SEMBILAN - THE WAY OUT
Memberitahu Chris bukanlah hal yang mudah. Dia akan bisa memahami jika aku tidur dengan pria lain daripada menghamili seorang wanita. Aku hanya diam ketika Chris menghujaniku dengan berbagai tuduhan yang pasti tidak akan aku bantah jika kesalahan itu bukan dariku. But, I'm the one to blame, and Chris has a right to be angry.
Mempertemukan Kara dan Chris adalah sesuatu yang aku takutkan. Namun aku harus melakukannya. Chris sudah berkali-kali memintaku untuk mengatur pertemuan itu, tetapi aku selalu menundanya. Sementara Kara sepertinya tidak begitu peduli dengan Chris. Sejak memberitahunya tentang kehamilan Kara, Chris memilih untuk menyewa apartemen di pusat kota. Ada malam-malam di mana aku begitu merindukannya, tetapi aku tidak ingin membuat Chris semakin terluka dengan bertemu dengannya. Akan lebih mudah jika Chris melepasku, tetapi dia bahkan tidak ingin membahas itu.
Pelarianku hanyalah pekerjaan. Dan satu botol wine hampir setiap malam. Hidupku sudah berantakan. Membuatnya semakin hancur bukanlah perkara sulit. Namun, aku masih ingin menikmati apa yang bisa aku nikmati sebelum semuanya terenggut dariku.
Seperti malam ini.
Chris memintaku untuk mengundangnya ke rumah. Aku tidak berani membayangkan apa yang akan keluar dari mulut Chris. Satu yang pasti, dia tidak akan menyakiti Kara secara fisik. But, Chris can be cruel with his words. Bagiku, kata-kata yang diucpakannya setiap kali amarah menguasainya, jauh lebih menyakitkan dibandingkan jika dia memukul atau menampar. The bruises will heal, but his words will not.
Kara hanya menyetujui, tanpa mengatakan apa pun. Aku dan Chris tidak menyiapkan makan malam. Dia tidak mau menyiapkan apa pun untuk wanita yang sudah memperdaya dan menjebakku. His words, not mine. "I just want to see that bitch" adalah kalimat yang digunakan Chris ketika dia memintaku untuk mengajak Kara ke rumah. Aku sendiri tidak tahu apa yang bisa terjadi. Pikiranku terlalu kalut untuk memikirkan berbagai kemungkinan.
Aku sengaja menunggu Kara di teras, mengingat musim panas baru saja mulai. This could be a perfect summer for me and Chris, but instead, this summer burned my life mercilessly.
Ketika mobil Kara terlihat, aku bangkit dari kursi dan langsung menghampirinya. Sikapnya kepadaku sudah tidak ketus seperti ketika aku tidak banyak bereaksi saat dia memberitahuku tentang kehamilannya. Kami menghabiskan cukup banyak wkatu untuk saling mengenal dan Kara menjadi tempat pelarian setiap kali aku dan Chris bersitegang. Kami tidak membicarakan pernikahan atau Kara yang menuntut pertanggungjawabanku. Dia merasa punya andil kenapa kehamilan ini bisa sampai terjadi. Ada rasa lega mengetahui Kara tidaklah seperti wanita yang aku kira di Bourne & Hallingsworth saat itu.
"You look lovely."
Kara hanya tersenyum sebelum mencium pipiku. "Thanks. Semoga aku nggak dibantai sama cowokmu ya?"
Aku hanya memberi Kara senyum simpul, tidak berani mengiyakan atau menyangkal pertanyaan Kara, karena aku sendiri tidak sepenuhnya yakin apa yang akan dikatakan Chris.
Kami berjalan menuju rumah dan ketika membuka pintu utama, Chris sudah duduk di sofa. Wajahnya tanpa ekspresi. Kemeja hitam yang dikenakannya, seperti memberiku peringatan bahwa pertemuan ini akan menjadi sesuatu yang ... gelap.
"Chris?"
Kami menghampiri Chris dan ketika Kara berdiri di depannya, Chris hanya memandang Kara. Dan aku hanya mampu menelan ludah melihat tatapan yang diberikan Chris.
"You son of a bitch!"
Kara masih diam di tempat. Dia seperti sudah menyiapkan diri untuk menghadapi berbagai cacian yang akan keluar dari mulut Chris. Meski baru memperkenalkan mereka, aku tidak bisa memungkiri kalau ada perang yang sudah tercipta antara Chris dan Kara.
"It was an accident."
"Accident? You. Trapped. Him. Aku bukan anak kemarin sore yang akan percaya begitu saja dengan kalimat itu. You ruined MY relationship. What the fuck was going on in your mind that night, hah? You saw him as someone to conquer with your sweetness, is that it?"
"Adrian nggak pernah bilang kalau dia gay."
"And why is the fact that he's gay has something to do with what you did? Don't play victim on me, Kara, because you're not. Aku bahkan tidak yakin apakah kata pelacur masih cukup terhormat untuk menyebut wanita seperti kamu. What kind of a woman are you?"
Kara hanya diam, tetapi ketika sebuah tamparan mendarat di pipi Chris, aku tidak bisa lagi tinggal diam.
"Kara, please...."
"No, Adrian. This man deserved it for what he said."
"Kita bisa nggak bicara seperti tiga orang dewasa?"
Chris memandangku. "How do you want us to talk, Adrian? Three of us sitting on the porch, while talking about how this bitch has trapped you into something you never could done? Or do you want me to be nice to her because of what she has done to us? Not in a million years, Adrian. Not while I'm still alive."
"Why don't you break up with Adrian if this hurt you so much? Aku nggak pernah menuntut Adrian untuk menikahiku atau bertanggung jawab atas kehamilan ini. Has Adrian told you that?"
"You made him fucked you! Jangan bersikap naif di depanku, Kara. Show me the real you, then I probably could be nicer. I will call you a whore instead of a bitch, how does that sound? Better?"
Tamparan kedua. "Don't you ever dare to call me that!"
"You deserved it and YOU CAN'T TELL ME WHAT TO SAY. FUCK YOU!"
"Aku kira, kamu pria yang sangat berpendidikan dan punya etika. Ternyata semuanya hanya kebohongan belaka. Aku kasihan sama Adrian karena harus menghabiskan lima tahun bersama pria seperti kamu." Kara kemudian memandangku. "You deserve someone better than this faggot, Adrian."
Dengan kalimat itu, Kara berlalu dari ruangan dan aku bimbang antara harus tetap di sini atau mengejar Kara. Aku tidak terima Kara menjelekkan Chris seperti itu, tetapi aku juga tidak terima Chris menggunakan kata-kata kasar untuk menyebut Kara.
"Adrian, stay here or you will never see me again."
Langkahku terhenti di ambang pintu yang sedikit terbuka ketika kalimat itu tertangkap telingaku. Aku membalikkan tubuh untuk menatap Chris. There's anger and pain in his eyes. Saat ini, mengakhiri hidupku menjadi sesuatu yang sangat menggoda.
"Nggak peduli betapa kamu membencinya, Chris atau betapa dia sudah menghancurkan apa yang kita miliki, she's still a woman. Kamu tahu betapa aku sangat menghargai wanita. Apakah kamu sudah menemukan alasan untuk mengakhiri hubungan kita? Just because I want to comfort her for ... what you said to her? I love you, Chris. You know I do. Tapi saat ini, aku tidak tahu apakah cinta kita cukup kuat kalau kamu memutuskan untuk pergi ketika yang ingin aku lakukan hanyalah menenangkannya."
Chris diam.
Kami saling bertatapan sebelum aku meninggalkannya untuk mengejar Kara. Jika Chris memang mencintaiku dan apa yang kami miliki selama lima tahun ini sangat berarti untuknya, he will stay.
***
Things have gone from bad to worse in weeks. Dan aku tidak lagi mampu berada di London karena Chris serius dengan ucapannya. He left. Kara yang sebelumnya baik-baik saja, mulai mendesakku untuk bertemua kedua orang tuanya. "Just for afternoon tea" adalah kalimat yang selalu diberikannya setiap kali ajakan itu muncul. Aku belum siap. Untuk kehilangan Chris. Untuk bertemu orang tua Kara. Untuk mengambil keputusan yang akan mengubah kehidupanku selamanya. Aku sudah menyakiti Chris. Aku melakukan sesuatu yang paling aku benci kepada pria yang paling aku cintai.
Claire ternyata sudah tahu semuanya dari Kara dan dia satu-satunya orang yang bersikeras agar aku menjauh dari London. "Adrian, you need to clear up your mind. I can't do anything to help you, but I can help you with few days off. And I want you to go somewhere, where Kara and Chris will not be able to find you" Dan sebuah pelukan. So, here I am, sitting by myself in Camas Ban, sebuah pantai di Isle of Skye.
Aku dan Chris beberapa kali berencana untuk pergi ke Skye, tetapi selalu ada halangan yang membuat kami membatalkan rencana itu. Di sini, tidak ada memori yang mengelilingiku tentang Chris dan hubungan kami. And that's exactly what I needed.
Meski musim panas sudah tiba, aku tidak melihat begitu banyak orang memenuhi pantai ini. Mungkin karena lokasi yang hanya bisa ditempuh dengan perahu kecil atau mendaki bukit yang tidak bersetapak, orang malas untuk pergi ke Camas Ban. Bagiku, tempat ini sempurna.
Tanganku sejak tadi memegang ranting kering yang aku gunakan untuk mencorat-coret di pasir. Tidak ada bentuk atau huruf yang membentuk sebuah kata atau kalimat. Aku hanya membiarkan tanganku menggores pasir dan berharap bisa sedikit mengurangi beban yang sedang aku panggul. Aku tidak bisa melihat masa depanku dengan Kara, tetapi aku tidak bisa membiarkannya melewati semuanya sendirian. Apa yang terjadi memang tidak sepenuhnya salahku, tetapi tetap tidak mengubah fakta kalau aku punya peran, sekalipun dalam pengaruh alkohol. Sedangkan Chris, bagaimana aku bisa hidup tanpanya? Seburuk apa pun hubungan kami, selalu ada jalan keluar yang membuat kami bisa bertahan selama ini. Lima tahun mungkin bukan waktu yang lama, tetapi juga tidak bisa dikatakan sebentar. We've been through a lot together. Membayangkan aku harus menjalani sesuatu tanpa ada Chris di dalamnya membuat dadaku sakit.
Aku meraih botol minum yang aku bawa dan meneguk seperempat isinya. Matahari masih cukup tinggi, dan aku belum berniat meninggalkan pantai ini dalam waktu dekat. Aku bahkan belum tahu kapan akan kembali ke London. Berada di Portree membuat bebanku terasa ringan, sekalipun kenyataan tidak pernah membiarkanku lepas darinya.
Mataku memandang lautan lepas. Sempat terpikir untuk menenggelamkan diriku di sana, meninggalkan hidupku yang tinggal menunggu waktu untuk sepenuhnya runtuh. Apa bedanya jika aku tidak ada? Namun, pikiran itu aku singkirkan karena mengakhiri hidup tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Aku akan jadi pria pengecut yang memilih untuk lari dari kenyataan jika melakukannya.
"I found you."
Lamunanku terpecah begitu mendengar suara yang aku kenal. Ketika aku memalingkan wajah, Chris sudah duduk di sampingku. Mengenakan celana pendek yang sudah lama tersimpan di lemari, baseball cap, dan kaus biru tua yang basah oleh keringat, aku hampir tidak memercayai kehadirannya di sini.
"Chris?"
"This beach is very beautiful. And quiet."
Aku hanya bisa memerhatikan Chris dari samping. Rambutnya yang diterpa angin pantai, pandangannya lurus ke lautan di depan kami, sementara dia merendam kedua tangannya di pasir. Bagaimana bisa dia menemukanku?
"I checked all the beaches in Skye, knowing this is the place we always planned to go but never been. Kamu pasti butuh tempat yang tenang, Adrian. Tidak ada memori tentang kita di pulau ini." Chris kemudian menatapku. "And I was right. I found you. I will always find you, Adrian."
Aku menarik napas dalam sebelum mengalihkan pandangan ke ombak kecil di depanku.
"Why?"
"Karena aku tidak mau kamu membenciku, Adrian."
"Aku menghancurkan hubungan kita, Chris. Jika ada yang harus dibenci, akulah orangnya. And you have right to do so. I want to end our relationship because I will not forgive myself for dragging you deeper into this mess. It's not something I want, but something I need to do. I can't let you down again and again."
"Tidakkah kamu berpikir kalau aku punya andil dalam semua ini, Adrian?"
Aku menatap Chris, tidak paham dengan apa yang dimaksudnya.
"This thing is like the domino effect. It was our fight that led you to go to Claire's party alone. It was that party where you met that bitch. It was her who got you drunk. Can't you see? Everything is connected."
"Kamu hanya nggak mau aku menanggung rasa bersalah itu sendirian, Chris."
"Bukankah itu yang dilakukan dua orang yang saling mencintai, Adrian? Berbagi beban?"
"I can't let you do that."
"I let myself doing that."
Pandanganku kembali teralih ke Chris. "Kara nggak pernah menuntut tanggung jawab dariku. Yang dia lakukan hanya memberitahuku dan aku akan jadi pria pengecut jika membiarkannya menanggung ini sendirian. I can't let her do that, Chris."
"I know."
"I'm going to see her parents and ask for their blessings. Aku berharap, hukuman itu cukup untukku."
"Are you sure, Adrian?"
Aku menggeleng. "Ini bukan masalah apakah aku yakin atau nggak, Chris. This is the right thing to do."
"What about us?"
Aku memberikan senyum tipis sebelum mengulurkan tangan untuk membelai pipi Chris. "I've had the best five years of my life and you've been a big part of it. Letting you go is not easy, but I can't see you suffer because of me. Kamu pria luar biasa, Chris. Akan ada pria lain yang bisa memberikan kamu lebih dari yang sudah aku berikan. I'm the biggest loser, Chris, and I can't let you to be with someone like me."
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Hate me like you've never hated anyone before, Chris. The same way you've loved me like you've never loved anyone before."
"I can't and I won't let you go, Adrian."
"Chris, please...."
Aku tidak sempat bereaksi ketika tiba-tiba Chris merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Aku memejamkan mata dan mendengar isakan pelan di telingaku. Chris bukan orang yang suka menunjukkan sisi emosionalnya. Aku bahkan tidak ingat pernah melihat Chris menangis. Perlahan, aku membelai kausnya yang basah dan membenanmkan wajahku di tengkuknya. Bagaimana mungkin aku melukai pria yang paling aku cintai dengan tindakan paling bodoh?
***
Okay, three parts in a row. Cerita ini nggak lama lagi juga akan kelar. Saya cuma harus konsentrasi aja buat ngebenerin typo dan menulis ulang beberapa adegan. Sebenernya, saya pengen banget nyelesain ini dulu sebelum posting Ketika Langit Berganti, tapi ya, karena KLB udah di-posting, maka, harus ada salah satu yang 'dikorbanin', hahahaha. KLB akan tetep di-post kok, tapi mungkin nggak minggu ini. Saya usahakan bisa di-post minggu ini, tapi kalau nggak bisa, minggu depan ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top