18
Aku duduk tegak sambil menopang dagu, mataku berkeliling memandangi orang-orang pengisi meja panjang ini. Ya—aku memutuskan datang ke acara makan siang seperti keinginan Dela, seperti yang diberitahu Ray kemarin. Aku juga datang bersama Ray hanya saja kami melewati perjalanan dari Alam Sutera ke Jakarta Barat dalam keheningan dan itu sampai terbawa sampai ke meja ini. Entah mereka tahu suasana aku dan Ray sedang tidak enak karena dari itu memilih hening, atau memang ini yang sering mereka lakukan kalau memutuskan buat makan siang bersama.
Dela fokus menatap iPad sesekali melirik ke arahku. Nora sibuk mengoreksi kesempurnaan make up-nya. Sementara Arka, Ray, dan Rendy—teman sekantor Dela yang kebetulan teman dekat Arka serta Ray. Ketiganya kompak menudukkan kepala dan sibuk dengan ponsel masing-masing.
Aku menghela napas sangat kasar. Kepalaku yang sebelumnya sudah pening kian pening.
Aku membetulkan posisi dudukku, lalu telapak tangan kananku mengusap tengkuk. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya.
"Seriously?" Tiba-tiba tangan Nora menutup kaca pocket berbentuk piglet sambil berseru dengan suara tinggi. Dia duduk tegak, lalu memandang para pria dengan satu alis terangkat. "Kalian nggak ada niatan buat pisah meja gitu dari kita? Sumpah, aku tuh engap dengar satu orang ini menghela napas terus." Telunjuknya mengarahku, diikuti pandangan penghuni satu meja ini. "Dia bersikap seolah meja ini dihuni ratusan orang seukuran Rendy, menghabiskan stock oksigen dan membuat sesak."
Rendy memajukan tubuhnya sedikit dan memiringkan kepala untuk memandang Nora. "Kayaknya aku diam-diam aja deh, kok masih kena serang sih, Ra?" tanyanya dengan ekspersi wajah yang menurutku lucu. Rendy memang sedikit berbeda dari Arka dan Ray yang memiliki tubuh atletis—tubuh Rendy lebih berisi, padat, gembil.
"Siapa yang nyerang? Hanya bicara kenyataan," sahut Nora sambil mengangkat kedua bahunya. "Lagi pula, kalian di sini juga nggak melakukan sesuatu cuman duduk sambil lihatin ponsel."
"Emangnya kamu maunya kita ngapain?" Rendy terlihat semangat memancing sisi galak Nora keluar. "Koprol? Nyanyi-nyanyi nggak jelas?"
Nora bersiap untuk melawan kembali, tapi Arka yang kebetulan duduk di antara mereka memosisikan kedua telapak tangannya berhadapan dengan wajah masing-masing dari mereka.
"Kalian tuh nggak di kantor, nggak di tempat umum kerjaannya berantem terus. Jangan-jangan kalian jodoh..." Arka mengatakan itu dan disambut tawa oleh Ray. Dela dan aku kompak menahan, kami terlalu mengenal Nora—dia suka menggoda orang tapi tidak suka digoda balik. Egois? Memang, tapi dia sahabat terbaik untuk kami. Dia selalu tahu kapan harus membuka suara dan merubah keadaan dalam sekali jentikkan jari.
Nora dan Rendy sama-sama melengos.
Pandanganku dan Ray tak sengaja bertemu. Dia ingin membuka obrolan di tengah keadaan yang mencair, tapi aku kembali membuang wajah dan menemukan Dela tengah mengamatiku penuh selidik.
Tidak seperti Nora yang terlihat masih berniat memanjangkan obrolannya dengan Arka dan Rendy. Dela memandangku lamat-lamat, kemudian satu tangan kami saling bertautan.
"Are you okay?" tanyanya.
Aku tidak langsung jawab. Aku menunggu dia melanjutkan pertanyaannya karena buatku apa yang dia ucapkan belum sepenuhnya lengkap. Dia bertanya tentang aku dan Ray yang duduk bersebelahan tapi bersikap seolah di tengah kami ada sebuah tembok pemisah atau dia bertanya tentang keadaanku secara keseluruhan.
"Kamu sakit? Kamu sedikit berbeda dari biasanya, lebih pucat." Dela bertanya lagi.
"Nggak kok," jawabku.
Aku memang sedikit pusing, tapi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Pusing seperti ini sudah aku rasakan empat hari belakangan tapi selalu hilang dengan sendirinya, jadi memang aku baik-baik saja.
Dela seperti tidak puas dengan jawabanku, dia melirik ke arah Ray seperti minta diyakinkan. Dan aku tidak tahu Ray bereaksi seperti apa saat menerima lirikan itu.
Aku melepaskan tautan tanganku dan Dela. "Aku mau ke kamar mandi." Aku berdiri diikuti pandangan Ray.
"Aku temani," kata Dela. Dia ikut berdiri dan sepertinya keinginan Dela didukung oleh Ray bahkan Nora, entah sejak kapan Nora sudah berhenti berbicara dan mengamatiku seperti Dela.
Aku memaksakan seulas senyum di wajahku. "Nggak usah, Del—aku bukan Olin yang takut ke kamar mandi sendiri. Aku juga udah tahu seluk beluk mal ini, jadi nggak usah khawatir aku hilang."
Dela maju keluar dari area mejanya dan mendekatiku, dia sepertinya memaksa untuk ikut.
Aku merangkul lengannya dan mendorong pelan tubuhnya dengan tubuhku. "Protektifnya mulai deh..."
"Aku perlu ikut juga nggak? Biar lebih aman." Nora menambahi.
Aku melepaskan lengan Dela, lalu memandang keduanya secara bergantian. "Nggak ada yang boleh ikut. Aku tuh mau ke kamar mandi doang, bukannya mau pergi ke medan perang." Aku tersenyum selebar yang bisa kulakukan, kemudian menjauhi meja.
Aku baru saja melewati dua meja, secara mendadak pandanganku kabur. Kepalaku terasa lebih sakit dari sebelumnya, aku pun meraskan mual dan kali ini diikuti rasa nyeri di bagian perutku, sangat nyeri sampai kedua kakiku tidak sanggup lagi untuk berdiri. Tanganku berusaha menggapai ujung meja di sampingku sebagai penyeimbang, tapi tidak berhasil. Detik selanjutnya badanku sudah menyapa kerasnya lantai marmer restoran, kebisingan terjadi—beberapa suara berlomba memanggil namaku tapi yang paling menonjol adalah suara milik Ray... membuatku semakin dalam terhanyut dalam kegelapan.
Untuk beberapa saat sekelilingku menjadi hening, tidak ada suara bising hilir mudik memasuki telinga. Bukan hanya hening, semua juga gelap. Aku tidak bisa melihat apapun kecuali hitam yang pekat, aku bosan. Di sini juga dingin, aku bersiap untuk memeluk diriku sendiri tapi salah satu tanganku kebas. Aku mencoba memanggil nama Dela atau Nora, tetapi lidahku kelu, kedua nama itu hanya sampai di kerongkongan tak bisa aku keluarkan. Suasana hening yang aku sukai, kini terasa menyeramkan. Aku menemukan setitik sinar terang di ujung sana, aku berlari menuju sinar itu. Ketika mendekat, sinar itu ternyata sangat terang. Aku menutup mata untuk sesaat, lalu aku membuka mata lagi dan mendapati diriku sedang terbaring di satu ruangan dengan bau alkohol yang menyengat. Aku bisa pastikan, aku berada di rumah sakit.
Aku mengedarkan pandangku ke sembarang arah, sambil membawa tangan kananku menyentuh tangan kiriku yang kebas. Aku memiringkan kepala ke sebelah kanan, di samping ranjang ada Dela dan Nora duduk berdamping, padangan mereka susah untuk diartikan.
Aku paksakan mulutku mengeluarkan suara. "Del... Ra..."
Tidak ada reaksi dari keduanya, mereka memandangiku dengan pandangan yang mereka tujukan untuk Rissa, enam tahun lalu. Aku mau mengangkat tubuhku tapi tidak bisa, seolah tubuhku sengaja diberikan lem agar melekat pada ranjang ini.
"Dela... Nora..." Aku memanggil mereka sekali lagi dan ketakutan menghampiri.
Nora menyipit gusar, kedua tangannya sibuk memilin ujung rok skrit-nya.
Dela menggeleng beberapa kali dan menghela napas sangat kasar.
"Kenapa?" tanyaku dengan suara sangat pelan nyaris berbisik.
Dela menghela napas lagi, sebelum akhirnya memajukan kursi yang dia duduki hingga menyentuh pinggiran ranjang. "Kenapa sekarang kamu lebih ceroboh dari Nora?" Dia bukan menjawab, justru memberikan pertanyaan untukku.
Aku mengerutkan dahi karena terlalu bingung dengan keadaan ini.
Nora duduk tegak, mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau hubungan kamu dan Ray sudah sejauh ini?" Aku semakin bingun. "Kenapa kamu mengikuti jejak Rissa? Diam-diam berhubungan sejauh ini sama pria tanpa bercerita satu hal pun pada kami, lalu BOOM!" Nora meninggikan suaranya.
Rissa?
Aku langsung membawa tangan kananku ke puncak perut, pasti ini penyebab keduanya bereaksi seperti sekarang. Ada sesuatu di dalam sana. Kehidupan baru.
"Kamu pingsan di restoran, terus bawa kamu ke rumah sakit. Karena kita nggak tahu keluhan kamu apa, jadi kita memutuskan mencari tahu dari cek darah. Dan kamu tahu apa penyebabnya..." Dela memandangku lurus-lurus. "Kamu hamil."
Duniaku kembali hening. Kata hamil terus berulang di kepalaku, bagaikan sebuah kaset rusak, mengulang di bagian yang sama.
"Beruntung kali ini yang hamilin waras, kalau kayak—" Aku memejamkan mata sejenak, meninggalkan perdebatan Nora dan Dela yang membahas masa lalu Rissa. Aku merasa kesulitan untuk bernapas, seperti seluruh saraf paru-paruku mengalami kelumpuhan.
Aku membuka mata lagi. "Tapi aku... mungkin hasil darahnya salah." Aku mencoba untuk membuat pembelaan diri.
Nora berdiri. "Flavia Chandra Netta, kamu melakukannya pakai pengaman?"
Aku menggeleng, seraya memaki diriku dalam hati. Bodoh! Bodoh!
"Berhubungan intim tanpa pengaman walaupun satu kali dan saat melakukannya kalian sama-sama subur ya pasti jadi!" Nora kehilangan kendali atas dirinya, suaranya memenuhi kamar.
Aku memandang Dela. Dia tidak mengomel seperti Nora, tapi aku tahu—dia memiliki kekecewaan sebesar yang dimiliki oleh Nora. Mungkin tindakan keduanya bukan semata-mata kecewa, ada yang lebih besar seperti kaget dan khawatir kalau-kalau kehamilanku mendatangkan masalah besar untukku. Rissa mengalami masa sulit karena kehamilan, mungkin itu alasan keduanya bereaksi keras seperti sekarang.
Aku menangis dan pintu terbuka.
Ray berdiri di ujung sana. Penampilannya sedikit kacau, empat kancing kemeja bagian atasnya terbuka hingga dalaman putih yang dia pakai terlihat. Dia melangkahkan kaki panjangnya dengan ragu-ragu, dia pasti kaget seperti diriku. Arka dan Rendy berdiri di balik punggung Ray, tapi mereka memutuskan tetap di luar.
Ray sampai ujung ranjang, tidak ada yang bisa aku simpulkan saat melihatnya. Mendadak semua terlalu rumit untuk kumengerti.
Dela dan Nora kompak memandangi Ray.
"Kalian pulang saja, aku mau bicara berdua dengan Via." Ray meminta keduanya pergi tanpa mau membalas pandangan mereka. Dia memandangku lamat-lamat dan aku berhenti bernapas untuk beberapa detik. Apa dia marah atas keadaanku saat ini? Apa dia mau meminta menghilangkannya daripada mengambil risiko seperti empat tahun lalu?
Hai! Akhirnya aku meneruskan lapak ini, versi cetak jauh berbeda dengan wattpad tapi premis sama. Jadi ya—aku rasa nggak masalah kalau dilanjut.
Enjoy Ray-Via
Love, Fla.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top