TUJUH - SHE IS HERE

Aku tidak kembali ke Jasmine setelah dari La Lucciola. Percuma. Pikiranku hanya akan dipenuhi dengan Chris dan kalimat yang diucapkannya. Melepasku adalah hal terberat yang pernah dilakukannya, sekarang, dia tidak akan menyerah seperti 6 tahun lalu. Saat ini, hidupku sedang berada di ambang jurang karena Adam akan pergi. Belum lagi aku harus berurusan dengan Banyu. Chris datang di saat yang tidak tepat.

Begitu mobil terparkir di garasi, aku sengaja tidak langsung turun. Pernikahanku dengan Kara tidak mampu menghapus perasaanku terhadap Chris, begitu juga dengan adanya Adam. Namun Banyu ... bagaimana aku harus menghadapinya sekarang? Aku menyandarkan punggung dan sayup mendengar suara Adam dari ruang tengah. Biasanya, dia akan menungguku di pintu garasi jika mendengar suara mobilku mendekat. Jika dia tidak peduli, berarti dia sedang sibuk dengan apa pun game yang sedang dimainkannya sekarang.

Aku menarik napas dalam sebelum turun dari mobil.

Senyumku mengembang begitu melihat Adam sedang bermain ular tangga, tetapi sendirian. Aku menghampirinya.

"Kok Adam sendirian?"

"Papa kok udah pulang?"

Aku menjawab pertanyaannya dengan mendaratkan kecupan di ujung kepalanya. "Iya. Lagi kangen Adam. Mbak Eni mana?"

"Lagi pipis, Pa."

Adam kembali terkikik ketika aku melihatnya memindahkan pion tanpa mengocok dadunya. Sekarang, aku tahu apa yang membuatnya terkikik seperti ini.

"Adam curang ya?"

"Sssssttt!"

Aku tidak bisa menyembunyikan tawa kecilku mendengar Adam memintaku untuk tidak menyuarakan kecurangannya. Ketika langkah Mbak Eni terdengar, Adam langsung pura-pura sedang menunggunya.

"Bapak sudah pulang?"

Aku mengangguk. "Agak pusing, Mbak. Saya mau rebahan sebentar."

Begitu aku berdiri dan berniat menuju ke kamar, Adam dengan cepat bangkit dari duduknya dan langsung menggelayuti lenganku..

"Adam mau bobok siang sama Papa."

Aku mengerutkan kening. "Main ular tangganya gimana?"

"Mbak Eni pasti kalah." Jawaban Adam itu berhasil membuatku tertawa.

"Mbak Eni masak aja buat makan malam. Saya dan Adam mau makan di rumah malam ini. Iya kan Adam?"

Adam mengangguk sebelum melepas pelukannya dan mengulurkan kedua lengannya. "Gendong, Pa."

"Kok?"

"Adam capek."

Aku kembali tertawa mendengar betapa polosnya jawaban Adam sebelum mengangkat tubuh kecilnya. "Tidur di kamar Papa aja ya?"

"Iya."

"Tumben Adam nurut banget hari ini."

Adam menunjukkanku deretan giginya yang belum tumbuh sempurna. "Pa, kalau Adam gede nanti, boleh nggak tinggal sama Papa lagi?"

Langkahku terhenti di anak tangga terakhir untuk memandang Adam. Dari mana dia bisa mengajukan pertanyaan seperti itu? Aku tahu Adam memang cepat menangkap setiap kalimat yang didengarnya, tetapi apa yang baru ditanyakannya jelas membuatku terkejut.

"Kalau Adam mau, boleh."

Jawabanku itu sepertinya memuaskannya, hingga kemudian Adam melingkarkan lengannya di leherku. Aku hanya mampu menelan ludah. Saat ini ada sedikit kebahagiaan menyusup, mengetahui Adam ingin tinggal bersamaku ketika dia dewasa nanti. Namun, apakah Adam akan ingat pernah mengajukan pertanyaan ini kepadaku jika dia sudah benar-benar dewas nanti? Aku yakin ada banyak hal yang akan berubah darinya. Kemungkinan dia lupa dengan permintaannya ini cukup besar.

Aku berjalan menuju kamar sebelum merebahkan tubuh kami berdua di atas kasur. Adam langsung menggunakan kedua lengannya sebagai sandaran kepala sambil tersenyum, dan aksinya itu membuat senyum di bibirku mengembang.

"Adam kenapa? Kok senyum begitu," tanyaku.

"Adam seneng Papa pulang."

"Bukannya Papa setiap hari pulang?"

"Iya."

"Terus?"

Adam kemudian menatapku. "Nanti kalau Adam nggak betah di Landon, gimana?"

"Adam pasti betah. Papa juga mau ke London kalau bisa."

"Papa ikut ya?"

Aku tersenyum, berusaha tidak membiarkan emosi yang sesungguhnya terlihat oleh Adam. Bagaimana aku menjawab permintaan itu?

"Nanti Papa pasti ke London. Tapi nggak sekarang. Toko bunganya siapa yang ngurusin nanti kalau Papa pergi juga?"

"Dijual aja, Pa."

Aku tertawa sambil mengelus rambutnya. "Kalau Adam kangen, bilang Mama. Nanti Papa telepon."

"Telepon kan nggak bisa peluk Papa."

Kali ini, aku benar-benar tidak tahu harus membalas kalimat Adam. Maka aku menundukkan wajah untuk mencium keningnya.

"Katanya Adam mau bobok siang, kok ngomong terus?"

Adam kemudian memejamkan mata sambil memeluk gulingku yang jelas kebesaran untuk kedua lengan mungilnya. Aku membelai keningnya, berusaha tidak memikirkan apa lagi yang bisa ditanyakan putra semata wayangku ini.

"Adam pengen belajar dari Papa." Adam masih memejamkan mata ketika mengucapkan kalimat itu.

"Belajar tentang apa?"

"Banyak! Kalau sama Mama pokoknya nggak mungkin bisa. Urusan pria soalnya," ucapnya ringan.

"Dari mana Adam tahu kalimat itu?"

"Pokoknya Adam pengen jadi pria hebat kayak Papa.".

Mendengar Adam mengatakan kalimat itu tiba-tiba membuat perutku mual. Kenapa Adam ingin jadi pria seperti Papa? Papa bukan pria hebat, Adam. Papa adalah pria pengecut yang bahkan tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Apakah kamu juga masih akan menganggap Papa pria hebat jika tahu Papa lebih tertarik menjalin hubungan dengan pria daripada wanita? Apakah kamu akan malu dan membenci Papa jika pada saatnya nanti kamu mengetahui kebenarannya?

"Papa kenapa diam? Papa tidur ya?"

"Papa belum tidur Adam. Kamu udah ngantuk? Mau dibacain dongeng?"

Adam menggeleng. "Dongeng kan cuma buat tidur malam, Pa," ucapnya sambil merapatkan tubuhnya ke tubuhku.

Aku merasakan tubuh kecil itu begitu nyaman berada di dekapanku dan kebahagiaanku rasanya penuh. Aku tidak menginginkan hal selain bisa terus memeluk Adam hingga dia merasa malu ketika besar nanti. Namun saat ini, Adam masih seorang bocah berusia 5 tahun dan aku masih bisa memeluk tubuhnya.

***

"Pa?"

Aku mengalihkan pandangan dari laptop dan memandang Adam yang sedang sibuk dengan kubus rubiknya. Sejak tadi, aku tidak berhenti membalas puluhan surel yang sudah dua hari ini aku abaikan. Pikiranku terlalu penuh dengan Adam dan Chris. Banyu sepertinya tahu aku sedang tidak ingin diganggu karena dia tidak akan mengetuk pintu ruanganku jika tidak benar-benar penting.

"Adam lapar?" tanyaku karena jam hampir sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Biasanya, dia sudah makan siang jam-jam segini.

Adam menggeleng sambil berjalan menghampiriku. Aku langsung mengangkat tubuhnya agar dia bisa duduk di pangkuanku. Adam seperti sedang dalam suasana hati yang burujk, dan aku tidak bisa menyalahkannya. Ingin rasanya memberitahu Adam agar dia tidak takut atau khawatir. Namun aku tahu itu percuma. Ajakan Banyu yang tidak pernah bisa ditolaknya, hari ini dia hanya menggeleng ketika tadi Banyu menawarinya ikut mengantarkan bunga. Jika Banyu saja tidak mampu membuat murungnya hilang, aku tidak tahu lagi siapa yang mampu membuat keceriaannya kembali.

"Mama datang jam berapa, Pa?"

Aku menelan ludah. This is the day. Jika bisa menunda hari ini atau pun kedatangan Kara, aku pasti sudah melakukannya. Namun tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mencegah kedatangan Kara. Lebih tepatnya, aku berusaha untuk tidak melakukannya. Aku tidak ingin ada pertengkaran lagi di antara kami, betapa pun inginnya aku agar Adam tetap di sini. Mereka memang tidak akan langsung ke London, masih ada satu minggu sebelum aku benar-benar berpisah dengan Adam. Namunm kedatangan Kara jelas akan meberi pengaruh untukku.

"Mungkin pesawat Mama baru mendarat. Adam tahu kan macet sekali dari bandara?"

Adam mengangguk sementara aku berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaanku yang sesungguhnya. Aku mencium ujung kepala Adam dan membelai lengannya. "Pakaian Adam udah dimasukin ke koper sama Mbak Eni?" Adam lagi-lagi mengangguk. "Nanti Papa bilang sama Mama biar Adam bisa tidur sama Papa sebelum ke London."

Anggukan Adam justru membuat hatiku semakin sedih. "Nanti Papa juga akan minta Mama biar gelitikin Adam tiap pagi."

"Mama pasti nggak mau."

Selama dua bulan Adam tinggal bersamaku, ada ikatan yang semakin kuat aku rasakan dengan pria kecilku. Aku tidak tahu apakah semua ayah merasakan seperti yang aku rasakan. Mungkin fakta bahwa Adam akan pergi punya andil kenapa aku merasa lebih dekat dengannya daripada ketika aku dan Kara masih bersama.

"Mama pasti mau. Kalau nggak, Papa Riley juga pasti mau gelitikin Adam."

Adam kemudian mengangkat wajahnya untuk memandangku. "Papa Adam cuma satu dan itu Papa Adrian."

Aku tersenyum sambil menggeleng. "Adam akan punya dua papa. Bukankah itu keren? Teman-teman Adam pasti cuma punya satu papa tapi Adam punya dua."

Seiring dengan bertambahnya usia, Adam akan belajar bahwa memiliki dua ayah bukanlah hal yang keren. Namun saat ini, aku ingin membuat Adam merasa senyaman mungkin dengan Riley. Apakah dia bisa menerima Riley atau tidak, aku tidak ingin menanamkan ide itu ke Adam. Kara akan menganggap aku memengaruhi Adam jika menanyakan perasaannya terhadap Riley.

"Adam tetep pengen sama Papa Adrian."

Aku mendaratkan kecupan di kedua pipinya. "Papa Adrian kan memang punya Adam. Selamanya."

Untuk pertama kalinya, aku melihat senyum tipis terpasang di bibir Adam. "Peluk Pa."

Aku pun melingkarkan lengan untuk memeluk tubuh kecilnya. Pelukan Adam terasa begitu kuat. Aku ingin Adam tersenyum ketika bertemu Kara nanti, meski mengingat suasana hatinya sekarang, aku seharusnya tidak melambungkan keinginan itu. Adam terkadang susah ditebak seperti bocah lima tahun pada umumnya.

"Adam mau makan siang?"

Aku merasakan gelengan di leherku. "Adam pengen sama papa."

Aku kemudian melepaskan pelukanku lalu menatap Adam. "Makan siangnya sama papa kok. Kan udah jam makan siang."

Adam kembali menggeleng. "Kalau Adam memang nggak laper, kita duduk di sofa aja ya? Papa capek Adam duduk di pangkuan Papa. Papa kan udah tua."

Biasanya Adam akan terkikik setiap kali menyebut diriku tua, tetapi kali ini, dia hanya tersenyum lalu turun dari pangkuan tanpa lupa menggandeng tanganku menuju ke sofa. Begitu kami duduk, Adam merapatkan tubuhnya ke tubuhku seperti yang sering dilakukannya kalau dia kedinginan atau habis mengalami mimpi buruk. Dia memang sedang tidak kedinginan atau baru saja mengalami mimpi buruk. Mungkinkah Adam menganggap kedatangan Kara sebagai mimpi buruk?

"Adam nggak mau Mama ke sini, Pa."

Aku mengerutkan dahi sembari memandang Adam. Mendengar kalimat itu seharusnya mampu membuatku bahagia kan? Namun, aku justru takut dengan apa yang bisa Kara artikan jika mendengarnya.

"Kenapa Adam bilang begitu? Papa nggak suka ah."

Adam hanya diam sementara lengan kecilnya berusaha melingkari pinggangku. Aku mengelusnya pelan, mengecup ujung kepalanya, dan menghirup aroma wangi sampo miliknya.

"Masuk," jawabku ketika pintu ruanganku diketuk, tanpa mengubah sedikitpun posisiku. Adam juga kelihatan tidak begitu peduli dengan suara ketukan di pintu.

Wajah Banyu kemudian muncul dari balik pintu dan begitu melihatnya, aku tersenyum. Adam sepertinya tidak peduli jika Banyu ada di sini, karena dia seperti tenggelam dalam pikirannya. Biasanya, dia akan langsung meraih tangan Banyu dan bertanya dengan tidak sabar apakah ada bunga yang harus dikirim hari ini dan apakah dia bisa ikut. Kali ini, Adam hanya diam.

"Apa saya mengganggu, Pak?"

Aku menggeleng. "Sama sekali nggak, Adam sedang ... kamu tahulah kenapa," balasku. Aku tidak perlu menjelaskan kepada Banyu kenapa Adam tidak menghampirinya seperti biasa. "Ada apa Banyu?"

"Stok mawar hijau kita kelihatannya mau habis, Pak. Apa Pak Raka sudah menghubungi Bapak? Kalau bisa, saya bisa sekalian ambil nanti."

Aku mengangguk. "Nanti saya hubungi lagi, supaya disiapkan biar kamu nggak nunggu di sana."

Banyu mengangguk. "Terima kasih, Pak.."

"Ada lagi, Banyu?"

Banyu menggeleng, "Tidak ada Pak, sepertinya saya undur diri saja, tidak mau mengganggu Adam," ucapnya sambil tersenyum.

Begitu Banyu keluar dari ruanganku, aku memandang Adam. "Kok nggak nyapa Mas Banyu? Apa Mas Banyu bikin salah sama Adam?"

Adam menggeleng. "Mas Banyu nggak salah apa-apa, Adam cuma nggak mau sedih," ucap Adam sambil kembali menyandarkan kepalanya di dadaku.

"Maksud Adam nggak mau bikin Mas Banyu sedih itu apa?"

"Mas Banyu pasti sedih karena Adam mau pergi ke Landon, jadi nggak bisa main-main lagi sama Mas Banyu. Adam mau cuekin Mas Banyu biar Mas Banyu benci sama Adam."

Aku benar-benar terpaku mendengar kalimat Adam. Dari mana dia bisa berpikir seperti itu? Dia tidak mungkin mendapatkannya dariku karena aku akan berpikir berkali-kali untuk mengucapkannya ke Adam. Aku juga tidak yakin Adam mengerti maksud kalimat yang diucapkannya. Untuk anak lima tahun, kalimat itu memiliki kompleksitas yang tinggi.

"Adam kan lucu dan baik, mana ada yang benci sama Adam? Anak Papa disayang banyak orang kok," ucapku sambil tersenyum.

Aku sedang mengamati Adam yang masih saja meringkuk di pelukanku ketika mataku menatap sosok Chris yang baru memasuki Jasmine. Andai kaca yang mengelilingi ruanganku bisa dilihat dari luar, mungkin Chris bisa melihatku sedang memerhatikannya. Ketika Banyu menyapanya, aku tidak bisa berhenti membayangkan apa yang akan Banyu katakan jika tahu Chris pernah menjadi bagian dari kehidupanku. Atau apa yang akan Chris katakan jika tahu, ada sesuatu antara aku dan Banyu. Aku menegakkan tubuh begitu tahu Chris sedang berjalan ke ruanganku.

Ketika mendengar ketukan di pintu, aku kemudian menatap Adam. "Adam, Papa bukain pintu dulu ya? Sepertinya ada tamu."

"Kenapa tamunya nggak buka sendiri pintunya?"

Aku pun mengangkat tubuh Adam dan menegakkan tubuhnya di sofa. "Adam, kalau ada tamu main ke rumah, apa tamunya buka pintu sendiri?" Adam menggeleng. "Nah, jadi sekarang Adam ngerti kan kenapa Papa musti bukain pintu?"

Adam mengangguk sambil meraih kembali kubus rubik-nya hingga membuatku tidak mampu menahan diri untuk mengacak-acak rambutnya. Aku segera bangkit dari sofa untuk membuka pintu.

"Am I bothering you?"

Aku menggeleng. "Sama sekali nggak," ucapku sambil mengarahkan pandangan ke Adam. Begitu Chris mengikuti pandanganku, dia tidak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya.

"May I say hi to him?"

Aku mengangguk lalu menyilakan Chris masuk. "Adam, ada yang ingin ketemu sama Adam," ucapku sambil menutup pintu begitu Chris berada di dalam.

Adam menatapku sebelum mengalihkan pandangannya ke Chris. Dia terpaku selama beberapa saat ketika menyaksikan sosok yang sama sekali asing baginya. Aku menghampiri Adam dan duduk di sebelahnya, mengamatinya yang sekarang seperti tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sosok Chris. Aku tersenyum lalu meminta Adam bangkit dari duduknya untuk berkenalan dengan Chris.

"Hello Adam, my name is Chris and I'm your Dad's friend," ucap Chris dengan senyum ramahnya sambil mengulurkan tangan.

Adam menerima uluran tangan Chris. Tangannya yang mungil sama sekali tidak cukup untuk menjabat tangan Chris yang besar, tetapi aku melihat Adam tersenyum tipis. Adam terlihat enggan, mungkin menganggap Chris sudah mengganggu waktunya bersamaku.

"My name is Adam. I'm 5 years old and I will go to Landon," ucap Adam dengan bahasa Inggris yang masih belepotan. Aku memang berusaha untuk tidak banyak menggunakan bahasa Inggris kepadanya karena London akan jadi guru yang paling baik untuknya.

Chris tidak bisa menahan tawa mendengar Adam mengucapkan London. Dari ekspresi wajahnya, aku bisa menebak Chris sudah tertarik oleh pesona Adam. Siapa yang bisa menolaknya? Setelah itu, Adam melepaskan tangannya lalu kembali duduk disampingku dan menyibukkan diri dengan kubus rubiknya, seolah perkenalan tadi tidak berhasil menarik minatnya sama sekali.

"He has your charm, Adrian," ucap Chris tanpa melepaskan pandangannya dari Adam. "Sepertinya aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama."

Aku tertawa kecil sambil membiarkan tanganku membelai rambut Adam, meskipun Adam sendiri sepertinya tidak terlalu peduli. "Dia anak yang menggemaskan, wajar jika kamu langsung menyukainya, semua orang juga seperti itu."

"Now I see why it is hard for you to be away from him, aside from the fact that he is your son."

"Ada apa Chris? Ada yang ingin kamu bicarakan hingga kamu harus datang ke sini?"

Chris kemudian mendudukkan dirinya di sebelah Adam, tetapi tatapannya terpaku kepadaku. "I just want to see you, that's all. Nothing else."

"Chris, I told you...."

Chris mengangguk. "I know. But I just can't resist the temptation to see you, Adrian. Please forgive me."

Bagi sebagian besar orang, kalimat Chris terdengar seperti sebuah pick-up line atau rayuan murahan seperti yang ada di novel atau film komedi romantis. Namun mengenal Chris, aku tahu dia tulus dengan ucapannya. Jika tidak ada Banyu, mungkin justru aku yang akan mengatakannya kepada Chris. Sejak kepindahanku ke Bali, Chris tidak pernah benar-benar lepas dari hidupku.

"Kita tidak harus bertemu di sini, Chris."

"Pa, Adam mau pipis dulu ya?" ucapan Adam mengingatkanku, bukan hanya aku dan Chris yang berada di ruangan ini. Aku kemudian mengangguk dan melihat Adam keluar dari ruangan untuk menuju ke toilet yang ada di seberang.

"Kenapa? Apa karena Banyu?"

Jika tidak mengenal Chris, aku pasti terkejut dari mana dia bisa mengajukan pertanyaan seperti itu. Aku belum cerita apa pun tentang Banyu kepadanya, tetapi sejak dulu, Chris memang pria yang selalu memerhatikan banyak hal dengan seksama. Jika dia bisa mengajukan pertanyaan tentang Banyu, aku yakin dia hanya menunggu waktu yang tepat. Mungkin pertemuan kami di The Bistrot waktu itu membuat Chris sudah bisa menebak ada sesuatu antara aku dan Banyu.

Aku hanya menyandarkan tubuh dan berusaha mengalihkan pandangan dari Chris. "Yes."

"Kamu mencintainya?"

Aku menghela napas panjang. "I don't know."

"Kamu tidak tahu?"

"Dia masih muda, Chris. Dia belum yakin dengan apa yang diinginkannya."

"I see. Apakah dia tahu tentang ... kita?"

Aku menggeleng. "I don't think that's necessary."

"Dia tidak semuda yang kamu kira, Adrian. From what I've seen, he is laready have questions in his head about me."

"I don't know."

"Adrian, look at me."

Alasan kenapa aku tidak ingin memandang Chris adalah aku tidak ingin dia melihat apa yang sedang berkecamuk di hatiku saat ini. Just one look, and Chris will see everything. Namun, aku mengalah.

"Kara is coming today."

Aku harap kalimat singkat itu mampu membuat Chris mengerti, kenapa aku tidak ingin menatapnya. Jika bisa bersikap egois, aku pasti sudah meminta Chris untuk memelukku sekarang. The way he used to hold me and said that everything will fall into places in the end.

"Kapan Adam berangkat ke London?"

"Minggu depan."

Chris berniat membalas kalimatku, tetapi membatalkannya begitu melihat Adam masuk. Dia langsung duduk di antara aku dan Chris, meraih kubus rubiknya, dan seperti tadi, mengabaikan kehadiran Chris. Ada kesedihan menyusupiku melihat Adam bersikap seperti ini.

"Adam ke London sama siapa?"

Pertanyaan itu membuat Adam mengalihkan pandangan untuk menatap Chris. Dia tidak menjawab pertanyaan Chris dengan sebuah kata atau kalimat, tetapi mengangkat telunjuknya dan mengarahkannya ke pintu masuk. Aku dan Chris mengikuti pandangan Adam dan seketika, jantungku seperti terenggut dari tubuhku.

Kara.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top