Bagian 3 - Melepas Hibat
Melepas Hibat
Biar dia kubanglas
Kendati makin retas
Tak membidas
Diriku latas
Amorku carik
Tak bisa kuracik
Kucoba mengabui
Batinku tak menyetujui
Lubukku barut
Menindik, sakit!
Menghunjam, menikam
Atmaku kelam
Masih bernapas
Meski kau pati, jelas!
Dia kasih, kau bengis
Tinggalkan luka, yang manis
-Dari amor, yang ingin mati
🐥🐥🐥
Andai, aku dan dia tidak pernah bertemu.
Andai, aku tak pernah kenal dia.
Andai, kami tidak dekat.
Andai, aku tidak memiliki rasa.
Andai, tak ada cinta.
Andai, kupendam saja.
Andai, tak pernah aku ungkap.
Andai, aku menjauh.
Andai, tak ada kita.
Andai, semua musnah.
Andai...
Entahlah. Semua telah terjadi. Tak ada gunanya berandai-andai. Semua yang kuangankan telah musnah. Sirna tak tersisa. Habis sudah harapku. Tak ada harap lagi bagi kami menjadi kita. Semua telah tiada.
Bukan maksudmu menyalahkan takdir. Tapi, aku hanya kecewa. Merasa jatuh. Hancur seketika.
Aku merasa sakit. Begitu terasa. Sampai pada hatiku terdalam.
Dia yang pertama bagiku. Dengan mudah mencuri hatiku. Bersedia hadir dalam hidupku. Menemani hari-hariku, yang dulunya sepi.
Dia ada. Bersamaku. Dulu.
Dulu saat kami beriringan. Kami bersama habiskan hari. Sampai tak tahu waktu. Kadang pula kami melakukan kesalahan, membolos saat sekolah. Selepas itu kami bersenang-senang. Kami lepas, seakan tak ada beban. Meski sebenarnya banyak masalah yang ada. Tapi hanya kami simpan.
Bersama kami tertawa. Pada setiap lontaran pedas. Semua terasa lucu. Ketika banyak yang mencela, namun lupa akan dosa. Merasa manusia paling mulia.
Tak ada rasa sedih. Semua tertutupi. Kami disibuki kegiatan. Yang memang tak begitu penting. Tapi berarti bagi kami.
Pernah beberapa kali kami bermain di taman kanak-kanak. Saat itu hanya ada kami berdua. Di sana aku dan Ando bersenang-senang. Mencoba permainan ini itu. Semua terasa bermakna.
Kami bersenang-senang, dulunya. Sering bersama. Tetapi, aku tidak tahu apa yang dia rasakan kepada aku.
Aku yang terlalu dibutakan. Tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dan saat semuanya telah terjadi, akulah yang paling terluka. Aku yang merasa bersalah. Entah. Tapi, apa salah jika kita jatuh cinta?
Aku tidak pernah mengharapkan ini terjadi. Dulunya pun aku tidak tahu, akan jatuh pada dia. Aku yang terlalu luluh, sampai semua terasa begitu mudah.
Nenekku pernah menasehatiku, agar aku menjaga baik-baik hatiku, menjatuhkannya pada orang yang tepat. Dan jangan mudah memberi akses pada para lelaki untuk menyentuhku. Karena itu hanya milik suamiku.
Untuk poin pertama, mungkin aku tidak bisa menerapkannya. Aku telah jatuh. Tapi mungkin, aku harus bisa lebih baik lagi menjaga hati, agar tidak jatuh mengenaskan lagi.
Dan untuk poin yang terakhir. Aku masih menjaganya sampai sekarang. Serta akan terus begitu, sampai pada waktu yang tepat. Aku melepaskannya.
Karena itu adalah hal terpenting yang aku miliki. Sebagai seorang gadis. Dan juga wajib kujaga.
Dan yang saat ini sedang berduka. Hatiku telah patah. Yang pertama memang cukup menyakitkan. Atau, teramat, mungkin. Bisa jadi sangat.
Aku sedih bukan semata karena aku tidak bisa dengannya. Tapi karena dia telah berubah. Selepas malam itu. Malam kutukan bagiku. Malam mengerikan yang ingin aku hapus. Namun tidak bisa.
Dia makin menjauh. Ando tidak seperti dulu lagi. Tidak ada tawanya yang mewarnai hari-hariku. Godanya yang membuat jantungku berdetak cepat, hingga takut copot. Yang membuat pipiku panas. Merah padam, membuat diriku malu. Tapi suka.
Aku rindu.
Meski belum lama. Baru beberapa hari. Hariku terasa sepi tanpa dia. Aku hanya bisa diam, tidak tahu harus apa. Berpikir bagaimana caranya bisa kembali, tetapi semua tidak mungkin lagi.
Pertemanan kami telah retak.
Bahkan sudah hancur.
Melebur.
Tapi, sudahlah. Semua telah terjadi. Yang harus kupikirkan saat ini, bagaimana menata hatiku kembali. Mengumpulkan, merekatkan semua kepingan. Meski tidak akan kembali seperti dulu.
Namun, bagaimana caranya?
Saat ini pun, aku masih mengasihani diriku.
Yang pertama harus aku lakukan ialah melepas semua. Termasuk duka yang baru, masih kupendam. Ya. Mungkin sekarang saatnya melepas segalanya.
Aku mulai menangis. Terisak. Semakin lama, makin hebat. Aku ingin semuanya tuntas. Ingin melepas segala kesakitan.
Aku biarkan air mataku terus keluar. Berharap luka yang aku rasakan juga akan terobati. Meski sedikit. Itu sudah cukup membantu.
Aku tidak mau kehilangan. Aku ingin semua kembali. Aku harap dia ada. Aku...
Meong...
Meong...
Suara apa itu. Aku berhenti menangis. Mencoba menajamkan indra pendengaranku. Apa aku hanya berhalusinasi?
Meong...
Aku menengok ke bawah ranjang. Melihat ke sumber suara.
Di dekat karpet hitam, aku melihat seekor tikus. Tikus? Eh, sepertinya bukan. Tubuhnya kecil seperti tikus. Tapi itu bukan tikus. Mana ada tikus selucu itu. Itu kucing. Iya, kucing. Tapi, bagaimana bisa dia masuk ke kamarku?
"Hai, pus. Dari mana ngana masuk?" aku bertanya seakan kucing itu bisa bicara.
Aku turun dari ranjang. Mengambil kucing kecil, yang kupikir tikus. Kemudian aku mengelusnya. Ya, Tuhan. Dia manis sekali.
Aku tersenyum. Kemudian mencoba menggodanya. Memegang hidungnya. Dia berusaha menangkap tanganku, yang nakal terus saja jail.
Dia mengusap hidungnya. Aku tertawa melihat kelakuan kucing itu.
Terus saja kujadikan kucing itu mainan. Kugendong dia. Kemudian kupeluk.
Terima kasih untuk siapapun yang mengirim kucing ini.
Sebagai teman baruku.
Sekaligus pelepas laraku.
Tapi kira-kira siapa yang membawanya ke sini?
🐥🐥🐥
Mohon masukannya semua...
Pasukan tanpa senjata rebel_hurt Choco_latte2
MeAtWonderland MosaicRile Hldrsd
Pembimbing spoudyoo WindaZizty TiaraWales
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top