tidak mengatakan apa-apa saat menerima handphoneku, mulai melakukan yang ingin dia lakukan dan mengembalikan handphone itu ke tanganku.
"Itu nomor handphone saya, silahkan kamu kirim nomor rekening kamu dan gaji dari tempat kamu bekerja. Saya akan berikan yang saya janjikan ke kamu." Setelah mengatakan itu, Ray berlau dan masuk ke dalam mobil begitu saja.
Aku memperhatikan rangkaian nomor pada layar handphone-ku, merasa sedikit aneh karena baru kali ini ada atasanku yang memberikan nomor yang dia pakai. Oke, ralat. Ray memasukkan semua nomor yang dia punya, tiga nomor dengan keterangan yang berbeda.
Nomor pertama, hanya klien yang menghubungi.
Nomor kedua, jarang dipakai.
Nomor ketiga, nomor pribadi.
Enjoy Flavia
Jgn lupa vote dan comment sebanyak-banyaknya ya... terima kasih sudah menyediakan waktu membaca...
Belum lebaran sih, tp ngucapin duluan nggak papa kan? Krn kita ketemu lg setelah lebaran...
Mohon maaf lahir batin ya, kalau aku ada slh2 kata dlm membls komentar kalian... terima kasih sudah menemani perjalanan aku di wp... pdhl baru setahun lalu, lebaran kayak gini... pembaca aku cuman 10 orang, skrg ada kalian semua... ;)
Love. Fla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top