1
-FLAVIA-
Mataku tidak mampu beralih dari rumah yang konon katanya sedang membutuhkan seorang guru. Rumah itu terletak di salah satu cluster dekat tempatku bekerja, walaupun aku sudah tahu kalau cluster ini terkenal dengan kemewahannya tetap saja aku tidak mampu menyembunyikan kekagumanku. Rumah tingkat dua itu terlihat lebih besar daripada deretan rumah lainnya, sepertinya si pemilik membeli dua rumah dan dijadikan satu. Desainnya pun tidak seragam dengan desain rumah lainnya, ya—desain seragam menjadi ciri khas rumah di cluster ini.
Aku, Dela, dan Arka turun dari mobil secara bersamaan. Keduanya berjalan lebih dahulu menuju pintu rumah, sementara aku memusatkan perhatianku pada kendaraan yang terparkir di halaman rumah.
Satu mobil Range Rover hitam.
Satu mobil Mazda CX-9 merah.
Satu motor sport BMW.
Jika semua kendaraan itu dijual secara bersamaan, aku yakin bisa mendapatkan satu rumah baru di culster ini. Pantas saja pemilik rumah ini berani menawarkan gaji 10 juta untuk mengurusi anak TK.
Aku berjalan cepat menghampiri Dela saat melihat pintu rumah sudah terbuka. Seorang ibu bertumbuh gempal dengan daster batik berwarna gelap membukakan pintu dan tersenyum ramah, beliau mempersilakan kami masuk lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya di dapur. Begitu pun Arka, dia mempersilakan aku dan Dela duduk di sofa ruang tamu lalu berjalan cepat melewati ruang tengah dan menaiki tangga.
"Del, pemilik rumah ini salah satu dari kerabat si Arka?" tanyaku pada Dela.
"Bukan. Arka itu teman dekat dari pemilik rumah ini. Sahabat rasa saudara," jawab Dela santai. "Aku pun kenal dengan si pemilik, tapi nggak sedekat Arka."
"Oh. By the way, dia kerja apa?" Dela menoleh ke arahku. "Si pemilik rumah. Dia pengusaha atau—"
"Pengacara, melanjutkan firma hukum milik keluarganya." Aku mengangguk mengerti. "Dia seumuran kita kok. Satu kampus juga tapi fakultas hukum." Aku tertegun. Aku saja sudah tidak pernah berhubungan dengan teman satu fakultasku, kecuali Dela, Nora dan Rissa. Tapi, seharian ini aku menemukan fakta bahwa Dela masih berhubungan dengan orang-orang yang kebetulan satu universitas dengan kami.
"Kok bisa? Maksud aku, kamu—"
"Aku masih berhubungan sama dia karena Arka. Dia itu konsultan hukum untuk kantor Arka dan aku bekerja di perusahaan Arka, jadi mau nggak mau kami berhubungan." Dela menjelaskan. Ini yang aku suka dari Dela, dia seperti punya kemampuan membaca pikiranku. Aku belum menuntaskan pertanyaan, tapi dia sudah punya jawaban memuaskan untukku. "Sebenarnya bukan hanya pekerjaan alasan aku berhubungan dengan dia, tapi si kembar. Aku kasihan lihat dia mengurus dua anak sekaligus seorang diri, jadi aku suka menyempatkan waktu datang ke rumah ini bersama Arka. Bermain sama si kembar atau mengajak mereka jalan-jalan di mal."
"Seorang diri?"
Dela mengangguk. "Dia divorce dan dia pria. Kamu pasti bisa membayangkan betapa repotnya dia melakukan tugas yang seharusnya menjadi tugas wanita, tugas seorang Ibu."
Baru aku berniat untuk bertanya lebih lanjut, Arka terlihat menuruni tangga bersama dengan seorang pria. Pasti si pemilik rumah. Aku mengamati pria itu. Tingginya melebihi Arka sedikit, tubuhnya atletis, sorot matanya tajam, dan wajahnya—ah, wajahnya. Aku meneliti wajah pria itu, mencoba mengingat apa aku pernah bertemu dengannya di kampus. Siapa tahu aku pernah berpapasan.
Dela merapatkan diri ke arahku. "Kamu nggak akan pernah bisa mengingat dia. Arka saja yang tergolong lebih sering berpapasan dengan kita di kampus, kamu nggak bisa ingat apa lagi dia."
Aku tersenyum tidak enak hati, ternyata ingatan dan hubungan sosialku sama-sama buruk. Aku terlalu susah mengingat nama orang, apa lagi nama orang yang jarang berkomunikasi denganku. Dan aku, tidak terlalu suka berkenalan dengan orang baru. Termasuk saat aku berkerja di restoran, aku tergolong paling pendiam di antara semua karyawan, jarang mengobrol dengan sesama pekerja. Aku lebih suka menghabiskan waktu seorang diri, kecuali dulu saat aku bekerja di PKBM. Mau tidak mau, aku harus berkenalan dengan calon orang tua murid, dan melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu aku sukai.
Kedua pria itu berjalan beriringan, hingga tiba di depanku dan Dela.
Si pemilik rumah langsung memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia menggunakan matanya bagai alat pemindai, mungkin dia sedang mencari cela untuk menolak kehadiranku di rumah ini.
Bodohnya, aku melakukan hal yang sama seperti si pemilik rumah. Aku mengamati penampilan dia lebih detail dari sebelumnya dan kemudian aku menemukan sesuatu yang menarik untuk diliat. Dia memiliki guratan tatto yang menghiasi bagian siku hingga pergelangan tangan kanannya, berpadu sempurna dengan garis-garis otot tangan yang dia miliki. Bukan hanya di tangan, dia memiliki guratan tatto lain yang mengintip dari balik kemeja navy-nya. Aku mengernyit. Dengan semua tatto itu, dia lebih pantas jadi mafia daripada pengacara.
Dela bangun dari sofa menghampiri ke dua pria itu. Aku pikir Dela hanya akan menyapa basa basi namun, yang terjadi berhasil membuatku terkejut sekaligus mengulang pernyataan Dela beberapa menit lalu di dalam otakku. Dia bilang tidak dekat dengan pemilik rumah ini, tapi pemandangan di depanku mengatakan yang sebaliknya. Dela memeluk si pemilik rumah dan tangan kokoh si pemilik rumah sigap membalas pelukkan Dela, melingkari pinggang ramping Dela tanpa beban. Seperti mereka sudah sering melakukan adegan tersebut. Aku mengerling. Di rumahku Dela terlihat cocok dengan Arka, sekarang Dela kembali terlihat cocok bersama si pemilik rumah.
"Jadi Ray, ini Flavia." Arka membuka pembicaran, "Kata Dela, Flavia guru yang tepat untuk anak-anak."
Ray... jadi nama pria ini Ray.
Mendadak sifat keras kepalaku muncul, aku menggali ingatanku lebih dalam lagi. Siapa tahu ada nama Ray terkubur di dalam sana. Tapi nihil, tidak ada nama Ray.
Aku berdiri, menunjukkan kesopananku, lalu menyodorkan tanganku ke Ray. Aku berusaha melakukan eye contact dengan dia namun, gagal mataku justru sibuk mencuri pandang ke adegan-tangan-merangkul-pinggang.
Aku tersetak saat merasakan genggaman kuat sekaligus dingin menghampiri tanganku dan itu berasal dari Ray. Aku membalas tatapan Ray, bukan hanya genggamannya yang mengalirkan sensasi dingin, matanya pun melakukan hal yang sama. Aku merasakan seluruh tubuhku menggigil karena genggaman dan tatapan Ray.
"Flavia," kataku mengenalkan diri, sambil berusaha menjaga intonasi suaraku supaya tidak terdengar aneh.
Dela berdiri di sampingku setelah menyudahi adegan-tangan-merangkul-pinggang.
"Raynaldi," balasnya mengenalkan diri. Tidak ada senyum ramah seperti yang dilakukan Arka saat mengenalkan diri padaku di rumah tadi. "Jadi kamu berniat bekerja di sini?" Ray melepaskan genggaman tangannya. Dan anehnya, aku merasakan kehilangan. Seperti dipaksa keluar dari ruangan ber-Ac dan merasakan kembali panasnya matahari.
"Kalau niat sih ada, tapi saya mau bertemu anak-anak dulu. Ya, mencari kecocokan," jawabku setenang mungkin.
Ray mengangguk sebagai tanda setuju. Dia segera memberi kode untuk aku mengikuti langkahnya. Sebenarnya bukan hanya aku, tapi kode itu juga berlaku untuk Dela dan Arka.
Dela meraih tanganku dan menyeretku begitu saja,
"Kamu pasti jatuh cinta sama si kembar," bisik Dela.
Aku menoleh dan meringis.
Ya, semoga saja aku jatuh cinta dengan mereka, jawabku dalam hati.
Kami berjalan tepat di belakang para pria, langkah kami pun tergolong lambat daripada dua pria di depan sana. Sepertinya Dela sengaja memberikan waktu untukku menyiapkan hati.
Sepanjang menyusuri tangga, hingga tiba di lantai dua. Aku menyadari satu hal, rumah ini tidak mempunyai foto anak kecil atau foto yang menggambarkan ada sebuah keluarga di rumah ini. Aku hanya menemukan tiga sampai empat lukisan dengan tema abstrak. Aku memperhatikan punggung Ray, bertanya-tanya dalam hati seberapa kaku Ray hingga tidak mampu mengekspresikan kebahagian bersama anak-anaknya melalui sebuah foto.
Ray berhenti pada satu pintu putih dengan hiasan nama gantung Olin dan Okan. Dela memberi kode agar aku mempercepat langkahku dan aku segera paham kami sudah sampai di tempat tujuan, kamar anak-anak Ray, si kembar. Aku memperhatikan hiasan nama gantung untuk sesaat, menghela napas lega karena anak kembar di dalam sana bukan kembar indentik. Setidaknya aku akan terhindar dari drama salah mengenali anak didik.
Ray membuka pintu kamar itu secara perlahan, memiringkan badannya sebagai kode mempersilakan aku masuk, tentu saja bersama dengan Dela. Dan seperti yang terjadi sebelumnya, Dela menarikku masuk dengan cepat.
"Aunty Di..," suara imut khas anak kecil menyambut kehadiran aku dan Dela, atau lebih tepatnya menyambut kehadiran Dela.
Melihat dua anak kecil tengah berlari ke arahnya, Dela dengan sigap berlutut dan merentangkan kedua tangan. Seakan sedang memberitahu pada dua anak itu, dia menginginkan sebuah pelukan. Dalam hitungan detik, dua anak kecil itu sudah berhamburan memeluk Dela komplet dengan ciuman tanpa jeda. Baik yang perempuan atau pun yang pria, keduanya sibuk dengan Dela. Tidak mempedulikan kehadiran sang Papa, Arka, terutama aku.
Aku mengamati interaksi Dela dan si kembar, untuk kesekian kalinya dalam satu hari ini aku menarik kesimpulan sendiri berdasarkan penglihatan. Dela cocok menjadi ibu dari si kembar.
"Aunty Di, mau main?" tanya si anak perempuan. Dia sedikit memundurkan wajahnya, sehingga aku bisa menemukan binar harapan dari tatapan matanya.
"Nggak, Aunty mau mengantar teman baru buat Olin dan Okan." Dela melirik ke arahku, tanpa diminta aku ikut berlutut di samping Dela. "Kenalin ini Aunty Via." Si kembar kompak melepaskan pelukkan dari Dela, menatapku ragu-ragu. Aku membalas tatapan mereka seramah mungkin, mereka mewarisi mata sang Papa. Ya—aku belum tahu Mama mereka seperti apa, tapi sejauh pengamatanku wajah mereka mewarisi banyak hal dari Ray. Mata, tulang hidung, dan bibir mereka.
"Kasih tangan bagus untuk Aunty Via," perintah Ray dari belakang punggungku.
Aku cepat-cepat menjulurkan tangan. "Hai, mau berteman denganku?"
Aku tidak terlalu berharap mereka mau menyambut tanganku. Karena menurut pengalamanku sebelumnya, sangat jarang ada anak seumur mereka mau langsung akrab dengan orang yang baru dijumpai untuk pertama kali, seperti denganku saat ini.
Si kembar memang tidak membalas uluran tanganku, tapi mereka melakukan hal yang lebih mengejutkan. Mereka memelukku.
Tangan-tangan kecil si kembar merangkul leherku secara bersamaan, yang satu menenggelamkan wajah di atas pundakku, sementara yang satu menenggelamkan wajah di dadaku. Ya—mereka setuju berteman denganku. Aku membalas pelukkan mereka hati-hati, aku ingin mereka nyaman di dalam pelukkanku.
Aku mengadu pandanganku dengan Dela, dia tersenyum puas.
Dela benar, hatiku merasakan sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya pada anak kecil. Aku menyukai moment perkenalan ini, padahal dulu aku selalu merasa hal paling menyebalkan sebagai guru adalah moment perkenalan. Mengambil hati anak-anak, membuat mereka nyaman, tentu saja meyakinkan orang tua si anak ada di tangan yang berbeda. Namun kali ini sangat berbeda, selain aku menikmati momen perkenalan ini. Ada satu hal lagi yang membuatku yakin aku mau mengajar mereka. Jantungku berdebar sangat kencang karena mereka. I am falling in love at the first sight.
ENJOY Flavia...
Cerita kali ini lebih banyak dari sudut pandang si wanita, beda dari para bagaskara... ;)
Jangan lupa vote dan comment ya...
Love. Fla
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top