11
FLAVIA
Kata demi kata Ray terus terngiang di terlingaku, sampai pada detik ini aku masih belum tahu harus menanggapi kalimat itu seperti apa, dan Ray sepertinya tidak memaksa untuk tahu tanggapanku. Terbukti dengan sisa perjalanan kami yang sunyi. Tidak ada yang mencoba memperbaiki suasana dengan obrolan baru, kami sama-sama tenggelam dengan pikiran sendiri. Sama-sama ketakutan. Aku takut kalau dia tahu tentangku dan menjadi muak, sementara dia... mungkin dia takut bagaimana akhir hubungan aneh kami ini.
Kami sampai di apartemen setelah menempuh perjalanan selama dua jam dari rumah, beruntung perjalanan Alam Sutera-Bandung masih sepi, lancar jaya tidak ada kemacetan. Begitu memasuki apartemen Ray langsung masuk ke kamar, katanya mau berisitirahat. Anak-anak yang terlanjur bangun tidak bisa diminta untuk melanjutkan tidur, jadi aku menemani mereka menonton acara disney sambil menyuapi bubur lalu lanjut dengan buah-buahan yang kubawa dari rumah.
Aku melirik anak-anak, keduanya terlihat gelisah. Melirik jam dinding, pintu kamar Ray, dan balkon yang menyuguhi pemandangan kolam renang.
Olin menggeser duduknya hingga kedua paha kami saling menempel, dia sengaja menyandarkan kepalanya pada lenganku.
"Aunty Ia, Papa masih capek nggak?" tanyanya. Okan memandangi balkon untuk kesekian kalinya.
"Mungkin. Memang kamu mau main sama Papa?" Aku saja tidak yakin apa yang dilakukan Ray di dalam sana, entah tidur, memainkan ponselnya, atau berpikir. Sudah dua jam pintu kamar itu tertutup dan aku sama sekali tidak ada niat untu membukanya, anak-anak saja aku halau dari sana.
"Olin mau berenang," sahut Olin lesu.
"Okan juga." Tak kalah lesu dari Olin.
Aku menghela napas mendengar jawaban anak-anak, pantas saja keduanya tidak mau aku ajak mandi sejak tadi, ternyata ini alasannya.
"Berenang bareng Aunty Ia saja, mau?" Aku berusaha memberikan solusi.
"Tapi Olin maunya Papa," jawab Olin kali ini dengan tambahan mata berkaca-kaca. Dia sudah siap mengeluarkan jurus menangis agar keinginannya terwujud dan jurus Olin berhasil membuatku berdiri lalu menghampiri kamar Ray.
"Oke, kalian tunggu di sini. Duduk manis, Aunty Ia coba bangunin Papa dulu," kataku sebelum membuka pintu.
Aku masuk ke dalam kamar yang terlihat gelap karena semua sumber cahaya sengaja Ray hilangkan. Dia terlentang di ranjang, matanya terpejam, dan aku bisa mendengar dengkuran halus yang dia hasilkan.
Melihat Ray pulas, aku membuat suatu keputusan. Aku akan datang ke sana, membangunkan Ray sebanyak dua kali, kalau dia tetap tertidur aku akan memaksa anak-anak mengerti kalau Papanya sangat kelelahan.
Ragu-ragu aku mendekat ke tempat tidur Ray, selama sepuluh detik aku termangu memandangi wajah Ray dan selama itu, banyak hal berkecamuk di dalam pikiranku. Aku menjulurkan tangan dan mengguncang pundak Ray dengan sangat hati-hati.
"Mas Ray, Olin minta berenang sama Mas Ray," kataku dengan suara sangat pelan, seperti orang tidak niat membangunkannya. Entahlah wajah Ray menunjukkan kalau dia sangat kelelahan, membuatku tidak tega membangunkannya.
Ray masih terpejam. "Kalau Mas Ray masih mengantuk, saya saja yang menemani anak-anak berengan di bawah," kataku membuat keputusan final untuk membiarkan Ray tidur lebih lama lagi.
Aku menegakkan tubuhku, berbalik ke arah pintu. Baru saja aku bersiap melangkah, ujung sikuku tertarik ke belakang. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh di ranjang, tepat di samping Ray. Posisi kami tidak berhadapan, aku memunggunginya. Tapi tetap saja posisi ini membuatku sangat tidak nyaman, berbaring dengan tangannya memeluk pinggangku
"Mas Ray, anak-anak sedang menunggu--"
"Jangan berisik," bisiknya.
"Mas, nggak enak kalau anak-anak melihat kita dalam posisi seperti ini." Aku masih berusaha meyakinkan Ray untuk membiarkanku kembali berdiri.
Aku mendengarkan suara detak jantungku, bunyinya sangat nyaring. Aku yakin Ray juga mendengarnya. Dia mempererat pelukan di pinggangku, napasnya menerpa tengkuk leherku. Hangat, sekaligus menakutkan.
"Olin nyaris menangis, dia sangat ingin berenang bersama Mas Ray. Jika kita membuang waktu lebih lama di dalam kamar ini, saya yakin—sebentar lagi tangisan Olin akan terdengar." Ray bersikap seolah-olah tangis Olin bukan sesuatu yang penting, padahal dia tahu kalau Olin menangis susah untuk dihentikan. Dan aku sangat tidak suka mendengar anak-anak menangis. "Mas, kalau mau membicarakan sesuatu yang pribadi. Kita bisa melakukannya saat malam hari, saat anak-anak tidur."
Tiba-tiba Ray menyingkirkan tangannya dari pinggangku. "Turun," perintahnya sambil mendorong sedikit punggungku ke depan. Dia tidak perlu memerintahkanku dua kali, aku langsung turun dari ranjang dan berdiri dalam jarak yang sangat jauh dari jangkauannya.
Ray mengangkat kedua tangannya tinggi, meregangkan otot-ototnya, lalu duduk di ranjang. Ekspresinya datar, seperti tidak terjadi apa-apa beberapa detik lalu. Dia berdiri dan berjalan ke tempatku berdiri.
"Saya nggak sabar menyambut malam, banyak hal yang harus kita bicarakan," katanya, sembari merapikan kaus, lalu menyugar rambut hitamnya. Dia memandangku, mengulurkan tangan ke pipiku untuk beberapa detik, lalu meninggalkan tanpa mengajakku.
Aku terdiam, jatungku berpacu semakin cepat, wajahku bersemu merah hanya karena jari-jarinya mengusap untuk beberapa detik. Aku telah jatuh di dalamnya, aku sudah benar-benar tertarik.
Kedua lututku melemas, kemudian aku berjongkok dan memeluk kedua kakiku dengan erat. Seharusnya aku tidak boleh seperti ini. Seharusnya aku menghindarinya, dia terlalu baik untukku. Kalau aku tetap membiarkan kebersamaan kami, mungkin aku akan semakin tenggelam di dalam dirinya, mungkin itu akan menyenangkan. Aku akan melakukan banyak cara untuk menutupi masa laluku, kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku akan hidup dalam ketakutan, takut dia tahu, lalu dia pergi di saat aku tidak tahu cara melepaskannya. Aku akan merasakan kehilangan lebih parah dari sebelumnya, lebih sakit, lebih menyedihkan.
Anak-anak memanggil namaku dengan kencang, memaksaku untuk segera mengumpulkan kekuatanku dan keluar dari kamar ini. Aku memutuskan bergabung bersama anak-anak dan Ray, meninggalkan sejenak pikiran buruk tentang kehilangan anak-anak dan... Ray.
Mereka menghabiskan waktu satu jam di kolam renang, selama itu pula Ray dan kesempurnaan tubuhnya menjadi pusat perhatian terutama dari kaum hawa. Beberapa kali Ray naik dari kolam untuk minum, menghampiri tempatku duduk, dia bersikap seolah aku ini pasangannya. Semua yang dia lakukan berhasil membuat beberapa mata memandangku dengan pandangan cemburu, lalu mulai berbisik-bisik entah membahas apa. Tapi yang pasti itu sangat mengganggu.
Belajar dari kejadian di kolam renang tadi, aku berniat untuk turun ke lobby menemui Rissa dengan anak-anak saja tanpa Ray. Tapi Ray tidak suka niatku itu, saat tahu aku sudah siap ke lobby dia pun ikut turun walaupun berjalan lebih lambat dari kami. Dia terlihat sibuk di belakang sana dan ponsel menempel di telinganya.
Begitu memasuki area lobby, aku menemukan Rissa dan Diego—anak Rissa sedang berdiri di samping sofa yang disediakan oleh pihak pengembang untuk para penghuni apartemen jika harus menunggu jemputan atau bertemu tamu.
Aku berlari kecil, sambil menarik anak-anak untuk ikut berlari denganku. Begitu sampai di hadapan Rissa, aku langsung memeluk dia sangat erat. Rissa tidak banyak berubah, dia masih cantik tanpa harus menggunakan make up. Rambut hitam pekatnya yang masih tebal dan panjang. Hanya satu yang sedikit berubah dari Rissa, dia sedikit lebih berisi dari terakhir kali aku melihatnya. Tidak gemuk, tapi tidak bisa dibilang langsing. Ya—dia berukuran lebih padat. Setelah puas memeluk Rissa, aku berganti memeluk Diego. Dia bukan lagi balita menggemaskan yang selalu menangis setiap kali aku atau Dela memeluk Mamanya, dia sudah lebih besar untuk tahu kalau aku tidak akan merebut mamanya.
"Widih! Kakak udah pakai seragam merah putih, udah besar atau masih kecil nih?" aku sengaja mengacak-acak puncak kepalanya, lalu mendaratkan ciuman pada pipinya yang gempal.
Dia mengusap pipinya, melirik ke kanan dan kiri ingin memastikan tidak ada orang yang melihat adegan tadi. "Aunty Via, kakak malu." Aku terbahak mendengar cara Diego menyampaikan kalau dia malau dicium di tempat terbuka seperti saat ini.
Dan sepertinya bukan hanya Diego yang protes, si kembar juga sedang melakukan protes tanpa suara, mereka memeluk paha kanan kiriku dengan sangat erat.
"Eh, kok kalian berubah jadi koala. Ayo, salam dulu sama Aunty Rissa dan Kak Diego," kataku sebelum kecemburan si kembar semakin bertambah besar.
Si kembar menurut memberikan tangan kanan mereka pada Rissa dan Diego. Sesuatu yang menarik terjadi, Diego langsung memeluk si kembar tanpa basa basi, seperti ingin menunjukkan jika dia ingin berteman dengan anak-anak.
"Wah, langsung cocok anak-anak kita, Ris." suara Ray terdengar dari balik punggungku.
Rissa mengulum senyum dan terlihat sangat tengang.
Dia itu bukan tipe heboh seperti Nora yang akan menyambut Ray dengan teriakan, bukan juga seperti Dela yang bisa berubah-ubah reaksi tergantung orang yang memulai obrolan.
Rissa terlalu tenang.
"Hai, Ray. Long time no see," sapa Rissa ramah dengan nada suara yang sangat lembut bagaikan mantel bulu.
Aku menggeser tubuhku sedikit agar Ray bisa bergabung bersama dengan kami, sementara Diego sudah membawa anak-anak duduk di sofa panjang dan memperlihatkan permainan PSP.
"Iya, udah lama nggak ketemu. Kamu sih, ilang dari peredaran."
"Nggak lah, aku nggak ilang kok. Buktinya Dela, Nora, dan Rissa tahu kalau aku tinggal di Bandung. Nah, sekarang kamu juga tahu."
"Iya, deh. Kamu nggak ilang cuman ngumpet dari dia..."
"Dia? Dia siapa? Kamu bisa aja deh, Ray."
Aku memandang Ray dan Rissa bergantian, seketika ingin rasanya aku berubah menjadi mahluk tidak terlihat sampai mereka selesai berbicara. Karena sungguh aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan dan itu sangat menyebalkan.
Rissa melirikku dan dia langsung tahu, aku tidak nyaman dengan percakapan yang terangkai antara dia dan Ray.
"By the way, aku pinjam Via sama anak-anak kamu yah," kata Rissa mengalihkan pembicaran.
Ray melirik ke arahku sekilas.
"Nggak masalah, aku juga pergi urus pekerjaan sebentar," jawab Ray. Dia meninggalkan aku dan Rissa menuju ke tempat si kembar duduk, mencium puncak kepala si kembar, memberikan pesan jangan nakal lalu kembali bergabung bersama dengan kami para wanita. "Have fun..." Ray mendaratkan tepukan ringan pada bagian punggungku, mengabaikan jika tindakannya menimbulkan kepanikan dalam diriku. Aku menoleh ke arahnya, memberi peringatan agar dia segera berhenti bersikap seakan-akan aku ini pasangannya. Karena di depan sana bukan wanita yang memandanginya bagai singa bertemu daging empuk, itu Rissa, dia sahabatku.
"Nanti kasih kabar kalian pergi ke mana, setelah urusan pekerjaanku selesai. Aku jemput kamu dan anak-anak, jadi kamu nggak perlu merepotkan Rissa." Entah apa maksud dan tujuan Ray melakukan semua ini, tapi sungguh aku tidak merasa tersanjung sedikit pun. Tidak berhenti sampai di situ, dia juga membelai puncak kepalaku dengan sangat mesra. "Aku pergi dulu." Dia membuat seolah kami ini pasangan bahagia, bahkan mengganti kosa kata saya-kamu menjadi aku-kamu.
"Sepertinya kita harus mencari tempat yang nyaman, supaya kamu bisa cerita banyak hal sama aku," kata Rissa setelah Ray meninggalkan kami.
"Nggak ada apa-apa, aku cuman kerja."
Rissa menggangguk. "Jadi yang tadi itu hubungan atasan dan bawahan ala Via."
Aku merasakan wajahku sudah memerah seperti kepiting yang baru saja keluar dari panci rebusan.
ENJOY VIA-RAY
Terima kasih untuk yang setia membaca...
jgn lupa vote dan comment..
love, Fla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top