SEPULUH - THEY MEET AGAIN
Wajah Chris mengeras begitu tahu Kara memasuki Jasmine. Wanita yang selama ini tidak pernah mendapatkan apa pun dari Chris selain kebenciannya, kembali berada dalam pandangannya. Chris menatapku dan aku menggeleng pelan. Memintanya untuk menahan diri karena Adam ada di sini. Jika hanya kami bertiga, kejadian enam tahun lalu bisa saja kembali terulang.
Aku merasakan Adam memeluk tubuhku semakin erat, seperti ingin meminta perlindungan dariku agar Kara tidak mengajaknya pergi. Aku mendaratkan kecupan di ujung kepalanya, berharap dia sedikit lebih relaks. Adam masih menyembunyikan wajahnya ketika Kara masuk ke ruangan. Tidak ada yang berubah darinya. Dia tetaplah wanita yang memukau seperti ketika pertama kali aku melihatnya di pesta Claire dulu.
"Adam!"
Perlahan, Adam mengangkat wajahnya untuk memandang Kara. Aku membelai rambutnya ketika dengan enggan, Adam turun dari sofa dan berjalan gontai menghampiri Kara. Jika orang tidak mengetahui kisahku dan Kara, adegan ini bukanlah sesuatu yang istimewa. Apa yang istimewa dari seorang ibu memeluk anaknya? Aku hanya bisa memandang Adam, berharap dia menunjukkan keceriannya ketika Kara datang. Kara akan mengajukan pertanyaan tanpa henti kenapa Adam tidak bersemangat menyambutnya. Melihat mereka berpelukan, aku merasakan sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Rasa asing. Betapa asingnya Kara dan Adam meski hanya dua bulan mereka tidak saling bertemu secara fisik. Kesedihan akan kepergian Adam ke London memang tidak bisa hilang dalam waktu singkat, tetapi, hanya dengan mengingat fakta kecil bahwa waktu yang aku habiskan bersama Adam selama dua bulan terakhir ini sangat berarti untuk Adam, membuatku merasa sedikit lebih baik.
Kara masih belum menyadari kehadiran Chris di ruanganku, tetapi aku tidak akan terkejut jika sebentar lagi, peperangan abadi di antara mereka akan kembali terulang di ruangan ini.
"Ma, ada Om Chris."
Ucapan itu sontak membuat Kara melepaskan pelukannya dari Adam dan setelah Barcelona, Kara dan Chris akhirnya bertemu lagi. Seperti ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya dulu, kali ini aku juga tidak bisa menebak apa yang akan keluar dari mulut Kara maupun Chris. Namun sepertinya Chris jauh lebih bisa menahan diri. Ketika dia bangkit dari sofa dan berniat untuk keluar dari ruangan, Kara menghentikannya.
"What a surprise, Chris! Two ex-lovers reunited. So romantic!" Kara memandangku dan Chris bergantian. Kalimatnya itu terdengar begitu ... dingin. Kara seharusnya berterima kasih kepada Chris karena dia akhirnya melepasku, tetapi kebencian Kara memang tidak pernah hilang sejak Chris melontarkan kalimat kasar kepadanya. Memilikiku baginya seperti sebuah kemenangan atas Chris.
Chris, dengan semua kesabaran yang dimilikinya untuk tidak meluapkan kebenciannya kepada Kara, membalikkan tubuh dan memandangku. Aku hanya diam, tidak tahu harus mengatakan apa kepadanya.
"So, what? What do you want to do now? Take Adrian again from me? No, you won't. Just like whore, you slut yourself around and taking Adam from his father. What is it with you, Kara? What the fuck is it with you and your hobby in crushing Adrian's life?"
Kara sepertinya tersentil mendengar kalimat Chris hingga kemudian, dia memberikan senyumnya kepada Adam. Dengan lembut, Kara membelai kedua pipinya.
"Adam mau kan main di luar dulu? Mama pengen ngomong sama Papa sama Om Chris dulu."
Adam memandangku, seolah meminta pendapatku untuk menjawab pertanyaan Kara. Aku tersenyum sambil mengangguk pelan. Begitu Adam keluar dari ruangan dan menghampiri Indri, aku berjalan menuju pintu dan menguncinya. This is not going to be a pleasant talk.
"Kita nggak perlu bahas ini di sini, Kara," ucapku.
Chris jelas ingin segera keluar dari ruangan ini, tapi dia tidak akan membiarkan Kara pergi tanpa meluapkan kemarahan yang masih dipendamnya.
"Oh, kamu pikir ini nggak ada gunanya ya?" Kara tertawa sinis.
"You're son of a bitch!"
Jika wanita lain yang sedang ada di sini sekarang, siapa pun pasti akan berusaha menyingkir dari hadapan Chris. Chris tidak meninggikan suaranya, tetapi aku tahu, betapa menyakitkan kalimat itu bagi siapa pun yang tidak mengenal Chris. Namun Kara bukan wanita biasa. Mereka tidak akan melewatkan kesempatan untuk saling melukai dan menyakiti satu sama lain. Lewat kata-kata.
"I'm surprised you haven't found any other word, Chris. After all these years."
Sepertinya Chris tidak mampu menahan dirinya lagi hingga aku langsung bereaksi ketika Chris mendekatkan tubuhnya ke Kara, seperti ingin memberikan tamparan untuknya. Namun dia tidak melakukannya. Dia mencegahku untuk mendekat, tetapi tatapan yang diberikan ke Kara adalah tatapan yang tidak pernah aku sukai dari Chris.
"Sayangnya, aku tidak punya kata lain yang tepat untuk menyebutmu. You stole Adrian from me, and now, you're going to take Adam with you to London. I couldn't do anything 6 years ago because Adrian asked me to, but now, things won't be the same."
"That sounds sweet, Chris. Unfortunately, there's nothing you can do. Adam will go with me to London and Adrian has 3 months in a year to be with Adam. I won't be surprised if one day, Adam decided not to visit Adrian again."
"Kamu nggak akan punya hak untuk melarang Adam ketemu denganku, Kara."
"Oh, really?" Dengan pandangan melecehkan, Kara menatapku. "Adam masih lima tahun, Adrian. Mengubah pola pikir Adam nggak akan sulit. Kamu harus terima jika suatu hari nanti, Adam lebih memillih untuk tinggal bersamaku daripada papanya yang seorang gay. Kamu pikir, apa reaksi Adam jika tahu papanya lebih suka dengan pria daripada wanita? His image of a perfect father will be gone. Just like that."
"And I will do anything to stop you from doing that. You heartless witch!"
"Aku kagum kamu masih membela Adrian, Chris. I thought, gay people only care about bed. Well, I'm obviously wrong."
"Kara, stop!"
Kara dan Chris memandangku. Saat ini, aku tidak ingin menahan emosi karena apa yang dikatakan Kara sudah keterlaluan.
"You know nothing about me and Chris. Don't you ever dare to say things you don't know. You ruined our relationship, you took Adam from me. Isn't that enough, Kara? ISN'T THAT ENOUGH?"
Aku dan Kara jarang bertengkar selama kami tinggal seatap. Aku sebisa mungkin mengalah karena tidak ingin mendengar Kara mengungkit homoseksualitasku, Chris, atau kehidupanku di London dan menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa dia lecehkan begitu saja. I've had enough.
"Selama lima tahun, aku berusaha mengalah demi Adam. For his sake! I left the man I love because I knew I had to be responsible for what I did, FOR WHAT WE DID! But now, I've had enough, Kara. One more talk about Chris and you will be sorry."
Amarahku itu justru ditanggapi Kara dengan sebuah tawa kecil sebelum dia mendekati dan merapikan kemeja yang aku pakai.
"Kamu nggak cocok kalau marah begitu, Adrian. It's not you, at all. But, let me tell you something. Jangan salahkan aku jika nanti Adam berhenti memintaku untuk menghubungimu. Kalau saat itu tiba, mungkin kamu harus ingat apa yang kamu katakan tadi."
Chris hanya diam sementara aku berusaha untuk tidak lagi terpancing oleh perkataan Kara.
"I'll take Adam with me to the hotel. I will text you where are we staying," ucap Kara sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Aku tertegun sebelum akhirnya mampu menggerakkan tubuh untuk mengejar Kara yang sepertinya sudah berhasil menemukan Adam dan bersiap untuk membawanya pergi.
Aku langsung menghampiri Adam, tidak memedulikan keberadaan Kara. Aku merendahkan tubuh untuk membelai pipi Adam.
"Adam jangan nakal ya?" Adam langsung melingkarkan lengannya ke leherku dan membenamkan wajahnya di sana. Aku bisa merasakan leherku basah oleh air mata dan mendengar dengan jelas isakannya. Aku membelai rambutnya dan mengerahkan seluruh tenagaku untuk membentuk senyuman di bibirku.
"Kok Adam nangis sih? Kan Adam masih di Bali, belum berangkat ke London, masih bisa ketemu sama Papa lagi. Kok udah lupa sama janji Adam sendiri?"
Aku melepaskan pelukanku dari Adam sebelum menyeka air matanya. Namun isakan itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Aku tersenyum agar Adam tahu ini bukanlah perpisahan yang sesungguhnya. Bahwa kami masih bisa bertemu sampai sebelum keberangkatannya ke London.
"Adam mau sama Papa," ucapnya disela isakannya yang membuatku semakin sulit untuk menahan emosiku..
"Adam kan udah sama Papa terus, sekarang gantian sama Mama dong. Papa janji bakal main ke hotel tempat Adam nginep sama Mama," ucapku sambil mengacungkan jari kelingkingku di hadapan Adam.
Meski isakan itu masih belum berhenti, Adam akhirnya menautkan jari kelingkingnya dan berusaha untuk menyeka sendiri air matanya. Dia masih percaya, sebuah janji harus diikuti dengan menautkan kedua jari kelingking.
"Papa janji?"
Aku mengangguk. "Papa janji," jawabku sambil mengacak-acak rambut Adam sebelum mengecup keningnya. "Sekarang, Adam ikut Mama ya?"
"Ayo Adam, kita pergi, Mama bawa mainan banyak banget buat kamu," ucapan Kara itu membuat kalimat apa pun yang ingin diucapkan Adam, batal keluar dari mulut kecilnya.
Aku mendaratkan kecupan di pipinya sebelum mengacak rambutnya. Ketika akhirnya Kara dan Adam keluar dari Jasmine, aku hanya mampu menarik napas dalam sebelum kembali ke ruangan. Sebelum mencapai pintu, aku berpapasan dengan Banyu. Aku hanya memberinya sebuah senyum simpul yang dibalasnya dengan sebuah anggukan.
Begitu aku berada di ruangan, Chris sedang menunduk sambil menyandarkan tubuhnya di dinding. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, jadi aku menghampirinya. Kami saling bertatapan sebelum Chris meraih tubuhku dalm pelukannya. Saat ini, aku tidak peduli jika salah satu pegawai Jasmine atau bahkan Banyu melihat apa yang aku lakukan bersama Chris. Saat ini, pelukan inilah yang aku perlukan.
"I'm here, Adrian. I'm here."
***
Mataku nanar menatap langit-langit kamar Adam. Aku memutuskan pulang setelah makan siang dengan Chris. Untuk sesaat, Chris bisa membuatku tertawa. Tidak ada Adam atau Kara dalam obrolan kami.
Aku tidak pernah membayangkan kedatangan Kara untuk menjemput Adam akan berakhir seperti itu. Ingin rasanya mengunjungi Adam sekarang juga, untuk meyakinkan diriku bahwa dia baik-baik saja. Namun aku menahan diri. Adam harus terbiasa jauh dariku mulai dari sekarang. Aku tidak ingin kembali berargumen dengan Kara beserta tuduhan yang bisa diberikannya jika aku mengunjungi Adam.
Sebuah pesan singkat masuk, membuatku dengan malas meraihnya. Ketika melihat nama Banyu di sana, aku menelan ludah.
Pak Adrian ada di rumah? Saya ada di depan pintu gerbang.
Aku menegakkan tubuh sebelum bangkit dari tempat tidur. Pikiranku terlalu penuh untuk menanyakan kenapa Banyu tidak langsung masuk seperti biasa. Ada alasan kenapa Banyu harus ke rumah tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Apa pun itu, aku tidak ingin membuatnya merasa aku abaikan.
Begitu aku sampai di pintu gerbang dan membukanya, Banyu sudah melepas helm dan tersenyum.
Aku membalas senyumnya. "Kamu kenapa nggak langsung masuk?"
"Saya nggak yakin bapak ada di rumah."
Aku membuka pintu gerbang lebih lebar, mempersilakannya masuk.
"Ada masalah di Jasmine?" tanyaku ketika aku dan Banyu berjalan menuju rumah.
Banyu menggeleng. "Nggak ada, Pak. Saya ke sini karena ada yang perlu saya tanyakan ke Bapak."
Aku meminta Banyu untuk mengikutiku ke dapur karena memintanya duduk di ruang tamu akan membuat apa pun yang ingin ditanyakannya terkesan formal. Aku menawarinya minum, tapi Banyu hanya menggeleng. Begitu kami dudk di meja makan, aku menatap Banyu yang sepertinya terlihat gugup.
"Kamu kenapa gugup?"
"Mungkin saya nggak punya hak nanya ini sama Pak Adrian, tapi saya nggak mau berprasangka. Siapa sebenernya Chris, Pak?"
Mendengar Banyu mengajuankan pertanyaan itu bukanlah sesuatu yang membuatku terkejut. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum Banyu memberanikan diri untuk bertanya tentang Chris. Dan aku tidak ingin berbohong kepadanya.
"Dia mantan saya, Banyu. Kami berhubungan selama 5 tahun sebelum saya ketemu Kara."
Banyu terlihat bingung. "Bagaimana ... bagaimana bisa, Pak?"
"Bagaimana bisa saya menikah dengan Kara, memiliki Adam, sementara saya pernah punya hubungan dengan laki-laki? Itukah yang ingin kamu tahu?"
Banyu terlihat ragu-ragu sebelum mengangguk.
"Kamu perlu air putih, Banyu. Cerita saya ini akan panjang."
Jadi aku mengambilkan Banyu segelas air putih sebelum memulai ceritaku.
***
"Sekarang kamu punya alasan untuk membenci saya atau memberikan label apa pun sama saya, Banyu. Saya hanya berharap, rasa sayang kamu ke Adam nggak berkurang setelah tahu ceritanya."
"Saya akan tetap sayang sama Adam, Pak. Dan saya nggak akan benci sama Pak Adrian. Sekarang saya tahu kenapa Pak Adrian nggak menginginkan saya dekat sama Bapak."
"Banyu, kamu tahu bukan itu maksud saya."
"Apakah ini maksud Bapak ketika kita makan di Bistrot waktu itu? Karena Pak Adrian tahu kalau Chris akan kembali ke Bali?"
Aku menggeleng. "Apa yang saya bilang di Bistrot waktu itu nggak ada hubungannya dengan Chris, Banyu."
Banyu hanya menundukkan wajah. Aku mengulurkan lengan untuk meraih tangannya. Ketika Banyu mengangkat wajahnya, aku tersenyum tipis.
"Hidup saya terlalu rumit, Banyu. Kamu nggak pantas bersama pria yang punya sejarah hidup seperti saya. Saya ingin kamu bersenang-senang dengan masa muda kamu. Kalaupun kamu menginginkan yang lebih dari saya, apakah kamu yakin bisa bertahan? I hate to break someone's heart. Saya pernah melakukannya ke Chris, sekarang saya melakukannya ke Adam. Saya nggak mau kamu jadi yang berikutnya, Banyu."
"Kenapa Pak Adrian yakin kalau saya nggak bisa bertahan?"
"Banyu, mungkin sekarang kamu menganggap sikap saya egois. But you will understand it when you're at my age. Percaya sama saya, Banyu, saya melakukan ini demi kebaikan kamu."
Banyu hanya diam. Meski aku mengatakannya untuk tidak melukai hatinya, dari tatapan mata Banyu, aku sudah melakukannya. I already broke his heart.
"Saya minta maaf, Banyu."
Hanya itu yang bisa aku katakan. Meminta maaf.
"Saya boleh peluk Pak Adrian?"
Aku meremas tangan Banyu sebelum bangkit dari kursi dan menghampirinya. Begitu Banyu berada dalam pelukanku, aku mendengarnya mengucapkan terima kasih. Aku tidak tahu apa yang harus diberinya terima kasih sementara aku baru saja mengecewakannya.
"You will be fine, Banyu. You're a big boy."
Banyu hanya mengangguk sebelum melepas pelukan kami. Jika dulu aku sangat ingin menyentuh Banyu dan membelai pipinya, sekarang aku melakukannya bukan karena rasa sayang itu sudah tidak ada lagi. Namun karena tahu, aku tidak bisa memilikinya seperti yang pernah aku inginkan dulu.
"Saya bisa minta sesuatu, Banyu?" Banyu mengangguk. "Saya mungkin nggak bisa jadi lebih dari seorang atasan buat kamu, tapi saya tetap mau kamu menganggap saya sebagai seorang teman. You can tell me anything, anytime."
"Saya janji, Pak. Saya ... saya harus pulang, Pak Adrian."
Aku kemudian mengantar Banyu sampai ke pintu gerbang. "Hati-hati ya, Banyu?"
Banyu hanya mengacungkan jempolnya sebelum memakai helm dan meninggalkanku sendirian di pintu gerbang. Aku menyandarkan tubuh dan menarik napas dalam. You're doing a great job for breaking another man's heart, Adrian. You're doing a very good job.
Ketika berniat masuk, sebuah notifikasi pesan masuk kembali aku terima. Aku tertegun ketika melihat dari siapa pesan singkat itu.
Adrian, are you home? Do you mind if I stop by? Chris.
Chris?
I'm at home, Chris. Do you know how to get here?
Aku membatalkan niat untuk masuk ke rumah. Alih-alih, aku menjadikan tangga teras sebagai tempat duduk sembari menunggu balasan dari Chris. Ketika ada balasan, aku hanya bisa tersenyum tipis.
No, but I've just told the driver. He said we'll be there in 15 minutes.
Tipikal Chris.
Sebelum kami tinggal serumah dulu, Chris tidak pernah datang ke apartemen tanpa meminta izin. Baginya, itu sebuah etika yang sangat penting. He hates surprises, so do I. Bahkan, di awal pertemuan kami, dia selalu bertanya apakah aku ingin dijemput atau diantar pulang sehabis acara makan malam kami. Jika dia ingin ke rumah sekarang, aku tidak akan terkejut jika dia nanti mengatakan khawatir meninggalkanku sendirian.
Ketika mendengar sebuah mobil mendekat, aku dengan bergegas berjalan menuju pintu gerbang yang memang tidak aku tutup. Aku melambaikan tangan begitu melihat Chris ada di kursi penumpang.
"You can tell the driver to leave, I can drop you home later," ucapku.
Begitu Chris meyakinkan supirnya untuk tidak menunggu, dia menghampiriku. Dia mengenakan kemeja polo kuning gading dan celana biru tua. Ketika kami sudah berada di balik gerbang, dia mengulurkan sesuatu.
"For old time's sake."
Aku tertawa begitu mengetahui Chris membawakan Bordeaux wine favorit kami sewaktu masih tinggal di London dulu. Merk yang selalu kami beli karena kami sama-sama menyukai aroma dan rasanya.
"Thank you. Did you bring it from Paris?"
Chris mengangguk. "I did."
Aku mengerutkan dahi. "Kenapa? Kamu tahu di Bali ada wine store. Mungkin mereka nggak punya merk ini, tapi mereka jelas punya Bordeaux wine."
"Karena tahu kita akan ketemu lagi, Adrian. That's why."
Aku berusaha untuk tersenyum, tetapi aku tidak yakin Chris menangkapnya.
"Welcome to my house, Chris."
Begitu kami memasuki ruang tamu, aku menjelaskan ke Chris letak setiap ruangan dan betapa besarnya rumah ini setelah aku dan Kara bercerai. Setelah Adam pergi. Aku juga mengatakan rencanaku untuk mencari rumah yang lebih kecil dari ini.
"This house is lovely, Adrian."
"Kamu nggak keberatan kan kita ngobrol di dapur?"
Chris menggeleng. "Fine by me."
"Aku nggak punya apa-apa, Chris. I haven't even had a plan for dinner."
"Do I look like I come here for food, Adrian? You're insulting me."
Aku tertawa sebelum duduk di seberang Chris. Belum genap satu jam Banyu duduk di kursi yang diduduki Chris. Mungkin mengajak Chris duduk di sini bukanlah ide yang bagus. Namun, ini tempat yang cukup netral. Aku bisa pura-pura menyibukkan diri di dapur jika suasana di antara kami berubah menjadi canggung.
"Tapi kamu juga nggak datang ke sini karena ingin memberiku wine kan?"
Chris menggeleng. "I worry about you, Adrian."
"There's nothing you should be worried about me, Chris."
"Things could have been different if I come sooner."
"Jangan bilang seperti itu, Chris. This is my life now. Aku ragu kalaupun kamu datang di Bali lebih cepat, akan ada yang berubah. Things could have been worse."
"Worse?"
"Kara akan menggunakan kamu sebagai alasan kenapa aku semakin nggak cocok untuk mendapat hak asuh Adam. She hates you as much as you hate her."
"Tapi paling tidak-"
Aku menggeleng. "Chris, nggak ada gunanya kita bicara ini. Aku mohon."
Chris sepertinya masih ingin mendesakku untuk menerima kemungkinan yang bisa terjadi andaikan dia tiba di Bali sebelum semua ini terjadi. Namun aku tidak ingin membahasnya. Tidak akan ada yang berubah. Aku akan tetap kehilangan hak asuh Adam. Persoalan ini bahkan bisa menjadi lebih rumit. Satu-satunya yang mungkin bisa terselamatkan adalah Banyu.
"Adrian, aku hanya berharap bisa ada di sini ketika kamu melewati semuanya. I still don't understand why you didn't tell me."
"After what I've done to you?"
"Kamu tahu aku tidak bisa membencimu, Adrian. Yes, you hurt me. Yes, you ruined our relationship. Yes, you left me. Tapi apakah kamu akan tetap melakukannya jika Kara tidak pernah ada dalam hubungan kita? I doubt it. Things gone wrong because we had little control over what had happened. It wasn't something we want to happen. But, it happened and we dealt with it and the consequences. Sekarang, semuanya sudah berubah. We can pick up the pieces together and having what we'd ever had back in London."
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu, Chris?"
"You can tell me anything you want me to believe in, Adrian. But, your eyes can't lie. I've known you long enough to know whether you're telling me the truth or not. Mungkin itu sebabnya aku tidak pernah bisa bersama pria lain, Adrian. Because every time I looked into their eyes, all I could think is you."
"You just don't-"
Chris menggeleng. "Jika kamu memintaku menjauh karena rasa bersalah yang masih membuat kamu tidak ingin kembali kepadaku, aku tidak bisa melakukannya, Adrian. If people think I'm stupid for begging you to come back to me, I don't give a damn. I can't undo things between us, but I'm willing to make things better. So, let me, Adrian."
"It won't be easy, Chris."
"I know what I'm asking, Adrian." Chris tersenyum. "Would you like to help me in the kitchen to prepare dinner for us?"
***
Satu chapter aja ya? Hehehe. Masih ada dua atau tiga chapter lagi (saya lupa) sebelum cerita ini juga tamat. Agak melelahkan secara emosional sebenernya ngedit cerita ini lagi. Next part will be the most heartbreaking part (Don't say I didn't warn you, ya?) Cerita ini buat saya terlalu dewasa secara emosional. Saya masih 26 jalan 27 tahun waktu nulis ini dan waktu itu, saya nggak terlalu mikir betapa emosionalnya cerita ini. Ketika saya ngedit cerita ini lagi, emosi yang dirasain Adrian jadi begitu ... kompleks. Saya nggak tahu apakah saya berhasil menangkap dan menyampaikan emosi Adrian dengan baik, but I did my best. Agak kapok bikin cerita dengan tingak emosional setinggi ini, hahaha. Tapi, semoga chapter ini masih bisa dinikmati ya?
Oh ya, Sebuah Pilihan Hati ada di #489 di kategori Romance, so thank you again, so so much buat vote dan komennya. Saya nggak pernah nyangka, cerita saya diapresiasi sampai segitunya. Saya nggak pernah punya ekspektasi apa-apa setiap kali posting cerita, jadi masuk rank di Wattpad is something remarkable for me. Once again, thank you all so much!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top